- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Gender dan Pembangunan: konsep-konsep dasar
DTE 99-100, October 2014
Gender adalah variabel kompleks yang merupakan bagian dari konteks sosial, budaya, ekonomi dan politik. Gender juga relevan bagi kerja gerakan masyarakat sipil. Gender adalah perbedaan yang dikonstruksi secara sosial antara laki-laki dan perempuan, sedangkan jenis kelamin merujuk pada perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Karena terkonstruksi secara sosial, perbedaan gender tergantung pada usia, status perkawinan, agama, etnik, budaya, ras, kelas/kasta dan seterusnya. Perbedaan jenis kelamin tidak banyak tergantung pada variabel-variabel tersebut.
Sejak beberapa dekade belakangan ini kalangan analis pembangunan telah mengakui adanya kebutuhan untuk memastikan perihal gender dianalisis dan diintegrasikan ke dalam proyek-proyek pembangunan. Dalam mengintegrasikan gender pada pembangunan para praktisi pembangunan merespon kebutuhan prioritas perempuan dan laki-laki sambil memperhatikan efek-efek dari dampak yang bisa menguntungkan atau merugikan.
Mengapa Gender Relevan bagi Pembangunan?
Dalam pembahasan soal gender, praktisi pembangunan dan aktivis gerakan sosial memperhatikan kesenjangan yang ada di antara laki-laki dan perempuan dalam hal hak-hak, tanggung jawab, akses dan penguasaan terhadap sumber daya alam serta pengambilan keputusan dalam keluarga, di komunitas dan di tingkat nasional. Laki-laki dan perempuan kerapkali memiliki perbedaan dalam prioritas, hambatan dan pilihan terkait dengan pembangunan serta dapat mempengaruhi dan dipengaruhi secara berbeda oleh proyek-proyek pembangunan dan penanganan kampanye. Untuk meningkatkan efektivitas, pertimbangan-pertimbangan tersebut perlu disikapi dalam semua perencanaan dan penanganan program dan kampanye. Jika pertimbangan-pertimbangan tersebut tidak disikapi secara serius dan memadai, tindakan-tindakan tersebut tidak saja hanya akan menghasilkan inefisiensi serta tidak berkelanjutan, tetapi juga dapat memperburuk kondisi ketidaksetaraan yang ada. Memahami isu gender dapat memungkinkan proyek untuk memperhatikan persoalan gender dan membangun kapasitas untuk menghadapi dampak-dampak ketidaksetaraan dan untuk memastikan adanya keberlanjutan.
Ketika kita berbicara mengenai Kesetaraan Gender, kita berbicara tentang kesamaan di muka hukum serta kesetaraan peluang, termasuk peluang untuk mengemukakan pendapat. Kerap kali, hal kesetaraan gender adalah mengenai pemberian peluang yang lebih baik kepada perempuan dalam semua hal tersebut.
Hak-hak perempuan dilindungi oleh banyak instrumen dan hukum internasional. Paling terkenal di antaranya adalah Konvensi Penghapusan segala bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW, 1979) – sebuah Traktat PBB yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1979 dan pada awalnya ditandatangani oleh 64 negara di bulan Juli tahun berikutnya. Sebuah protokol opsional disusun kemudian untuk mengatur mekanisme pertanggunggugatan negara-negara terhadap traktat. Sejak itu ada beberapa deklarasi internasional dan perjanjian yang telah digunakan sebagai standar untuk mengukur kemajuan dalam urusan perempuan. Termasuk di antaranya Deklarasi Beijing dan Landasan Aksi (1995) serta Tujuan Pembangunan Milenum/MDGs (2001) yang memuat pertimbangan-pertimbangan gender pada hampir setengah dari keseluruhan klausal. MDGs bersifat saling menguatkan, yaitu kemajuan pada satu tujuan mempengaruhi kemajuan dalam tujuan lain. Namun, tujuan ketiga berbicara secara khusus tentang kesetaraan gender. Target Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang melanjutkannya akan diadopsi pada tahun 2015 sebagai bagian dari Agenda Pembangunan Berkelanjutan yang luas, mencakup pencapaian 'kesetaraan gender dan menguatkan semua perempuan dan gadis' sebagaimana tercantum dalam Tujuan 5.
Arah historis pengintegrasian gender dalam pembangunan
Pendekatan awal mencakup penargetan perempuan dalam perencanaan dan intervensi proyek yang berfokus pada perempuan sebagai kelompok terpisah. Hal ini biasa disebut sebagai Perempuan dalam Pembangunan. Kritik terhadap pendekatan ini menuding bahwa pendekatan ini tidak mengurus soal laki-laki, yang lalu mendorong munculnya model yang disebut Gender dan Pembangunan (GdP) yang lebih berkonsentrasi pada perencanaan dan intervensi proyek yang berfokus pada proses pembangunan yang mentransformasikan relasi gender. Tujuan dari GdP adalah membuat perempuan mampu berpartisipasi secara setara dengan laki-laki dalam menentukan masa depan bersama. Maka dari itu pendekatan Kesetaraan Gender adalah mengenai laki-laki dan perempuan dan merupakan pendekatan yang lebih komprehensif untuk menganalisis dan merencanakan intervensi pembangunan karena mempertimbangkan situasi dan kebutuhan laki-laki dan perempuan. Kesetaraan gender bertujuan melibatkan laki-laki dan perempuan dalam menyikapi permasalahan mereka terkait pembangunan, mereformasi lembaga-lembaga untuk membangun hak-hak dan peluang yang setara, serta mendorong perkembangan ekonomi yang menguatkan kesetaraan partisipasi. Pendekatan semacam itu bertujuan untuk memperbaiki kesenjangan yang terus ada terkait akses terhadap sumber daya alam dan kemampuan untuk mengemukakan pendapat.
Maskulinitas
Juga diakui oleh para spesialis dan aktivis dalam bidang ini bahwa perilaku laki-laki perlu disikapi dalam konteks kerja gender. Kecuali para laki-laki melawan perilaku, sikap dan pola asuh yang mengekalkan kesenjangan gender, tidak akan terjadi perubahan dalam hal ketidakadilan dan kekerasan gender[1]. Sejak lebih dari dua dekade terakhir semakin banyak program mengenai hal gender dikembangkan di berbagai belahan dunia, lalu hasil belajar dibagikan dan diadaptasikan ke dalam konteks yang baru. Di antaranya yang paling terkenal adalah program Puntos de Encuentro dan Cantera di Nikaragua, serta programnya mengenai perubahan perilaku laki-laki. Contoh lain adalah Stepping Stones, sebuah penanganan kelompok kecil menggunakan pembelajaran partisipasi untuk membantu meningkatkan kesehatan seksual, dimulai di Uganda namun diadaptasi di berbagai negara sub-Sahara Afrika termasuk Gambia, Ghana, Kenya, Afrika Selatan, Tanzania, Zambia juga di Filipina. Paket pelatihan komunitas program tersebut “bertujuan mendorong komunitas untuk mempertanyakan dan memperbaiki ketidaksetaraan gender yang berkontribusi terhadap HIV/AIDS, kekerasan berdasarkan gender dan hal-hal lain” dan juga berfokus pada perubahan perilaku.[2]
Gender dan gerakan sosial
Di seluruh dunia orang mengorganisasikan diri untuk melawan dan mengakhiri ketidakadilan gender di segala bidang kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Namun demikian, untuk meraih keberhasilan perjuangan ini perlu melibatkan dan memprioritaskan kesetaraan gender dalam struktur organisasi sendiri sebagaimana juga perlu tercakup dalam analisis dan metodologi untuk perubahan. Hal ini sangat politis pada berbagai tataran. Walaupun gerakan sosial mencoba menyikapi hal ini, para aktivis masih sering menghadapi perlawanan kuat dalam upaya mengubah politik dan praktik-praktik berbasis gender bahkan dalam konteks gerakan dan organisasi-organisasi sekutu. Namun demikian, untuk membuat dampak dalam transformasi relasi kekuasaan gender peran gerakan sosial adalah penting.
Mengintegrasikan perspektif gender ke dalam gerakan sosial dan aktivisme tidak hanya mengenai ‘pelibatan’ perempuan atau ‘memikirkan tentang’ laki-laki dan minoritas gender, melainkan juga mempertimbangkan apa yang disodorkan politik berbasis gender mengenai cara-cara alternatif untuk mengada, melihat dan melakukannya terhadap diri sendiri dalam rangka transformasi relasi kekuasaan patriarki. Ada beberapa pendekatan yang diambil oleh berbagai gerakan sosial dalam menyikapi persoalan hak-hak perempuan dan keadilan gender, namun secara umum bisa ditarik beberapa parameter yang memfasilitasi suatu lingkungan yang mendukung bagi pembangunan gerakan yang adil gender. Misalnya, melakukan afirmasi akan pentingnya mengatasi ketidaksetaraan gender dan kekuasaan patriarki sebagai bagian integral keadilan dan menyebutkannya secara eksplisit sebagai prioritas; terlibat secara positif dalam refleksi internal dan aksi untuk hak-hak perempuan dan keadilan gender, memberikan dukungan terhadap kepemimpinan dan partisipasi perempuan dalam semua aspek gerakan sosial, mengatasi kekerasan dan pelecehan berbasis gender. Memastikan distribusi peran/kedudukan yang setara dalam struktur organisasi, memastikan kesetaraan partisipasi, mempertimbangkan hal pengurusan anggota keluarga, mempertimbangkan bahwa perempuan bisa menjadi target pembalasan oleh anggota masyarakat yang merasa terancam oleh adanya keadilan gender yang menimbulkan perubahan-perubahan dalam peran tradisional.
[1] Lihat situs Bridge Gender and Social movements dan makalah ini untuk mendapatkan gambaran lengkap: http://eldis.org/vfile/upload/4/document/1304/Accountable%20grant%20GBV%20literature%20review%20final%20draft.pdf
[2] Evaluasi menunjukkan perbaikan perilaku dan sikap yang diakui sendiri terkait dengan kekerasan berbasis gender. Lihat Bott, S. Morrison, A. dan Ellsberg, M. (2005) Preventing and responding to gender-based violence in middle and low income countries. World Bank Policy Research Working Paper 3618 http://www-wds.worldbank.org/servlet/WDSContentServer/WDSP/IB/2005/06/28/000112742_20050628084339/Rendered/PDF/wps3618.pdf