- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Kawasan
Publikasi
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
DTE menyerukan Inggris untuk mencabut subsidi listrik minyak sawit
Surat DTE berikut ini mendesak Menteri Energi Inggris untuk mengecualikan minyak sawit dan ‘cairan hayati’ lainnya dari skema insentif pembangkit listrik terbarukan pemerintah.
4 Februari 2013
Kepada: Ed Davey, Menteri Negara Energi dan Perubahan Iklim
CC: John Hayes, Menteri Negara Energi
Bapak Menteri yang terhormat,
RE: Subsidi Sertifikat Obligasi Terbarukan untuk bahan bakar cairan hayati, termasuk minyak sawit.
Atas nama Down to Earth (DTE) saya menulis surat ini kepada Bapak untuk menanggapi proposal Departemen Energi dan Perubahan Iklim (DECC) baru-baru ini untuk subsidi listrik terhadap energi terbarukan, berdasarkan Obligasi Terbarukan.
DTE bekerja sama dengan para mitra secara internasional untuk mempromosikan keadilan iklim dan penghidupan yang berkelanjutan di Indonesia. Keprihatinan kami secara khusus terkait dengan dimasukkannya jaminan jangka panjang dari Sertifikat Obligasi Terbarukan (Renewable Obligation Certificates, ROCs) yang akan mengizinkan stasiun pembangkit listrik untuk membakar cairan hayati, termasuk minyak sawit.
Dampak-dampak negatif dari pengembangan minyak sawit skala besar terhadap perubahan iklim, keanekaragaman hayati dan masyarakat di negara-negara produsen sudah terdokumentasi dengan baik. Pembangunan perkebunan kelapa sawit diakui sebagai pendorong penting dari deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati di Indonesia. Beberapa kajian ilmiah yang diamanatkan Uni Eropa mengenai jejak karbon dari agrofuel menunjukkan bahwa pembakaran minyak sawit sebagai agrofuel lebih buruk bagi iklim daripada bahan bakar fosil. Kebutuhan akan wilayah lahan yang luas untuk agrofuel meningkatkan risiko krisis pangan dan memperburuk konflik perampasan tanah di seluruh dunia. Melalui mitra-mitranya di Indonesia, DTE menerima informasi dari tangan pertama menyangkut dampak yang menghancurkan terhadap masyarakat lokal dan masyarakat adat yang tanah dan penghidupannya telah hancur untuk mengakomodasi pertumbuhan permintaan internasional akan minyak sawit. Insentif lebih lanjut bagi produksi minyak sawit untuk pasar asing, dalam bentuk subsidi untuk cairan hayati, akan secara signifikan memperburuk hal0hal tersebut.
DTE berargumen bahwa kedua sistem pengaman penting untuk membatasi dampak-dampak dari permintaan cairan hayati yang meningkat yang diusulkan oleh DECC, misalnya kriteria keberlanjutan dan suatu batas atas terhadap volume cairan hayati yang layak untuk subsidi, sangat tidak memadai. Pertama, kriteria keberlanjutan sebagaimana dirangkum dalam RED, gagal mengatasi salah satu dampak yang paling serius dari pengembangan minyak sawit – khususnya dampak yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang signifikan. Kriteria keberlanjutan sosial yang kuat tidak ada dalam RED tersebut, meskipun ada penelitian yang dapat diandalkan dari laporan Dewan Nuffield (Bahan bakar hayati: Persoalan Etis – April 2011) yang menyatakan bahwa produksi agrofuel melanggar hak-hak asasi manusia yang mendasar saat “membahayakan keamanan pangan lokal atau menggusur populasi lokal dari tanah tempat mereka bergantung untuk penyambung hidup sehari-hari…”.
Kedua, batas atas yang diusulkan terhadap volume cairan hayati yang layak untuk subsidi tersebut – hingga 500.000 ton per tahun – cukup tinggi untuk memungkinkan terjadinya dampak-dampak lingkungan hidup dan sosial di negara-negara produsen. Karena minyak sawit adalah pilihan cairan hayati yang paling murah yang tersedia di pasar, DTE meyakini bahwa minyak sawit ini akan menjadi bahan mentah utama bagi pembangkit listrik hayati di Inggris. Saat ini, Indonesia dan Malaysia memasok lebih dari 85% produksi global minyak sawit. Karena proposal DECC untuk subsidi tidak memungkinkan pemerintah membedakan antara jenis-jenis bahan mentah cairan hayati, satu-satunya jalan untuk menghentikan dampak-dampak negatif terkait dengan perluasan lebih lanjut dari pengembangan minyak sawit di negara-negara ini adalah dengan cara mengecualikan bahan bakar cairan hayati dari kelayakan ROC secara keseluruhan.
DTE mendukung upaya pemerintah untuk mengurangi emisi karbon Inggris dan untuk meningkatkan investasi dalam energi dari sumber daya terbarukan. Namun, produksi energi yang membutuhkan sejumlah besar lahan dan sumber daya alam lainnya seharusnya tidak diberi insentif melalui subsidi dan harus dipertimbangkan kembali sebagai sebuah pilihan untuk produksi energi berkelanjutan.
Sebagai anggota dari Uni Eropa, Inggris memiliki tanggung jawab untuk mengambil tindakan kebijakan yang tersedia untuk mengurangi lahan dan jejak karbon Inggris – dan dampak-dampak menghancurkan yang menimpa lingkungan hidup dan masyarakat di negara-negara seperti Indonesia. DECC tak lama lagi akan menyampaikan Instrumen Undang-Undang (Statutory Instrument) untuk mengamendemen Perintah Terbarukan (Renewables Order) tersebut ke Parlemen berdasarkan Prosedur Afirmatif (Affirmative Procedure). Dengan mempertimbangkan keprihatinan yang disampaikan kepada Bapak di sini, DTE mendesak pemerintah Inggris untuk mengikuti contoh dari Jerman, Perancis dan Belanda dengan merevisi proposal tersebut untuk memastikan agar dukungan finansial untuk listrik dari cairan hayati tidak diizinkan dalam Obligasi Terbarukan, mulai dari April 2013.
Kami menunggu tanggapan Bapak.
Hormat kami,
Clare McVeigh
Down to Earth, Kampanye Internasional untuk Keadilan Ekologis di Indonesia
Jawaban dari Menteri Inggris tersedia di sini (dalam Bahasa Inggris).