Angin Baik

Turbin angin, Diksmuide (Photo: Triple11)

Down to Earth 87, December 2010

Oleh Siti Maimunah & Kahar Al  Bahri - JATAM

Ini musim gugur di Brussel. Daun-daun pohon terlihat mulai berwarna kecoklatan, beberapa bahkan mulai menjatuhkan daunnya. Jalan-jalan  di taman terlihat coklat, berlapis tumpukan daun.  Ramalan cuaca setempat memperkirakan suhu udara  kota ini akan makin rendah dari hari ke hari. Musim dingin segera tiba.

Pagi hari,  15 Oktober 2010, masih dingin. Tapi kami harus ke stasiun Brussel Midi. Hari ini  jadwal bertemu Steven Camertijn, ketua “Beauvent”.  Dalam bahasa Perancis, ‘beau vent’ artinya ‘angin baik’. Beauvent adalah sebuah koperasi di Diksmuide, yang beranggotakan 1.400 orang.  Anggota koperasi ini sepakat mengurangi konsumsi energi mereka, berusaha memenuhi kebutuhan listrik dan bahan bakar dari energi terbarukan.

Kami datang ke Diksmuide bersembilan, dua dari Indonesia – saya dan Ocha -, satu dari Inggris, sisanya warga negara Belgia.  Jam 8.15 pagi kami sudah berkumpul di stasiun.

Steven berusia  40an, berpostur tidak terlalu tinggi untuk ukuran orang bule, mungkin sekitar 165  sentimeter. Wajahnya tirus memanjang, dengan alis tipis dan hidung tinggi. Rambutnya berwarna hitam kecoklatan, dan gondrong. Ia tampil sederhana, celana jins, kaos dan jaket hitam, rambut sebahunya diikat ekor kuda.

Ia menjemput kami di stasiun Diksmuide,  satu setengah jam dari Brussel – ibukota Belgia. Diksmuide adalah salah satu municipality – semacam desa di propinsi West Flander di bagian utara Belgia.

Steven datang bersama mobil van bercat putih, bergambar turbin angin dengan bentangan lahan tanaman rape berbunga kuning di sekitarnya.  Di bagian bawah gambar, tertera tulisan besar, Beauvent  ZonneWinDT.  Ia mempersilahkan kami naik. "Mobil ini sudah menggunakan  bahan bakar dari rapeseed, minyak rapeseed", ujarnya bangga. Ia dan teman-temannya di Beauvent memang sedang mempromosikan penggunaan energi terbarukan dari turbin angin, solar panel dan bahan bakar nabati minyak rapeseed.

Tak berapa lama kemudian, Steven membawa kami ke sebuah tempat,  hanya 10 menit dari stasiun. Berhenti pas di sebelah cafe, dan masuk ke sebuah ruang pertemuan sederhana, berisi kursi-kursi - tanpa meja. "Ini ruang pertemuan warga, Beauvent membelinya dan bisa digunakan oleh siapapun yang membutuhkan. Asalkan mereka ikut merawatnya," tambahnya.

Steven  mempersilahkan kami duduk. Layar putih telah siap terbentang  di bagian depan ruang. Tak berapa lama, ia terlihat sibuk menyiapkan perangkat presentasinya. Ada laptop, serta beberapa botol berwarna putih berisi biji-bijian dan minyak.

Koperasi Beauvent didirikan 21 Juni  2001.  Mulanya hanya ide tiga laki-laki, yang sekampung yang kebetulan sama-sama merenovasi rumah mereka. Ketiganya juga  sering berhubungan karena urusan rumah tangga. Mereka kebagian mengurus kerja domestik karena ketiga istri mereka bekerja.  Urusan renovasi rumahlah yang membawa mereka pada diskusi tentang kebutuhan energi, bahan bakar, perubahan iklim.  Mereka sepakat mencari jalan agar lebih hemat menggunakan energi.

Ketiganya sepakat meneruskan ide hemat energi dan menggalang dukungan untuk menyediakan energi terbarukan buat kampung mereka.

Diksmuide adalah salah satu tempat yang paling berangin di Belgia. Mereka yakin angin akan membawa kebaikan bagi kampung.  Kemudian, lahirlah Beauvent.

"Beauvent memulai langkahnya dengan membangun pembangkit listrik tenaga angin" ujar Steven, memulai presentasinya.

"Tujuan kami hanya tiga, bagaimana penggunaan energi para anggota koperasi berkurang, menggunakan energi terbarukan dan memperhatikan kepentingan antar generasi", tambahnya.

Tapi membangun turbin angin ternyata tak gampang, bahkan di Belgia – jantung Uni Eropa.  Mereka butuh usaha keras. Empat tahun setelah berdiri, baru Beauvent berhasil membangun turbin pertama. 

"Kami melakukan pengorganisasian selama beberapa tahun untuk membuat masyarakat paham dan menyetujui di kawasannya dibangun turbin angin. Tak hanya itu. Kami harus mendapatkan ijin dari sedikitnya 10 lembaga, termasuk lembaga konservasi burung,  badan penerbangan nasional, dan tentu saja militer",  tuturnya, bersemangat.

Merujuk pengalaman Steven, ijin mendirikan turbin angin untuk mendapatkan energi terbarukan di Belgia membutuhkan waktu 3 hingga10 tahun. Cukup lama. Padahal mereka harus menaikkan penggunaan energi terbarukan hingga 20 persen pada 2020, sesuai ketetapan Uni Eropa. Negara-negara industri  lainnya di Eropa dituntut mengurangi emisi secara radikal, sejak protokol Kyoto untuk perubahan iklim ditandatangani. 

Kini, Belgia menyandarkan 56 persen energinya dari pembangkit tenaga nuklir, 38 persen  bahan bakar fosil dan 6 persen sisannya adalah energi terbarukan. Hingga kini belum ada tanda-tanda negara ini akan memacu penyediaan energi terbarukan.

Kerja keras lainnya, kata Steven, bagaimana cara mendapatkan dana untuk membangun turbin angin dan memasukkan listrik ke dalam sistem jaringan listrik nasional dan menyalurkan sampai ke pelanggan.

"Kami menggalang anggota koperasi untuk membeli saham. Tiap saham harganya 250 euro. Agar tak ada saham mayoritas, tiap orang hanya boleh memiliki 7 saham. Dan tiap orang hanya berhak memiliki satu suara saat pertemuan tahunan koperasi", ujarnya. Satu Euro sekitar duabelas ribu lima ratus rupiah.[1]

Turbin pertama dibangun pada April 2005.  Ada dua turbin yang dibangun, kapasitasnya mencapai 1,6 MW, bisa menerangi sekitar 1.150 rumah. Rata-rata rumah di Belgia membutuhkan 3.500 kiloWatt per tahun.

Harga listrik di sana sekitar 0,18 euro tiap kiloWatt.

Angin memang membawa kebaikan. Setelah turbin pertama berjalan dengan baik, pada 2007, Beauvent berhasil membangun turbin ketiga di Gistel. Tapi, kali ini mereka patungan dengan koperasi lainnya, Ecopower. Beauvent hanya menggunakan sepertiga dari energi yang dihasilkan pembangkit ini – hanya sekitar 0,77 MegaWatt, bisa menerangi 450 rumah.

"Kami belajar banyak dari pembangunan turbin pertama, sehingga tahapan konsultasi dengan masyarakat dan perijinan bisa dilakukan lebih cepat,” tambahnya. 

Banyak tahapan yang harus dilakukan untuk mendirikan kincir angin. Beauvent harus memastikan turbin angin yang tingginya 48 meter ini, tak mengganggu warga sekitarnya dan lingkungan mereka.  Mereka menyusun analisis mengenai dampak lingkungan  (AMDAL) pembangunan turbin angin. Mulai menganalisis penggunaan lahan untuk menanam turbin,  kebisingan suara akibat putaran sayap kincir, hingga dampak jatuhnya bayangan kincir ke rumah-rumah warga.   "Kami menyewa tanah warga selama 25 tahun untuk tempat berdirinya kincir angin. Kami bahkan bersepakat mematikan kincir,  jika petani di sekitarnya merasa terganggu dengan bayangan  turbin, saat matahari mulai meninggi"

Sebenarnya, tak hanya risiko  di Diksmuide yang harus dipikirkan Steven dan para pendukung  pembangkit listrik tenaga angin. Mereka juga harus memikirkan darimana bahan-bahan untuk membuat turbin angin ini berasal. 

Satu buah kincir angin, yang terdiri dari fondasi, menara, cincin generator, rotor, nacelle dan sayap, sedikitnya membutuhkan lebih dari 147 ton baja, 200 ton lebih semen, pasir dan bahan lainnya.

Demikian halnya, panel surya atau solar sel.  Mereka juga membutuhkan pasir kuarsa untuk membuat panel surya. Di Diksmuide, bahan utama solar sel terbuat dari silikon. Setiap 1 hingga 2 meter persegi solar sel, beratnya sekitar 15 kilogram. Ia harus diganti lagi setelah digunakan 25 hingga 30 tahun kemudian.

Baja yang digunakan pasti membutuhkan biji besi, yang digali dari pertambangan di suatu tempat. Begitu pula semen yang digunakan membuat fondasi, pasti batuannya digali dari suatu tempat. Bahan-bahan mentah tersebut masih membutuhkan batubara – yang merupakan bahan bakar fosil - untuk diproses lebih lanjut.

Bayangkan, seandainya untuk program energi terbarukan, kita membutuhkan 100 buah turbin angin. Maka akan dibutuhkan lebih dari 14.700 ribu ton besi dan baja, serta sedikitnya 23 ribu ton bahan tambang lainnya.  Dari mana bahan-bahan mentah ini diambil, dan dari mana sumber energi untuk mengolah dan mengangkutnya?

Bagaimana jika pasir besinya dari desa Penago di Bengkulu, yang  meninggalkan lubang-lubang menganga  dan konflik sosial antar warga? Bagaimana  jika semennya dari Lafarge di Aceh, yang telah menghancurkan hutan  sekitarnya? Atau batubaranya dari tambang  PT Kaltim Prima Coal – milik Aburizal Bakrie di Kalimantan Timur, yang memiskinkan masyarakat dayak Punan, yang makin tergusur di sekitar tambang?

Bagaimana jika bahan-bahan untuk pengadaan energi terbarukan itu juga menghasilkan masalah pelanggaran HAM dan krisis lingkungan di tempat lain, di belahan bumi yang lain? Pertanyaan yang sama juga berlaku untuk pembongkaran  bahan bakar fosil dari dalam tanah, yang sejak lama diketahui berkontribusi terhadap masalah serupa.

Artinya, mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar terbarukan, memang mendesak dilakukan. Tapi yang lebih mendesak, bagaimana cara mengeksploitasi bahan energi  tersebut agar tidak membahayakan keselamatan warga sekitarnya. Keselamatan ini tak bisa diuangkan. Ia tak bisa diganti dengan program Corporate social responsibility. Tak bisa diganti dengan angka-angka dari keuntungan pengerukan minyak bumi, gas bumi dan batubara. Tak bisa diganti dengan program transparansi perusahaan dan pemerintah. Ia harus dihargai dan dijamin pemenuhannya oleh negara.

Oleh karenanya, jika kita berkehendak mengganti bahan bakar fosil dengan energi terbarukan atau energi yang emisi karbonnya lebih rendah, tanpa  hendak mengurangi gaya hidup kita yang boros energi, maka permintaan energi akan terus naik, dan kebutuhan lainnya akan mengikuti.

Jadi yang paling masuk akal dan bertanggung jawab adalah mengubah gaya hidup yang boros energi dan menurunkan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Apalagi energi terbarukan tak murah. "Kami menghabiskan satu juta euro untuk pembangkit pertama lima tahun lalu, dan menghabiskan 1,6 juta euro untuk dua pembangkit berikutnya. Umur  pembangkit di Diksmuide akan berakhir pada 2050. Setelah dua puluh tahun, kontrak penggunaan tanahnya akan habis. Dan kincir tersebut harus dibongkar".

"Jika sang petani bersedia memperpanjang sewa tanahnya, kami akan membangun pembangkit yang baru, di tempat yang sama. Sebab pasti, 20 tahun lagi, teknologi pembangkit listrik menggunakan angin ini akan jauh berkembang. Dan tak akan ekonomis lagi memperpanjang umur turbin yang sama".

Tapi, jika sang petani memutus kontrak, maka  bangunan setinggi 48 meter itu akan menjadi rongsokan yang harus diangkut dari tempat itu. Memang baja dari bangunan turbin angin masih bisa digunakan. Kabarnya, 90 persen lebih dari bahan solar sel, dan kincir angin bisa didaur kembali. Tapi tentu biayanya akan mahal, dan tak sedikit energi yang digunakan untuk tujuan itu.

Sayangnya lagi, semua teknologi di atas bukan milik petani, atau warga kebanyakan lainnya, juga pemerintah. Kincir angin dan solar panel itu, semua bahannya dibeli dari perusahaan multinasional asal  Jerman, Spanyol, Amerika Serikat dan  Denmark. Data lima tahun lalu menyebutkan, dua pertiga kebutuhan kincir angin dunia dipasok empat perusahaan elektronik di Eropa. Mereka adalah Vestas Wind Systems (Denmark), Enercon (Jerman), NEG Micon (Denmark) dan Gamesa (Spanyol).

“Itulah sebabnya Beauvent mengkampanyekan pengurangan penggunaan energi, bukan sekedar mengubah penggunaannya menjadi terbarukan," ujar Steven.

Kami sepakat dengannya. Kami bahkan mengusulkan penjatahan energi. Perusahaan yang tak ada hubungannya dengan produktivitas dan keselamatan warga harus dijatah penggunaan energinya. Perusahaan-perusahaan yang justru menghabiskan terlalu banyak sumber daya alam mesti segera ditinggalkan. Tambang emas, misalnya, yang rakus lahan, air dan energi, tapi sebagian besar hasil tambangnya berakhir menjadi perhiasan.

Apalagi masalah emisi karbon dan penggunaan energi global ternyata bukan masalah kekurangan energi, tetapi penggunaan energi yang tidak adil antar bangsa di dunia. Ada 20 persen orang yang tinggal di bumi dan luar biasa kaya mengkonsumsi 80 persen sumber energi yang tersedia.

Siapa yang 20 persen itu? Penduduk di negara-negara industri. "Salah satunya penduduk Belgia, yang jejak ekologinya menempati urutan ke empat di dunia menurut penelitian WWF terbaru. Jika kita hidup dengan cara kita sekarang, kita membutuhkan lebih dari satu bumi," ujar Steven. 

Rupanya, Steven dan teman-temannya sangat terinspirasi dengan buku the Transition Handbook, karya  Rob Hopkins.

Hopkinsmenyarankan kita segera memulai berpikir bagaimana tak menggantungkan nasib pada bahan bakar fosil. Caranya dengan melakukan perubahan yang menginspirasi dan memberikan dampak postif. Perubahan ini bisa memimpin lahirnya kembali komunitas lokal, yang hidup dari menanam pangannya sendiri, memenuhi sendiri kebutuhan energinya, dan membangun rumahnya menggunakan  bahan-bahan lokal, untuk membuat uang terus berputar di kawasan tersebut.

Itulah sebabnya, Beauvent dan para pemegang sahamnya tak mau mengumpulkan uang dalam jumlah besar, ataupun membuat seseorang menjadi lebih berkuasa di koperasi karena memiliki lebih banyak saham dibanding lainnya. Mereka tetap ingin menjaga agar koperasi ini bisa menjangkau petani di tingkat lokal.

Mereka percaya, pemenuhan energi tak boleh bergantung pada satu jenis sumber energi. Sejak 2005 hingga 2009 mereka mengenalkan kembali tanaman asli yang bisa diambil minyaknya, rapeseed.

Tanaman rapeseed setinggi jagung. Bunganya berkelopak empat dan berwarna kuning terang. Ia bilang, Jerman bahkan menggunakan minyak rapeseed sebagai bahan bakar sejak Perang Dunia Kedua.

Celakanya, tentara Jerman saat itu,  membawa hampir semua rapeseed di Belgia. Sehingga pelan-pelan tanaman mirip semak ini hilang dan tak bisa lagi dikenali. “Kami harus meyakinkan dan melatih kembali penduduk di sini untuk menanam  biji lokal mereka kembali. Tapi sekarang kondisi membaik dan banyak yang mulai bersedia menanam. Pada 2005, mereka baru menanam 3,5 ha, kini sudah mencapai 5,5 hektare.

Tapi kata Steven, rapeseed ditanam di sini bukan untuk menggantikan lahan tanaman pangan. Kami hanya tanam di sela-sela tanaman utama. Ia menjadi tanaman ke empat, dari tiga tanaman utama, jagung, kentang dan gandum.

Pada umur 11 bulan, rapeseed bisa dipanen. Setelah itu rapeseed harus kembali ditanam. Tiap satu hektare, bisa dipanen rapeseed yang bisa menghasilkan 1.400 liter minyak. Jika dijadikan bahan bakar, ini bisa digunakan untuk menempuh jarak sekitar 25 ribu kilometer.

Di sela-sela presentasinya, Steven menunjukkan kepada kami seperti apa bentuk rapeseed. Besarnya setengah biji lada, warnanya hitam. "Biji ini diperas dengan cara mekanik. Di rumah, kadang saya juga menggunakan minyak rapeseed untuk menggoreng telur, ujarnya tersenyum. Ia lantas membuka sebuah botol plastik, yang di dalamnya terdapat cairan warna kuning dan kental. Itu minyak rapeseed.

Ia memasukkan jari tangan ke dalam botol, mencolek minyak yang ada di dalamnya, dan memasukkan jarinya ke mulut. "Kandungan gliserinnya tinggi. Rasanya enak kok," katanya. Lantas menyodorkan botol plastik itu kepada kami. Bergiliran kami mencoba rasa minyak rapeseed. Rasanya seperti minyak, tapi memiliki aroma yang belum pernah saya kenal. Sedikit mirip minyak zaitun.

Tapi minyak itu belum bisa dipakai untuk bahan bakar kendaraan. "Jika mesin kendaraan belum disesuaikan, atau jika minyak harus diubah menjadi biofuel, mirip bensin biasanya. Ia harus diubah kekentalannya".

Tapi cara yang kedua membutuhkan teknologi dan harus dilakukan dalam skala besar. "Ini tak sesuai dengan misi Beauvent. Akhirnya kami memilih menyesuaikan mesin kendaraan. Itulah sebabnya, kami lebih suka menyebut minyak ini sebagai bahan bakar dari proses pertanian, atau  agrofuel, bukan biofuel. Kami menyediakan mekanik, yang bisa  menyetel mesin mobil. Kami juga menyediakan mesin untuk  memeras minyak dari biji," ujarnya.

Sayang belum banyak yang bersedia menggunakan bahan-bakar rapeseed. “Saat ini, baru 10 orang yang bersedia menggunakannya untuk bahan bakar. Kami membutuhkan sekitar 40 pengemudi lagi untuk membuat budidaya rapeseed jadi bernilai ekonomis”.

Ia menutup presentasinya dengan menunjukkan toples ketiga. "Ini limbah setelah minyak terpisah dari biji. Kita bisa menggunakannya untuk makanan ternak".

Kami menutup kunjungan ke Diksmuide dengan mengunjungi kincir angin Beauvent. Sayang, saat itu sedang tak ada angin, baling-balingnya tak berputar. Steven mengajak masuk ke dalamnya dan menjelaskan bagaimana cara bekerjanya.

Satu jam kemudian kami meningggalkan Diksmuide.

Dari jalan, kincir angin Beauvent terlihat tinggi menjulang, warnanya hijau. Tiap hari balingnya berputar, menghasilkan listrik, menerangi rumah warga. Ia memang menebar kebaikan.

Siti Maimunah dan Kahar Al Bahri  adalah aktivis JATAM, yang melakukan perjalanan ke Inggris dan Eropa untuk kampanye Deadly Coal Oktober 2010 lalu.
 


[1] Per Oktober 2010