Wawancara dengan Tejo Pramono, La Via Campesina, dan Elisha Kartini, SPI: “REDD hanyalah sebuah proyek yang digunakan negara industri untuk mencoba mempertahankan keuntungan ekonomi mereka”

Bagian keempat dari sepuluh wawancara dengan pelaku REDD oleh REDD Monitor yang diterjemahkan oleh DTE

Tulisan asli dalam Bahasa Inggris di situs web redd-monitor.org

Oleh Chris Lang, 27 Maret 2012

Wawancara dengan Tejo Pramono, La Via Campesina La Via Campesina dan Elisha Kartini, Serikat Petani Indonesia (SPI) Serikat Petani Indonesia di kantor SPI, Jakarta, Februari 2012.

REDD-Monitor: Tolong jelaskan apa itu Via Campesina dan Serikat Petani Indonesia dan bagaimana mereka bekerja. Apa saja tujuan dari kedua organisasi itu di Indonesia?

Tejo Pramono: Via Campesina adalah gerakan internasional para petani kecil tak bertanah dan masyarakat adat. Para anggotanya ada di banyak negara di negara-negara industri dan juga di negara-negara di Selatan. Kebanyakan adalah petani keluarga dan petani kecil. Anggota kami adalah organisasi-organisasi nasional. Hingga hari ini ada sekitar 150 organisasi nasional di 70 negara di seluruh dunia.

Pada tahun 2004, sekretariat internasional Via Campesina pindah dari Honduras ke Indonesia. Jadi kami sudah berada di Indonesia, dengan tuan rumah adalah Serikat Petani Indonesia, selama delapan tahun dan pada 2013 sekretariat itu akan pindah ke Mozambik.

Tujuan utama Via Campesina adalah membela hak-hak petani. Berbagai isu tercakup di dalamnya: tanah, air, benih, dan tentu saja, kedaulatan pangan. Kami memperjuangkan reforma agraria dan agroekologi.

Elisha Kartini: SPI adalah Serikat Petani Indonesia. Kami anggota Via Campesina. SPI dimulai pada tahun 1980an ketika sekelompok aktivis mengorganisasi para petani di Sumatera, tapi mereka kemudian mengetahui bahwa ada juga banyak kelompok kecil petani lainnya di seluruh Indonesia dengan masalah yang serupa tapi dengan jenis yang berbeda. Pada saat itu tidak mungkin untuk membentuk serikat petani di luar serikat yang dibentuk pemerintah. Setelah jatuhnya Suharto pada tahun 1998 dan masa reformasi, berbagai kelompok tersebut memutuskan untuk mengorganisasi diri mereka sendiri untuk membentuk serikat yang bersifat nasional, tetapi pada saat itu kami masih berupa federasi karena situasinya masih belum betul-betul stabil dan saat itu federasi adalah struktur yang lebih aman. Pada tahun 2007, kami memutuskan untuk menjadi suatu serikat sehingga kami memiliki struktur dari tingkat nasional hingga basis pedesaan. Sekarang sudah ada di 13 provinsi di Indonesia mulai dari Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara Barat dan Timur, dan kami masih dalam proses di Kalimantan. Keanggotaannya sekarang adalah perorangan atau keluarga. 

REDD-Monitor: Tolong jelaskan kerja Anda terkait REDD. Apakah Anda punya orang-orang yang khusus bekerja mengenai masalah REDD di Indonesia atau ini adalah isu yang bertumpang-tindih dengan kerja Anda yang lain?

Elisha Kartini: Isu REDD sangat baru bagi kami di sini. Isu ini dimulai pada tahun 2007, menurut saya, proyek ujicoba pertama REDD di Indonesia. Kami masih betul-betul tidak sadar apa yang sedang terjadi saat itu.

Tapi kami lihat bahwa ada kasus di mana orang-orang digusur dari tanah mereka. Proyek pertama adalah di Aceh dan kemudian di Jambi, di Sumatera Selatan. Pada awalnya, para petani hanya menyadari bahwa mereka digusur dari tanah mereka tanpa alasan jelas. Kemudian mereka diberitahu bahwa mereka merusak hutan. Lalu kami mulai mengetahui bahwa ini adalah bagian dari proyek yang lebih besar, sebuah proyek global, yang berkaitan dengan perubahan iklim.

Juga untuk para anggota kami di Manggarai di Nusa Tenggara Timur, mereka tidak bilang pada saat itu bahwa itu adalah bagian dari sebuah proyek REDD atau apapun itu, tapi mereka bilang bahwa perkebunan kopi mereka sedang melawan suatu (pengelola) kawasan taman nasional. Para petani menyaksikan bagaimana tanaman mereka tiba-tiba dihancurkan, rumah mereka dihancurkan dan mereka diberitahu bahwa mereka adalah pihak yang menyebabkan kerusakan hutan tersebut.

Di Jawa Tengah, saya tak tahu apakah itu bagian dari REDD, orang-orang datang ke sana dan menawarkan untuk menyediakan benih untuk pohon-pohon seperti kayu jati. Mereka bilang ke para petani, “Kamu tidak perlu bekerja di lahanmu lagi dan kamu akan mendapat uang dalam sepuluh tahun lagi”. Bagi para petani, itu agak aneh. Mereka bertanya, “Jadi apa yang akan kami lakukan untuk sepuluh tahun ke depan? Dari mana kami mendapat makanan?” Mereka punya banyak pertanyaan. Tidak mudah bagi para petani untuk memahami konsep seperti ini, di mana suatu negara atau sebuah industri di suatu tempat tidak ingin mengurangi penggunaan energi mereka sehingga mereka membeli karbon dari sebidang lahan untuk mengkompensasi emisi mereka.

Mereka mengerti bahwa hak-hak mereka atas tanah, air, udara, dan penghidupan sedang dilanggar melalui proyek seperti ini, tapi mereka tidak mendapat informasi sebelum hal ini terjadi.

Jadi pada awalnya isu ini hanyalah bertumpang-tindih dengan pekerjaan kami mengenai reforma agraria dan konflik tanah karena kebanyakan anggota SPI adalah para petani atau masyarakat adat yang memiliki konflik tanah. REDD sekarang menjadi bagian dari perjuangan dalam organisasi ini.

REDD-Monitor: Bagaimana posisi Via Campesina terhadap REDD dan mengapa Anda mengambil posisi seperti itu?

Tejo Pramono: Keterlibatan Via Campesina dengan perubahan iklim, dan khususnya UNFCCC, dimulai pada 2007 ketika COP berlangsung di Bali. Pada saat itu, Via Campesina sedang mulai menetapkan posisinya. Via Campesina menyatakan bahwa solusi terhadap perubahan iklim adalah memberikan lahan kepada para petani untuk menghasilkan pangan secara organik dan agroekologis, dan kemudian kita menghentikan impor pangan dari daratan lain.

Pada tahun 2008 di Poznan, kami membawa seorang petani dari proyek Harapan di provinsi Jambi dan kami memberikan kesaksian tentang apa yang sedang terjadi di sana sehingga orang-orang menyadari bagaimana proyek REDD merampas tanah para petani.

Sekali lagi, pada tahun 2009 di Kopenhagen, kami mendiskusikan REDD. Bagi para petani tidak mudah memahami apa itu UNFCCC dan bagaimana ia akan berdampak pada mereka. Mereka mulai mengerti efek rumah kaca. Lalu mereka menyadari bahwa penyebab utama emisi gas rumah kaca dan perubahan iklim berasal dari negara-negara industri, utamanya di Utara. Dan utamanya adalah korporasi, manufakturing dan transportasi, sehingga mereka memutuskan, ini bukanlah tanggung jawab kami untuk mengurangi emisi. Para pencemar harus mengurangi emisi di negerinya sendiri.

Itulah mengapa Via Campesina mengambil posisi “Tolak REDD”. Negara industri harus mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara lokal. Itulah titik tolak mengapa Via Campesina menyatakan kami tidak butuh REDD. Kami juga merenungkan pengalaman para mitra kami di Indonesia, solusi dari sektor pertanian terhadap kerusakan lingkungan, termasuk perubahan iklim, adalah agroekologi. Dan ketika kami mempraktikkan dan memperkuat gerakan kami terhadap agroekologi, itu bukan karena REDD. Tanpa REDD, para petani telah menjaga hutan melakukan praktik-praktik agroekologi selama bertahun-tahun ke belakang. Dan para petani akan terus melakukan pertanian agroekologi mereka, tanpa REDD. Jadi biarkan para pencemar mengubah model produksi mereka, mengurangi emisi mereka secara lokal. Kami sangat kecewa dengan hasil dari Kopenhagen dan kemudian dari Cancun di mana REDD betul-betul menjadi bagian dari keputusan di sana. Kami bilang dalam demonstrasi di Cancun, “REDD tidak, Cochabamba ya”.

REDD-Monitor: Bagaimana posisi Anda terhadap perdagangan karbon?

Tejo Pramono: Seperti yang sudah saya katakan, negara-negara industri perlu mengurangi emisi mereka. Jadi kami menolak mekanisme perdagangan karbon.

Saya telah berdiskusi dengan kawan-kawan dari Australia, mengapa Australia tidak mau mengurangi emisinya sendiri. Mereka secara blak-blakan bilang bahwa mengurangi secara lokal sangatlah mahal. Mereka tidak ingin mengambil risiko terhadap perekonomian mereka. Itu sebabnya mereka ingin mengkompensasi karbon di Indonesia.

REDD-Monitor: Ada hal lain, saya rasa. Di Indonesia, Presiden telah menyatakan akan ada pengurangan emisi 26% atau 41% dengan dukungan internasional. Beliau juga bilang bahwa kebanyakan dari pengurangan itu akan berasal dari hutan dan lahan gambut. Jadi jika kredit karbon diperdagangkan yang berarti pengurangan emisi tersebut tidak akan dihitung di Indonesia, maka pengurangan itu akan dihitung oleh negara manapun yang membeli kredit karbon tersebut.

Apakah Anda pikir REDD mungkin akan berhasil jika tidak menggunakan mekanisme perdagangan karbon?

Tejo Pramono: Maksud Anda bahwa para pencemar harus mengurangi emisi secara domestik dan ada semacam pengakuan emisi secara historis? Jika kita melihat masalah utama dengan hutan adalah deforestasi maka aktor-aktor utama deforestasi adalah perusahaan kayu dan perusahaan perkebunan dan tidak ada hubungannya dengan petani kecil dan masyarakat adat. Jika pemerintah memberikan hak kepada para petani untuk mengontrol, mengelola hutan mereka sendiri, kita tidak akan mengalami deforestasi. Jadi itulah solusinya.

Misalnya, sekarang orang-orang sangat sibuk mendiskusikan REDD. Mereka menghitung seberapa banyak karbon dapat disimpan dalam hutan. Tapi mereka tidak membicarakan hak-hak para petani di hutan. Sejarah telah menyatakan bahwa itu bukan tanggung jawab para petani, itu tanggung jawab korporasi, sehingga kita harus mengontrol korporasi dan memberikan hak-hak itu kepada para petani.

Rasanya jika saya harus menjawab pertanyaan Anda, solusinya hanyalah memberikan hak-hak kepada para petani. 

Elisha Kartini: Di Indonesia, apa yang dikatakan dan dilakukan pemerintah saling bertentangan. Sudah jutaan hektare lahan yang dipakai untuk proyek REDD di Indonesia, tapi pada saat yang sama pemerintah memberikan konsesi yang terus semakin besar untuk perkebunan. Jadi wilayah mana yang Anda pertimbangkan untuk mengurangi deforestasi? Dan kemudian mereka mengambil alih sebidang tanah yang dimiliki suatu masyarakat adat yang telah tinggal di sana selama berabad-abad. Mereka bekerja dan mereka hidup dari hutan, jadi bukan mereka yang yang menyebabkan deforestasi.

Di sisi lain pemerintah Indonesia memiliki target memperluas perkebunan kelapa sawit hingga 20 juta hektare pada tahun 2020 dan membuka wilayah pertambangan yang lebih besar. Jadi itulah kontradiksi dengan proyek REDD yang diimplementasikan di Indonesia.


INFO TERKINI – 30 April 2012: Proyek Hutan Hujan Harapan merespons komentar di bawah tentang Proyek Harapan. Responsnya diunggah secara penuh, di sini.


REDD-Monitor: Via Campesina dan SPI telah menyerang dengan informasi kritis tentang proyek Harapan di Sumatera, yang telah Anda singgung sedikit sebelumnya. Proyek itu sangat kontroversial, dan masih demikian. Para pendukung proyek berpendapat bahwa mereka melakukan hal yang benar, dan mereka berpendapat bahwa para petani berasal dari Jawa, mereka hanya datang baru-baru ini dan proyek tersebut harus melakukan sesuatu untuk mengontrol deforestasi. Satu argumen yang saya dengar adalah bahwa proyek tersebut sebenarnya tidak ingin memberi ganti rugi kepada para petani karena adanya risiko membludaknya para petani yang masuk dan menuntut ganti rugi. Bisakah Anda ceritakan lebih banyak lagi tentang pekerjaan Anda mengenai proyek Harapan tersebut.

Elisha Kartini: Proyek itu menciptakan konflik yang cukup tajam dengan masyarakat yang tinggal di perbatasan hutan itu.

Prosesnya di Jambi masih terus berlangsung. Para petani di wilayah itu masih berusaha mengambil kembali lahan itu. Tapi mereka tinggal di sepanjang perbatasan proyek Harapan dan berladang dan menanam pohon karet.

Sebenarnya, hanya beberapa minggu lalu, pihak perusahaan mengirim surat kepada kami, kepada organisasi anggota kami di Jambi. Dalam surat itu mereka bilang bahwa mereka ingin bernegosiasi, duduk bersama dan melihat apa yang terjadi, agar dapat melihat apa yang bisa kita lakukan mengenai hal ini.

REDD-Monitor: Apakah itu pertama kalinya mereka menghubungi SPI?

Elisha Kartini: Tidak.

REDD-Monitor: Tapi apakah itu pertama kalinya mereka bilang mari duduk bersama dan berbicara?

Elisha Kartini: Ya. Pada awalnya mereka ingin maju ke pengadilan. Saya rasa itu akan jadi proses yang sulit. Saya rasa mereka menyadarinya setelah beberapa waktu. Setelah mereka mengirimkan surat ini, pemimpinnya di Jambi datang ke Jakarta. Beliau bertemu dengan Kementerian Kehutanan dan menyebut para petani sebagai penebang liar. Mereka menjelaskan bahwa mereka bukan penebang liar, mereka dipindahkan ke sana melalui program transmigrasi dan bahwa mereka telah ada di sana selama 20 atau 30 tahun. Dan mereka tidak banyak menebang, masih banyak hutan yang tersisa. Karena para petani tidak punya kemampuan, kapasitas untuk menebang seluruh hutan, mereka hanya mengambil sebidang tanah yang kecil untuk bertani.

Karena para petani di Jambi masih berjuang, mereka tidak mau digusur dari lahan itu, kami tetap bersikeras dengan pandangan kami. Ketika mereka bilang bahwa para petani ini berasal dari Jawa, mereka ada di sana karena program transmigrasi yang berlangsung pada dekade 1980an dan 1990an. Melalui proses itu, mereka meninggalkan rumah mereka di Jawa dan harus memulai segala sesuatunya lagi di tempat itu, yang sebenarnya bukanlah hal yang mudah dilakukan. Ketika mereka ditempatkan di wilayah itu, itu adalah rawa, hutan, dan mereka harus bekerja selama bertahun-tahun untuk membuka lahan. Saat mereka baru mulai memperoleh keuntungan dari pekerjaan mereka, tiba-tiba sekelompok orang lainnya datang dan bilang pada mereka bahwa mereka tidak berasal dari daerah ini. Tentu saja para petani mempertanyakan ini. “Pemerintah menempatkan kami di sini”, mereka bilang. “Mengapa Anda sekarang bilang kami tidak punya hak untuk tinggal di sana.”

Dan khususnya untuk SPI, hal itu tidak masuk akal, karena ini adalah proyek konservasi. Aneh sekali bila mereka melindungi burung-burung, mereka melindungi hewan-hewan, tapi mereka betul-betul tidak peduli pada orang-orang yang tinggal di wilayah itu.

Jika Anda bicara tentang kompensasi, sejauh ini mereka tidak mendapat ganti rugi apapun. Juga dalam proyek REDD di daerah lain, mereka belum pernah menerima apapun. Jadi dengan menyatakan bahwa hal itu akan membuat membanjirnya petani yang masuk ke sana, saya rasa argumen seperti itu tidak bisa dipakai, pertama karena belum ada ganti rugi dan kedua karena situasi para petani di wilayah itu cukup memprihatinkan saat ini, tanaman mereka dibabat, rumah-rumah mereka dibuldoser. 

Proyek seperti ini tidak memberikan keuntungan apapun bagi para petani. Dalam perspektif mereka, lahan itu ditelantarkan. Mereka bilang, “Kenapa kamu menelantarkan lahan subur? Tanpa tujuan. Untuk siapa?” Khususnya dalam isu reforma agraria, menelantarkan lahan subur adalah seperti dosa bagi petani. Mereka bisa menggunakan lahan itu untuk memberi pangan untuk keluarga mereka, untuk desa. Tidak melakukannya, berarti kerugian bagi para petani.

REDD-Monitor: Satu dari argumen yang banyak Anda dengar dalam diskusi REDD (secara internasional dan di Indonesia) adalah bahwa selama kita memiliki tindakan pengaman (seperti hak atas persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan), maka REDD akan menjadi hal yang baik. Bagaimana pendapat Anda tentang itu?

Tejo Pramono: Saya akan bertanya, “Sudah pernahkah dilakukan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan? Bisakah Anda tunjukkan pada kami bahwa ada persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan?” Karena jika mereka benar-benar ingin melakukan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan maka mereka akan datang ke Jambi dan bicara tentang penghidupan dengan para petani dan masyarakat ada yang tinggal di sana. Mereka akan bertanya kepada mereka tentang apa yang ingin ditanam di lahan mereka, apa yang mereka bayangkan untuk masa depan mereka dan seterusnya.

Itu sangat berbeda dengan datang ke desa dan bilang pada mereka bahwa ada kemungkinan untuk menghasilkan uang dengan REDD. Jika kami hanya petani di hutan dan kami miskin dan kami dengar bahwa ada kemungkinan terkait uang, tentu saja kami akan setuju. Jadi itu bukanlah persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan.

REDD-Monitor: Indonesia adalah satu dari negara-negara utama dalam perdebatan REDD, sebagian karena Indonesia memiliki laju deforestasi yang tinggi, tapi juga karena Presiden Yudhoyono dalam beberapa kesempatan telah berbicara tentang pentingnya menyelamatkan hutan Indonesia. Sementara itu, tingkat deforestasi masih sangat tinggi, masih ada eksplorasi untuk minyak (Chevron sedang mengongkosi sebuah proyek minyak di lepas pantai Kalimantan Timur sebesar USD6 milyar antara 2008 dan 2015), dan penambangan emas, tembaga, batu bara terus berlangsung, sementara perkebunan kelapa sawit dan kayu pulp tetap meluas. Dengan skenario seperti itu, apakah Anda optimis atau pesimis terhadap REDD di Indonesia?

Elisha Kartini: Ini pertanyaan yang sulit! Saya tidak akan bilang apakah saya optimis atau pesimis terhadap REDD, tapi seperti yang saya katakan sebelumnya cara pemerintah melakukan langkah-langkahnya sangat bertentangan. Mereka betul-betul punya target besar untuk mengurangi emisi tapi tanpa upaya nyata untuk melakukannya dan melalui proyek REDD itu bukan emisi Indonesia yang dihitung, seperti yang Anda katakan. Dan kemudian mereka bilang, “Mari kita lindungi hutan kita,” tapi mereka masih memperluas pertambangan, perkebunan, semuanya.

Jadi saya merasa sepertinya pemerintah hanya sedang berbasa-basi. Mereka hanya mengincar uang. Mereka membuat Dana Perwalian Perubahan Iklim Indonesia di luar anggaran negara secara nasional sehingga DPR tidak dapat memonitor Dana Perwalian itu.

Bahkan tak satu pun proyek yang betul-betul menolong masyarakat, petani, nelayan atau masyarakat adat untuk betul-betul mengatasi perubahan iklim. Misalnya, dalam sektor pertanian, pemerintah berjanji untuk memberikan asuransi bagi kegagalan panen akibat iklim yang ekstrem. Tapi ketika para petani pergi ke kantor pertanian di kabupaten, mereka bilang bahwa kantor itu tidak tahu apapun tentang itu. Sementara itu di tingkat nasional mereka bilang bahwa mereka telah mendistribusikan sejumlah uang ke masing-masing provinsi untuk asuransi. Sangat sulit sekali untuk mengakses uang dan itu sangat birokratis.

Jadi saya pikir, berbicara tentang dana REDD atau perdagangan karbon di Indonesia, itu tidak akan menolong masyarakat dari perubahan iklim. REDD hanya sebuah proyek yang digunakan negara industri untuk mencoba mempertahankan keuntungan ekonomi mereka dan untuk menghindari mengambil tanggung jawab apapun untuk emisi gas rumah kaca mereka.

REDD-Monitor: Baru-baru ini Uni Eropa dan Indonesia menandatangani sebuah perjanjian tentang illegal logging dan FLEGT (Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Hutan). Dibutuhkan beberapa tahun untuk menegosiasikan perjanjian ini, tentang sesuatu yang ilegal, sementara terkait REDD apa yang mereka katakan adalah bahwa semua yang harus kita lakukan adalah mendapatkan harga tentang hak karbon hutan dan semuanya akan berubah. Apakah Via Campesina punya posisi terhadap illegal logging?

Elisha Kartini: Para petani seringkali dituduh melakukan penebangan liar atau pembakaran hutan sehingga ada diskusi seperti itu. Tapi kami belum punya posisi terhadap pembalakan liar. Para petani selalu bilang jika Anda membandingkan kapasitas kami untuk menebang hutan dengan pertambangan atau dengan perkebunan, itu tidak sama. Mereka mengambil kayu untuk memasak, atau memotong pohon hanya untuk keperluan sehari-hari. Jadi bagi kami, jika Anda menuduh para petani melakukan pembalakan liar, mengapa Anda tidak lakukan sesuatu tentang pembalakan liar sesungguhnya – industri pulp dan kertas atau industri minyak sawit yang menebang wilayah hutan yang sangat luas. Beberapa perusahaan perkebunan beroperasi bahkan sebelum mereka memiliki konsesi yang legal. Ada beberapa langkah untuk memperoleh konsesi legal tapi begitu mereka memperoleh satu persetujuan dari kabupaten, lalu mulai beroperasi meskipun belum sepenuhnya legal. Dan tak seorang pun melakukan sesuatu terhadap mereka.

Tejo Pramono: Izin selalu diberikan kepada korporasi, perusahaan kayu, tidak ada izin untuk petani kecil. Dari apa yang saya lihat adalah bahwa pemerintah sebenarnya tidak punya konsep tentang hutan masyarakat. Apa yang mereka miliki adalah hutan industri. Itulah masalah utamanya. Itulah sebabnya mereka menuduh para petani melakukan illegal logging.

REDD-Monitor: Bagaimana pandangan Anda tentang kesepakatan USD1 milyar antara Norwegia dan Indonesia, khususnya tentang moratorium dua tahun tersebut?

Tejo Pramono: Apa yang terjadi sekarang adalah bahwa kami dulu melakukan moratorium tersebut karena perjanjian dengan Norwegia. Mengapa pemerintah tidak melakukan moratorium saja, tapi bukan karena Norwegia? Itu akan berarti bahwa pemerintah memikirkan tentang para petani. Pemerintah harus menyadari bahwa penguasaan tanah oleh para petani hanya 0,3 hektare secara rata-rata. Mereka harus melihat itu. Dan mereka harus memikirkan bagaimana memberikan akses kepada para petani. Meskipun kita membuka hutan, itu bukan jatuh ke para petani, itu untuk korporasi.

Saya berpendapat bahwa Norwegia harus menyelesaikan masalah-masalah mereka sendiri secara domestik. Dan Indonesia harus menyelesaikan masalah-masalah mereka secara domestik.

REDD-Monitor: Ketika Anda bilang bahwa Norwegia harus menyelesaikan masalah-masalahnya, apa maksud Anda?

Tejo Pramono: Mereka mendapat keuntungan dari minyak dan mereka harus mengurangi konsumsi mereka. Itu logikanya. Mereka tidak bisa memproduksi sebanyak mungkin minyak yang mereka mau. Ini adalah perjanjian antar pemerintah. Itu masalahnya. Indonesia mempunyai masalah deforestasi dan Norwegia mempunyai masalah tingkat emisi. Tapi mereka tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya.

REDD-Monitor: Bagaimana pendapat Anda tentang diskusi REDD di tingkat UNFCCC? Dan apa reaksi Anda terhadap apa yang dihasilkan dari negosiasi Cancun dan Durban mengenai REDD?

Tejo Pramono: Kami sangat sedih dengan keputusan di Cancun. Itu bukan solusi terhadap perubahan iklim.

Elisha Kartini: Benar-benar sulit berbicara tentang hasil-hasil PBB karena kadang-kadang kita betul-betul tidak tahu apa yang dapat kita lakukan untuk mengubah hasil-hasil tersebut. Kami sedang memusatkan perhatian lebih banyak pada isu-isu yang kita hadapi setiap hari ketimbang memusatkan perhatian pada negosiasi PBB.

Tapi perdagangan karbon dari pertanian menciptakan masalah yang lebih rumit bagi kami karena sekarang di satu sisi kita akan menghadapi proyek REDD ini, tetapi kemudian kita akan punya mega proyek pertanian yang dinyatakan lebih ramah emisi. Lalu mereka bilang bahwa petani kecil adalah pihak yang menciptakan lebih banyak emisi dan mereka menghabiskan begitu banyak air dan sangat tidak efisien. Ada dua sisi dari masalah yang lebih besar: REDD dan sekarang perdagangan karbon dari pertanian. Sekarang kami punya lebih banyak musuh dalam pengertian itu.


Wawancara ini adalah yang keempat dari serangkaian wawancara dengan aktor-aktor kunci REDD di Indonesia. REDD-Monitor berterimakasih pada ICCO yang mendanai proyek ini.