Janji-janji Indonesia mengenai iklim dan kebijakannya yang tak jelas

Down to Earth No.83, Desember 2009

Oleh Chris Lang.1

Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono senang mengumbar janji. Terutama di pertemuan-pertemuan internasional. Pada Konferensi Tingkat Tinggi G-8 di Jepang tahun lalu, SBY berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon dari deforestasi sebesar 50 persen pada akhir tahun ini, 74 persen pada tahun 2012 dan 95 persen pada tahun 2025.2

Tahun ini, dalam KTT G-20 di AS, dia berkata "Saya percaya bahwa jauh lebih baik bagi kita semua kalau kita memiliki target kita sendiri, jadwal dan rencana aksi yand dapat kita perbarui dan tingkatkan secara terus-menerus." SBY memperbarui target-targetnya dalam pengurangan deforestasi, tetapi jelas dia tidak meningkatkannya. Nyatanya, dia tidak menyebutkan target khusus tentang pengurangan emisi dari deforestasi (kalau ini disebutkan, maka bisa jadi Indonesia mau tidak mau harus mengakui kegagalannya dalam memenuhi target yang menjadi komitmen SBY tahun lalu di Jepang). Alih-alih, SBY berjanji bahwa "Kami akan mengubah status hutan kami dari net emitter (penghasil karbon) menjadi net sink (penyimpan karbon) pada tahun 2030."3 Ini tak lebih dari sekadar janji (tak akan ada yang dapat meminta pertanggungjawaban SBY) bahwa dalam tempo 21 tahun (ketika itu sangat kecil kemungkinannya bahwa SBY masih menjabat sebagai presiden) jumlah karbon yang diserap oleh hutan di Indonesia akan lebih besar daripada yang dikeluarkan.

Selama 14 bulan di antara ke dua pertemuan itu, lahan seluas sekitar dua juta hektar dalam hutan Indonesia telah lenyap. Dalam negosiasi iklim PBB di Poznan, Arief Wicaksono, Greenpeace Southeast Asia Political Advisor, berkata "Enam bulan setelah dia menyampaikan komitmennya di Hokkaido, kami melihat tak banyak yang dilakukan untuk mengatasi deforestasi di Indonesia yang merajalela. Kami mendesak Presiden Yudhoyono untuk segera menerapkan moratorium atas semua konversi hutan, termasuk perluasan perkebunan kelapa sawit, penebangan untuk industri, dan kegiatan lain yang memicu deforestasi."4 Sayangnya, pemerintah Indonesia tampaknya malah melakukan yang sebaliknya.

Dalam suatu kajian baru-baru ini, Dewan Perubahan Iklim Nasional menyatakan bahwa emisi karbon Indonesia dapat dikurangi sebanyak lebih dari 40 persen selama 20 tahun mendatang dengan tidak menerapkan prinsip 'Beraktivitas seperti Biasa' (Business as Usual) (lihat artikel lain). Sekitar 84 persen emisi gas rumah kaca Indonesia berasal dari deforestasi dan degradasi lahan gambut. Dewan Perubahan Iklim Nasional memperkirakan bahwa pengurangan emisi sebesar 40 pesen akan menelan biaya sekitar US$32 miliar.

Agus Purnomo, Sekretaris Eksekutif Dewan Perubahan Iklim Nasional, menyatakan bahwa "dengan berlalunya waktu, lima tahun, tujuh tahun, mungkin 10 tahun, kami akan memiliki semua elemen REDD, kemudian kami dapat menawarkan proyek REDD yang bermutu tinggi untuk dibayar oleh pasar karbon." Sebelum mekanisme REDD berjalan, hutan di Indonesia akan terus ditebangi: "Kami tidak mengindikasikan bahwa Indonesia perlu berhenti bernapas atau berhenti menebangi hutan, tidak," kata Purnomo kepada Voice of America bulan September 2009.5

Awal tahun ini, pemerintah diam-diam menarik larangan penggunaan lahan gambut bagi perkebunan kelapa sawit6 dan mengizinkan perusahaan bubur kayu untuk menebang hutan asli. Hingga 2 juta hektar lahan gambut dapat dikonversi menjadi perkebunan sawit. Bahkan jika lahan itu tidak dibuka dengan cara membakarnya, pengeringan lahan gambut (yang diperlukan untuk menanam kelapa sawit) mengeluarkan sejumlah besar karbon dioksida karena ketika terpapar ke udara gambutakan teriosidasi dan terurai.7
 

Perluasan besar-besaran

Pemerintah mengharapkan adanya perluasan besar-besaran dalam industri minyak sawit dan kertas serta bubur kertas, dengan adanya rencana penambahan 20 juta hektar perkebunan sawit dan 10 juta hektar perkebunan baru untuk tanaman penghasil bubur kayu. Alih fungsi hutan menjadi perkebunan tanaman industri pun tak akan terhindarkan.

Laporan baru-baru ini oleh Environmental Investigation Agency dan Telapak di provinsi Papua dan Papua Barat menggambarkan bagaimana lima juta hektar tanah yang sebagian besar berupa lahan hutan terancam oleh perkebunan kelapa sawit dan tanaman bahan bakar nabati (biofuels) lainnya. "Perusahaan menipu warga Papua sehingga mereka menyerahkan tanah mereka untuk perkebunan kelapa sawit atas dasar janji-janji kosong mengenai kesejahteraan mereka di masa mendatang," kata Hapsoro dari Telapak.8 "Ini semua terjadi dengan dukungan pemerintah atas nama pembangunan." Jago Wadley dari EIA menambahkan "ini adalah kebijakan yang tak jelas dari tataran tertinggi"

Pemerintah juga tengah mempertimbangkan rencana untuk mengizinkan perusahaan pertambangan beroperasi di daerah-daerah yang dilindungi. "Kami tengah mengkaji pasal-pasal yang melarang kegiatan pertambangan di hutan konservasi, "kata Daruri, Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Kementerian Kehutanan, pada bulan November 2009.9

Sementara itu, pembalakan liar berlanjut. Korupsi dalam sektor kehutanan belum ditangani. Laporan baru-baru ini oleh Human Rights Watch Asia10 memperkirakan bahwa pemerintah mengalami kerugian US$2 miliar setiap tahunnya karena korupsi, pembalakan liar dan manajemen yang buruk. Joe Saunders dari Human Rights Watch berujar, "Sebelum kurangnya pengawasan dan konflik kepentingan ditangani dengan serius, pengucuran lebih banyak uang hasil perdagangan karbon ke sistem yang bocor tampaknya bakal membuat masalah menjadi semakin buruk, bukan membaik."11

Pemerintah pusat telah mengingatkan pemerintah daerah untuk berhati-hati terhadap makelar karbon palsu yang menawarkan janji uang dari REDD. Pejabat Kementerian Kehutanan Wandojo Siswanto mengatakan kepada The Jakarta Post bahwa "Bupati dan walikota di Kalimantan dan Sumatra telah ditawari janji-janji semacam itu. Makelar yang mengklaim sebagai pengembang karbon melakukan kampanye intensif untuk meyakinkan para bupati agar menandatangani Nota Kesepahaman. Tetapi saat ini tak ada satu sen pun yang diterima pemerintah setempat."12

Banyak pemda yang masih juga belum mengetahui mengenai REDD. "Hingga saat ini belum ada institusi yang menangani REDD di tingkat provinsi dan kabupaten, sehingga sulit untuk menyebarluaskan isu ini," Onrizal, ahli kehutanan dari Sumatra Utara, mengatakan kepada The Jakarta Post.13 Yang lebih parah, masyarakat setempat sama sekali tak tahu menahu mengenai hal itu. "Kami tak dapat memutuskan apakah kami akan menerima atau tidak karena kami tak mempunyai informasi barang sedikit pun," Jajang Kurniawan, petani asal Jawa Barat, mengatakan kepada pembuat film LifeMosaic.14 "Nama program itu sangat asing bagi kami. Apa itu REDD? Hewan apakah itu, kami betul-betul tidak tahu."

"Indonesia belum menunjukkan kemampuan untuk mencegah deforestasi," kata Timothy H Brown, spesialis manajemen sumber daya alam senior Bank Dunia di Jakarta, tanpa basa-basi kepada Jakarta Globe bulan Desember 2009.15 Tetapi klaim bahwa REDD akan menghentikan deforestasi merupakan omong kosong selama pemerintah masih mendorong perluasan industri yang menyebabkan deforestasi.
 

Catatan:

1 Chris Lang menggunakan situs web pelacakan REDD REDD-Monitor. Lihat www.redd-monitor.org
2 bit.ly/7MoEGU,http://bit.ly/6HI2ha
3 bit.ly/6FZOOO
4 bit.ly/7MoEGU
5 bit.ly/5KLspT
6 bit.ly/kmL0b
7 bit.ly/910WT4
8 www.eia-international.org/cgi/news/news.cgi?t=template&a=566&source
9 bit.ly/7qpw47
10 bit.ly/81VSP0
11 bit.ly/8kwaD9
12 bit.ly/5uko2u
13 bit.ly/8a1noK
14 bit.ly/8qKg5X
15 bit.ly/62onE8