Wawancara dengan Bernadinus Steni, HuMa: “REDD seharusnya adalah suatu cara guna mendukung dan memperkuat penguasaan tanah oleh masyarakat lokal dan masyarakat adat yang mengelola hutan secara berkelanjutan”

Bagian kedelapan dari sepuluh wawancara dengan pelaku REDD oleh REDD Monitor yang diterjemahkan oleh DTE

Tulisan asli dalam Bahasa Inggris di situs web redd-monitor.org

Oleh Chris Lang, 17 April 2012

Wawancara dengan Bernadinus Steni, HuMa (Perkumpulan untuk Permbaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis), Jakarta, April 2012.

REDD-Monitor: Tolong mulai dengan sedikit latar belakang tentang HuMa dan peran yang dimainkan organisasi ini di Indonesia.

Bernadinus Steni: HuMa adalah sebuah organisasi berbasis hukum yang bekerja dalam isu-isu hak-hak asasi manusia dan sumber daya alam. Kami dibentuk pada tahun 2001 dan sejak saat itu memfokuskan pekerjaan kami untuk mendemokratisasikan proses pembentukan hukum di Indonesia. Secara khusus kami bekerja dengan dan untuk masyarakat adat dan masyarakat lokal yang memiliki akses dan kendali langsung terhadap sumber daya alam.

Kami mulai bekerja dalam isu perubahan iklim pada tahun 2007, sejak pertemuan UNFCCC di Bali. Pekerjaan kami memiliki kaitan dengan perubahan iklim karena kami bekerja dalam isu hutan. Di Indonesia, sekitar 60 sampai 80 juta orang tinggal di dalam atau dekat hutan dan bergantung pada hutan untuk mata pencaharian mereka.

Kami pikir pada saat pertemuan Bali bahwa kami harus mengikuti substansi dan proses tersebut secara kritis, khususnya dalam konteks legal dan proses pembuatan kebijakan.

Kami juga harus mengeluarkan sebuah posisi organisasi yang berbasis pada kepedulian-kepedulian para anggota HuMa. HuMa adalah organisasi yang berbasis anggota, dan anggota-anggota kami memiliki kepedulian pada perubahan iklim, khususnya mengenai REDD. Kami berupaya mempengaruhi kebijakan-kebijakan berdasarkan pada pandangan kami. Kami memulai dengan mempromosikan sebuah pendekatan berbasis hak, dengan tujuan agar standar-standar hak-hak asasi manusia tercermin dalam seluruh kebijakan pemerintah.

Jika hak-hak asasi manusia tidak tercermin di dalam kebijakan-kebijakan tersebut, maka kami harus melawannya. Terdapat beberapa mekanisme legal yang dapat kami gunakan untuk menantang kebijakan-kebijakan tersebut, seperti Mahkamah Konstitusi atau bahkan pengadilan negeri.

REDD-Monitor: Berapa banyak orang di HuMa yang secara khusus bekerja dalam isu REDD?

Bernadinus Steni: Hanya dua. Tapi izinkan saya jelaskan terlebih dahulu. Pendekatan HuMa terhadap REDD tidak sebagai hal yang sering dipromosikan dengan pasar karbon atau sebagai mekanisme pengimbang (offset). HuMa meyakini bahwa REDD seharusnya adalah suatu cara guna mendukung dan memperkuat penguasaan tanah dari masyarakat lokal dan masyarakat adat yang mengelola hutan secara berkelanjutan sebagai hutan masyarakat. Mereka harus menjadi bagian dari definisi dari proses ini. Alih-alih mencerminkan agenda global, REDD seharusnya datang dari lapangan, dari masyarakat, dan mencerminkan situasi nyata di tingkat masyarakat. Masyarakat hutan harus menjadi pusat dari proses ini. Itulah keyakinan HuMa.

REDD-Monitor: Berapa banyak secara keseluruhan orang yang bekerja di HuMa?

Bernadinus Steni: Total ada 16 orang.

REDD-Monitor: Bagaimana posisi Anda terhadap REDD?

Bernadinus Steni: Saya harus membacakannya. Ini adalah posisi para anggota HuMa sebagai sebuah asosiasi: Kami meyakini bahwa HuMa harus menangani isu perubahan iklim tidak dengan cara teknokratik, tapi dengan mengadopsi filosofi dari Gaia, yang menganggap Bumi sebagai suatu makhluk hidup, bahkan sebagai Ibu, misalnya dalam pandangan orang-orang Amungme di Papua. Eksploitasi secara brutal dan masif terhadap Bumi belum pernah dan tidak akan pernah selaras dengan filosofi Gaia. HuMa meyakini bahwa Bumi dapat diselamatkan jika proses menjadikan perubahan iklim sebagai komoditas yang disetir oleh pola konsumsi emisi-tinggi di negara-negara maju dan peniruan total yang dilakukan negara-negara berkembang dihentikan sepenuhnya, lalu diikuti oleh sebuah pembalikan arah krisis, di antaranya dengan membuat praktik-praktik nyata dari masyarakat lokal dan masyarakat adat, juga pelaku-pelaku lain yang mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan dan berkeadilan, sebagai pelindung dan pengelola fasilitas publik. Praktik-praktik tersebut harus dilembagakan dalam perundang-undangan baru Indonesia di mana kendali penguasaan tanah oleh masyarakat lokal dan masyarakat adat terhadap sumber daya alam dan wilayah mereka, juga hak-hak dari para promotor dan pelaku keadilan lingkungan hidup yang disebutkan di atas dibentengi secara kuat. HuMa mendorong masyarakat lokal, yang didukung oleh gerakan kritis dari para fasilitator hukum masyarakat untuk mengambil peran dalam mempromosikan sebuah model kendali sumber daya alam berkelanjutan sebagai sebuah solusi terhadap masalah emisi yang menyebabkan perubahan iklim.

REDD-Monitor: Apakah Anda ingin menambahkan tentang bagaimana HuMa bekerja untuk mempromosikan posisi ini di Indonesia?

 Bernadinus Steni: Pertama-tama kami memulai dengan pelatihan hukum kritis mengenai perubahan iklim khususnya dengan memperhatikan hukum internasional itu sendiri. Sulit menghubungkan tujuan-tujuan utama  dari perubahan iklim jika hukum nasional kami masih seperti bisnis seperti biasa, dengan melakukan proses pembangunan dalam paradigma sebelumnya. Dari awal kami harus melihat hukum-hukum ini dan perlu perubahan.  

Kami melihat beberapa ruang dalam perdebatan REDD saat ini, ada beberapa proses yang dapat dipergunakan untuk mengubah kebijakan, khususnya yang terkait dengan deforestasi dan degradasi. Jadi kami tidak melihat REDD semata-mata sebagai sesuatu yang dimonopoli oleh negara-negara maju. Kami juga melihat bahwa beberapa istilah, khususnya deforestasi dan degradasi, dapat digunakan untuk menantang hukum nasional yang berlaku yang harus selaras dengan kebutuhan-kebutuhan yang nyata untuk menghentikan deforestasi dan degradasi hutan. Perubahan semacam itu diperlukan di Indonesia dengan laju deforestasinya yang tinggi dan konflik-konflik yang sering terjadi dengan masyarakat yang tinggal di dalam maupun di sekitar hutan.

Kami setuju dan mempromosikan konsep moratorium. HuMa adalah salah satu organisasi yang terlibat dalam merancang Platform Bersama bagi masyarakat sipil untuk menentukan tuntutan-tuntutan kinerja kunci terhadap moratorium. Seharusnya itu tidak hanya untuk dua tahun. Kita perlu moratorium lebih lama.

REDD-Monitor: Bagaimana posisi HuMa dalam perdagangan karbon?

Bernadinus Steni: Pandangan HuMa adalah bahwa setiap skema yang terkait dengan REDD+ harus menghormati hak-hak asasi manusia dan didasari oleh persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan dari masyarakat yang terkena dampak. Jika skema perdagangan karbon ditolak oleh masyarakat, hal itu tidak boleh dipaksakan. Secara umum kami harus kritis mengenai skema apapun yang datang dari luar dan memiliki potensi untuk berpengaruh buruk terhadap masyarakat lokal dan masyarakat adat, termasuk perdagangan karbon. Akankah skema itu memberdayakan atau melemahkan mereka? Akankah skema itu memperkuat atau menggerogoti hak-hak mereka atas sumber daya alam, dalam hal ini, hutan yang menjadi tempat bergantungnya mata pencarian mereka?

Secara prinsip, kami meyakini bahwa hutan Indonesia harus dikelola dengan cara yang baik untuk kesejahteraan masyarakat, sebagaimana yang diabadikan dalam Undang-Undang Dasar. Bagi HuMa, kami menganggap bukan suatu solusi yang baik untuk memaksakan masyarakat yang masih hidup dengan gaya hidup tradisional mereka menjadi satu agenda global tunggal yang menciptakan pasar-pasar karbon. Kami sangat meyakini bahwa mereka memiliki pilihan-pilihan yang lebih baik untuk mengelola hutan secara berkelanjutan tanpa gangguan dari uang tunai, tidak hanya dari pasar karbon tapi juga dari agenda melakukan komersialisasi REDD sehingga mereduksinya semata-mata menjadi “skema uang gampang”. Mereka dapat mempertahankan cara hidup mereka selama mereka menginginkannya. Kita seharusnya tidak memaksa mereka untuk mengikuti kebutuhan-kebutuhan orang luar.

REDD-Monitor: Apa pandangan HuMa mengenai kesepakatan REDD sebesar USD1 milyar antara Indonesia-Norwegia?

Bernadinus Steni: Kami menghargainya di satu sisi karena kesepakatan itu menggulirkan sebuah proses nasional. Tapi dalam beberapa hal kami melihat itu sebagai bagian dari kewajiban negara-negara maju. USD1 milyar USD  tidaklah cukup. Negara-negara Utara harus membayar lebih banyak sebagai bagian dari hutang ekologis mereka.

HuMa mengambil peran mempromosikan sistem pengaman berbasis hak. Kami meyakini bahwa proses ini dapat menjadi bagian mempercepat reformasi kebijakan di Indonesia, bukan untuk mencapai perdagangan karbon tapi untuk mendukung proses nasional dalam mereformasi kebijakan-kebijakan hutan, menghentikan deforestasi dan degradasi hutan dan mendukung serta memperkuat hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal.

REDD-Monitor: Tahun lalu Anda menulis sebuah artikel di the Jakarta Post berjudul “For Indonesia’s forests, a broken promise”(Ingkar janji untuk hutan Indonesia) dan Anda sangat kritis terhadap moratorium berdasarkan kesepakatan REDD Indonesia-Norwegia itu. Apakah menurut Anda banyak hal sudah membaik sejak saat itu atau apakah opini Anda sama dengan tahun lalu?

Bernadinus Steni: Ini pertanyaan yang sulit! Menurut saya masih sama.

REDD-Monitor: Khususnya dengan apa yang sedang terjadi di Aceh saat ini.

Bernadinus Steni: Ya. Hal ini di antaranya isu-isu yang saya angkat tahun lalu dan saya pikir ini merupakan bukti bahwa apa yang kami khawatirkan telah terjadi. Tanpa komitmen yang kuat dan penegakan hukum yang kuat, kasus-kasus seperti kasus di Aceh itu akan terjadi di lapangan. Menurut saya ini tidak hanya di Aceh. Kami tengah berencana dengan kawan-kawan dari jaringan untuk melaporkan pelanggaran-pelanggaran terhadap moratorium di lapangan. Kami akan menerbitkan hal ini pada bulan Mei agar bertepatan dengan satu tahun moratorium. Berdasarkan pelanggaran-pelanggaran yang sedang terjadi di lapangan kami akan membuat usulan-usulan konkret tentang bagaimana moratorium tersebut dapat dicapai.

REDD-Monitor: Apakah HuMa terlibat dalam diskusi-diskusi mengenai illegal logging sebelum Kesepakatan Kemitraan Sukarela Uni Eropa-Indonesia ditandatangani tahun lalu?

Bernadinus Steni: Kami adalah bagian dari gerakan kritis menentang istilah itu. Pada tahun 2004, kami tidak melihat istilah “illegal logging” sebagai sebuah istilah yang baik untuk menggambarkan operasi-operasi di lapangan dari perusahaan-perusahaan besar. Kami meyakini bahwa seharusnya digunakan istilah lain untuk menghindari pemakaian “illegal logging” untuk menghakimi masyarakat hutan dan petani kecil. Target seharusnya adalah perusahaan-perusahaan besar yang membayar mereka untuk menebang pohon-pohon. Tapi mereka yang mempunyai uang berlimpah untuk membiayai operasi-operasi mereka belum diproses di depan pengadilan.

Kami mempromosikan istilah “penebangan merusak” untuk menggantikan “illegal logging”. Istilah “illegal logging” atau penebangan liar berisiko melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat hutan karena mereka tidak memiliki izin dan sering tidak mendapat pengakuan hukum. Mereka secara otomatis didefinisikan sebagai liar. Banyak di antara mereka menebang pohon sekedar untuk kebutuhan rumah tangga kecil atau kehidupan mereka yang subsisten. Kami memiliki banyak contoh dari orang-orang yang ditangkap  karena istilah ini, “penebangan liar”. Dan karena itu kami mengkritik sebuah peraturan yang khusus mengenai “penebangan liar”. Kami tidak setuju dengan itu. Kami pikir bahwa “penebangan merusak” bukanlah masalah akibat kurangnya peraturan. Indonesia memiliki ratusan UU dan kebijakan untuk melindungi alamnya tapi penegakan hukumnya sangat lemah. Jadi menurut pandangan kami, masalahnya berakar pada penegakan hukum.

REDD-Monitor: Dan apakah menurut Anda ada pelajaran yang dapat dipetik dari pembahasan mengenai illegal logging untuk debat mengenai REDD saat ini?

Bernadinus Steni: Kami pikir demikian. Pelajaran utamanya adalah untuk menginvestigasi rekam jejak dari perusahaan-perusahaan besar dan operasi-operasi masif mereka yang menghancurkan hutan. Mereka seharusnya tidak dibayar karena rekam jejak mereka yang buruk. Para pelaku yang mempunyai sejarah merusak hutan seharusnya tidak menjadi bagian dari pengembangan REDD. Mereka harus bertanggung jawab atas operasi-operasi mereka terdahulu. Kalau tidak, semua pelaku utama deforestasi dan degradasi hutan akan menjadi bagian dari REDD.

REDD-Monitor: HuMa telah melakukan banyak kerja mengenai sistem pengaman dan REDD. Tolong jelaskan bagaimana posisi HuMa mengenai sistem pengaman.

Bernadinus Steni: Kami mempromosikan sistem pengaman yang berbasis hak. Mengapa? Karena itu satu-satunya cara dalam rezim REDD di mana kita memiliki sebuah pegangan untuk mengangkat isu-isu kami: hak asasi manusia dan hak atas lingkungan hidup. Di mana Anda dapat mempromosikan isu-isu ini jika tidak di sistem pengaman?

REDD-Monitor: Apakah HuMa terlibat dalam kelompok kerja dari Satuan Tugas REDD+?

Bernadinus Steni: Sebelumnya, ya. Pada tahun 2011 kami diundang untuk memberikan komentar mengenai hal ini. Sekarang kami secara resmi dan tak resmi terlibat dalam kelompok kerja karena kami adalah sebuah organisasi yang bekerja dalam isu-isu hukum dan jika kami ingin mengubah kebijakan kami harus terlibat dalam proses semacam ini.

Tapi kami datang dengan perspektif yang kritis. Kami tidak terlibat dalam semua diskusi REDD. Kami melihat beberapa bagian yang sejalan dengan visi organisasi kami – seperti sistem pengaman, misalnya. Konsep suatu moratorium adalah satu hal lainnya, walaupun beberapa orang mengatakan bahwa ide suatu moratorium tidak benar-benar berkaitan dengan REDD, Ornop-ornop Indonesia telah menuntut adanya moratorium selama bertahun-tahun. Kami memilih memantau kedua isu ini dalam diskusi-diskusi saat ini.

REDD-Monitor: Dan apakah HuMa terlibat dalam diskusi apapun untuk Strategi Nasional REDD+, yang saya pahami saat ini sudah menjadi sebuah rancangan yang tinggal ditandatangani Presiden?

Bernadinus Steni: Ya, tidak hanya HuMa tapi lebih dari 20 organisasi saat itu memberikan masukan-masukan tentang bagaimana menetapkan sebuah Strategi Nasional REDD+. Jika Anda melihat isi dari strategi nasional tersebut, sebenarnya itu bukanlah suatu rencana bisnis REDD, melainkan merupakan kisah tentang bagaimana mengelola hutan-hutan. Itu sebabnya kami memilih untuk terlibat dan memberikan masukan dan komentar. Kadang-kadang kami setuju, terkadang kami menentang. Sekarang ada beberapa bagian dari strategi nasional yang mencerminkan posisi dari CSO, termasuk apa yang diumumkan orang dua tahun lalu saat konsultasi-konsultasi. Semoga hal-hal itu masih ada di sana saat disahkan oleh presiden.

REDD-Monitor: So you’re quite happy with it as it stands? Jadi Anda cukup senang dengan dengan hal tersebut apa adanya?

Bernadinus Steni: Mengapa Anda mengajukan pertanyaan itu kepada saya? Saya tidak senang! (tertawa) Jika Anda bertanya pada saya apakah saya senang, tentu saja tidak! Ini hanya sebuah kebijakan. Hal yang krusial adalah apakah hal itu akan diimplementasikan. Kami sedang menanti perubahan nyata di lapangan, dari pemerintah, bagaimana mereka mengimplementasikan strategi ini. Bahkan jika bahasanya sangat bagus, jika tidak diimplementasikan, lalu apa gunanya?

REDD-Monitor: Apakah Anda hadir di Durban?

Bernadinus Steni: Tidak, tapi salah satu staf kami (Anggalia Putri) hadir di sana.

REDD-Monitor: Apakah Anda hadir di Cancún?

Bernadinus Steni: Tidak. Saya tidak senang karena Kesepakatan Kopenhagen dan saya memutuskan saya tidak akan datang ke pertemuan UNFCCC setelah itu. Tapi mungkin yang berikutnya saya akan datang.

REDD-Monitor: Anda masih mengikuti hasil dari apa yang muncul dari pertemuan-pertemuan itu? Apa pendapat Anda tentang hasil pertemuan Durban dan Cancún mengenai REDD?

Bernadinus Steni: Proses internasional menyangkut implementasi sistem pengaman entah bagaimana tertahan di Durban dan perjuangan tersebut kembali ke proses nasional. Apa yang saya pikirkan adalah, jika semua masyarakat hutan mengembangkan sebuah rezim REDD yang sejati maka itu akan berguna – termasuk sistem pengelolaan tradisional mereka sebagai bagian dari standar tersebut. Saya akan senang dengan hal itu.

REDD-Monitor: Tapi saat ini sistem pengaman berada di balik kata-kata “mempromosikan dan mendukung”, yang dapat berarti apa saja.

Bernadinus Steni: Kami mengusulkan sebuah proses bahwa sistem pengaman harus diverifikasi. Jadi itu merupakan suatu cara untuk membangun akuntabilitas. Dan sebuah cara untuk menghindari meminimalkan atau mengurangi standar-standar yang diajukan. Bahkan jika standar-standarnya  sangat bagus, jika hanya berupa saran, akan percuma saja. Verifikasi harus menjadi sebuah cara untuk memutuskan apakah REDD akan dilaksanakan atau tidak. Jika proses verifikasinya gagal, maka sebaiknya proyek ditiadakan.

REDD-Monitor: Ada banyak diskusi mengenai REDD di Indonesia. Ada sekitar 40 proyek REDD yang telah dibuat. Presiden telah menyatakan banyak hal positif mengenai pengurangan deforestasi. Tapi pada saat bersamaan area konsesi kelapa sawit, perkebunan pulp dan kertas dan konsesi pertambangan semakin luas. Bisnis seperti biasa. Apakah Anda optimis atau pesimis mengenai REDD di Indonesia?

Bernadinus Steni: Saya sangat pesimis dalam hal pemerintah tidak memiliki target yang jelas untuk benar-benar menghentikan deforestasi. Tidak hanya pemerintah pusat, pemerintah kabupaten memiliki kewenangan yang lebih besar untuk mengontrol hutan dan mereka dapat memberikan izin tanpa kontrol dari pemerintah pusat. Dari sudut pandang itu, saya sangat pesimis. Jika pemerintah pusat di Jakarta memiliki kontrol yang kuat dan kekuasaan untuk mengontrol perizinan, tidak hanya dari kantor mereka tapi juga yang berasal dari pemerintah kabupaten dan provinsi, mungkin itu dapat membuat perbedaan. Mungkin. Tapi saat ini hal itu sulit. Sebagian besar merupakan proses politik dan partai-partai politik juga terlibat, yang membuat semuanya bahkan lebih sulit dikendalikan.

Tapi jika REDD dapat didefinisikan sebagai masyarakat hutan yang mengelola hutan mereka secara tradisional dan mereka akan diakui, maka hal itu akan sangat hebat. Definisi asli dari REDD, menghentikan deforestasi dan degradasi, adalah bagus. Jika dapat diterapkan dengan tepat untuk memberdayakan hak-hak masyarakat dan menyelamatkan hutan, bukan hanya karbon.

Menurut saya Indonesia harus mendefinisikan sendiri REDD sebagai respons terhadap tuntutan masyarakat lokal, tidak hanya mengikuti garis dari agenda internasional. Ini akan menjadi REDD yang didefinisikan dengan cara Indonesia, bukan menyangkut kebutuhan-kebutuhan pasar global. Konsepnya harus datang dari Indonesia. Satu-satunya cara melakukannya adalah dengan menyertakan mereka yang benar-benar mengelola hutan dengan cara yang berkelanjutan: masyarakat hutan.


Wawancara ini adalah yang kedelapan dari serangkaian wawancara dengan aktor-aktor kunci REDD di Indonesia. REDD-Monitor berterimakasih pada ICCO yang mendanai proyek ini.