Belum ada tanda reformasi

Down to Earth Nr 52  Februari 2002

Begitu M. Prakosa menduduki jabatan sebagai Menteri Kehutanan yang keempat dalam empat tahun ini, arah kebijakan kehutanan menjadi semakin jelas

Menteri Kehutanan Prakosa sejak awal sudah menjelaskan bahwa dia tidak bermaksud untuk melakukan perubahan radikal dalam waktu dekat. Dalam upacara serah terima dari Marzuki Usman, dia berjanji untuk meneruskan yang telah disusun oleh pendahulunya bukan memberlakukan program-program baru. Tak lama setelah penunjukannya, Presiden Megawati menginstruksikan Prakosa untuk memusatkan perhatian pada lima prioritas kebijakan selama 5-7 tahun mendatang, yaitu penebangan liar, kebakaran hutan, reboisasi, desentralisasi, dan restrukturisasi industri kehutanan. Tampaknya Menteri, yang mendapat gelar MA dan PhD dari Amerika Serikat ini, menempuh pendekatan ekonomi makro dalam sektor kehutanan.

Sampai saat ini, Prakosa tidak memperlihatkan ketertarikan pada masalah-masalah sosial yang merupakan bagian dari krisis yang dihadapi kehutanan di Indonesia. Tidak ada pernyataan untuk mengembangkan hutan masyarakat. Semua perhatian terpusat pada peningkatan pendapatan dengan mengendalikan penebangan liar dan penyelundupan kayu serta perbaikan produktifitas komersial melalui reboisasi yang ekstensif. Lebih sedikit lagi yang dikatakan secara terbuka tentang pengurangan industri proses kayu Indonesia yang melebihi kapasitas, termasuk masalah yang rumit berupa perusahan-perusahaan bubuk kertas yang selama bertahun-tahun mengandalkan penebangan yang tidak berkesinambungan dan seringkali penebangan liar yang sekarang ini menunggak hutang besar.

Larangan ekspor kayu sementara selama enam bulan yang diberlakukan Prakosa pada bulan Oktober lebih menyangkut perlindungan terhadap pasokan bahan dasar untuk industri dalam negeri dan bukan untuk perlindungan hutan Indonesia (lihat DTE 51). Seorang pejabat senior departemen perdagangan sudah dipecat karena melanggar larangan ekspor. Ia telah memberikan dispensasi kepada sebelas perusahaan yang gagal memenuhi batas waktu ekspor yang mengijinkan mereka mengekspor 72.147 m3 kayu senillai US$ 21,6 juta.

 

Industri diprioritaskan?

Menteri baru mengurangi larangan atas pemakaian dan ekspor kayu keras tropis ramin (Gonystylus sp) yang diberlakukan oleh pendahulunya,. Larangan itu, sesuai dengan Konvensi PBB dalam Perdagangan Spesis Yang Terancam Punah (CITES), berlaku mulai tanggal 8 Agustus. Surat Keputusan Prakosa, yang dikeluarkan akhir Oktober, memungkinkan perusahaan meneruskan penjualan stok ramin sampai tanggal 31 Desember.

Apakah pemerintah lokal akan menjalankan kebijakan kehutanan yang diputuskan di Jakarta masih ditunggu. Pejabat kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah mengatakan mereka tidak akan menerapkan larangan ramin. Peraturan lokal yang melindungi hak industri untuk penebangan kayu justru yang akan ditaati.

Departemen Kehutanan bahkan mempertimbangkan untuk mengubah Undang-undang Kehutanan 1999, yang melarang pembukaan terowongan tambang untuk melindungi hutan demi mengundang investor ke sektor pertambangan.

 

Sertifikasi

Pada Bulan Desember, Prakosa mengumumkan peninjauan terhadap semua konsesi hutan. Pemegang konsesi, pada tahun 2003, akan memerlukan sebuah sertifikat manajemen hutan berkesinambungan. Langkah yang pro industri ini akan memungkinkan Indonesia memenuhi kewajibannya sesuai dengan Komitmen ITTO bahwa semua pengekspor kayu harus disertifikasi, tanpa membuat 375 pemegang konsesi saat ini menjadi subyek penyelidikan berdasarkan skema sertifikasi kayu yang diakui secara internasional oleh Forest Stewardship Council (FSC). Tidak ada rincian dari skema baru, namun tampaknya akan lebih longgar dibandingkan kondisi FSC, yang diterapkan di Indonesia bersama Yayasan Ekolabeling Indonesia (LEI). LSM dan kelompok masyarakat adat mengajukan keberatan bahwa tidak ada operasi kehutanan berskala besar di Indonesia yang bisa memenuhi prinsip dan kriteria tersebut karena tidak ada mekanisme resmi yang mengakui hak tanah adat dan penyelesaian konflik sosial. Sebuah kajian independen oleh tim dari Indonesia dan ahli internasional, yang diprakarsai oleh WALHI dan Yayasan Rainforest serta didanai oleh WALHI dan aliansi masyartakat adat Aman, sedang melakukan penyelidikan dan akan memberikan laporannya pada pertengahan 2002.

 

Tuntutan Reformasi

Sebuah perubahan paradigma menyeluruh manajemen kehutanan merupakan salah satu rekomendasi dari Kongres Kehutanan Indonesia yang ke-3 di Jakarta tanggal 25 hingga 28 Oktober. Pertemuan yang bergengsi ini, yang berlangsung sekali sepuluh tahun, sebelumnya didominasi oleh perwakilan industri dan pemerintah. Kali ini, perwakilan masyarakat adat, ilmuwan kehutanan, dan para pro-reformasi kehutanan bersatu untuk menyusun agenda guna mencerminkan kepentingan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekeliling hutan Indonesia yang menyusut cepat.

Pada hari kedua, terjadi kegaduhan di auditorium ketika peserta mengungkapkan ketidak-puasannya terhadap pidato pembukaan Menteri Kehutanan dan karena Menteri tidak bersedia menjawab pertanyaan. Prakosa terpaksa kembali ke depan mikropon satu jam kemudian.

Masyarakat umum mengetahui dari mantan Menteri Lingkungan Emil Salim dan para pejabat kehutanan yang pro-reformasi bahwa telah terjadi kesalahan yang serius dalam kehutanan di Indonesia pada masa era Suharto dan dibutuhkan sebuah paradigma baru.

Pernyataan akhir menyerukan perubahan model yang hanya mementingkan hasil kayu ke sistem manajemen kehutanan yang mendukung kehidupan masyarakat setempat. Masyarakat yang tinggal di hutan seharusnya memainkan peran yang aktif dalam manajemen kehutanan dan hak-hak masyarakat adat harus dipulihkan dan diakui. Kongres juga menyepakati moratorium penebangan di hutan alam sebagai bagian dari komitmen terhadap percepatan reformasi kehutanan di Indonesia (untuk teks lengkap inggeris klik di situs DTE).

Sementara itu, masyarakat donor internasional mendorong dilakukan penanganan penebangan liar. Ini merupakan sesuatu yang ironis karena beberapa laporan menuding bahwa paket penyelamatan ekonomi IMF justru meningkatkan tekanan kepada hutan Indonesia (lihat boks). Laporan WALHI yang baru menyatakan bahwa penebangan liar meningkat dari 16,4 juta meter kubik pada tahun 1998 menjadi 20,2 juta meter kubik pada tahun 1999, menyusul Nota Kesepahaman antara IMF dan pemerintah Indonesia yang menetapkan kondisi bagi pinjaman IMF. LSM Forest Watch Indonesia memperkirakan bahwa tingkat pengrusakan hutan meningkat dua kali lipat setelah tahun 1998 menjadi 3,6 juta hektar per tahun.

Statistik Kementerian Negara Lingkungan memperlihatkan tingkat pengrusakan hutan antara 2 sampai 2,4 juta hektar pertahun. Tingkat ini merupakan yang tertinggi selama dua tahun belakangan. Penebangan liar telah menimbulkan kerugian tahunan mencapai 56 juta meter kubik kayu senilai US$ 8,4 milyar (harga satu meter kubik adalah US$ 150). WALHI mengatakan tingkat pengrusakan hutan mencapai 3 juta hektar per tahun; dan hanya 40 juta hektar yang tertinggal dan Kalimantan–yang menderita tingkat penebangan tercepat-akan habis ditebang dalam waktu lima tahun.

Penebangan liar berada di peringkat atas dalam delapan poin yang harus menjadi prioritas yang disusun oleh Consultative Group on Indonesia (CGI) dan pemerintah Indonesia sebelum pertemuan pada Bulan Februari 2002. Lobby-lobby donor belakangan memperluas agenda menjadi dua belas masalah (termasuk periode waktu; moratorium dalam konversi hutan, perusahaan kehutanan yang dililit hutang; permintaan kayu dalam negeri) dan kelompok kerja dibentuk untuk memonitor kemajuan pencapaian target yang disepakati.

Pada Konferensi Penegakan dan Pengarahan Hukum Kehutanan (FLEG), yang diorganisir oleh Bank Dunia, USAID, dan DflD di Bali September tahun lalu, para menteri menanda-tangani sebuah pernyataan yang mengikat negara-negara mereka untuk segera bertindak terhadap penebangan liar dan 'kejahatan hutan' pada tingkat nasional dan tingkat regional (lihat DTE 51). Malaysia tidak hadir, namun belakangan mengumumkan bahwa mereka akan melarang semua impor kayu gelondongan dari Indonesia setelah moratorium eskpor diberlakukan. Angka ITTO untuk tahun 1999 memperlihatkan bahwa impor gelap dari Indonesia ke Malaysia melebihi 500.000 meter kubik. Penyelundupan kayu internasional antara Kalimantan dan perbatasan Sarawak masih meluas.

TIndakan Indonesia baru-baru ini terhadap penebangan liar meliputi kebijakan tegas Kementerian Kehutanan, Lingkungan, dan Angkatan Laut, Pada Bulan Desember, Menteri Lingkungan Nabiel Makarim mengumumkan bahwa dakwaan akan diajukan kepada tiga pemilik kapal internasional yang ditangkap oleh Angkatan Laut dalam operasi anti penebangan kayu berskala besar di negara itu sejak pemerintahan Megawati. Sejumlah kayu kayu disita senilai US$ 4,7 juta (atau S$ 8,6 juta) yang diyakini ditebang dari Taman Nasional Tanjung Puting.

(Suara Pembaruan 13/Ag/01; Tempo 31/Ag/01 AP 8/Okt/01; Kompas 11/Ag/01, 7/Nov/01; Banjarmasin Post 24/Okt/01; Jakarta Post 10, 12/Okt/01, 10/Des/01; WALHI 6/Nov/01; Reuters 2/Nov/01; Bisnis Indonesia 7/Ag/01; AFP 1,3/Des/01; Jakarta Post 10/Des/01; Straits Times 11/Des/01)

 

Reformasi IMF dan Bank Dunia meningkatkan penggundulan hutan

Kebijakan reformasi yang diarahkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia menyusul krisis keuangan tahun 1997 yang mengakibatkan resesi yang parah telah meningkatkan penggundulan hutan dan melemahkan stabilitas ekonomi makro, demikian menurut laporan WWF dan CIFOR serta sebuah studi oleh WALHI.

Heike Mainhardt, pejabat senior program hutan di kantor ekonomi makro WWF di Amerika Serikat, mengajukan alasan bahwa restrukturisasi keuangan dan sektor perusahaan yang didukung IMF serta langkah-langkah liberalisasi perdagangan mendorong pengurasan kayu dan meningkatkan konversi tanah hutan melalui pemberian fasilitas untuk 'investasi yang tidak layak' dalam industri kayu, pulp dan minyak kelapa sawit di Indonesia. Perusahaan-perusahaan pulp besar gagal menghasilkan produksi yang cukup di tanah perkebunan kayupulp-nya dan kini menghadapi kekurangan bahan baku. Investasi dalam perkebunan minyak kelapa sawit mendorong penggundulan hutan dan memberikan kontribusi terhadap konflik sosial terhadap hak atas tanah.

Penelitian WALHI juga memperlihatkan bahwa kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia merangsang ekspor kayu gelondongan dan konversi hutan untuk kegunaan lainnya, seperti kelapa sawit dan pertanian. Menurut Direktur WALHI, Emmy Hafild, dampak dari meningkatnya penebangan liar dan penyelundupan hasil hutan tidak bisa dihapuskan hanya dengan menerapkan kembali larangan ekspor kayu gelondongan, seperti yang diminta IMF kepada pemerintah.

Ia juga menunjukkan bahwa, berdasarkan peraturan IMF, anggaran pemerintah Indonesia harus membayar hutang pokok dan bunganya, termasuk biaya rekapitalisasi bank. Konversi hutang para konglomerat Indonesia kepada swasta asing yang menjadi tanggung-jawab masyarakat sesuai keputusan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPBN) mengurangi kemampuan negara untuk mengalokasikan dana untuk program-program lingkungan dan keadilan sosial. Alokasi dana umum untuk program lingkungan dan perlindungan energi telah berkurang sampai 50 % dalam pengertian yang sebenarnya. WALHI mendesak pemerintah Megawati untuk mengurangi ketergantungan terhadap paket penyesuaian struktural IMF yang secara lingkungan maupun ekonomis merusak. Jika ini tidak memungkinkan, pengaturan kelembagaan harus ditingkatkan sehingga IMF lebih bertanggung-jawab atas dampak dari kebijakannya.

Dalam hal ini WALHI didukung oleh Friends of the Earth Amerika Serikat yang meminta agar IMF mengikuti standar lingkungan dalam pemberian pinjaman-pinjamannya sesuai dengan laporan mereka yang berjudul 'IMF: Menjual Cepat Lingkungan.' Laporan ini menunjukkan bahwa peran IMF dalam membentuk stabilisasi ekonomi dan kebijakan penyesuaian strukturalnya mempunyai dampak besar terhadap lingkungan. Tindak lanjut setelah reformasinya tidak memberikan banyak perubahan kata Carol Welch dari FoE: "Kami meminta mereka untuk lebih banyak menggunakan peninjauan lingkungan dan sosial dalam menentukan apakah pinjaman akan mengarah ke penggundulan hutan namun 'kami belum berhasil."

(Sumber : Asia Times 27/Oct/01 Pernyataan WALHI 6/Nov/01; Greenwire 30/Jan/02)


CGI & hutan

Donor-donor internasional yang termasuk dalam Consultative Group on Indonesia (CGI) berjanji memberikan US$ 3.1 milyar untuk menyeimbangkan anggaran belanja Indonesia 2002 dalam pertemuan di Jakarta tanggal 7-9 November. Dari jumlah itu, sebanyak US$ 1,3 milyar tergantung dari reformasi ekonomi (lihat juga DTE Factsheet tentang CGI).

Ketidakpastian politik setelah tragedi 11 September dan pemboman Afghanistan menyebabkan tidak berlangsungnya pertemuan penting donor tentang kehutanan sebelum pertemuan CGI. Bagaimanapun kehutanan tampil secara mencolok dalam agenda yang secara keseluruhan berjudul "Bekerja-sama untuk Memberantas Kemiskinan."

Dalam pernyataan pra-CGI, Bank Dunia mengatakan : "Dalam semua pemerintahan, instrumen kebijakan dan hukum dalam mengelola sumber daya alam hampir selalu ada, yang tampaknya tidak ada adalah keinginan untuk menggunakannya secara efektif. Tidak ada yang lebih buruk daripada sektor kehutanan jika krisis pemerintahan yang lebih luas telah berdampak pada lingkungan – dan pembangunan - dengan akibat yang tragis."

Dalam pertemuan itu, Prakosa menyampaikan sebuah rancangan Pernyataan Hutan Nasional, yang merupakan langkah pertama kearah Program Hutan Nasional yang sudah lama ditunggu-tunggu, namun menunjukkan kekurangan kinerja yang baik. Beberapa perwakilan donor mengungkapkan kekecewaan atas kurangnya tekad politik terhadap reformasi kehutanan. Mereka menyimpulkan bahwa tujuan manajemen hutan berkesinambungan tidak bisa dicapai melalui kegiatan Menteri Kehutanan saja dan mendesak dibangkitkannya kembali Komite Antar Departemen untuk Kehutanan (IDCF)

Wakil-wakil LSM Indonesia untuk Koalisi Hutan dan Hutang menyampaikan pernyataan keras dalam pertemuan CGI dengan seruan agar masyarakat internasional menghentikan bantuan keuangan penggundulan hutan di Indonesia. Mereka menuduh pemerintah Indonesia 'tetap melakukan bisnis seperti biasa dalam sektor kehutanan' dan menyatakan prihatin bahwa pemerintah yang baru mengurangi rencana aksi kehutanan dari dua belas poin menjadi lima poin, tanpa konsultasi dengan pihak yang berkepentingan di Indonesia. Masalah-masalah penting seperti periode waktu bukan lagi prioritas utama dan resikonya adalah masalah-masalah itu diam-diam ditarik dari agenda pemerintah.

Pernyataan itu, yang dibacakan oleh Togu Manurung, dari Forest Watch Indonesia diakhiri dengan mengatakan:

"Temu kerja serta pertemuan yang memberikan banyak rekomendasi sudah lebih dari cukup namun tak ada aksi nyata. Oleh karena itu kami menyerukan diadakannya :

  1. Moratorium terhadap penebangan kayu berskala besar di hutan alam sampai ada reformasi kehutanan yang sebenarnya.
  2. Formulasi mekanisme lintas sektoral, langsung di bawah kendali presiden, untuk mengatasi krisis kehutanan di Indonesia. Hal ini harus didukung oleh reformasi yang menyeluruh, termasuk reformasi kelembagaan serta hukum manajemen tanah dan sumber daya alam.
  3. Bukti bahwa pemerintah serius dalam memberantas KKN kehutanan di Indonesia. Harus ada tindakan yang serius dalam menegakkan hukum kejahatan kehutanan.
  4. Perusahaan-perusahaan kayu yang dililit hutang besar harus membayar hutang mereka secara penuh. Perusahan-perusahaan yang tidak bisa memperlihatkan pasokan yang berkesinambungan sebaiknya tidak di rekapitalisasi atau direstrukturisasi; mereka harus dibiarkan bangkrut.
  5. Penghentian keterlibatan militer dan polisi dalam eksploitasi hutan dan penerapan sanksi terhadap inidvidu maupun kelompok yang tidak memenuhi tanggung-jawab mereka dalam melindungi hutan.
  6. Akuntabilitas, transparansi dan tanggung-jawab yang leih besar dari pemerintah pusat dan lokal dalam manajemen sumber daya alam.

CGI seharusnya membantu pemerintah Indonesia dalam mewujudkan langkah-langkah di atas. Sebagai tambahan semua anggota CGI harus menerima dan menerapkan standar sosial dan lingkungan yang menyeluruh dalam bantuan mereka, penanaman modal, jaminan pinjaman dan pinjaman ke Indonesia."

Lihat situs DTE untuk pernyataan NGO kepada CGI dan rangkuman berita-berita kehutanan sejak pemerintahan Megawati berkuasa. 
(Sumber: Reuters 8/Nov/01; Working Group statement, Nov 2001 www.worldbank.or.id)