Konferensi Tentang Penegakan Undang-Undang Kehutanan dan Pemerintahan

Down to Earth Nr 51  November 2001

Tragedi Nias, yang merupakan peringatan keras sebagai akibat kerusakan hutan terus-menerus-terjadi tepat pada saat menghangatnya debat publik tentang bagaimana mereformasi pengelolaan hutan di Indonesia secara keseluruhan. Dari tanggal 11-13 September, diadakan sebuah pertemuan tingkat tinggi tentang penebangan kayu ilegal di Bali, yang diorganisir oleh Bank Dunia serta badan-badan bantuan Inggris dan Amerika Serikat. Para peserta datang dari kurang lebih 15 negara, termasuk juga perwakilan pemerintah, LSM dan industri-industri kayu, untuk membahas masalah-masalah yang muncul dalam penebangan ilegal dan perdagangan internasional kayu ilegal.

Penebangan ilegal dan penyelundupan kayu telah menjadi point utama dalam pembahasan antara kreditor internasional Indonesia dan pemerintahan Jakarta tahun-tahun belakangan ini. Sejak tahun 2000, upaya mengatasi penebangan ilegal telah menjadi prasyarat pinjaman dari kelompok kreditor utama, CGI. Meskipun demikian, hanya upaya-upaya kecil yang telah dibuat untuk mengatasi masalah tersebut. Bahkan, di kebanyakan wilayah situasinya menjadi semakin buruk.

LSM-LSM Indonesia mengkritisi pembahasan sempit tentang persoalan penebangan ilegal tersebut. Mereka mengemukakan bahwa suatu moratorium terhadap seluruh penebangan komersial di Indonesia adalah langkah paling nyata dan efektif untuk mengatasi persoalan besar perusakan hutan di Indonesia. (Lihat juga DTE 50 - Bahasa Inggris)

Konferensi tersebut diakhiri dengan lahirnya deklarasi yang mana para mentri diharapkan untuk melakukan tindakan segera untuk mengatasi kejahatan hutan, khususnya penebangan ilega, perdagangan ilegal dan korupsi. Terdapat suatu tanggapan positif dari LSM-LSM, khususnya mengenai pembahasan tentang hak-hak masyarakat adat yang dibahas dengan "cara yang terbuka dan jujur". Meskipun demikian, deklarasi itu gagal untuk membuat komitmen menegakkan hak-hak masyarakat adat terhadap hutan. Sebaliknya, negara-negara yang terlibat dalam konferensi itu menyerukan untuk "melibatkan seluruh pihak berkepentingan, termasuk juga masyarakat lokal, dalam proses pembuatan keputusan tentang sektor kehutanan." Tindakan-tindakan untuk memajukan pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat dan perlindungan "kehidupan berbasiskan hutan" ditempatkan dalam tambahan deklarasi tersebut.

Seperti yang ditunjukkan oleh LSM Indonesia, terdapat banyak konferensi tentang krisis kehutanan sebelumnya. Tapi tak ada satupun yang menghasilkan perubahan kebijakan dan reformasi hukum yang diperlukan agar tujuan yang ingin dicapai dapat dilaksanakan di lapangan. Sampai kapanpun sebelum ada tanda-tanda komitmen yang bersungguh-sungguh dari pemerintah untuk menyelamatkan hutan, skeptisisme terhadap upaya terakhir ini tetap tinggi. (Jakarta Post 14/Sep/01)

Pernyataan tingkat menteri dari konferensi itu dan dokumen-dokumen konferensi bisa diperoleh dalam situs Bank Dunia tentang Indonesia: wbln0018.worldbank.org/

 

Larangan Ekspor Kayu Gelondongan

Mentri Kehutanan yang baru dilantik, M. Prakosa dan Menteri Perdagangan dan Industri, Rini M.S. Suwandi, mengumumkan suatu moratorium tentang ekspor kayu gelondongan dan keping-keping kayu pada bulan Oktober guna "menjaga konservasi hutan-hutan Indonesia." Langkah ini, yang bertentangan dengan strategi penyelamatan ekonomi IMF untuk Indonesia, juga dipandang sebagai upaya menyelamatkan industri-industri kayu dan pulp dalam negeri di Indonesia dengan memberikan jaminan pasokan bahan mentah bagi mereka. Kayu Indonesia yang diselundupkan keluar negeri, seperti Cina dan Malaysia, telah menyebabkan negara-negara tersebut mengalahkan Indonesia dalam perdagangan plywood dan produk kayu lainnya di pasar internasional.

Menurut data Departemen Perdagangan dan Industri, ekspor kayu gelondongan Indonesia mencapai nilai US. $ 25,91 juta dari bulan Januari sampai Juli tahun ini. Pada tahun 2000, jumlahnya bernilai US $ 66,67 juta dengan volume penjualan mencapai 449.840 m3, hampir meningkat dua kali lipat dari ekspor tahun 1999 yang mencapai US $ 37.85 juta dengan volume penjualana 298.560 m3. Namun, ekspor legal ini diyakini hanya merupakan jumlah kecil dari volume kayu yang diselundupkan yang diperkirakan mencapai 10 juta m3/per tahun hanya untuk ekspor ke Malaysia saja.

Larangan baru itu akan meningkatkan kembali industri kayu Indonesia yang terjerat hutang serta para konglomerat kayu mengalami kekurangan bahan mentah bagi usaha mereka. Sejumlah total 128 perusahaan sekarang dibawah pengawasan IBRA. Sampai sekarang, komitmen awal untuk menutup setengah dari perusahaan-perusahaan itu belum terlaksanakan.

Apakah larangan ekspor itu akan membantu mengatasi penyelundupan kayu masih menjadi tanda tanya. Nampaknya, hal tersebut tidak akan mampu teratasi sepanjang polisi, aparat pemerintah dan pengadilan yang korup tetap berjalan seperti biasa.

Larangan itu sendiri tidak mempersoalkan sebab-sebab mendasar dari kerusakan hutan. Mentri yang baru telah berjanji akan mengajukan reformasi menyeluruh terhadap sistem konsesi pengelolaan kayu, dan akan terus berjalan dengan rencana untuk mengatasi masalah kelebihan kapasitas industri kayu. Tetapi janji yang sama oleh menteri sebelumnya sampai sekarang sedikit saja memiliki hasil. Desentralisasi --yang diandaikan menjadi proses pengalihan kontrol kepada tingkat Kabupaten—sekarang ini sedang dirubah (lihat di bawah) dan masih terdapat ketidakpastian tentang sejauh mana keputusan-keputusan pemerintah pusat akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah.

(Tempo 16-22/Oct/01; Sinar Harapan 9/Oct/01; Bisnis 16/Oct/01)