Strategi Pembangunan Alternatif

Down to Earth No. 41, Mei 1999

Guna menyusun suatu kebijakan berorientasi kerakyatan dan berwawasan lingkungan, kaum tani, buruh, masyarakat adat, nelayan, LSM, mahasiswa dan para akademisi berkumpul bersama merumuskan suatu strategi pembangunan alternatif. Rumusan ini diharapkan dapat menggantikan praktek pembangunan yang hanya berorientasi pada keuntungan dan penuh penindasan pada masa Suharto, sebuah praktek pembangunan yang terbukti gagal dan ketinggalan jaman.

Oleh karena itu, masyarakat internasional atau khususnya lembaga-lembaga pemberi pinjaman, seharusnya mendengar dan mencoba memahami lontaran suara pergerakan tersebut dan menjadikan kepentingan mereka sebagai prioritas utama. Lembaga-lembaga dana itu harus segera merubah strategi mereka medukung kepentingan elit-elit di Jakarta dalam hal penguasaan tanah, sumber daya alam dan masyarakat. Selain itu, kebijakan-kebijakan tersebut lebih mendahulukan kepentingan modal asing yang mendorong ketergantungan Indonesia terhadap hutang luar negeri.

Dengan melakukan perubahan mendasar terhadap strategi kebijakan mereka, maka lembaga-lembaga pemberi pinjaman dapat memainkan peran yang lebih membangun dalam memajukan demokrasi dan pembangunan perekonomian Indonesia.

Meskipun Suharto telah turun dari kekuasaan selama satu tahun, namun Indonsesia tetap dicengkram gejolak politik dan ekonomi yang mendalam. Kebijakan Bank Dunia/IMF untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia ternyata tidak berjalan seperti yang diharapkan. Kemiskinan pun merajalela dan kerusuhan melanda berbagai tempat di Indonesia. Selain itu, setelah Habibie mengumumkan suatu kebijakan yang mengejutkan dengan "melepaskan" Timor-Timur, tuntutan kemerdekaan ternyata semakin menguat di Papua Barat dan Aceh. Upaya pemerintah menentramkan daerah yang kaya sumber alam dengan memberlakukan undang-undang baru tentang otonomi nampaknya juga tidak dapat berjalan dengan baik.

Di tengah-tengah kegamangan seperti ini, ada suara yang lebih padu tampil ke muka. Gerakan rakyat mulai bangkit sebagai suatu kekuatan politik dan dengan lantang menyatakan bagaimana seharusnya kehidupan dan masa depan mereka ditetapkan. Mereka mengajukan strategi pembangunan alternatif berdasarkan prinsip-prinsip demokratis yang menempatkan jutaan rakyat miskin di desa dan kota dalam pusat pembuatan keputusan. Adapun alternatif yang mereka ajukan bersandar pada prinsip persamaan, pengembalian hak-hak sumberdaya lahan kepada masyarakat setempat, penanganan sumberdaya alam yang bijaksana dan penjaminan hak-hak asasi manusia. Mereka juga menuntut bahwa ABRI (TNI-red)harus keluar dari politik dan berhenti ikut campur dalam kehidupan masyarakat sipil.

Aliansi antara mahasiswa, petani dan buruh bukanlah hal baru di Indonesia. Bahkan pada saat rejim Suharto berkuasa dan bertindak brutal, rangkaian aksi protes sering terjadi terhadap perampasan lahan, polusi, pembangunan perkotaan, perusakan hutan, pengurasan hasil laut dan pelanggaran-pelanggaran hak rakyat. Sebagai tanggapan terhadap protes tersebut, pemerintah menjawabnya dengan intervensi militer, intimidasi dan penyiksaan. Beberapa "tokoh utama" dipenjara dan dalam beberapa kasus ada yang dibunuh atau dipaksa "menghilang" oleh pihak militer yang bertindak atas nama rejim Suharto. Aksi-aksi perlawanan dan protes yang mereka lakukan telah menyebabkan penderitaan rakyat terus hadir dalam benak setiap orang dan menjadi minyak yang mengobarkan api perlawanan yang menumbangkan kekuasaan Suharto.

Sekarang ini, gerakan rakyat tumbuh semakin kuat di dalam era kebebasan berorganisasi. Mereka bisa bersuara lantang tentang segala kesalahan pada masa lalu dan juga dapat menyerukan tuntutan terhadap masa depan mereka. Berbagai aliansi baru terus dibangun. Bulan Maret lalu, kongres nasional pertama masyarakat Adat di Indonesia terlaksana bulan Maret lalu; dan kongres pertama Federasi Serikat Petani Indonesia diorganisir sebulan sebelumnya.

Kaum tani dan masyarakat adat juga mula menyadari bahwa mereka banyak memiliki kesamaan persoalan dan mulai bekerja bersama untuk mengembangkan suatu strategi alternatif. Mahasiswa dan pekerja LSM membantu perkembangan gerakan mereka dengan dukungan praktis dan moril. Pada saat yang sama, mereka juga menyusun peran mereka sendiri di dalam periode transisi ini dan menentukan cara terbaik bagi mereka dalam melayani kepentingan mayoritas rakyat Indonesia.

Ada juga pembicaraan di kalangan NGO dan akademisi tentang masyarakat sipil di Indonesia dan apa peran yang seharusnya mereka lalukan dalam membentuk masa depan negeri ini, suatu perdebatan yang sangat tidak mungkin selama tiga dekade sebelumnya.

Oleh karena itu masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Tanggapan menyeluruh terhadap IMF dan strategi pembangunan ekonomi alternatif adalah prioritas utama, seperti halnya persoalan mendesak lainnya seperti yang dilakukan olah para militer di Timor-Timur, kekerasan militer di Aceh dan dialog nasional di Papua Barat. Pada saat yang sama, ketika pemilu semakin mendesak, banyak waktu yang harus dicurahkan unuk menjamin agar pemilu berlangsung dengan bebas dan adil.

Otonomi Daerah dan Pengawasan Keuangan

Tahun-tahun "keajaiban ekonomi" di bawah kekuasaan Suharto telah menciptakan jurang kemiskinan yang mendalam dalam masyarakat Indonesia. Ketimpangan geografis pun semakin melebar ketika uang jutaan dolar hasil pengurasan kekayaan sumber daya alam di di berbagai kepulauan mengalir ke Jakarta dan jatuh ke tangan Suharto, keluarga dan para kroni-nya.

Oleh karena itu, sejak Suharto lengser gelombang tuntutan untuk mengatasi ketimpangan antara pusat dan daerah terus bergema. Penduduk di berbagi tempat menginginkan suatu bentuk penguasaan penuh terhadap sumber daya alam berikut keuntungan yang mereka peroleh. Di beberapa wilayah seperti Papua Barat dan Aceh -- sebagai wilayah yang terus menerus menolak kehadiran perusahaan-perusahaan besar seperti Freeport dan Mobil Oil-- tuntutan ini barulah sebagian kecil dari tuntutan yang lebih besar, yaitu kemerdekaan.

Sebagai tanggapan, pemerintah Habibie menyusun dua undang-undang baru, yaitu undang-undang tentang otonomi daerah dan undang-undang tentang pengawasan keuangan. Pemerintah telah menyerahkan kedua rancangan undang-undang itu ke DPR awal tahun ini. Selanjutnya, pemerintah juga mengajukan undang-undang ketiga tentang Industri Gas dan Minyak yang masih dalam perdebatan pada bulan Maret yang lalu. Namun ketiga undang-undang itu sama sekali tidak mendapat sambutan yang hangat.

 

Rakyat Riau mengajukan tuntutan terhadap presiden Habibie sebesar $22,5 milyar.

Propinsi yang kaya minyak ini dan terletak di Sumatera Timur menuntut agar mereka dapat menjalankan sistem penguasaan terhadap sumber daya alam yang ada. Selama lima tahun operasi pengeboran dan penyulingan minyak yang dilakukan perusahaan multinasional asal Amerika Serikat, Caltex, penduduk Riau hanya mendapat keuntungan yang sangat sedikit. Padahal mereka harus menanggung dampak yang merugikan akibat operasi Caltex di daerah mereka. Setiap harinya, PT Caltex mengeksploitasi minyak dan gas sebanyak 750.000 barrel. Hasil ini sama dengan setengah dari seluruh produksi minyak mentah yang ada di Indonesia.

Oleh karena itu, pada bulan April yang lalu, organsisasi masyarakat setempat mengambil langkah tak terduga dengan mengajukan tuntutan kepada pemerintah sebesar 22,5 juta dollar AS sebagai kompensasi terhadap kerugian atas hilangnya cadangan minyak mereka. Di dalam barisan terdakwa, terdapat nama-nama seperti Habibie, Menteri Pertambangan dan Energi Kuntoro Mangkusubroto, PT Pertamina, PT Caltex Pacific Indonesia dan Menteri Dalam Negeri. Sedangkan para pendakwa adalah "rakyat Riau" yang diwakili oleh Tabrani Rab, seorang dosen perguruan tinggi dan Ketua Lembaga Studi Sosial dan Budaya di propinsi tersebut.

Menurut Tabrani, pada bulan July tahun 1998, Habibie telah berjaji bahwa pemerintah akan memberikan 10% pembagian pendapatan minyak kepada rakyat Riau yang akan diserahkan dalam waktu dua bulan. Namun sampai sekarang janji itu masih tidak dipenuhi. Para penggugat juga menuntut PT Caltex dan PT Pertamina menghentikan eksploitasi minyak mereka di Riau. Selain itu, tuntutan selanjutnya yang dilontarkan adalah tuntutan agar propinsi Riau memiliki kebebasan untuk mengeksploitasi sumber daya alam mereka sendiri, atau membentuk negara yang merdeka. (AFP, 13/4/99).

Mahasiswa Menyerang Caltex

Pada tanggal 21 April lalu, sekitar 1500 mahasiswa mengadakan aksi protes di kompleks Caltex, Riau. Mereka menuntut agar pemerintah memenuhi janji untuk memberikan propinsi tersebut 10% pendapatan hasil pengolahan minyak. Dalam aksinya, para mahasiswa membakar kendaraan dan merusak peralatan kantor. Sekitar 11 orang mahasiswa dilaporkan terluka ketika pasukan keamanan berupaya membubarkan aksi mereka. Para mahasiswa sendiri mengatakan mereka akan kembali menggelar aksi apabila pemerintah tetap tidak memenuhi janji mereka. (Jakarta Post, 21/4/99; Kompas, 21/4/99)

 

 

Undang-Undang Otonomi Daerah, yang dikeluarkan pada bulan April lalu, hanya memberikan sedikit perubahan saja karena ia tetap tidak memberi peluang terjadinya pengalihan kekuasaan yang nyata dari Jakarta ke pemerintahan daerah. Berdasar undang-undang ini, gubernur dipilih dari daerah, namun untuk pengangkatannya tetap harus meminta persetujuan pemerintah pusat.

Dalam undang-undang itu juga dicantumkan penambahan wewenang dan kekuasaan bagi pemerintahan daerah di tingkat kabupaten dan kecamatan. Namun, wewenang itu masih terbatas karena ia tidak memasukan hak pengelolaan sumber daya alam yang menurut pemerintah Jakarta terlalu strategis untuk dilepaskan dari kontrol mereka. Dengan demikian, upaya pemerintah pusat mengatur pemerintahan daerah dapat disimpulkan sebagai upaya Jakarta untuk meredam kecenderungan separatisme yang mungkin tercipta dengan terjadinya pengalihan kekuasaan pada tingkat provinsi.

Kritikan lain terlontar dari kalangan LSM yang menyatakan bahwa undang-undang itu hanya membahas satu segi semata dan gagal memenuhi tuntutan untuk menjamin proses demokratisasi pada tingkat lokal. Mereka tetap khawatir bahwa pejabat tingkat kabupaten dan kecamatan akan tetap mengabaikan hak-hak dan kepentingan masyarakat lokal.

Sedangkan untuk Undang-Undang kedua tentang pembagian pendapatan antara penguasa pusat dan daerah, benar-benar menegaskan tak adanya komitmen pemerintah untuk menjalankan proses otonomi yang sesungguhnya. Undang-undang ini serta undang-undang tentang minyak dan gas mendapat kritikan tajam karena undang-undang itu tidak menjelaskan berapa besar rumusan pembagian tersebut antara pemerintah pusat dan daerah.

Menteri Keuangan Bambang Subianto mengatakan bahwa pemerintah akan membuat peraturan terpisah untuk menentukan besarnya pembagian pendapatan sumber daya alam. Namun, sampai sekarang tanda-tanda ke arah itu masih belum tampak. Pada saat bersamaan, janji samar-samar pemberian dana bagi daerah hanya berpengaruh sedikit dalam memuaskan tuntutan reformasi sekarang ini.

Pada bulan Maret yang lalu, enam belas LSM dari berbagai tempat menyatakan penolakan mereka terhadap undang-undang yang dikeluarkan pemerintah tentang otonomi daerah dan pengawasan keuangan. Masing-masing kelompok tersebut, termasuk cabang Oxfam di daerah, Walhi dan organisasi yang mewakili masyarakat dayak serta Maluku membuat pernyataan pendapat tentang otonomi daerah setelah melakukan pertemuan selama dua hari di Jakarta.

Mereka menyatakan bahwa undang-undang itu sama sekali tidak memiliki kepekaan terhadap kepentingan-kepentingan ekonomi, politik dan budaya masyarakat di daerah. Undang-Undang itu juga gagal memenuhi tuntutan yang berkaitan dengan hak-hak kepemilikan serta tidak mampu mengajukan suatu bentuk pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan. Kelemahan lainnya, undang-undang itu sama sekali tidak mengacu pada prinsip yang menyatakan undang-undang setempat harus menjadi acuan utama sebelum undang-undang yang lainnya diberlakukan. Menurut kalangan LSM itu, penyusunan undang-undang dilakukan dalam suatu cara yang sangat tidak demokratis dan tanpa melibatkan dan berkonsultasi masyarakat sebagai pihak yang paling berkepentingan. Selain itu, DPR yang sekarang ini adalah lembaga parlemen yang sama sekali tidak memiliki legitimasinya di kalangan rakyat.

Pernyataan itu juga menegaskan perlunya suatu perundangang-undangan yang lebih komprehensif untuk menata kembali sistem administrasi pemerintahan secara keseluruhan, serta mengatur kedaulatan terhadap sumberdaya alam dimana banyak orang menggantungkan hidupnya.

(Sumber: Suara Pembaruan 3/3/99; AFP 30/3/99; 13/4/99; Pidato Tapol pada Konferensi Aceh 3/4/99) (Lihat juga DTE Nomor 40 untuk pembahasan lebih lanjut tentang otonomi daerah dan masalah Papua Barat).

 

 

Memperhatikan kondisi perekonomian sekarang ini, nampaknya masuk akal bila pemerintah tidak  memiliki komitmen yang kuat terhadap pemberian otonomi daerah. Bagi pemerintah, penyerahan kekuasaan untuk mengelola pemasukan uang hasil eksploitasi sumber daya alam hanya akan menyulitkan mereka dalam memenuhi kewajiban membayar hutang guna memuaskan tuntutan para kreditor diantara negara-negara kaya lainnya.

Pemberian jaminan oleh IMF, menekankan pentingnya kebutuhan menggunakan sumber daya alam untuk meningkatkan pendapatan negara. Dengan demikian, IMF dan lembaga kreditor lainnya pasti akan menolak kemungkinan bagi pemerintah pusat menyerahkan wewenang keuangan di tangan pemerintah daerah. Menurut isu yang berkembang di Jakarta, "pemberi donor besar telah menekan pemerintah pusat untuk tetap mempertahankan pendapatan terbesar mereka dari pengelolaan sumber daya alam, khususnya minyak dan gas, untuk menjamin agar pemerintah pusat dapat membayar hutang-hutang mereka. (Jakarta Post, 29/3/99). Sebelum pendekatan yang merusak dalam menangani krisis ini dirubah, pemerintah Jakarta akan terus menguras uang sebanyak mungkin dari sumber daya alam yang ada.