Aktor-aktor REDD di Indonesia: Sepuluh Wawancara

Foto: Neil Franklin

Ringkasan serangkaian wawancara oleh REDD Monitor yang diterjemahkan oleh DTE

Tulisan asli dalam Bahasa Inggris di situs web redd-monitor.org

Oleh Chris Lang, 29 April 2012

Selama beberapa minggu terakhir, REDD-Monitor telah mengunggah serangkaian wawancara dengan sepuluh organisasi yang terlibat dalam REDD di Indonesia. Artikel ini merupakan ikhtisar dengan beberapa intisari dari wawancara-wawancara tersebut.
Pertama-tama catatan tentang proses wawancara. Tujuan wawancara-wawancara ini bukan untuk menjebak, tapi untuk menetapkan posisi organisasi tersebut mengenai isu kunci perdebatan REDD. Daftar pertanyaan dikirim sebelum wawancara. Sembilan wawancara direkam (hanya Bank Dunia yang ingin menjawab melalui surat elektronik). REDD-Monitor mentranskripsikan wawancara-wawancara tersebut dan mempersilakan orang-orang yang diwawancara untuk menulis ulang, mengedit dan menambahkan sesuatu ke dalam teks. Beberapa dari mereka memberikan konsep wawancara kepada kolega-kolega mereka untuk dikomentari lebih lanjut dan beberapa memberikannya kepada departemen komunikasi organisasi mereka. Wawancara-wawancara tersebut baru diunggah di REDD-Monitor setelah disetujui oleh orang-orang yang diwawancarai.

Wawancara dengan Bank Dunia di Indonesia: “REDD+ telah membuka ruang untuk dialog mendalam tentang isu yang sulit terkait kebijakan dan tenurial sektor hutan”

Bank Dunia terlibat dalam REDD di Indonesia melalui Fasilitas Kerjasama Karbon Hutan, Program Investasi Hutan, Fasilitas Lingkungan Hidup Global dan Program Kehutanan Berkelanjutan dari Korporasi Keuangan Internasional. Tidak lama setelah wawancara, Indonesia menerbitkan sebuah Rancangan Rencana Investasi Hutan.

Bank Dunia tidak memakai prinsip persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (padiatapa), sebagai gantinya mengikuti kebijakan Bank Dunia terhadap Masyarakat Adat yang mensyaratkan konsultasi atas dasar informasi awal tanpa paksaan. Bank Dunia menegaskan bahwa hal ini sesuai dengan posisi UNFCCC terhadap padiatapa: “Para juru runding Cancun memilih untuk memperhatikan dengan saksama isi Deklarasi, tapi tidak memasukkan ‘persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan,’ yang belum memiliki definisi yang diterima secara universal.” Itu merupakan pernyataan yang luar biasa mengingat besarnya kerja yang telah dilakukan untuk padiatapa.

Bank Dunia sangat mendukung perdagangan karbon sebagai cara mendanai REDD, dengan 200 karyawan yang bekerja dalam pasar karbon di Bank tersebut (pada saat yang sama bank-bank lain memberhentikan karyawan mereka di departemen perdagangan karbon)

Bank Dunia memiliki sejarah panjang keterlibatan dalam hutan-hutan Indonesia, termasuk untuk program transmigrasi yang melibatkan dana total USD560 juta, yang menyebabkan wilayah-wilayah hutan yang sangat luas dibuka dan masalah-masalah sosial yang terus berlanjut hingga saat ini. Mungkin dapat diduga, Bank Dunia tidak menyebutkan  hal ini dalam wawancara tersebut.

Wawancara dengan Teguh Surya, WALHI: “Kami menolak REDD. Kami menolak perdagangan karbon”

WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) sangat kritis mengenai cara REDD diterapkan di Indonesia dan di tempat lain. Dalam wawancara tersebut, Teguh Surya dari WALHI menegaskan bahwa definisi hutan gagal untuk membedakan antara hutan dan perkebunan industrial. REDD gagal menangani isu konsumsi berlebihan, yang merupakan salah satu pendorong utama deforestasi. Jika isu konsumsi berlebihan tidak ditangani, kebocoran akan selalu jadi masalah: “Selama permintaan akan bahan mentah terus berlanjut kerusakan akan terus terjadi,” kata Teguh dalam wawancara tersebut. Masalah hak-hak karbon masih belum terpecahkan di Indonesia, yang merupakan kekhawatiran, mengingat hak-hak masyarakat adat tidak diakui secara kuat dalam hukum di Indonesia.

WALHI menganggap persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan hal yang sangat penting dalam REDD. Ini berarti bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengatakan ya atau tidak terhadap proyek-proyek REDD di tanah mereka.

WALHI menentang perdagangan karbon dengan alasan sederhana bahwa hal tersebut tidak mengurangi emisi.

WALHI telah memfokuskan sebagian besar kritiknya pada Kemitraan Hutan dan Iklim Kalimantan (KFCP) yang didanai oleh Australia, karena itu merupakan salah satu proyek REDD yang paling terdepan di Indonesia. Sementara para pengembang proyek terus mengklaim bahwa proyek tersebut adalah suatu keberhasilan, kerja WALHI dengan masyarakat lokal mengungkapkan masalah-masalah nyata yang ditimbulkan oleh proyek tersebut.

Wawancara dengan Chip Fay dan Steve Rhee, Aliansi Iklim dan Penggunaan Tanah (Climate and Land Use Alliance–CLUA): “Ini tentang rasionalisasi  penggunaan tanah berdasarkan pada pengakuan atas hak-hak masyarakat lokal”  

CLUA adalah sebuah aliansi dari empat lembaga filantropis berbasis di AS: Ford Foundation, Moore Foundation, Climate Works Foundation dan Packard Foundation. Dalam wawancara ini CLUA menjelaskan bahwa mereka memusatkan perhatian pendanaannya pada empat hal: perencanaan pembangunan rendah karbon; peningkatan pemahaman atau pengetahuan tentang iklim; hak-hak masyarakat; dan sisi permintaan, dengan melihat rantai pasokan komoditas seperti minyak sawit dan kertas.

CLUA berargumen bahwa mereka mendanai isu-isu yang terkait dengan REDD, tapi tidak secara langsung terhadap REDD. Dalam wawancara tersebut Steve Rhee mengatakan, “tidak ada satupun dalam strategi kami yang secara eksplisit menyebutkan REDD”. Walaupun demikian, pada tahun 2010 CLUA memberikan dana sejumlah USD1,3 juta kepada McKinsey yang sebagian besar di antaranya adalah “untuk mendukung Dewan Nasional Perubahan Iklim dan Satuan Tugas REDD+ dalam  merancang dan menerapkan unsur-unsur dari Surat Pernyataan Kehendak (LoI) antara Indonesia dan Norwegia”.

Dalam wawancara CLUA menjelaskan bahwa pendanaannya bertujuan untuk mendukung pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat lokal yang hak-hak atas tanah mereka hanya sedikit diakui. CLUA juga mendukung persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (misalnya melalui laporan ini).

Secara keorganisasian, CLUA tidak memiliki posisi terhadap perdagangan karbon. Walaupun demikian, CLUA mendanai laporan kritis dari Proyek Munden mengenai REDD dan perdagangan karbon.

Wawancara dengan Tejo Pramono, La Via Campesina, dan Elisha Kartini, SPI: “REDD hanya sebuah proyek yang digunakan negara-negara industri untuk mencoba mempertahankan keuntungan ekonomi mereka”

La Via Campesina adalah salah satu organisasi petani-petani kecil terbesar di dunia. La Via Campesina mewakili sekitar 200 juta petani kecil. SPI adalah Serikat Petani Indonesia dan merupakan anggota dari La Via Campesina.

La Via Campesina mengambil posisi “Tolak REDD”. Mereka juga menolak perdagangan karbon. La Via Campesina memandang sinis pada persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan, dengan berpendapat bahwa REDD secara potensial melibatkan pembayaran-pembayaran pada petani miskin, sehingga mereka mau tidak mau akan setuju.

Pada tahun 2008, La Via Campesina membawa seorang petani dari proyek Harapan di provinsi Jambi, Sumatera, ke pertemuan UNFCCC, di mana ia menjelaskan masalah-masalah yang diakibatkan oleh proyek tersebut bagi para petani.

Posisi La Via Campesina terhadap REDD didasari oleh dua isu: Pertama, fakta bahwa mekanisme perdagangan karbon apapun tidak akan mengatasi perubahan iklim karena membiarkan polusi untuk terus berlanjut di Utara; dan kedua, dampak yang disebabkan REDD terhadap penghidupan para petani.

Wawancara dengan Hasbi Berliani, Joko Waluyo dan Avi Mahaningtyas, Kemitraan “REDD tidak gampang, tapi kami optimis”

Kemitraan adalah sebuah ornop yang berkembang dari program UNDP tentang pembaruan tata kelola. Walau tidak secara spesifik bekerja dalam isu REDD, Kemitraan melakukan bagian dari pekerjaan tersebut yang dilaksanakan oleh gugus tata kelola lingkungan hidup dan ekonomi. Kemitraan tidak memiliki posisi terhadap REDD tapi bekerja sebagai fasilitator dan pemrakarsa pertemuan. Demikian pula, Kemitraan tidak memiliki posisi terhadap perdagangan karbon, tapi berpendapat bahwa selama perdagangan karbon memenuhi standar posisi Kemitraan dalam tata kelola yang baik, maka organisasi tersebut dapat mendukungnya.

Kemitraan mengorganisasikan serangkaian konsultasi regional di Kalimantan mengenai rancangan strategi nasional REDD+ Indonesia. Avi Mahaningtyas adalah salah seorang dari dua koordinator nasional untuk Satuan Tugas para Gubernur untuk Iklim dan Hutan.

Ketiga karyawan Kemitraan yang diwawancarai semuanya mengungkapkan optimisme tentang REDD di Indonesia, sambil mengakui tantangan-tantangan yang dihadapi, termasuk Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dari pemerintah.

Wawancara dengan Bustar Maitar dan Yuyun Indradi, Greenpeace: “REDD belum menjawab masalah nyata dari deforestasi”

Greenpeace mendukung REDD, dengan persyaratan-persyaratan. “Tuntutan kunci kami bukanlah REDD, tapi menghentikan deforestasi. Kami mengusulkan suatu moratorium sebagai solusi untuk pengelolaan hutan yang lebih baik di Indonesia”, Bustar Maitar mengatakan dalam wawancara tersebut.

Greenpeace tidak mendukung perdagangan karbon karena “itu bukan solusi untuk iklim” kata Maitar.

Greenpeace menyambut penandatanganan Surat Pernyataan Kehendak dengan Norwegia sebagai sebuah “batu loncatan politis”, tapi tetap bersikap kritis terhadap moratorium dan aspek-aspek lain dari cara kesepakatan REDD Indonesia – Norwegia tersebut diimplementasikan.

Greenpeace, bersama dengan angggota-anggota lain dari Platform Bersama, mendukung sebuah moratorium yang berbasis kinerja ketimbang dibatasi sampai dua tahun. Moratorium itu harus berlaku untuk seluruh hutan, bukan hanya hutan primer dan harus memasukkan peninjauan kembali terhadap konsesi-konsesi yang ada.

Dalam wawancara tersebut, Greenpeace mendiskusikan kampanye-kempanyenya melawan Golden-Agri Resources (minyak sawit) dan Asia Pulp and Paper serta kaitan kampanye-kampanye tersebut terhadap REDD.

Wawancara dengan Francess Seymour, CIFOR: “Surat Pernyataan Kehendak mendorong munculnya dampak kuat yang luas dalam dialog tentang hutan”

Ketika ditanya tentang posisi CIFOR terhadap REDD, Francess Seymour menjawab, “CIFOR tidak mengambil posisi terhadap apapun.” Walau demikian, ia menambahkan bahwa CIFOR mendukung tujuan dari pengurangan deforestasi – CIFOR “mengurusi perbaikan pengelolaan hutan dengan pusat perhatian khusus pada mata pencaharian dan proses yang baik,” Seymour menjelaskan.

Begitu pula, CIFOR tidak mengambil posisi terhadap perdagangan karbon (menarik untuk dicatat bahwa ketika CIFOR mengunggah-ulang bagian-bagian dari wawancara tersebut di laman CIFOR, pertanyaan dan jawaban tentang penghitungan ganda dan perdagangan karbon dihilangkan).

Mungkin bagian yang paling menarik dari wawancara tersebut adalah pendapat pribadi Seymour tentang pengaruh perdebatan REDD di Indonesia, yang didasari oleh pengalamannya bekerja di negeri ini. Konferensi Hutan Indonesia, sebagai contoh, (yang dihadiri sekitar 1.000 peserta dan Presiden Indonesia menyampaikan pidatonya) mustahil dapat terjadi dalam bentuk yang hampir sama tanpa REDD.

Tanggapan Lou Verchot terhadap pertanyaan REDD-Monitor mengenai tindakan pengaman (safeguards) dan fakta bahwa mereka masih sangat lemah di tingkat UNFCC juga menarik: “Dalam tahap tertentu hal itu dapat dipahami. Pemerintah-pemerintah tengah membuat keputusan-keputusan tentang standar-standar yang dapat mereka pertanggungjawabkan sendiri.”

Wawancara dengan Bernadinus Steni, HuMa: “REDD seharusnya menjadi sebuah jalan untuk mendukung dan memperkuat tenurial dari masyarakat lokal dan masyarakat adat yang mengelola hutan secara berkelanjutan”

Posisi HuMa mengenai REDD adalah mendukung masyarakat lokal dan masyarakat adat dan menentang REDD yang memperbolehkan berlanjutnya emisi gas rumah kaca melalui tindakan mengumpulkan kredit karbon.

HuMa bersikap kritis terhadap perdagangan karbon. Pandangan HuMa adalah bahwa setiap proyek REDD harus menghormati hak asasi manusia dan padiatapa. “Jika skema perdagangan karbon ditolak oleh masyarakat, seharusnya ia tidak dipaksakan. Secara umum kami harus bersikap kritis mengenai skema apapun yang datang dari luar dan memiliki potensi membawa dampak buruk kepada masyarakat lokal dan masyarakat adat, termasuk perdagangan karbon,” Bernadinus Steni menjelaskan.

HuMa adalah anggota kelompok masyarakat sipil yang menandatangani Platform Bersama.

HuMa bersikap kritis terhadap moratorium yang diimplementasikan sebagai bagian dari kesepakatan REDD Indonesia – Norwegia karena moratorium itu seharusnya berdasarkan kinerja ketimbang dibatasi hanya selama periode dua tahun. HuMa juga bersikap kritis terhadap Strategi Nasional REDD+ sejauh hal itu “hanya sebuah kebijakan” dan yang terpenting adalah apakah hal tersebut diterapkan atau tidak.

Wawancara dengan Frank Momberg, Fauna and Flora International: “Sebuah program REDD+ hutan masyarakat yang digulirkan secara nasional akan memiliki pengaruh luas dalam mengurangi deforestasi dan memberdayakan masyarakat lokal”

FFI memiliki beberapa proyek sejenis REDD di Indonesia. Hal yang menarik ketika mendengar Frank Momberg menggambarkan sejarah proyek Ulu Masen (dan komentarnya bahwa “FFI tidak memiliki hubungan sama sekali dengan Carbon Conservation pada tahap ini”). Setelah beberapa tahun merancang proyek, mengumpulkan dana dan membangun proyek, tidak ada kredit karbon yang terjual dari Ulu Masen.

Sebagaimana saya komentari selama wawancara tersebut, deskripsi Frank mengenai kerumitan membangun proyek-proyek REDD di Indonesia sudah jauh dari deskripsi-deskripsi awal REDD yaitu memberikan harga pada karbon yang disimpan di hutan yang dikatakan sebagai cara yang murah dan mudah dalam mengurangi deforestasi (dan menangani perubahan iklim).

FFI tetap berkomitmen terhadap model untuk mendanai konservasi hutan melalui perdagangan karbon dalam proyek-proyek lain di Indonesia dan Momberg berkomentar bahwa “dalam jangka panjang sebuah sistem perdagangan dapat berkontribusi terhadap pendanaan mekanisme REDD+ global.”

Walau demikian, kekecewaan Momberg tampak nyata menjelang akhir wawancara: “Menurut saya adalah hal yang hampir memalukan bahwa setelah lima tahun kita masih tidak memiliki penjualan kredit karbon dari Indonesia di pasar sukarela.”

Wawancara dengan Budhi Sayoko, Laksmi Banowati dan Rogier Klaver, UN-REDD Indonesia: “REDD+ adalah hal yang menjanjikan untuk mengatasi deforestasi”

Sebelum meneliti pertanyaan-pertanyaan untuk wawancara ini, saya tidak menyadari bahwa program UN-REDD di Indonesia akan ditutup pada bulan Juni 2012.

Provinsi pilot UN-REDD adalah Sulawesi Tengah. Saya khawatir saya tidak tahu tentang mengapa UN-REDD memilih Sulawesi Tengah, selain dari fakta bahwa beberapa kriteria digunakan, Sulawesi Tengah bukan merupakan salah satu dari sembilan provinsi REDD di Indonesia dan Sulawesi Tengah memiliki keanekaragaman hayati yang unik.

Laman UN-REDD menyatakan bahwa REDD akan menjadi sebuah mekanisme perdagangan karbon. Tanggapan Budhi Sayoko terhadap pertanyaan REDD-Monitor mengenai kesulitan-kesulitan yang tengah dihadapi oleh pasar karbon berujung pada sekedar pengakuan bahwa ada atau tidaknya harga pada karbon, kita perlu melestarikan hutan.

UN-REDD memang menggunakan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan dan telah mengembangkan panduan-panduan mengenai padiatapa. (UN-REDD baru-baru ini mengadakan sebuah pertemuan di Bogor mengenai padiatapa. Sayangnya, pertemuan tersebut diadakan bersamaan dengan Kongres ke-4 Masyarakat Adat Nusantara. Bukan pilihan waktu yang terbaik.)


REDD-Monitor berterima kasih pada ICCO yang mendanai proyek ini.