Wawancara dengan Teguh Surya, WALHI: “Kami menolak REDD. Kami menolak perdagangan karbon.”

 
Bagian kedua dari sepuluh wawancara dengan pelaku REDD oleh REDD Monitor yang diterjemahkan oleh DTE

Tulisan asli dalam Bahasa Inggris di situs web redd-monitor.org

Oleh Chris Lang, 9 Maret 2012

REDD-Monitor: Tolong mulai dengan penjelasan secara singkat mengenai apa itu WALHI dan apa saja tujuannya di Indonesia.

Teguh Surya: WALHI adalah gerakan lingkungan terbesar di Indonesia. Di Indonesia kami melakukan advokasi kebijakan dan bekerja untuk memperkuat hak-hak masyarakat, khususnya dalam isu-isu sumber daya alam. Karena kami merupakan gerakan akar rumput, kami bekerja secara erat dengan  masyarakat, dan kami melakukan edukasi kepada mereka tentang hak-hak mereka dan kami membantu mereka untuk mendapatkan hak-hak mereka. Kami bekerja sama dengan masyarakat yang memiliki masalah atau berkonflik dengan perkebunan kelapa sawit atau konsesi pertambangan. Kami bekerja sama dengan mereka dan mendiskusikan serta merancang strategi untuk mencapai target dan bagaimana mendapatkan kembali lahan mereka. Konflik tenurial tanah dan perampasan tanah merupakan isu yang besar di Indonesia. Ini bukanlah sesuatu yang merupakan masa lalu Indonesia, ini masih terus berlangsung. Hal ini masih terjadi saat ini.

REDD-Monitor: Jadi WALHI memiliki kantor pusat di Jakarta dan jaringan kelompok-kelompok di penjuru negeri?

Teguh Surya: WALHI di Jakarta, kantor ini, merupakan sekretariat nasional, dan kami memiliki 27 kantor regional dengan 483 anggota organisasi ornop dan 150 anggota perorangan. Kami hanya perlu menambah lima provinsi lagi dan jaringan kami akan meliputi seluruh Indonesia.

REDD-Monitor: Bagaimana prinsip persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan mempengaruhi kerja WALHI dengan masyarakat lokal?

Teguh Surya: Sebenarnya, kami setuju dengan prinsip padiatapa, sebelum padiatapa menjadi isu yang terkenal, kami telah melakukannya, tetapi dengan istilah yang berbeda. Kami menggunakan hak veto. Kami setuju bahwa jika pemerintah berencana melakukan pembangunan di suatu daerah mereka harus berkonsultasi dengan masyarakat, bahkan sebelum mereka mengeluarkan izin, sebelum investor meminta izin terkait. Dan kemudian keseluruhan proses, semua informasi tersebut, harus transparan. Masyarakat harus mengetahui apa yang direncanakan. Pemerintah dan institusi terkait lainnya harus berbagi dan terbuka, transparan mengenai proses tersebut dan masyarakat memiliki hak untuk mendiskusikan posisi mereka di antara mereka sendiri dan kemudian membuat keputusan. Setelah masyarakat tersebut mencapai suatu keputusan, pemerintah harus menghormati keputusan mereka.

REDD-Monitor: Tolong jelaskan kerja WALHI mengenai REDD

Teguh Surya: Kerja WALHI dalam isu-isu REDD dimulai tahun 2005 dan berlanjut hingga hari ini. Sebelum bekerja dalam isu REDD kami bekerja dengan para anggota WALHI bersama dengan masyarakat lokal untuk memperoleh pengakuan dari pemerintah tentang sistem hutan kemasyarakatan. Jadi itu tetap menjadi pusat perhatian kami. Di Indonesia kami tahu ada banyak masyarakat lokal yang mengelola hutan mereka, di Jambi, di Riau, di Kalimantan mereka memiliki perangkat sendiri tentang bagaimana cara mengelola hutan. Masyarakat tersebut berhasil menerapkan kearifan mereka, metodologi mereka untuk menyelamatkan hutan.

Dan kemudian, setelah COP11 di Montreal, ketika Kosta Rika dan Papua Nugini menyerahkan proposal mereka tentang REDD, kami mencoba menantang insiatif tersebut. Kami bertanya kenapa mereka mempromosikan skema baru tersebut tanpa mengakui skema sebelumnya? Skema milik rakyat dan masyarakat adat tersebut telah terbukti berhasil menyelamatkan hutan.

Tentu saja, kami setuju untuk mengurangi emisi dari deforestasi tapi kenyataannya REDD saat ini berbeda, ini bukan untuk menyelamatkan hutan, mereka mengelabui kami. Mereka mengatakan kami ingin menyelamatkan hutan, tapi pada kenyataannya mereka ingin memperluas lebih banyak lagi industri ekstraktif, minyak sawit dan seterusnya.

Dalam hal anggota WALHI yang bekerja dalam isu REDD, kami adalah sekretariat nasional WALHI, WALHI di Jambi, Kalimantan Tengah, Aceh, Riau, Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah.

REDD-Monitor: Bagaimana posisi WALHI terhadap REDD?

Teguh Surya: Kami menolak REDD. Salah satu alasannya adalah definisi-definisi yang digunakan dalam REDD.  Kita tidak bisa menyelamatkan hutan karena definisi dari hutan itu sendiri tidak jelas. Definisi hutan adalah definisi dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB bukan? Itu artinya ada sebuah ambiguitas di jantung REDD. Beberapa pemerintah dapat menggunakan definisi tersebut untuk memasukkan perkebunan monokultur kelapa sawit sebagai hutan. Itu hampir terjadi di Indonesia beberapa bulan yang lalu, melalui keputusan menteri. Keputusan tersebut akhirnya dicabut.

Alasan lainnya untuk menentang REDD adalah pola produksi dan konsumsi. Kami tidak mendapat jawaban ketika bertanya pada para ornop dan pemerintah-pemerintah di negara-negara Annex I, bagaimana Anda bisa membantu Indonesia menyelamatkan sisa hutannya jika permintaan Anda akan bahan mentah, seperti minyak sawit mentah (CPO) dan produk-produk pertambangan, terus meningkat. Itu artinya Anda mendorong pemerintah Indonesia untuk mengkonversi lebih banyak hutan dengan menanam lebih banyak kelapa sawit dan memproduksi lebih banyak CPO, dan di sisi lain Anda mengatakan Anda harus melestarikan hutan Anda. Itu mustahil.

Sebenarnya, itu mudah. Jika kita setuju untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, pertama kita harus mengurangi permintaan dari negara-negara Annex I, atau negara-negara industri. Pertama. Dan kemudian pada saat yang sama, kami harus memperkuat dan memperbaiki tata kelola hutan kami.

Alasan ketiga untuk menentang REDD adalah masalah kebocoran. Sampai pertemuan Durban, mereka hanya bicara tentang uang, peluang REDD dalam Dana Iklim Hijau. Mereka tidak mau membicarakan kebocoran dan isu tersebut masih tidak jelas. Karena yang menjadi masalah adalah permintaan dari negara-negara Annex I dan produksi mereka yang terus meningkat. Kita tidak bisa menyelesaikan masalah kebocoran sampai mereka menghentikan atau mengurangi permintaan mereka.

Bahkan jika kami berhasil 100% mengurangi deforestasi di Indonesia, bagaimana dengan Malaysia, bagaimana dengan Papua Nugini? Karena selama permintaan akan bahan mentah terus berlanjut kerusakan akan terus terjadi.

Alasan lainnya adalah pengakuan atas hak karbon. Siapa yang memiliki hak karbon? Apakah masyarakat? Atau orang-orang yang bergantung pada hutan? Atau perusahaan? Atau pemerintah? Ini sebuah pertanyaan penting, karena di Indonesia kami tahu bahwa banyak masyarakat adat dan masyarakat lokal yang tinggal di wilayah hutan. Tapi masih tidak ada pengakuan dalam Undang Undang tentang hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal yang terkait dengan hutan. Jadi jika REDD diterapkan sebelum masalah ini diselesaikan itu berarti bahwa proses perampasan lahan akan terus terjadi dan masyarakat akan kehilangan sumber mata pencahariannya.

REDD-Monitor: Dan bagaimana posisi WALHI terhadap perdagangan karbon?

Teguh Surya: Kami tentu saja menolak perdagangan dan pengkompensasian karbon. Pada tingkat global, REDD akan menggunakan perdagangan karbon dan pengkompensasian karbon. Melalui skema ini mereka akan memperbolehkan negara-negara Annex I mengelak dari tanggung jawab mereka terhadap emisi gas rumah kaca. Bahkan jika proyek-proyek REDD diciptakan di seluruh daerah tropis, kami tidak bisa menyelamatkan iklim jika negara-negara Annex I terus melepaskan gas-gas rumah kaca dan terus menggunakan bahan bakar fosil. Itulah pandangan WALHI. Bahkan jika kita dapat bersepakat mengenai REDD dan menyelesaikan semua masalah utama tersebut, jika REDD melibatkan penggunaan perdagangan dan pengkompensasian karbon, kami harus menentangnya. REDD harus didanai oleh dana publik. Dana tambahan, bukanlah dana yang diambil dari ODA, tapi ODA-plus.

Pada tahun 2009 di Indonesia sebuah undang-undang diberlakukan yang menyatakan bahwa Indonesia akan mengembangkan sebuah sistem perdagangan karbon dan perdagangan emisi. Indonesia juga memiliki Keputusan Menteri Kehutanan yang menyatakan bahwa Indonesia telah sepakat untuk mengembangkan pengkompensasian melalui REDD. Itu sebabnya pemerintah Norwegia, Australia, Jerman, Korea, Jepang dan negara-negara maju lainnya sangat tertarik dalam menginvestasikan uang dalam REDD di Indonesia. Mereka tertarik dengan perdagangan karbon di masa depan, setelah 2020.

REDD-Monitor: WALHI telah memfokuskan sebagian besar kritiknya terhadap REDD dalam Kemitraan Hutan dan Iklim Kalimantan (KFCP) yang didanai Australia. Bisakah Anda menceritakan sedikit tentang perjalanan ceramah Anda di Australia dan menjelaskan mengapa WALHI memfokuskan diri pada proyek REDD ini secara khusus.

Teguh Surya: Kami telah mengerahkan energi dan memusatkan perhatian pada Kalimantan Tengah karena kami pikir bahwa Kemitraan Hutan dan Iklim Kalimantan merupakan proyek REDD yang paling besar dan paling terdepan di negara ini. Di Indonesia kita punya banyak inisiatif REDD, totalnya 44 proyek. Tapi proyek Kalimantan Tengah tampaknya telah mengalami kemajuan lebih jauh ketimbang yang lain. Sehubungan dengan kampanye itu kami mengajukan sebuah keberatan kepada pemerintah Australia secara langsung pada bulan November 2010.

Para pengembang proyek KFCP mengatakan bahwa mereka melaksanakan proses padiatapa dengan baik. Tapi itu sebuah kebohongan, karena mereka telah mengambil keputusan terlebih dahulu. Mereka memperoleh izin dari pemerintah dan kemudian mereka mulai mengurus konsultasinya. Itu cara yang terbalik.

Ketika kami berbicara dengan orang-orang yang mengimplementasikan proyek KFCP, kami mendapat kesan bahwa mereka meyakini bahwa jika mereka berbicara sejak awal dengan masyarakat Dayak Ngaju (masyarakat adat yang tinggal di daerah proyek tersebut), gagasan proyek tersebut mungkin akan ditolak. Jadi mereka lebih dahulu mendapatkan persetujuan dari pemerintah dan kemudian mereka mulai merancang proyek tersebut. Setelah itu barulah mereka bicara dengan masyarakat.

Ada terlalu banyak kebohongan dalam proyek KFCP. Kami bertemu dengan Partai Buruh Australia, kami bertemu dengan Partai Hijau di Melbourne dan kemudian Partai Liberal di Canberra. Mereka menerima laporan dari pemerintah Australia yang menjelaskan bahwa ada konsultasi yang lebih baik, tapi bahkan fasilitator masyarakat yang melakukan konsultasi mengakui bahwa mereka hanya menjelaskan kepada masyarakat bahwa hutan sama dengan uang. Jadi itulah REDD. Jika Anda punya hutan Anda mendapatkan uang. Jika Anda membakar hutan, uang Anda juga ikut terbakar. Itu saja.

Dan hasil dari semua ini adalah terjadinya konflik di antara masyarakat Dayak Ngaju sendiri. Tetua masyarakat mengatakan bahwa kami tidak butuh REDD, karena kami butuh tanah kami untuk memproduksi makanan dan demi mata pencaharian berkelanjutan kami. Tapi anak-anak muda tidak setuju, karena mereka mengatakan “Kami butuh pekerjaan, ini manusia modern. Kami tidak akan menjaga hutan kami tanpa insentif.” Hasilnya adalah konflik. Itulah satu alasan mengapa kami dan perwakilan Dayak Ngaju pergi ke Australia dan berbicara dengan pemerintah Australia.Hal lainnya, ketika penolakan dari masyarakat Dayak Ngaju menjadi sangat besar, mereka mendatangkan penyanyi dangdut, “penari seksi”, pada bulan November/Desember 2010. KFCP sebenarnya tidak menginginkan adanya proses yang transparan untuk mengungkapkan realitas proyek ini, mereka hanya ingin mengamankan proyek mereka. Fokus mereka adalah pengkompensasian karbon. Mereka berharap untuk mendapatkan kredit karbon dari proyek tersebut. Jadi mereka memberikan sekitar 10 juta rupiah (sekitar USD1.100) untuk setiap desa dan mereka mendatangkan dangdut koplo. Setelah itu mereka meminta para penduduk desa untuk menuliskan nama mereka dan apa yang mereka inginkan dari proyek tersebut. Para pengembang proyek menyimpan daftar tersebut, tapi kami tidak tahu apa yang terjadi dengan dokumen tersebut.

Bulan lalu, Yayasan Petak Danum, salah satu organisasi lokal, bersama masyarakat Dayak Ngaju menduduki berhektare-hektare area di Kalimantan Tengah. Ini tentang perkebunan sawit tapi masih di area yang sama dengan KFCP.

REDD Monitor: Apakah ada konsesi kelapa sawit dalam area proyek KFCP?

Teguh Surya: Ya. Awalnya ada proyek besar persawahan (PLG) pada tahun 1996-1997. Proyek itu gagal dan kemudian mereka mengundang pemerintah Belanda dan Shell serta Borneo Orangutan Survival (BOS) Mawas, Wetlands International, CARE dan WWF untuk melaksanakan Proyek Lahan Gambut Kalimantan Tengah (CKPP). Itu juga gagal. Tapi BOS Mawas mendapatkan area untuk konservasi orangutan yang luas, 400.000 hektare, Blok E, di kawasan sebelah utara. Dan ketika berbagai proyek gagal, pemerintah mengeluarkan banyak izin di lahan tersebut dan sekarang keadaannya amat sangat kacau, dengan banyak izin yang tumpang tindih di lahan tersebut.

Satu pertanyaan dari masyarakat Dayak Ngaju adalah tentang status kepemilikan lahan. Siapa pemilik tanah ini? Sejak proyek besar persawahan tersebut, telah ada CKPP, perkebunan kelapa sawit dan sekarang REDD. Dan tidak ada orang dari pemerintahan atau para pengembang proyek yang dapat memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang sederhana ini, tanah siapa ini? Dan selama tidak ada jawaban, mereka berkeras bahwa tanah ini milik masyarakat Dayak, khususnya Dayak Ngaju. Tapi BOS Mawas berpendapat bahwa lahan hutan tersebut milik BOS Mawas karena mereka memiliki izin untuk melindungi orangutan. Lalu kemudian proyek KFCP tumpang tindih dengan proyek BOS Mawas. Itu artinya wilayah ini milik BOS Mawas dan Australia.

REDD Monitor: Banyak ornop yang mengerjakan isu REDD mengatakan “Tak ada hak, tak ada REDD”. Argumen mereka adalah bahwa jika kita bisa mendapat tindakan pengaman (safeguard) yang cukup kuat maka kita bisa menghindari bahaya terburuk dari REDD.  Bagaimana posisi WALHI mengenai tindakan pengaman?

Teguh Surya: Pertanyaan bagus. Tapi sulit! Kami punya posisi yang berbeda. Pertama tentang “Tidak ada hak, tidak ada REDD”, sebenarnya WALHI berpikir bahwa pemerintah, lokal dan nasional, memiliki tanggung jawab untuk mengakui hak masyarakat adat dan masyarakat lokal terhadap hutan. Dan mereka juga memiliki hak-hak, yang harus diakui oleh pemerintah, untuk mengatakan ya atau mengatakan tidak pada REDD.

Bagi WALHI, hak untuk ikut serta dalam REDD adalah hak masyarakat tersebut. Pengakuan hak-hak itu adalah suatu kewajiban. Pemerintah tidak bisa mengatakan kami akan mengakui hak-hak kalian, tapi kalian harus ikut serta dalam REDD. Itu salah dan WALHI menentang hal itu. Tapi kami setuju bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengatakan ya, atau mengatakan tidak, terhadap proyek REDD. Itu adalah sebuah posisi yang berbeda ketimbang, “Tidak ada hak, tidak ada REDD”.

Bagaimana kita menyelamatkan hutan melalui tindakan pengaman? Bahkan ketika kita memiliki tindakan pengaman yang kuat kami meyakini bahwa kita tidak bisa menyelamatkan hutan selama produksi dan permintaan negara-negara Annex I terus meningkat. Tindakan pengaman berada di tengah-tengah perdebatan. Tanpa menyelesaikan masalah-masalah utama di sektor kehutanan, tindakan pengaman tidak ada gunanya.

Di WALHI kami tidak memahami fokus pada tindakan pengaman ini. Banyak ornop di Indonesia sama sekali tidak pernah berbicara tentang kebocoran, mereka sama sekali tidak pernah mau berbicara tentang definisi hutan, mereka sama sekali tidak pernah mau berbicara tentang akar permasalahan deforestasi atau masalah-masalah utama dengan REDD. Mereka hanya bilang bahwa kita bisa menyelamatkan masyarakat adat melalui tindakan pengaman. Itu kebohongan. Definisi REDD sendiri tidak jelas sampai sekarang. Mereka masih memperbolehkan “pengelolaan hutan berkelanjutan” (sustainable forest management), termasuk konsesi penebangan kayu. Lalu peningkatan cadangan karbon dapat berarti perkebunan monokultur.

REDD-Monitor: Tahun lalu ada sebuah perjanjian mengenai illegal logging antara Uni Eropa (UE) dan Indonesia. Negosiasi-negosiasi untuk hal itu berlangsung bertahun-tahun, sedangkan dengan REDD mereka mengatakan, yang kami perlukan hanya sebuah harga terhadap karbon di hutannya. Seberapa besar keterlibatan WALHI dalam diskusi-diskusi illegal logging dan apakah menurut Anda ada pelajaran yang dapat dipetik dalam cara menerapkan REDD yang saat ini tengah dilakukan?

Teguh Surya: Sebenarnya WALHI terlibat sejak tahun 2002-2003. Pada tahun 2008 kami mengeluarkan sebuah laporan kritis tentang  Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Bidang Kehutanan (FLEGT). Penegakan hukum dan tata kelola memang penting tapi “T”-nya kependekan dari trade (perdagangan). Sebenarnya, Eropa hanya ingin mengamankan pasokan kayunya. Karena mereka di satu sisi mengatakan bahwa industri masih memerlukan pasokan kayu dan di sisi lain mereka mendapat tekanan dari pasar mengenai isu lingkungan.

Selama lebih dari 15 tahun, kami telah menemukan bahwa sertifikat, ekolabel dan FLEGT tidak relevan dalam mengurangi deforestasi. Saat perdebatan meningkat, deforestasi juga meningkat. Itu tidak ada gunanya.

Selama Eropa tidak mau mengurangi atau mengubah pola produksi dan konsumsi mereka, industri akan menemukan cara lain untuk memenuhi kebutuhan mereka. Jika mereka tidak bisa secara langsung mengakses dari Indonesia, kayu-kayu tersebut akan pergi melalui Vietnam dan kemudian ke Eropa dan juga sekarang ke Australia.

Hal yang sama terjadi pada minyak sawit mentah (CPO). Pasar global percaya bahwa hanya Malaysia yang dapat menyediakan CPO hijau, CPO berkelanjutan. Tapi kenyataannya, sebagian besar dari CPO Malaysia berasal dari Indonesia.

Kenapa situasi ini terjadi? Karena kapasitas produksi industri tetap tinggi dan mereka tak mau mengurangi kapasitas. Itu sebabnya mereka menemukan cara lain untuk memenuhi permintaan mereka akan bahan baku. FLEGT dan sertifikat untuk pemberian ekolabel tidak membahas masalah-masalah seperti perubahan pola-pola produksi. Kita dapat memperbaiki FLEGT dan pemberian ekolabel jika negara-negara industri, atau para konsumen di AS, UE, Jepang, Cina, dan India juga menurunkan kapasitas produksi mereka.

REDD Monitor: Bagaimana pandangan WALHI terhadap kesepakatan USD1 milyar  antara Indonesia dan Norwegia? Khususnya mengingat bahwa moratorium tersebut hanya dua tahun, hanya berlaku pada hutan-hutan primer dan sedikit lebih besar dari “bisnis seperti biasa”.

WALHI, berkoalisi dengan beberapa ornop lain, tengah mempromosikan sebuah moratorium terhadap illegal logging, karena kami meyakini bahwa sebuah moratorium illegal logging akan menciptakan momentum untuk menyelesaikan seluruh masalah utama dalam sektor kehutanan, karena kami menuntut agar mereka menerapkan penegakan hukum, transparansi dan pengakuan  hak-hak masyarakat adat dan lokal. Tapi pemerintah masih mencurangi kami. Moratorium yang dikeluarkan tahun lalu masih memperbolehkan perizinan yang masih berlaku, perpanjangan terhadap konsesi yang berlaku dan seterusnya.

Moratorium ini cuma bisnis saja. Norwegia dan Indonesia sama-sama ingin memperlihatkan niat baik mereka di tingkat global. Tapi pada kenyataannya mereka sama-sama tahu bahwa deforestasi di Indonesia akan berlanjut dan Norwegia akan terus memperluas bisnis minyaknya di Indonesia dan negara-negara lain. Kami tahu bahwa Norwegia memiliki rencana untuk menkompensasi karbon. Saya tidak tahu seberapa banyak, berapa persen yang mereka rencanakan untuk dikompensasikan, tapi mereka telah mempunyai sebuah kesepakatan dan Indonesia merupakan salah satu negara targetnya. Walaupun Indonesia menandatangani perjanjian Surat Pernyataan Kehendak dengan Norwegia, pemerintah masih mengeluarkan banyak izin.

REDD Monitor: Indonesia adalah sebuah negara yang penting dalam perdebatan REDD. Terdapat lebih dari 40 proyek REDD, dan Presiden Indonesia terus mengatakan betapa pentingnya menyelamatkan hutan. Pada saat yang sama, konsesi minyak bumi, konsesi minyak sawit, konsesi pertambangan dan konsesi pulp dan kertas terus meluas. (APP baru-baru ini mengumumkan akan mendirikan kilang bubur kertas terbesar di dunia). Dengan mempertimbangkan semua ini, apakah Anda optimis atau pesimis terhadap cara REDD berkembang di Indonesia?

Teguh Surya: Tentu saja pesimis. Karena mustahil melakukan hal yang salah dan hal yang benar di saat yang bersamaan. Jika Anda ingin menyelamatkan paru-paru Anda, Anda harus berhenti merokok. Pemerintah mengatakan bahwa kita akan menyelamatkan hutan Kalimantan sebagai “paru-paru dunia”. Tapi hanya 45%. Mereka akan mengeksploitasi 55% sisanya. Anda tidak bisa menyelamatkan paru-paru Anda jika masih ketagihan merokok. Itu mustahil.


Wawancara ini adalah yang kedua dari serangkaian wawancara dengan aktor-aktor kunci REDD di Indonesia. REDD-Monitor berterimakasih pada ICCO yang mendanai proyek ini.