- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Tema
Publikasi
Kawasan
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Tantangan berat di hadapan pemerintah baru
Down to Earth No 43 November 1999
Pemerintah demokratis Indonesia yang baru yang dipimpin Presiden Abdurrahman Wahid mewarisi banyak masalah serius dari pendahulunya, paling tidak krisis sumber alam dan nasib jutaan rakyat di pedesaan dan masyarakat adat yang hidupnya tergantung dari situ.
Ketika Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR) Indonesia memilih pemimpin Muslim yang dihormati, Abdurrahman Wahid, sebagai presiden Republik Indonesia mendatang, negeri itu secara serentak menghela nafas lega. Yang pertama, penerus dan murid Suharto, B.J. Habibie, tidak terpilih kembali, dan yang kedua, proses pemilihan tidak mengarah pada konflik besar-besaran yang memungkinkan militer mengambil alih dengan pertumpahan darah. Pendukung Megawati Soekarnoputri tentu saja kecewa, karena partai yang ia pimpin PDI-P meraih suara terbesar dalam pemilihan umum Juni lalu, namun ada hiburan dengan terpilihnya dia menjadi wakil presiden. Organisasi lingkungan utama, WALHI, sama seperti organisasi lainnya, menyambut presiden baru dengan optimisme yang hati-hati, dengan menganggapnya sebagai pilihan terbaik dari proses pemilihan yang tidak memuaskan. WALHI mengatakan pemilihan baru harus dilakukan dua tahun lagi untuk memungkinkan rakyat Indonesia memilih langsung presiden mereka. INFID, gabungan LSM Indonesia dan internasional yang mengkampanyekan masalah-masalah pembangunan menyambut baik Presiden Wahid, dengan menyebutnya ‘’pelopor’ gerakan mereka.
Apa petunjuk-petunjuk dari sikap rejim baru terhadap hak asasi manusia dan lingkungan? Pada saat kami menyiapkan Down To Earth edisi ini, Presiden Wahid (yang juga dikenal sebagai Gus Dur) baru saja mengumumkan kabinetnya, yang mencakup jabatan menetri baru untuk hak asasi manusia dan otononomi wilayah. Sebagian besar dari pria (dan hanya beberapa) wanita yang terpilih sudah dikenal baik: Erna Witoelar, mantan Direktur WALHI dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, menduduki jabatan Menteri Pemukiman dan Pengembangan Wilayah, dan Juwono Sudarsono, yang menjabat Menteri Lingkungan dalam waktu singkat di bawah rejim Suharto tahun 1998 (lihat DTE 37), menjadi orang sipil pertama yang menjabat Menteri Pertahanan. Kwik Kian Gie, ahli ekonomi yang dihormati dan pendukung Megawati, menduduki jabatan penting Menteri Kordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri, sementara mantan menteri lingkungan lainnya dan pengkritik Suharto, Sarwono Kusumaatmadja, menjabat Menteri Ekplorasi Maritim, yang merupakan jabatan kabinet baru. Yang lainnya relatif tidak dikenal: Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Nur Mahmudi Ismail (ahli teknologi pangan dan Ketua Umum Partai Keadilan, Menteri Pertanian yang baru, M. Prakosa, dan Menteri Lingkungan yang baru, Sonny Keraf, misalnya, bukanlah nama-nama yang dikenal. Sayangnya, ini mungkin merupakan petunjuk bahwa bidang-bidang penting yang mempengaruhi sumber alam tidak mendapat priotitas utama. Penunjukan SONY Keraf sudah dikritik oleh WALHI dan yang lainnya, karena dia tidak mempunyai pengalaman dalam politik lingkungan. Yang juga tidak menyenangkan adalah Menteri Pertambangan dan Energi yang baru, Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono, yang merupakan salah satu dari lima militer yang ditunjuk masuk dalam kabinet. Ini tampaknya merupakan petunjuk bahwa Presiden baru menganggap sektor pertambangan, minyak dan gas sebagai industri strategis yang membutuhkan tangan keras.
Secara umum, apa yang disebut Kabinet Persatuan Nasional, tampaknya merupakan kabinet kompromi yang dimaksudkan untuk mengakomodasi tujuh partai politik yang meraih suara terbesar Bulan Juni lalu. Kabinet itu juga memperjuangkan keseimbangan regional disamping keseimbangan politis, dimana jabatan menteri diberikan pertama kali untuk orang Papua Barat.
Bagaimanapun ada tanda-tanda perubahan positif sehubungan dengan hak asasi manusia, pemerintahan yang berdasarkan hukum serta (Menteri Pertambangan yang baru tidak termasuk) keinginan untuk mengurangi militer dari politik. Garis Besar Haluan Negara yang ditetapkan dalam Sidang Umum MPR Oktober lalu, yang juga memilih Presiden, menetapkan arahan kepada pemerintah baru untuk tidak memberikan pemberian kursi bagi militer di parlemen tanpa ikut serta dalam pemilihan umum. GBHN juga mengharuskan pemerintah untuk memberi status otonomi khusus kepada Aceh dan Papua Barat.
Namun masalah yang dominan masih tetap kebijakan ekonomi. GBHN menyatakan pinjaman asing harus dikurangi secara bertahap sebagai langkah untuk menyusun anggaran negara yang layak dengan defisit yang kecil. GBHN juga mengharuskan pemerintah untuk merundingkan kembali dan menyusun kembali hutang-hutang luar negeri lewat bekerjasa sama dengan Dana Moneter Internasional IMF. Wahid juga menyatakan bahwa ‘modal asing’ tetap merupakan dua kata yang paling penting bagi ekonomi, sementara menteri ekonominya, yang merupakan pengkritik IMF ketika masih menjadi oposisi, sudah mengambil langkah yang lebih berdamai sejak penunjukkannya. Yusuf Faisal, Sekjen Dewan Ekonomi Nasional, diberi tugas untuk menyusun persyaratan baru bagi program IMF. Melalui langkah yang bisa menjadi positif, ia secara khusus menyebut kebutuhan untuk mengubah beberapa reformasi IMF sehubungan dengan impor beras, kehutanan dan masalah-masalah lingkungan.
Jabatan menteri baru dalam kabinet, yaitu Menteri Pemukiman dan Pengembangan Wilayah serta Menteri Ekspolrasi Kelautan belum ketahuan warnanya. Keduanya secara potensial sangat penting bagi masyarakat setempat dan hak-hak atas sumber alam. Jabatan Eksplorasi Kelautan mungkin menunjukkan pusat perhatian baru Indonesia sebagai negara maritim, namuan sejumlah LSM prihatin walau hal ini berarti eksploitasi sumber-sumber kelautan yang tidak berkesinambungan, jadi bukannya perhatian padakebutuhan masyarakat nelayan dan pantai.
Secara keseluruhan, keinginan untuk memusatkan perhatian pada sumber-sumber alam dan nasib masyarakat pedesaan tidak mendapatan perhatian yang sebenarnya dibutuhkan, walaupun lobbynya intensip.Organisasi-organisasi lingkungan menekan pemerintah untuk membentuk Dewan Sumber Alam untuk menjamin bahwa keprihatinan lingkungan menjadi pertimbangan di semua area-area yang relevan, namun tidak ada tanda-tanda bahwa tuntutan itu akan dipenuhi.
Lagi-lagi hal ini tampaknya menunjukkan kurangnya komitmen untuk menempatkan kebutuhan bagi keadilan sosial dan perlindungan lingkungan di jantung pemerintahan. Sementara pusat perhatian pada hak asasi manusia disambut baik, sulit untuk melihat hal itu bisa diwujudkan tanpa mengkaitkannya dengan tingkat komitmen bagi reformasi dalam manajemen sumber alam. Di sebagian besar daerah pedesaan, kedua keprihatinan itu tidak dipisahkan. Hak asasi dibutuhkan di jantung kebijakan manajemen sumber alam seperti halnya penggunaan sumber alam secara bijak dibutuhkan untuk menjamin hak asasi manusia.Tanpa keduanya, eksploitasi lingkungan (pengrusakan hutan, polusi tanah pertanian, sungai, laut dan sebagainya) serta pelanggaran hak asasi manusia (pengusiran paksa, penolakan atas sumber-sumber alam dan sebagainya) akan berlangsung terus atas nama pembagunan ekonomi.
Bulan-bulan mendatang ini akan mengungkapkan sejauh mana Presiden Wahid dan timnya yang baru akan mewujudkan reformasi mendasar yang dibutuhkan Indonesia, menangani tuntutan kemerdekaan dari Papua Barat, Aceh, dan wilayah-wilayah lainnya, dan juga merundingkan kembali dengan para pemberi pinjaman suatu pendekatan yang lebih baik bagi pemulihan ekonomi yang disokong oleh prinsip-prinsip pembangunan berkesinambungan.
(Sumber-sumber : New York Times 27/10/00; Media Indonesia, Kompas, Dow Jones Newswire, IPS 29/10/99; INFID Circular Letter No. 18, October 99; Financial Times 27/10/99)