Standar IFI gagal memenuhi hak-hak adat

Down to Earth No 70  August 2006

Ornop dan masyarakat adat menuntut untuk lebih memberi perhatian atas dampak yang ditimbulkan oleh pinjaman yang diberikan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional (LKI) kepada masyarakat adat. Mereka mengharapkan agar LKI - termasuk bank-bank multinasional seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB), serta dana PBB, lembaga-lembaga donor bilateral dan bank-bank swasta - untuk mengakui kepentingan mendasar menghormati hak-hak masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumber daya dan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan dalam kegiatan mereka yang berhubungan dengan pembangunan.


Pernyataan yang disampaikan oleh Ornop yang berbasis di Inggris, Forest Peoples Programme (FPP), dan sejumlah organisasi adat pada Forum Permanen PBB untuk Isu Adat di sesi bulan Mei 2006 tentang menyoroti fakta bahwa proyek-proyek LKI dan hutang sektoral sering kali menimbulkan dampak negatif yang serius, yang tidak begitu saja dihindari sebab IFI memiliki kebijakan tentang masyarakat adat.1

Sejumlah LKI baru-baru ini telah merevisi atau tengah memperbarui kebijakan tindakan pengaman (safeguards) mereka, termasuk Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan Bank Pembangunan Antar-Amerikaserta IFC (lihat bawah). Dalam pernyataan bersama tersebut ditegaskan bahwa kebanyakan dari bantuan itu, ada di bawah standar hak asasi manusia internasional yang diterapkan kepada masyarakat adat, sementara bantuan tertentu, khususnya bantuan teknis, bantuan pinjaman struktural dan sektoral, tidak mempunyai jaminan khusus yang bisa diterapkan kepada masyarakat adat. Beberapa lembaga, termasuk Global Environment Facility, serta kebanyakan donor bilateral dan badan kredit ekspor, serta sejumlah bank komersial besar, tidak memiliki kebijakan resmi untuk masyarakat adat.

FPP dan kelonpok-kelompok adat yang menyampaikan pernyataan tersebut percaya bahwa masyarakat adat dan Forum Permanen - sebuah badan penasihat untuk PBB, dibentuk tahun 2002 atas dorongan organisasi-organisasi masyarakat adat - seharusnya berpartisipasi aktif dalam revisi kebijakan LKI untuk memastikan bahwa mereka konsisten dengan hak-hak adat.

 

Perlindungan IFC yang baru mendapat kritik

Satu lembaga yang telah menyelesaikan revisi kebijakannya adalah International Finance Corporation atau Korporasi Keuangan Internasional, yaitu badan pinjaman sektor swasta dari Kelompok Bank Dunia, yang memberi pinjaman, modal atau saham, bantuan dalam berinvestasi dan bantuan teknis kepada sektor bisnis. IFC telah menyatakan kesanggupan untuk mendanai 81 proyek di Indonesia sejak tahun 1968 sebesar US$2,6 milyar, termasuk investasi dalam bidang perkebunan kelapa sawit - suatu sektor yang dikenal melanggar hak-hak masyarakat adat dan merusak hutan.

Kebijakan baru IFC tentang Social and Environmental Sustainability atau Keberlanjutan Sosial dan Lingkungan, ditambah dengan delapan standar kinerja baru - termasuk salah satunya tentang masyarakat adat - disetujui oleh Dewan Kelompok Bank Dunia pada bulan Februari 2006. Penjajakan awal oleh FPP telah menunjukkan beberapa unsur yang mungkin positif, tapi juga kekurangan serius dari standar tersebut - baik dalam isinya maupun prosesnya yang terburu-buru untuk pengembangan dan pengadopsiannya.

Unsur positif yang potensial mencakup tindakan pengamanan terhadap proyek 'berisiko tinggi' yang berlokasi di tanah adat atau menggunakan sumber daya mereka, yang secara tidak langsung menyatakan bahwa IFC tidak akan mendanai proyek yang negosiasinya dengan masyarakat adat menemui jalan buntu. Terdapat pula tindakan pengamanan tidak langsung yang menentang pemindahan paksa sebab negosiasi yang hasilnya baik harus dilakukan sebelum diadakan pemindahan secara fisik maupun ekonomi terhadap masyarakat adat. Selanjutnya, klien IFC harus menerbitkan laporan pelaksanaan tahunan kepada publik.

Namun demikian, FPP juga telah mengidentifikasi standar yang melemahkan pada beberapa hal dan menemukan bahwa sejumlah kritik mengenai 'lubang-lubang' dalam kebijakan tindakan pengaman tersebut belum ditanggapi dengan semestinya. Kelemahan tersebut meliputi kurangnya komitmen dalam standar kinerja untuk menjunjung tinggi hukum internasional, termasuk hukum HAM dalam investasi dan pelaksanaan IFC; kegagalan untuk mengakui dengan tepat standar internasional untuk mendapat persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan atas perencanaan yang didanai IFC; dan kegagalan untuk memasukkan penjajakan atas dampak HAM sebagai bagian dari proses penjajakan sosial dan lingkungan.

Standar baru IFC sangat penting mengingat standar itu punya dampak signifikan di luar IFC. Standar tersebut diharapkan akan diadopsi oleh sekitar 40 bank komersial besar yang telah menandatangani 'Equator Principles'2. Bank-bank ini menyediakan sekitar 80% (US$125 milyar) pendanaan proyek internasional sektor swasta, yang meliputi bank-bank yang memiliki sejarah investasi di Indonesia, seperti bank ABN-AMRO, Rabobank (Belanda), Fortis (Belanda/Belgia); HSBC, Barclays (Inggris), Citigroup, and JP Morgan (Amerika Serikat). Catatan


1 Pernyataan disampaikan oleh Forest Peoples Programme, Foundation for Aboriginal and Islander Research Action Aboriginal Corporation, Na Koa Ikaika o Ka Lahui Hawaii, Saami Council dan Tebtebba Foundation. Versi lengkapnya ada di www.forestpeoples.org/documents/law_hr/pfii_fpp_statement_may06_eng.pdf
2 Lihat www.equator-principles.com/

(Sumber: Penjajakan awal dan laporan singkat dari kerangka kerja kebijakan antisipasi IFC yang baru, FPP, 3/Mei/06 di www.forestpeoples.org/documents/ifi_igo/ifc_safegd_fpp_brief_may06_eng.shtml)