Raksasa tambang beruntung karena Krismon

Down to Earth No. 39 Nopember 1998

Investasi baru pertambangan di Indonesia melempem setelah kasus penipuan Busang tahun lalu dan anjloknya harga logam sedunia. Investor Jepang menghemat.

Perusahaan Indonesia banyak mengalami kebangkrutan. Dalam keputusasaan menarik dan memelihara investasi di Indonesia, pemerintah Habibie memberi kemudahan pada raksasa tambang internasional seperti Newmont dan Rio Tinto. ''Kami akan meraup uang banyak ketika harga tembaga rendah,'' kata Jim Bob Moffett dari Freeport, ''dan sejumlah uang yang menakjubkan ketika harganya tinggi.''

Pemerintah Habibie juga menempuh usaha keras dalam mencari investor baru di bidang pertambangan. Sebagai tanggapan atas merosotnya investasi baru itu adalah dibukanya pintu untuk globalisasi lebih lanjut dan melepaskan lebih banyak kontrol atas sumber daya alam untuk perusahaan asing. Para pengecam mengutuk penjualan kepemilikan pemerintah. Misalnya Amien Rais menyerukan penundaan kegiatan agar sumber daya alam Indonesia bisa diselamatkan untuk dikembangkan oleh perusahaan dalam negeri.

Kebijakan baru yang menguntungkan masyarakat tambang internasional meliputi :

 

  1. Skala investasi asing yang lebih tinggi pada COW masa depan.
  2. Investor asing akan diijinkan untuk beroperasi di Jawa dan Bali (hanya perusahaan domestik yang diijinkan sejak tahun 1986).
  3. Proses pengesahan pengajuan kontrak akan disederhanakan.
  4. Semua kontrak yang sudah ada akan dijamin.
  5. Kewenangan yang lebih besar bagi pemerintah propinsi dalam mengesahkan pengambil-alihan tanah.
  6. 6. Analisa dampak lingkungan dilakukan pada tingkat propinsi.

Penjualan Saham Untuk Memenuhi Perekonomian Yang Butuh Uang Tunai. Dalam keputusasaan mencari uang tunai, Jakarta juga mempersiapkan diri untuk menjual saham pemerintah di BUMN, sehingga mendorong kekhawatiran aset negara akan dijual dengan murah, yang bertentangan dengan kepentingan nasional. Aset-aset tersebut termasuk perusahaan milik negara PT Aneka Tambang, PT Tambang Timah --yang sebagian sudah diswastanisasikan-- dan PT Tambang Batubara Bukit Asam. PT Tambang Timah dan Tambang Batubara mungkin akan digabung sebelum dijual. Aneka Tambang yang akan dijual sendirian, merupakan satu dari sejumlah kecil perusahaan Indonesia yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta yang masih beruntung.

Program swastanisasi, yang sebelumnya disepakati dengan IMF dalam tahun ini, justru bermasalah. Jumlah perusahaan dikurangi dari dua belas menjadi sepuluh, dan sasaran pendapatan sebesar 1,5 milyar dollar sudah dirampingkan. Tenggat waktunya sementara ini adalah Maret 1999. Bulan Juli yang lalu pemerintah mengatakan tidak akan menjual saham-saham dengan cara menawarkan langsung kepada umum karena kondisinya yang tidak menguntungkan, namun sebaliknya akan mengundang 'rekanan strategis' untuk membeli saham-saham tersebut. (Hal ini tampaknya tidak diterapkan pada PT Aneka Tambang yang diijinkan menjual saham di bursa saham asing. Bulan Agustus harga sahamnya membubung 10 % karena berita tentang rencana dijual di Bursa Saham Australia.

Jumlah saham yang dijual dilaporkan sebanyak 25 %, yang dimaksudkan untuk mencegah sebuah perusahaan menguasai kontrol sepenuhnya. Tidak banyak diketahui siapa yang menjadi pesaing-pesaing utama. Menurut sebuah laporan, lima perusahaan asing yang sekarang ini ikut dalam usaha patungan dengan PT Aneka Tambang tertarik untuk membeli saham pemerintah. Selain itu, lima perusahaan - dari Jerman, Inggris, Amerika Serikat, Norwegia dan Jepang - sedang menawarkan diri untuk membiayai dan mengembangkan pabrik pengolahan ferronikel yang ketiga di lokasi PT Aneka Tambang Pomalaa di Sulawesi.

Seberapa tinggi harga yang bersedia dibayar investor asing itu masih harus ditunggu. Mereka yang mendasarkan diri pada kepercayaan etika jelas akan menjauh -PT Aneka Tambang terlibat dalam proyek-proyek yang melanggar hak masyarakat adat-- di P. Haruku di Maluku, misalnya (lihat DTE 36&37). Namun tampaknya perusahan-perusahaan yang sudah terlibat dalam kegiatan merusak kihidupan masyarakat dan lingkungan --seperti raksasa-raksasa pertambangan yang sudah beroperasi di Indonesia-- kemungkin besar akan membeli saham milik pemerintah Indonesia. Dengan cara itu mereka akan mengkonsolidasi dominasi mereka dalam sektor ini dan memiliki posisi yang lebih baik untuk menyelewengkan kebijakan sosial dan lingkungan ke arah yang paling menguntungkan kepentingan mereka.

Jelas perusahaan seperti Rio Tinto, Newmont dan Inco, yang kehadirannya sudah mapan di Indonesia, berada dalam posisi terbaik untuk meraih keuntungan dari rangsangan investasi baru pemerintah Indonesia.

Protes-protes Semakin Kuat
Kegoncangan politik tahun ini yang mengakhiri kekuasaan absolut Suharto dan konco-konconya memberi harapan kepada rakyat yang hak-haknya atas sumber daya alam diingkari selama bertahun-tahun. Komunikasi yang lebih baik, peningkatan organisasi dan berkurangnya sensor berarti oposisi lebih sanggup menentang perusahaan tambang yang paling rakus. Hal itu juga meningkatkan tekanan bagi pemerintah supaya membatasi kegiatannya yang merusakkan itu. Aksi belakangan ini dari masyarakat yang menderita akibat pertambangan meliputi protes oleh suku Dayak Benuaq dalam menentang pertambangan batu bara PT Truba Indo Coal Mining di tanah adat mereka di Kalimantan Timur. Suku Dayak lainnya yang tanahnya diambil oleh pertambangan PT KEM, yang juga beroperasi di Kalimantan Timur, berhasil menekan perusahaan untuk merundingkan pembayaran ganti rugi, pelanggaran HAM dan polusi (lihat juga DTE 38). Protes terhadap besarnya dampak kegiatan Freeport/Rio Tinto di Papua Barat terus berlanjut di Indonesia maupun lewat pengadilan Amerika Serikat. Kemiskinan juga mendorong ribuan orang setempat mengambil-alih penguasaan atas sumber daya alam yang diberi sebagai konsesi kepada perusahaan-perusahaan. Penguasa militer setempat, yang wewenang maupun morilnya menurun akibat kejatuhan Suharto, gagal menghentikan mereka. Di zaman Suharto, banyak masyarakat --yang melaksanakan pendulangan maupun pertambangan skala kecil di wilayah-wilayah yang kemudian diberikan sebagai konsesi tambang oleh pemerintah kepada perusahaan besar-- dikambinghitamkan sebagai 'penambang liar'. Biasanya masyarakat setempat dilarang memasuki kawasan tambang mereka yang dulu oleh perusahaan-perusahaan, dengan bantuan pihak keamanan.

Kini kemiskinan demikian parahnya sehingga pihak berwenang dan perusahaan harus melembut sedikit. PT Batubara Bukit Asam mengatakan akan mengijinkan para petambang skala kecil meneruskan kegiatan mereka di wilayahnya di Sumatera Barat jika mereka membentukkan koperasi dan menjual batu bara kepada perusahaan tsb. Selain itu, pemerintah pusat akan mengijinkan pemerintah daerah untuk mengeluarkan ijin bagi 'Wilayah Tambang Rakyat' -- lokasi dimana pertambangan skala kecil oleh masyarakat diijinkan secara resmi-- demi mengurangi birokrasi dan mempercepat proses pendaftaran.

Tempat Yang Tenang
Perusahaan-perusahaan pertambangan besar yang berorientasi ekspor masih merasa enak di tengah badai ekonomi Indonesia. Perolehan Rio Tinto sedunia dalam paruh pertama tahun 1998 berkurang untuk tembaga, emas dan barang tambang lainnya. Namun kerugian itu diseimbangkan dengan keuntungan dari kegiatan mereka di Indonesia. Lebih banyak emas dan tembaga dihasilkan di Grasberg di Papua Barat dengan perluasannya operasi di sana. Produksi batu bara juga meningkat di tambang PT Kaltim Prima Coal di Kaltim, yang membantu perusahan asing itu menutup kerugian akibat menurunnya harga batu bara. Nilai tukar rupiah yang menurun menyebabkan keuntungan bagi perusahaan karena mengurangi biaya. (Ringkasan Pernyatan Pers Perusahaan, Financial Times 23/9/98)

Pengurangan biaya ini diwujudkan sebagai berkurangnya gaji pekerja dalam mata uang rupiah --karena perolehan perusahaan dalam mata uang dollar-- yang menyebabkan terjadinya kerusuhan pekerja selama beberapa bulan belakangan (lihat DTE 38). Direncanakan keuntungan yang lebih besar di masa depan berhubung PT KPC ingin meningkatkan produksinya sampai 20 juta ton per tahun.

(Sumber-sumber : Reuters 18/8/98; Singapore Business Times 19/8/98; Wall Street Journal 26/8/98; Australian Financial Review 29/8/98; Bloomberg 22/9/98; Dow Jones Newswire 20/7/98; Bisnis 3/10/98, 30/9/98; E-mail Dayak yang diposting Walhi 2/10/98, Jakarta Post 27/7/98, 7/9/98, 18/9/98)