Pengadilan memerintahkan Freeport untuk menyelesaikan masalahnya

 

Down to Earth Nr 51  November 2001

WALHI, organisasi lingkungan terkemuka di Indonesia, berhasil menang di pengadilan melawan pertambangan tembaga dan emas PT Freeport, operator pertambangan raksasa Grasberg di Papua Barat. Sementara itu, militerisasi ditingkatkan di daerah pertambangan setelah adanya keputusan pihak keamanan untuk memberikan perlindungan terhadap segala ancaman dari para 'kelompok separatis' yang diduga akan terjadi.

Pada tanggal 28 Agustus Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan bahwa Freeport bersalah telah melanggar Undang-Undang Lingkungan Hidup (no.23, 1997). Perusahaan tersebut diperintahkan untuk memperbaiki pengaturan sistim pembuangan limbahnya. Pengadialn mengatakan bahwa Freeport telah dengan sengaja menyembunyikan informasi dan memberikan penjelasan palsu dan tidak akurat sehingga menyesatkan masyarakat.

Kasus WALHI diluncurkan tahun lalu setelah terjadinya batu longsor pada tanggal 4 Mei di waduk Wanagon. Freeport membuang sampah batu yang berlebihan dari daerah pertambangan ke danau buatan ini. Longsoran tersebut menyebabkan gelombang air, endapan lumpur dan batu yang berlebihan melimpah ke lembah Wanagon dan menyebakan banjir di kampung Banti beberapa kilometer dari waduk. Empat buruh bangunan terbawa arus, diperkirakan mati (lihat juga DTE 47 - bahasa Inggeris)

Selebaran pers Freeport menjelaskan seolah-olah insiden ini disebabkan oleh tingginya curah hujan Perusahaan tersebut menyatakan bahwa kecelakaan tersebut tidak membahayakan kesehatan maupun berdampak lingkungan. Namun Badan Pengawas Dampak Lingkungan (Bapedal), melaporkan bahwa perusahaan menggunakan danau untuk pembuangan ampas asam, dan ketika insiden terjadi, endapan di dalam danau mengandung bahan yang beracun dan berbahaya.

Freeport juga menganggap tanah longsor sebelumnya tahun 1999 dikarenakan tingginya curah hujan, tapi menurut penyelidikan Bapedal salah satu penyebabnya adalah pembuangan limbah secara berlebihan yang dilakukan perusahaan sehari sebelum terjadinya insiden. Perusahaan melakukan pembuangan dua kali lipat jumlah yang diijinkan.

Pengadilan memerintahkan Freeport untuk meminimalisasi resiko batu longsor berikutnya di Wanagon. Perusahaan juga harus mengurangi produksi limbah beracunnya agar kualitas air dapat memenuhi standar.

WALHI menuntut agar perusahaan diberi hukuman harus mengeluarkan permohonan maaf kepada masyarakat melalui media nasional dan internasional, tapi ditolak pihak pengadilan.

Freeport, menolak keputusan pengadilan dan akan naik banding. WALHI juga akan naik banding melawan pengadilan yang menolak tuntutannya terhadap Freeport untuk menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat.

Direktur advokasi WALHI, Longgena Ginting menggambarkan keputusan pengadilan tersebut sebagai 'kemenangan kecil' namun mengakui dampak positifnya terhadap pegiat lingkungan yang berkampanye melawan pengrusakan lingkungan oleh perusahaan pertambangan.. Direktur WALHI Emmy Hafid mengatakan bahwa kemenangan di pengadilan hanyalah sebuah langkah pertama karena masih banyak perusahaan lain yang memperdayakan masyarakat.

Menteri Lingkungan baru Nabiel Makarim menyambut baik keputusan pengadilan dan berkata : Ini adalah untuk pertama kalinya pengadilan menjalankan tugasnya demi kepentingan rakyat…'. Diantara para pejabat Jakarta, menteri sebelum Nabil, Sonny Keraf, adalah kritikus yang paling gencar mengkritik Freeport.

James Moffet, direktur utama perusahaan induk, Freeport McMoran, mengatakan bahwa 'Freeport Indonesia' memberikan dan akan selalu memberikan informasi yang akurat kepada masyarakat dan pemerintah Indonesia dalam segala aspek yang menyangkut operasi PT FI.'

Perusahaan tersebut tidak pernah mau mengakui bahwa usaha mereka telah mengakibatkan terpolusinya sungai dan menolak anggapan bahwa buangan batu, atau limbahnya, yang dibuang ke dalam aliran sungai setempat beracun. Setelah bencana Waduk Wanagon, perusahaan tersebut diperintahkan untuk mengurangi pembuangan tambangnya dari 230.000 ton per hari menjadi 200.000 ton, tapi pada bulan Januari perusahaan diijinkan untuk memulai operasi dengan tingkat produksi yang lebih tinggi.

Limbah yang diangkut oleh aliran air ke 'daerah pembuangan' seluas 130 km2 terletak di dataran tepi laut sebelah selatan pertambangan, diduga telah mengakibatkan Laut Arafura terpolusi dan mengakibatkan banjir perkebunan sagu dan hutan yang merupakan sumber kehidupan rakyat setempat.

Pada awal tahun ini, WALHI memberikan estimasi polusi berdasarkan data satelit bahwa daerah daratan seluas 35,820 hektar dan 84,158 hektar lepas pantai telah terkena dampaknya, terutama di muara sungai Mawati dan Kamoro. WALHI telah menghimbau perusahaan untuk menghentikan pembuangan limbah di sungai-sungai Papua Barat.

 

Dampak Sosial dan keamnanan

Dampak sosial pertambangan terhadap masyarakat adat setempat Amungme dan Kamoro sangat terasa – termasuk usaha terlambat pihak perusahaan untuk mengatasi kritik dengan menawarkan uang untuk 'pengembangan masyarakat' serta lapangan kerja di pertambangan.

Permasalahan sosial termasuk kurang memadainya sarana perumahan dan permasalahan kesehatan sehubungan dengan in-migrasi dan alcohol serta penyalahgunaan obat bius – dan baru-baru saja – infeksi HIV.

Pada tahun 1996 Freeport mengambil keputusan untuk masyarakat setempat – Dana 1 persen – sehubungan dengan protes yang belum terjadi sebelumnya dari masyarakat setempat, nasional dan internasional terhadap penyalahgunaan hak-asasi manusia dan pengrusakan lingkungan. Dana tersebut dikritik dari Komisi Hak-hak Asasi Manusia (Komnas Ham) serta para ulama, yang mengatakan bahwa dana tersebut tidak didistribusikan secara adil, disalahgunakan dan menyebabkan terjadinya konflik antara masyarakat adat (lihat DTE35;4 dan DTE31;4)

Tahun lalu penelitian yang dilakukan oleh LSM yang berkantor pusat di Amerika menyatakan adanya tindakan-tindakan korupsi, kurangnya pertanggungjawaban serta adanya saling iri antara penerima dana. Para pemimpin masyarakat Kamoro memprotes tentang biasnya manajemen pendanaan.

Pada bulan September tahun ini persetujuan lebih lanjut telah ditandatangani antara perusahaan dan para pemimpin Amungme dan Kamoro, yang diterbangkan ke kantor pusat perusahaan di New Orleans. Dalam persetujuan, Freeport akan membayar 500.000 dollar Amerika per tahun ke dana yayasan dengan suntikan awal sejumlah 2,5 juta dollar Amerika. Persetujuan awalnya dibuat tahun 1996 dan didisain untuk menepati janji Freeport untuk mengakui kepemilikan tanah adat atas daerah pertambangan. Menurut sebuah laporan Jakarta Post, para pemimpin Amungme dan Kamoro ingin menggunakan sebagian dari uang itu untuk membeli saham perusahaan.

Pada bulan April tahun ini, salah seorang kritikus yang paling blak-blakan dan sekaligus korban penyalahgunaan hak asasi manusia, Yosepha Alomang, mendapat penghargaan Goldman Environmental Prize sehubungan dengan kerjanya di bidang lingkungan hidup dan hak asasi manusia. Pada tahun 1999 Yosepha mendirikan organisasi hak asasi manusia – Hamak. Baru-baru ini ia menolak sumbangan sebesar 248.000 dollar Amerika dari Freeport. Yosepha telah beberapa kali menuntut Freeport untuk menghentikan operasinya.

Sejarah panjang dari penyalahgunaan hak asasi manusia di Timika sangat erat hubungannya dengan peran pihak kemananan Indonesia dalam melindungi pertambangan, yang dikategorikan oleh pemerintah Indonesia sebagai 'proyek nasional yang vital.'

Pada tahun 1997, sebagai kelanjutan dari meningginya konflik dan tekanan, 6000 tentara menurut laporan ditempatkan di daerah dekat pertambangan (lihat DTE35;5). Penjaga kemananan Freeport terlibat dalam beberapa kasus kekerasan, pembunuhan, pemerkosaan dan orang-orang hilang. Di daerah terdekat lainnya, pihak keamanan Indonesia terlibat dalam operasi pemusnahan gerakan OPM (Operasi Papua Merdeka), yang melibatkan pembakaran kampung-kampung dan pembunuhan masyarakat biasa.

Timika dan Ilaga daerah terdekat di Puncak Jaya pada bulan Oktober dianggap sebagai daerah 'pusat kekerasan' yang timbul sebagai akibat dari meningkatnya tinggat kegiatan militer di seluruh Papua Barat.

Tahun ini terdapat indikasi yang kuat bahwa pihak keamanan ingin melanjutkan kebijaksanaan militerisasi. Pada bulan Mei, Komandan daerah militer Sorong, Kol M R Saragih mengatakan bahwa komando militer Indonesia setempat telah siap untuk mengamankan Freeport dari segala ancaman keamanan terutama dari OPM. Pada bulan Juli, koran berbahasa Indonesia, Suara Karya melaporkan bahwa keamanan sedang ditingkatkan di daerah pertambangan. Kepala Polisi Timika Sumarjiyo menyatakan bahwa polisi bekerja sama dengan militer untuk mengantisipasi serangan yang diperkirakan akan dilakukan oleh OPM. Komandan Militer Mayjen Mahidin Simbolon dan Kepala Polisi Daerah I Made Mangku Pastika juga menyatakan bahwa kelompok 'separatis' berencana untuk melakukan serangan.

 

Freeport Menemukan Lebih Banyak Emas

Pada bulan Mei Freeport melaporkan penemuan sebuah 'sumber' dengan namaErtsberg East Surface - yang kandungannya mencapai 1,1 milyar pon tembaga dan 2,5 juta ons emas. Freeport mengatakan sedang mempelajari kemungkinan untuk membuat lobang terbuka skala besar dan kompleks pertambangan bawah tanah yang mengandung 500 juta ton biji besi. Ini berarti pengembangan Ertsberg East Surface sehubungan dengan kandungan lainnya yang dikenal sebagai IOZ, DOZ, Dom, dan ESZ.

 

Otonomi Khusus

Sejumlah tokoh elit politik Papua yakin bahwa pengaturan pembagian pendapatan menurut Undang-Undang Otonomi Khusus yang baru akan memecahkan banyak masalah sosial yang disebabkan oleh pertambangan. Berdasarkan Undang-undang baru itu, Papua Barat akan menermia 70% pendapatan dari proyek minyak dan gas - sepuluh persen lebih rendah daripada yang diperkirakan banyak orang - dan 80% dari proyek pertambangan.

Setelah persitiwa 11 September dan sesudahnya, gelombang sentimen Amerika di Indonesia yang dipimpin oleh unjuk rasa Islam fundamentalis memperluas kabar burung bahwa semua investasi Amerika di Indonesia akan ditarik. Hal ini memancing reaksi keras dari anggota DPRD Jayapura, Sam Resoeboen, yang memperingatkan politisi Jakarta untuk tidak membuat pernyataan yang mengganggu operasi perusahaan itu karena ''keberadaannya membantu kemakmuran rakyat Papua."

Namun pembela hak asasi manusia yakin bahwa berapa banyakpun uang yang mengalir ke Papua Barat sebagi hasil dari Otonomi Khusus, dampak negatif akan terus berlanjut selama kehadiran militer masih dipertahankan. Dan militer mempunyai reputasi sebagai pemancing kerusuhan untuk mensahkan kehadiran mereka. Sehubungan dengan itu, sentimen anti Amerika baru-baru ini digunakan oleh pasukan keamanan untuk memberikan pembenaran lebih lanjut dalam peran perlindungan mereka. Sebuah pernyataan baru-baru ini oleh Freeport mengungkapkan keyakinan bahwa operasi mereka tidak akan terpengaruh oleh unjuk rasa karena "aparat keamanan Indonesia" yang digambarkan sebagai "amat professional dan berdedikasi dalam melindungi aset dan sarana perusahaan serta semua penduduk di kawasan tersebut."

Ini sebenarnya amat berlawanan dengan tunutan rakyat Papua yang menyerukan demiliterisasi di Timika dan di tempat-tempat lainnya; untuk mengakhiri impunitas dan agar orang-orang yang bertanggung-jawab dalam kekejaman di masa lalu bisa dibawa ke pengadilan. (Pernyataan perusahaan seperti dikutip Petromindo17/Okt/01)

(Sumber : Petromindo 1/Apr/01; 1, 16 &18/Mei/01, 11&13/Jul/01; 14/Agt/01, 16/Okt/01; Kompas 5/Okt/01; Jakarta Post 29&30/Agt/01; 26/Sep/01; San Francisco Chronicle 9/Sep/01; Majalah Tempo 4-10/Sep/0; AP, 29/Agt/01, Media Indonesia 14/Agt/01; Selebaran Pers WALHI, diterima 25/Agt/00; Mining Journal 12/May/00;Risky Business, An Independent Annual Report on P.T. Freeport Indonesia, Project Underground, May 1998)

 

85,9 Freeport Indonesia dimiliki Freeeport McMoRan Copper and Gold Inc.

Raksasa pertambangan Inggris Rio Tinto menguasai 14,6 % saham di perusahaan ini dan 40% saham di perluasan Grasberg serta produksi pertambangan berikutnya dalam kontrak kerja kedua Freeport.

PT Freeport meraih keuntungan 136 juta dollar Amerika pada tahun 1999 dan merupakan pembayar pajak terbesar di Indonesia. Perusahaan ini merupakan produsen tembaga dengan biaya termurah di dunia.