Membayar untuk Kemajuan: marginalisasi mama-mama pedagang asli Papua

Perempuan asli Papua pedagang pasar (Photo: Dok SKPKC FP)

DTE 99-100, Oktober 2014

Oleh Sophie Crocker[1]

Pasar makanan segar di Papua beragam dan berwarna-warni, dengan tumpukan buah-buahan dan sayuran berwarna cerah serta ikan dijual pedagang yang berasal dari seluruh penjuru Indonesia. Pasar-pasar informal melayani kota dengan menyediakan makanan yang segar dengan harga terjangkau serta kerapkali merupakan satu-satunya sumber pendapatan bagi sang pedagang. Namun demikian, pasar urban dan mata pencarian mereka yang bekerja di sana terancam oleh pembangunan kota dan pandangan sempit para pembuat kebijakan mengenai kota ‘modern’. Karena pasar-pasar informal di Papua umumnya dijalankan oleh perempuan, merekalah yang terkena dampaknya secara tidak proporsional oleh kecepatan, skala dan pengaruh dari urbanisasi.

Selama lebih dari sepuluh tahun, sekelompok mama-mama pedagang asli Papua telah berjuang untuk mendapatkan pasar permanen di tengah kota Jayapura. Pada tahun 2002, setelah pasar Ampera yang berada di tengah kota ditutup dan dihancurkan untuk digantikan dengan taman kota, mereka digusur oleh petugas pemadam kebakaran yang menyemprot mereka dengan air. Proses pengusiran tersebut diawasi oleh polisi dan tentara. Pada akhirnya mereka dipindahkan ke pasar Yotefa, sekitar 30 menit jaraknya dengan menggunakan kendaraan umum. Tujuan penggusuran oleh Kantor Walikota adalah untuk meningkatkan keindahan kota, membuat kota menjadi lebih “bersih, rapi dan teratur” sehingga menarik “bisnis besar” yang dalam jangka panjang akan membawa keuntungan finansial bagi seluruh kota.[2]

Tidak nyaman, tidak menguntungkan dan adanya persaingan ketat di Yofeta memaksa mama-mama kembali ke Jayapura untuk berjualan di atas aspal tempat parkir di luar sebuah supermarket. Selama lima tahun sejak saat itu mereka menolak pindah dari lokasi di “jantung” kota tersebut. Peristiwa penggusuran mama-mama tersebut menarik perhatian dan dukungan para aktivis, ornop dan media setempat. Mereka bergabung dalam sebuah kelompok bernama SOLPAP, Solidaritas Mama-mama Pedagang Asli Papua. Setelah berjuang di tingkat kota dan provinsi, pada bulan Desember 2010 mereka mendapat tempat sementara di pasar beratap, yang sayangnya tidak memadai kelengkapannya (tidak ada air, pengambilan sampah, keamanan dan toilet).[3] Mereka masih memperjuangkan pasar yang permanen dan berlokasi di tengah kota. Sementara itu, dengan bantuan dana pemerintah mama-mama telah membentuk sebuah koperasi untuk mengembangkan usaha mereka.[4]

Sebagai ibukota provinsi paling timur Indonesia dan ibukota salah satu dari enam koridor ekonomi nasional MP3EI (Masterplan Percepatan Pembangunan dan Perluasan Ekonomi Indonesia) yang sentralistik dan banyak mengundang kritik, Jayapura menjadi barometer pembangunan regional. Bagi pemerintah kota yang bercita-cita menjadi sebuah kota global modern seperti New York, menciptakan citra yang ramah bagi dunia usaha terus menjadi sebuah prioritas kebijakan.[5] Wajah kota Jayapura dihiasi oleh hotel-hotel internasional, gedung-gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, kompleks perkantoran pemerintah (ditambah tulisan besar berlampu ‘Jayapura’ bergaya Hollywood bercokol di atas bukit menghadap ke arah teluk) untuk menampung kepentingan bisnis nasional dan internasional.

Sayangnya, penggusuran paksa, ketidakpastian kerja, intimidasi, meningkatnya kompetisi dan bahkan kriminalisasi bukan hal yang jarang dialami oleh pedagang pasar di Indonesia dan di tempat lain. Dari Mumbai hingga Mexico City, pedagang informal dicap sebagai lawan dan penghambat kota ‘modern’. Mereka dituding  sebagai biang kerok oleh politikus, penata kota dan penghuni kota yang lebih kaya atas masalah-masalah yang diakibatkan oleh urbanisasi yang berlangsung cepat, seperti kota yang padat, kemacetan, polusi dan angka kejahatan yang lebih tinggi.[6] Selain itu, karena para pedagang seringkali dicirikan atas apa yang mereka tidak miliki ketimbang atas apa yang mereka berikan untuk perekonomian kota, mereka sendiri dapat menjadi target pembangunan. Pemerintah kota Cusco di Peru, misalnya, mengupayakan gentrifikasi atau pembaruan pedagang informal jalanan dengan mengeluarkan izin, membuat zona kegiatan perdagangan dan mengatur harga.[7] Gentrifikasi perdagangan menciptakan kelas baru pedagang profesional dan menimbulkan ketegangan di antara mereka yang beradaptasi dengan yang tidak atau tidak sanggup beradaptasi. Di Jayapura hal ini tampak dalam pengaturan ruang aktivitas perdagangan berdasarkan suku. Mama-mama secara terbuka mengritik para pedagang non-Papua yang memiliki toko, kios dan menjalankan usaha grosiran sedangkan mereka sendiri terpinggirkan secara fisik berjualan komoditas murahan yang mudah rusak secara kecil-kecilan di pinggir jalan.

Pandangan yang picik mengenai kota ‘modern’ memiliki dampak negatif terhadap mata pencarian pedagang pasar di Jayapura, dengan implikasi serius bagi perempuan asli Papua. Tergusur dari pasar meningkatkan risiko peminggiran lebih jauh secara ekonomi, sosial dan politik. Beradaptasi terhadap perubahan struktural yang cepat dan tampaknya tidak bisa diputarbalik membuat mereka lebih tertekan lagi untuk bisa menyediakan kebutuhan keluarga dan menciptakan peluang bagi anak-anak mereka. Lebih mengagumkan lagi ketika ternyata mereka masih memiliki energi untuk mengambil langkah politis melawan peminggiran mereka. Namun, aksi perlawanan para perempuan tersebut dianggap angin oleh para pengambil kebijakan, sebaliknya dipandang sebagai bentuk ketidakmampuan atau keengganan mereka untuk beradaptasi dengan kemajuan. Kepala Pasar Kota Jayapura mengatakan, “Aka nada proses yang panjang untuk mengubah pola pikir mereka.”[8]

Akhir kata, perjuangan mereka bukan hanya tentang akses ke ruang publik. Upaya mereka telah diwarnai dengan makna budaya, soal kewarganegaraan dan tuntutan atas tanah, sebagai sebuah hak berdasarkan pada identitas Papua. Tuntutan untuk mendapatkan pasar dengan atap khusus untuk perempuan asli pedagang pasar dan penolakan mereka terhadap pedagang non-Papua menyiratkan bahwa pasar bukan hanya soal menjaga mata pencarian melainkan juga mengenai martabat, harga dri dan kelangsungan budaya. Seperti perempuan asli pedagang pasar di Peru, mama-mama  “menjalankan lebih dari sekedar kelangsungan ekonomi, di pasar: mereka menegosiasikan prasyarat hidup dan jati diri budaya mereka.”[9]



[1] Sophie Crocker adalah peneliti independen. Ia pernah bekerja dengan sejumlah LSM internasional dan tinggal di Jayapura antara tahun 2009-2010. Ia menyandang gelar MSc dari University of London dengan penelitian untuk disertasi mengenai makna dan penggunaan ruang urban yang saling bertentangan dengan rujukan perempuan asli pedagang pasar.

[2] SKP, 2008. Mama Mama Marginalised in their own land: the story of Papuan women. Diakses pada 2 Juli 2011 dari Witness the hub http://hub.witness.org/en/node/7902

[3] ALDP (2011). Scrutinising the temporary market for indigenous market-women.

[4] Kommpap, 2011. ‘Tawaran bunga rendah untuk mama-mama pedagang asli Papua. Diakses 1 September 2011, dari blog Kommpap: http://kommpap.blogspot.com/2011/06/tawaran-bunga-kredit-rendah-untuk-mama.html

[5] Thomas, C. (2008). ‘‘We cannot move – mama-mamas face eviction’. Human Rights in the Pacific.

[6] Bromley, R. (2000). ‘Street Vending and Public Policy’: A Global Review. International Journal of Sociology and Social Policy, 1-29.

 Seligmann, L. (2001). Women Traders in Cross-cultural Perspective: Mediating Identities, Marketing Wares. Stanford: Stanford University Press.

[7] Bromley, R., & Mackie, P. (2009). ‘Displacement and the New Spaces for Informal Trade in the Latin American City Centre’. Urban Studies, 46(7), 1485-1506.

[8] Suara Perempuan Papua (2006), ‘Memberdayakan Orang Papua: Laporan Utama Tabloid Suara Perempuan’ Papua 2004-2005. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi.

[9] Babb, F. (2001). Babb, F. (2001). ‘Market/places as Gendered Spaces: Market/women's Studies over Two Decades’. Dalam L. Seligmann (Ed.), Women Traders in Cross-Cultural Perspectives (hal.229-240). Stanford: Stanford University Press.