“Jika perusahaan mencuri kayu, mengapa saya hanya menjadi penonton saja?” Catatan dari kunjungan ke Ulu Masen, Aceh

Bagian dari seri Aceh dan Ulu Masen oleh REDD-Monitor yang diterjemahkan oleh DTE

Oleh Chris Lang, 22 Februari 2013

Tulisan asli dalam Bahasa Inggris di situs web redd-monitor.org

Dusun Guhanaga adalah sebuah kampung di Aceh di sebuah wilayah bernama Gunung Hujan. Jalan menuju ke kampung tersebut adalah jalan bekas proyek logging yang dibangun oleh PT Aceh Inti Timber. Ketika mendapat Hak Pengusahaan Hutan (HPH), perusahaan langsung membabat hutan di luar kawasan konsesi.

Pada tahun 2002, PT Aceh Inti Timber memiliki konsesi seluas 125.000 hektare, demikian menurut Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia. Melihat perusahaan logging membabat hutan di luar wilayah konsesi, penduduk juga ikut membabat hutan. Seorang penduduk Dusun Guhanaga bertanya, “Jika perusahaan mencuri kayu, mengapa saya harus jadi penonton belaka?”

Kami mengunjungi kampung tersebut pada bulan Desember 2012 ditemani oleh Suhelmi, wakil ketua DPRD di Calang, ibukota Kabupaten Aceh Jaya. Sebelumnya Suhelmi adalah tokoh mukim, memimpin beberapa kampung, yang merupakan sistem hukum adat Aceh.

Kami duduk di warung di kampung itu bersama Suhelmi sambil minum kopi. Delapan pria ikut duduk bersama kami sambil merokok. Ada dua perempuan berjilbab, salah satunya bersenandung lirih menidurkan anaknya. Radio mengumandangkan lagu-lagu pop Indonesia dari warung sebelah. Kucing dan ayam berkeliaran di  dalam dan sekitar warung.

Orang kampung menyampaikan bahwa PT Naga Emas, perusahaan pertama yang mencari emas di daerah tersebut datang tahun 1980an. Selama konflik di Aceh, banyak perusahaan termasuk PT Naga Emas berhenti beroperasi. Pasca tsunami Desember 2004 and akhir dari konflik, sebuah perusahaan lain bernama PT Haji Nero datang di sana. Mereka datang bersama beberapa orang dari Thailand dan mengambil bahan contoh. “Perusahaan mendapati material contoh tersebut mengandung emas,” kata Suhelmi.  Tetapi masyarakat mengatakan bahwa jumlah material yang mereka keruk terlalu besar untuk disebut contoh belaka. Suhelmi lalu melaporkan perusahaan tersebut ke polisi.

Suhelmi mengatakan bahwa pada awalnya dia enggan mendukung moratorium logging ketika Irwandi Yusuf, gubernur Aceh saat itu, meluncurkannya pada tahun 2007. “Saya harus menutup dua kilang kayu (sawmill),” katanya.

“Apa yang akan dilakukan pemerintah terhadap masyarakat yang pekerjaannya bergantung kepada hutan? Pemerintah harus menyediakan alternatif. Memang disediakan bantuan, tetapi bantuan tersebut bersifat umum dan tidak khusus untuk pekerja hutan.”

Masyarakat mengatakan bahwa Flora and Fauna International serta Walhi mendukung moratorium logging dan mengatur pertemuan-pertemuan dengan mukim di Banda Aceh. Lalu muncul proyek Ulu Masen dan ada pertemuan-pertemuan lagi tentang perdagangan karbon. “Ulu Masen hilang dari berita dalam beberapa tahun terakhir ini,” kata Suhelmi. “Tidak jelas buat kita. Tidak ada batas-batas yang jelas. Tidak ada peraturan yang jelas. Saya menyayangkan tidak ada informasi dari pemerintah mengenai Ulu Masen dan REDD.”

“Saya cukup sakit hati,” kata salah seorang penduduk kampung, “karena ganti rugi tidak pernah ada. Saya dengar desas-desus mengenai uang karbon, tapi kampung ini tidak pernah menerima apa-apa.”

Moratorium logging diluncurkan bersamaan dengan tibanya PT Haji Nero di wilayah tersebut. “Masyarakat mengusir keluar perusahaan dan mengambil alih operasi penambangan mereka,” kata Suhelmi. Pada awalnya terjadi kecelakaan dan longsor. “Orang kampung perlu belajar menambang,” ujar Suhelmi. “Sekarang tidak ada lagi cedera serius.”

Ketika kami sedang berbincang, sebuah sepeda motor membawa potongan-potongan kayu melintas. Di seberang jalan sebuah kilang emas kecil-kecilan sedang beroperasi. Saat kami selesai berbincang, sebuah jeep bermuatan karung-karung tanah tiba.

File 440

Dengan kendaraan kami menuju ke arah tambang emas rakyat darimana karung-karung tersebut berasal. Dalam perjalanan kami bisa mendengar suara chainsaw di kejauhan. Kami melintasi lahan terbuka yang baru saja ditebang pohonnya, ada yang ditanami dengan karet, pohon buah-buahan dan padi. Di beberapa lahan bukaan ada dangau. Sebuah bulldozer diparkir di pinggir jalan. Ada tumpukan kayu di belakangnya. Beberapa meter dari situ beberapa pria sedang memuat potongan kayu ke sebuah truk.

Orang-orang kampung menggunakan merkuri untuk memisahkan emas dari tanah dalam proses pengayakan. Orang-orang dari Bogor yang lebih berpengalaman dalam menambang skala kecil datang ke sana. Mereka membuka hutan untuk bercocok tanam bagi pangan mereka.

File 444

Suhelmi mengatakan kepada kami bahwa ia tidak memandang tambang adalah hal yang berkelanjutan, ia sedang mencari alternatif. “Saya tidak mendukung perkebunan sawit skala besar,” ujarnya. “Yang paling penting adalah mendapatkan hutan rakyat kembali, yang luasnya sekitar 3.000 hektare, untuk mendukung penghidupan masyarakat dalam jangka panjang.” Dalam rencananya ia ingin mengembangkan sebuah kawasan penyangga di seputar wilayah konservasi sehingga penghidupan warga dapat terjamin sambil melindungi hutan.

“Saya berupaya mendukung komunitas untuk memperkuat posisi tawar mereka, misalnya dengan mengembangkan ladang dan hasilnya dapat dijual serta mereka tinggal di wilayah penyangga. Dengan demikian godaan untuk merusak hutan menjadi sedikit.”

Saya pergi ke Aceh Jaya bersama Down To Earth dan Jaringan Komunitas Masyarakat Adet Aceh (JKMA). Saya berterima kasih kepada Zulfikar Arma yang sudah mengatur perjalanan dan Adriana Sri Adhiati atas penerjemahan. Saya yang bertanggungjawab jika ada kesalahan.

Tulisan ini adalah bagian dari seri Aceh dan Ulu Masen. REDD-Monitor berterima kasih atas dana dari World Rainforest Movement dan Samdhana Institute yang telah membiayai perjalanan ini.