Wawancara dengan Hasbi Berliani, Joko Waluyo dan Avi Mahaningtyas, Kemitraan: “REDD tidak gampang, tapi kami optimis”

Bagian kelima dari sepuluh wawancara dengan pelaku REDD oleh REDD Monitor yang diterjemahkan oleh DTE

Tulisan asli dalam Bahasa Inggris di situs web redd-monitor.org

Oleh Chris Lang, 2 April 2012

Wawancara dengan Hasbi Berliani (Manajer Program, Tata Pemerintahan Lingkungan Hidup dan Ekonomi), Joko Waluyo (Spesialis Pelibatan Pemangku Kepentingan, Kemitraan – Program Tata Pemerintahan Hutan) dan Avi Mahaningtyas (Kepala Kelompok Program, Tata Pemerintahan Lingkungan Hidup dan Ekonomi), Kemitraan, di Jakarta, Maret 2012.

REDD-Monitor: Bisakah kita mulai dengan latar belakang tentang Kemitraan dan peran yang dimainkan oleh organisasi ini dalam hal REDD di Indonesia.

Hasbi Berliani: Kemitraan dibentuk pada tahun 2000. Lembaga ini dibangun sebagai suatu kelanjutan dari program UNDP tentang dukungan untuk reformasi tata pemerintahan setelah tahun 1998 dan jatuhnya rezim Suharto. Fokusnya adalah untuk mendukung agenda reformasi tata pemerintahan. Kemitraan menjadi badan hukum yang independen pada tahun 2003 dan terdaftar sebagai suatu organisasi non-pemerintah dan pada saat yang sama mempertahankan statusnya sebagai program UNDP hingga akhir 2009. Lembaga ini dimulai dengan tujuh kelompok program, tapi sekarang telah berubah menjadi empat kelompok program. Keempat kelompok program tersebut adalah tata pemerintahan layanan publik, keamanan dan keadilan, demokratisasi, serta tata pemerintahan lingkungan hidup dan ekonomi. Saat ini ada lebih dari 25 program yang sedang berjalan. Kemitraan bekerja sama dengan lembaga pemerintah pusat dan daerah, organisasi masyarakat sipil, media, universitas dan lembaga penelitian, badan independen, sektor swasta dan organisasi internasional di 33 provinsi di Indonesia.

Sebelum ini kami punya lebih dari seratus orang staf, tapi sekarang sekitar 60-70 orang.

REDD-Monitor: Jadi REDD cocok masuk ke dalam kelompok program tata pemerintahan lingkungan hidup dan ekonomi?

Hasbi Berliani: Ya. REDD adalah kesempatan untuk mengadvokasi reformasi tata pemerintahan yang baik.

REDD-Monitor: Dan peran apa yang dimainkan Kemitraan dalam diskusi soal REDD di Indonesia?

Avi Mahaningtyas: Peran Kemitraan adalah sebagai fasilitator dan pemrakarsa pertemuan. Sebenarnya apa yang membuat kami tertarik bukanlah REDD itu sendiri melainkan reformasi tata pemerintahan hutan dan tata pemerintahan iklim. Apa yang kami lakukan adalah memastikan bahwa setiap diskusi mengenai REDD dilakukan dengan cara multipemangku-kepentingan. Sebisa mungkin kami harus menjangkau setiap orang yang akan terkena dampak dari apa yang menjadi REDD di masa depan. Dalam pembangunan arsitektur REDD saat ini mereka harus diikutsertakan dalam perbincangan tersebut.

Itu peran kami di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten.

REDD-Monitor: Apakah Kemitraan bekerja sama dengan pemerintah dalam menyelenggarakan pertemuan pemangku kepentingan misalnya?

Avi Mahaningtyas: Kami bekerja berdasarkan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik untuk mengumpulkan seluruh sektor. Itu bisa dengan pemerintah, organisasi masyarakat sipil dan sektor swasta. Dengan badan-badan pemerintah, cara kerjanya adalah kami membuat nota kesepahaman dengan Kementerian Kehutanan. Mereka adalah mitra utama kami dalam hal mendorong reformasi di sektor kehutanan. Tujuan utama kami adalah bagaimana pengelolaan hutan berbasis komunitas dapat menjadi pusat perhatian dan tidak banyak pada hutan industri.

Porsi tata pemerintahan yang baik harus mencerminkan bahwa masyarakat memiliki hak dan akses terhadap hutan. Kami tidak punya proyek apapun terkait REDD. Kami memiliki hubungan formal dengan Kementerian Kehutanan dan gubernur Kalimantan Tengah. Kami juga bekerja dengan Unit Kerja Presiden (UKP4). Kami bekerja dengan para bupati yang tertarik bekerja bersama kami. Kami bekerja dengan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang mau terlibat dalam diskusi tentang REDD. Kalimantan Tengah adalah contoh sempurna di mana WALHI yang sebenarnya menentang REDD tapi juga terlibat secara mendalam (secara kritis) dalam diskusi REDD di provinsi tersebut. 

Joko Waluyo: WALHI dan AMAN adalah juga para mitra dengan suara kritis terhadap REDD+.

Avi Mahaningtyas: Secara sederhana, ketika orang-orang ada di dalam ruangan yang sama, setidaknya mereka memiliki, dalam taraf tertentu, tingkat pengetahuan yang sama. Jadi hal itu menghindari adanya satu pihak yang menguasai pihak lain yang sama sekali tidak memiliki informasi.

REDD-Monitor: Anda menyebutkan bahwa Kemitraan bekerja mengenai tata pemerintahan hutan dan tidak secara khusus tentang REDD. Berapa orang di Kemitraan yang bekerja dalam isu ini?

Avi Mahaningtyas: Tak seorang pun yang bekerja secara khusus untuk REDD. Seluruh kelompok program tata pemerintahan lingkungan hidup dan ekonomi berjumlah dua belas orang. Selain itu kami memiliki tiga penasihat senior.

REDD-Monitor: Bagaimana posisi Kemitraan terhadap REDD?

Avi Mahaningtyas: Kemitraan tidak punya posisi terkait REDD. Peran kami adalah sebagai fasilitator dan sebagai pemrakarsa pertemuan. Kami tidak punya satu agenda yang menyatakan tidak atau ya. Jadi kami netral. Yah, bisa dikatakan netral secara positif. Kita tidak bisa benar-benar netral.

REDD-Monitor: Apakah Kemitraan memiliki posisi terhadap perdagangan karbon dan jika punya, apa posisinya?

Avi Mahaningtyas: Kami memiliki posisi terhadap tata pemerintahan yang baik. Jadi jika perdagangan karbon tidak sejalan dengan tata pemerintahan yang baik, transparansi, akuntabilitas, partisipasi dan berdasarkan kesetaraan, maka kami tidak mendukungnya. Jika perdagangan karbon sejalan dengan semua hal itu, maka REDD menciptakan kesempatan untuk menempatkan seluruh agenda yang telah kami kerjakan selama 15 tahun, dan keseluruhan gerakan telah bekerja, untuk didiskusikan secara terbuka. Tapi tidak, kami tidak punya posisi terhadap perdagangan karbon seperti itu.

REDD-Monitor: Baru-baru ini ada perjanjian yang ditandatangani antara Indonesia dan Uni Eropa mengenai illegal logging. Apakah Kemitraan terlibat dalam diskusi-diskusi mengenai illegal logging?

Hasbi Berliani: Tidak secara intensif selama proses menuju Perjanjian Kemitraan Sukarela (VPA - Voluntary Partnership Agreement). Kelompok program Tata pemerintahan Keamanan dan Keadilan di Kemitraan bekerja dalam persiapan multipemangku kepentingan untuk VPA dan implementasinya setelah diprakarsainya dokumen itu. Sekarang mereka bekerja dengan aktor-aktor non-negara, khususnya LSM, dalam memonitor implementasi VPA. Kami juga berpartisipasi dalam beberapa acara. VPA telah diparaf oleh kedua belah pihak dan akan dilanjutkan dengan ratifikasi. Tahun ini para pihak sepakat untuk melakukan uji coba untuk implementasi bagian dari perjanjian dengan implementasi penuh pada bulan Januari 2013.

Avi Mahaningtyas: Kemitraan sebagai sebuah institusi tidak terlibat dalam VPA itu sendiri. Keseluruhan VPA menghabiskan waktu 12 tahun untuk negosiasi. Namun Kemitraan sedang bekerja dengan ICEL (Indonesian Center for Environmental Law) dalam mendokumentasikan dan melakukan pelatihan untuk para jaksa dan kepolisian. Tapi kami punya peran yang terbatas dalam VPA illegal logging.

REDD-Monitor: Sebagai pengamat dari proses tersebut, pelajaran apa saja yang menurut Anda bisa ditarik dari diskusi illegal logging untuk pembahasan tentang REDD saat ini?

Avi Mahaningtyas: Apakah ada pelajaran yang bisa ditarik dalam hal mekanisme pelibatan pemangku kepentingan yang telah dilakukan melalui FLEGT, VPA dan pembalakan liar yang dapat digunakan dalam REDD? Tidak persis seperti itu. Modelnya berbeda karena FLEGT sangat terfokus pada kayu dan legalitasnya, pada kayu dan perdagangan, sedangkan REDD tidak hanya tentang hutan. Modelnya mencakup tata pemerintahan lahan, sumber penghidupan, tidak hanya hutan sebagai suatu unit yang akan didiskusikan. Ia lebih besar dan lebih rumit dalam mengelola hubungan pemangku kepentingan dan kelembagaan. 

Karena cakupannya lebih besar, model pelibatan pemangku kepentingan akan perlu melibatkan lebih banyak pihak terkait dengan kementerian, terkait dengan badan pemerintah dan sektor swasta. Bukan hanya kementerian kehutanan, tapi juga perkebunan/pertanian, pertambangan, badan pertanahan, lembaga geospasial dan organisasi masyarakat sipil. Isunya mencakup hak asasi manusia, masyarakat adat, hak perempuan, hak anak. Semua suara ini perlu didengar.

Hasbi Berliani: Dalam proses VPA Uni Eropa Indonesia ini ditetapkan regulasi untuk verifikasi keabsahan kayu yang disebut SVLK, Sistem Verifikasi Legalitas Kayu. Dalam pandangan kami, regulasi ini sulit diterapkan, khususnya untuk usaha masyarakat kecil. Sekarang pemerintah sedang melakukan pelatihan dan distribusi informasi kepada para pemangku kepentingan tentang peraturan-peraturan ini, tapi kelihatannya agak sulit untuk diterapkan.

Berkaitan dengan penerapan REDD, saya rasa walau instrumen ini adalah untuk mengurangi illegal logging, sebenarnya izin untuk penebangan legal bersifat kontraproduktif terhadap REDD. Mengurangi deforestasi tidak hanya tentang mengurangi illegal logging. Penerapan REDD+ yang efektif harus didukung oleh perbaikan tata pemerintahan dalam sumber daya alam, termasuk mengambil kebijakan-kebijakan yang signifikan seperti moratorium tentang penerbitan lisensi-lisensi baru untuk hutan primer dan lahan gambut, dan tidak hanya membuat kebijakan tersebut, tetapi juga memastikan bahwa kebijakan ini berjalan dengan baik.

REDD-Monitor: Bagaimana pendapat Anda tentang perjanjian senilai USD1 miliar antara Norwegia dan Indonesia?

Avi Mahaningtyas: Menurut saya itu adalah cara yang hebat untuk menunjukkan komitmen. Yang saya lihat bagus di sini adalah bahwa kesepakatan itu memberikan jalan baru tentang bagaimana segala sesuatu seharusnya dilaksanakan. Itu bukan seperti cara yang biasa dalam pendanaan proyek dengan tahap-tahap tradisional: memperoleh persetujuan pemerintah, menetapkan tujuan dan sasaran proyek tersebut dan menerapkannya. Saya melihatnya sebagai cara yang positif dalam melaksanakan bisnis (tidak bisnis seperti biasa), sebagai suatu cara dalam melibatkan orang-orang yang tidak ada di arus utama bisnis ini. Itu adalah suatu kesempatan.

Kesepakatan itu memberi ruang bagi masyarakat untuk berbicara tentang masalah-masalah dalam tata pemerintahan sumber daya tak hanya yang berkaitan dengan hutan. Kesepakatan itu juga meletakkan pertanyaan-pertanyaan mendasar dan penting tentang bagaimana tata pemerintahan yang baik harus diterapkan. Misalnya, bagaimana hubungan antara pemerintah pusat dan provinsi? Bagaimana hubungan antara provinsi dan kepala kabupaten? Paradigma berpikir di provinsi adalah bahwa jika suatu hal adalah proyek pemerintah pusat maka pihak provinsi hanya harus menerima dana atau biaya untuk menerapkannya.

Keterlibatan Norwegia dalam REDD di Indonesia berbeda. Hal itu cukup menguras energi di mana setiap orang harus mengubah cara mereka melakukan bisnis. Dalam pengertian itu, saya sebenarnya agak menyukainya. Tidak kaku. Memang berisiko, tapi diskusi dan prosesnya sendiri sangat penting untuk membuat seluruh pemangku kepentingan dan para pemain berbicara satu sama lain.

Hasbi Berliani: Kesepakatan ini berbeda dengan kegiatan percontohan REDD lainnya di Indonesia. AusAID menyediakan USD30 juta, misalnya, untuk Kalimantan Tengah dan mereka kemudian membuat suatu proyek di provinsi tersebut. Tapi ini agak berbeda. Ini mencakup sebuah proses membuat pemerintah dan para pemangku kepentingan lainnya siap terhadap penerapan REDD. Proses ini akan menjadi suatu kesempatan, tapi juga tidak gampang dalam memperbaiki tata pemerintahan dalam sumber daya alam, dan dapat dikembangkan sebagai suatu titik awal dalam menangani masalah tata pemerintahan dalam sumber daya alam, dan dapat dikembangkan sebagai suatu titik awal dalam menangani masalah-masalah dalam pengelolaan sumber daya alam (misalnya: konflik tenurial, finalisasi rencana spasial, pemulihan hutan dan seterusnya).

Avi Mahaningtyas: Kesepakatan itu juga meletakkan di atas meja isu-isu sensitif seperti kejelasan penguasaan tanah dan hak-hak masyarakat adat yang belum didiskusikan di depan publik sebelumnya. Hal itu mencakup mempertanyakan definisi hutan. Hal itu mencakup mempertanyakan definisi lahan gambut. Hal itu mempertanyakan bagaimana batas-batas sebaiknya dibuat. Hal itu mempertanyakan yurisdiksi hukum dan penegakan hukum.

REDD-Monitor: Kemitraan terlibat dalam penyelenggaraan pertemuan-pertemuan Satuan Tugas para Gubernur tentang Iklim dan Hutan di Aceh (2010) dan Kalimantan (2011). Tolong jelaskan peran Kemitraan dalam pertemuan-pertemuan ini.

Avi Mahaningtyas: Kemitraan dilibatkan di Kalimantan sebagai pemrakarsa pertemuan, bukan di Aceh. Peran saya adalah koordinator nasional untuk GCF Indonesia. Ada dua koordinator nasional. Satu, di sini dan Mariana Pavan di Brasil. Dua orang untuk 16 provinsi dan negara bagian. Ada pertemuan tahunan di Aceh dan di Santarém (Brasil) dan kemudian Kalteng (Kalimantan Tengah). Itu adalah pertemuan tahunan. Ada juga dua pertemuan teknis setiap tahun, di mana mereka mendiskusikan tema-tema khusus seperti garis dasar, padiatapa (FPIC), pembagian keuntungan dan seterusnya. Pertemuan tahunan itu biasanya dihadiri oleh 200 orang atau lebih. Pertemuan teknis lebih kecil dan aktor-aktor yang terlibat berbeda.

REDD-Monitor: Ada cukup banyak kritik terhadap Satuan Tugas para Gubernur tentang Iklim dan Hutan. Apa tanggapan Anda terhadap kritik-kritik ini, khususnya bahwa masyarakat tidak diikutsertakan dan bahwa GCF adalah pendukung perdagangan karbon, yang berarti bahwa emisi di Kalifornia akan dibiarkan berlanjut.

Avi Mahaningtyas: GCF telah bergeser karena pemerintah Kalifornia bangkrut. Tidak akan ada pasar hingga mungkin 2014. Apakah perdagangan karbon akan berlangsung atau tidak, yang penting adalah bahwa transparansi harus ada. GCF sendiri memiliki komitmen terhadap transparansi. Jadi di Rio akan ada peluncuran suatu basis data dari masing-masing provinsi yang terlibat, wilayah hutan, kredit karbon apa – jika ada, dan seluruh data dasar.

GCF berencana memperluas keanggotaannya sehingga (hubungan) sub-nasional ke sub-nasional secara langsung dapat terjadi. Misalnya, jika suatu provinsi di Eropa ingin melakukan penanaman, penelitian atau energi berkelanjutan berbasis hutan, itu bisa dilakukan.

Tahun lalu ada sebuah pertemuan di Aceh dengan para mukim yang membicarakan tentang persetujuan atas dasar informasi awal dan tanpa paksaan. Dengan pemilihan kepala daerah di Aceh, akan ada gubernur baru. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi.

Saat ini tidak terjadi apa-apa dalam pengertian transaksi uang untuk membeli kredit karbon. Pada dasarnya tidak ada dana. Saat ini saya tidak yakin apakah perdagangan karbon adalah jalan yang akan dipraktikkan oleh GCF. Tapi kami akan melakukan pertemuan di Chiapas, Meksiko nanti pada tahun ini dan akan membicarakan hal ini.

REDD-Monitor: Peran apa yang dimainkan Kemitraan dalam konsultasi dan diskusi tentang rancangan strategi nasional REDD+ Indonesia?

Avi Mahaningtyas: Strategi nasional dikonsultasikan di tingkat daerah, di tingkat nasional dan dalam tahap tertentu di tingkat internasional. Melalui pengungkapan ke publik dan internet, masyarakat dapat memberikan tanggapan mereka. Sekitar 70 masukan terhadap dokumen tersebut dimasukkan. Strategi nasional tentang REDD+ saat ini berada di tahap rancangan akhir, yakni menunggu adanya Keputusan Presiden untuk mengukuhkannya sebagai sebuah dokumen nasional.

REDD-Monitor: Apakah Kemitraan dilibatkan dalam menetapkan konsultasi untuk proses ini?

Joko Waluyo: Kemitraan dilibatkan dalam memrakarsai pertemuan dan menyelenggarakan konsultasi regional untuk Kalimantan dan itu dilakukan di Kalimantan Tengah. Dan di tingkat nasional begitu juga. Kami dilibatkan dalam memfasilitasi kelompok-kelompok sehingga mereka dapat melakukan pertemuan bersama. Yang penting bagi Kemitraan adalah memastikan bahwa seluruh pemangku kepentingan, yang pro dan kontra, dapat memiliki ruang untuk berbicara bersama. Itulah peran kami.

Avi Mahaningtyas: Selain itu, peran saya sekarang adalah penasihat untuk kelompok kerja nasional tentang pelibatan pemangku kepentingan dan komunikasi. Sekarang kami harus memastikan bahwa strategi nasional dikomunikasikan ke provinsi-provinsi, strategi dan rencana aksi untuk sembilan provinsi (Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Papua dan Papua Barat).

Joko Waluyo: Kami membantu tim untuk strategi nasional tersebut untuk mengunjungi masing-masing provinsi itu. Sekarang jumlahnya enam. Tiga provinsi yang belum sempat kami adakan pertemuan untuk lokakarya adalah Aceh, Kalimantan Tengah dan Riau. Proses ini adalah agar provinsi tersebut membuat strategi dan rencana aksi mereka untuk REDD di tingkat provinsi. Itu harus berdasarkan pada apa yang dinyatakan dalam strategi nasional.

Kepedulian utama Kemitraan adalah untuk memastikan bahwa seluruh suara didengar dan bahwa banyak pemangku kepentingan dilibatkan. Kami melihat hal ini sebagai tantangan terbesar yakni untuk menjangkau dan membantu orang-orang agar terlibat dalam proses tersebut.

Dikaitkan dengan apa yang Avi katakan sebelumnya tentang Kemitraan yang tidak mempunyai posisi tertentu, hal ini diperlukan bagi kami sehingga kami dapat berhubungan dengan setiap orang. Jika kami punya suatu posisi maka besar kemungkinan kami hanya akan memperoleh orang-orang yang bersepakat dengan posisi kami.

Tantangannya di masa depan, apapun skenarionya akan disetujui oleh pemerintah dan seluruh masyarakat ini, tetapi tantangan utamanya adalah untuk mengubah paradigma dan menerjemahkannya ke dalam perilaku. Dan karena itu maka penting sekali untuk melibatkan setiap orang dalam diskusi ini atau pengembangan skenario yang akan menjadi arah REDD. Itu dapat menjadi suatu kemungkinan untuk melakukan perubahan. Karena, sebagai seorang aktivis, saya sendiri menganggap negara ini harus berubah. Mungkin tidak melalui REDD, tapi melalui setiap kesempatan, untuk menerjemahkan perubahan paradigma ini sehingga masyarakat dapat betul-betul melakukan tindakan berdasarkan perubahan-perubahan itu.

REDD-Monitor: Bagaimana pendapat Kemitraan tentang hasil-hasil dari REDD dari diskusi internasional PBB di Cancún dan Durban?

Avi Mahaningtyas: Menurut saya itu penting. Tapi jujur saja, saya rasa banyak orang yang tidak mengerti apa itu tindakan pengaman (safeguard). Yang penting adalah bahwa orang-orang tahu tentang ini. Tindakan pengaman harus berbasis pada hak dan hal itu penting untuk memastikan bahwa risiko-risiko dimitigasi dan dikelola dengan baik, tapi kemudian tindakan pengaman sebenarnya tidak punya kekuatan hukum apapun. Hal itu adalah prosedur yang perlu dibagikan informasinya sehingga setiap orang dapat berpartisipasi dan berbagi tanggung jawab dengan para pemilik proyek. Jika Platform Durban akan diimplementasikan, tindakan pengaman ini harus dimasukkan. Bagus sekali jika orang-orang berbicara tentang tindakan pengaman, tapi apakah orang-orang yang terkena dampak REDD adalah yang sebetulnya duduk dan berbicara tentang tindakan pengaman ini adalah pertanyaan yang lain. 

Menurut saya Platform Durban dapat lebih kuat, mengingat fakta bahwa kita telah melalui 17 pertemuan COP, saya mempertanyakan sebagai seorang promotor tata pemerintahan yang baik, saya rasa itu bukanlah hasil terbaik yang dapat dicapai para pemimpin dunia. Hasil itu tidak menyatakan hal-hal khusus yang membuat kami dapat berharap.

Indonesia telah datang dengan angka pasti, 26%, 41% dari ‘bisnis seperti biasa’ pada tahun 2005. Di berbagai provinsi, masyarakat bertanya-tanya dari mana angka-angka ini bisa muncul. Tapi sudah ada angka, mari kita berangkat dari sana. Tapi bisakah itu dicapai melalui Cancún, Durban atau Doha, yang berikutnya? Maaf, saya tidak bisa punya banyak kepercayaan dalam proses internasional tersebut meskipun saya paham bahwa hal itu sangat penting untuk meletakkan arsitektur mendasar untuk mengatasi perubahan iklim. Perubahan akan terjadi secara lokal.

REDD-Monitor: Apakah Kemitraan hadir di Durban? Apa peran Kemitraan dalam perundingan iklim di tingkat PBB ini?

Avi Mahaningtyas: Saya ada di Durban. Kemitraan tidak punya suatu peran khusus misalnya sebagai juru runding. Kadang-kadang kami adalah bagian dari delegasi, kadang-kadang kami adalah ornop, tergantung pada akses terhadap akreditasi yang dapat kami peroleh.

Di Durban, kami memfasilitasi presentasi oleh Gubernur Kalimantan Tengah dan satuan tugas mereka tentang apa yang sedang terjadi di lapangan dan pandangan mereka tentang REDD. Kami berpartisipasi dalam Hari Hutan dan kami hadir di sana untuk bertukar gagasan. Tapi bukan dalam perundingan utama. Kami memberikan masukan terhadap dokumen-dokumen kepada para juru runding, tapi kami bukan dalam posisi resmi sebagai seorang juru runding.

Hasbi Berliani: Di Bali kami bukanlah bagian dari delegasi pemerintah, tapi berpartisipasi sebagai perwakilan dari masyarakat sipil. Kami menyelenggarakan acara sampingan dengan kelompok-kelompok organisasi masyarakat sipil (OMS) untuk membicarakan tentang hasil-hasil dari konsultasi regional dengan para pemangku kepentingan. Dan kemudian kami membawa pesan tersebut kepada delegasi Indonesia.

Di Bali, pesan utama yang diangkat dalam konsultasi dengan kelompok-kelompok OMS adalah bagaimana memasukkan posisi-posisi komunitas lokal dan masyarakat adat ke dalam konsep-konsep pemerintah Indonesia. Dan ini dijelaskan kepada para anggota delegasi. Lalu kami memasukkan posisi-posisi dari komunitas dan masyarakat adat tersebut ke dalam visi dari kertas konsep tentang REDD dari pemerintah.

REDD-Monitor: Selama beberapa tahun belakangan ada banyak diskusi dan banyak aktivitas tentang REDD di Indonesia. Ada sekitar 40 proyek percobaan. Presiden telah berbicara secara terbuka dengan sangat jelas bahwa beliau mendukung REDD. Sebaliknya, masih ada deforestasi yang sangat tinggi, masih ada ekspansi-ekspansi perkebunan kelapa sawit, perkebunan kayu pulp dan konsesi pertambangan. Apakah Anda bersikap optimis atau pesimis terhadap REDD di Indonesia?

Avi Mahaningtyas: Saya optimis jika ada reformasi politik yang berbarengan dengan reformasi birokrasi. Tanpa itu saya rasa apapun yang mereka harapkan tidak akan terwujud.

Joko Waluyo: Kami harus bersikap optimis. Kami optimis meskipun faktanya banyak hal yang berlangsung terus. Itu tidak mudah. Tapi ada banyak harapan dan para pemimpin dan pejuang yang dapat diharapkan yang punya kemauan dan kami harus mendukung para pemimpin dan pejuang tersebut dan memfasilitasi pekerjaan mereka. Ini adalah negara yang besar. Pertanyaannya adalah siapa yang Anda ajak kerja sama.

Hasbi Berliani: Saya juga optimis, tapi tetap ada kekhawatiran tentang kepemimpinan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten. Di tingkat nasional, ada tantangan dalam hal adanya target nasional yang tinggi untuk percepatan pembangunan ekonomi dan infrastruktur melalui program yang disebut MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Hal itu dapat mengganggu komitmen dan target untuk pengurangan emisi dari deforestasi di Indonesia.

Ada kesenjangan komitmen antara tingkat nasional, provinsi dan kabupaten. Meskipun ada komitmen dari presiden, di tingkat kabupaten dan provinsi mereka punya lebih banyak kepentingan dalam menebang hutan untuk pertambangan atau perkebunan kelapa sawit. Menurut saya itu cukup sulit dan menantang.

Avi Mahaningtyas: REDD itu tidak gampang, tapi kami optimis.


Wawancara ini adalah yang kelima dari serangkaian wawancara dengan aktor-aktor kunci REDD di Indonesia. REDD-Monitor berterimakasih pada ICCO yang mendanai proyek ini.