Wawancara dengan Bustar Maitar dan Yuyun Indradi, Greenpeace: “REDD belum menjawab masalah deforestasi yang sesungguhnya”

 
Bagian keenam dari sepuluh wawancara dengan pelaku REDD oleh REDD Monitor yang diterjemahkan oleh DTE

Tulisan asli dalam Bahasa Inggris di situs web redd-monitor.org

Oleh Chris Lang, 10 April 2012

Wawancara dengan Bustar Maitar, Kepala Kampanye Hutan, Jaringan Hutan Global Greenpeace Indonesia, dan Yuyun Indradi,  Pengkampanye Politik Hutan, Greenpeace Asia Tenggara – Indonesia di kantor Greenpeace, Jakarta, Maret 2012.

REDD-Monitor: Tolong jelaskan latar belakang Greenpeace secara internasional dan di Indonesia, berkaitan dengan kerja organisasi mengenai hutan.

Bustar Maitar: Greenpeace adalah sebuah organisasi kampanye lingkungan hidup global yang mandiri dengan 28 kantor nasional/regional yang mencakup lebih dari 40 negara di seluruh Eropa, Amerika, Afrika, Asia dan Pasifik, serta badan yang mengkoordinasinya, Greenpeace Internasional. Greenpeace telah melakukan kampanye untuk menyelamatkan hutan-hutan dunia dalam sebagian besar masa 40 tahun keberadaannya, termasuk Amazon, dan hutan-hutan boreal AS, Kanada dan Eropa. Selama lima tahun terakhir Greenpeace telah memprioritaskan kampanye hutannya sebagai bagian dari pendekatan solusi ikim kami. Mengapa demikian? Karena deforestasi menyumbangkan 20-25% emisi gas rumah kaca secara global. Jika kita tidak menangani isu deforestasi, kita akan gagal menyelesaikan masalah iklim.

Greenpeace sekarang bekerja dalam tiga wilayah kunci hutan tropis: Amazon, Basin Kongo dan Indonesia. Ketiga wilayah ini sejauh ini merupakan wilayah paling luas dari hutan tropis dunia yang tersisa. Kami saat ini menggunakan wilayah-wilayah ini untuk mewakili permasalahan deforestasi secara global. Di Amazon, kami memiliki sebuah tur kapal saat ini, untuk meminta pemerintah Brasil agar menghentikan perubahan pada UU Hutan. Di Basin Kongo, kami sedang lebih banyak memusatkan perhatian pada aktivitas penebangan hutan. Dan di Indonesia kami berbicara secara umum tentang isu-isu kunci hutan.

Kami memulai kampanye tentang hutan di Indonesia pada tahun 2005. Pertama kami menargetkan sektor penebangan hutan, kebanyakan memusatkan perhatian pada Papua. Pada tahun 2007, kami mulai memusatkan perhatian pada salah satu pendorong tercepat deforestasi di Indonesia, sektor minyak sawit, dan selama dua tahun terakhir, kami telah memusatkan perhatian pada deforestasi yang disebabkan oleh sektor pulp dan kertas.

Kampanye Greenpeace sebenarnya adalah kampanye hutan, bukan kampanye minyak sawit, atau kampanye pulp dan kertas, atau kampanye penebangan hutan. Kami mencoba untuk menghentikan deforestasi secara umum. Ini juga merupakan pendekatan yang kami ambil terhadap isu moratorium misalnya. Kami telah mendorong pemerintah untuk mengumumkan sebuah moratorium terhadap deforestasi selama lima tahun terakhir atau lebih. Masyarakat sipil mengangkat isu moratorium 20 tahun lalu. Apa yang diminta oleh Greenpeace merupakan bagian dari permintaan masyarakat sipil kepada pemerintah untuk menciptakan tata kelola yang lebih baik dan pengelolaan hutan yang lebih baik di Indonesia.

REDD-Monitor: Berapa banyak orang di Greenpeace yang secara khusus bekerja mengenai REDD di Indonesia?

Bustar Maitar: Khusus mengerjakan REDD, kami tidak ada. Tim hutan kami bekerja sama untuk menangani isu-isu hutan dan REDD adalah salah satu dari isu-isu dalam kampanye hutan.Tuntutan kunci kami sesungguhnya bukan REDD, melainkan menghentikan deforestasi. Kami sedang mengusulkan sebuah moratorium sebagai solusi untuk pengelolaan hutan yang lebih baik di Indonesia.

Saat ini kami memiliki sekitar 10 orang yang bekerja pada kampanye hutan. Kami memiliki tiga orang yang berbasis di Riau, sebentar lagi akan ada tiga orang berbasis di Papua dan sisanya berbasis di Jakarta.

REDD-Monitor: Dan berapa jumlah keseluruhan orang yang bekerja di Greenpeace di Indonesia?

Bustar Maitar: Saat ini kami memiliki sekitar 50 staf yang berbasis kantor di Indonesia. Sebagai tambahan kami punya tim pengumpul dana di sebagian besar kota-kota besar, yang berjumlah total sekitar 130 staf. Kami melakukan pengumpulan dana di Medan, Jakarta, Bandung, Jogya, Semarang, Surabaya dan kami baru saja membuka sebuah operasi pengumpulan dana di Makassar. Di Indonesia, database mencatat kami memiliki sekitar 50.000 pendukung  termasuk sekitar 30.000 orang yang memberikan sumbangan bulanan ke Greenpeace. 

REDD-Monitor: Dapatkah Anda menceritakan posisi Greenpeace terhadap REDD dan bagaimana Greenpeace bekerja di Indonesia untuk mempromosikan posisi ini?

Yuyun Indradi: Pada dasarnya, kami mendukung REDD, tapi juga ada beberapa persyaratan bagi dukungan ini. Persyaratan ini termasuk bahwa REDD harus melibatkan masyarakat adat dan masyarakat lokal, menguntungkan keanekaragaman hayati, dan kebocoran harus dihindari, sehingga perusahaan-perusahaan tidak memindahkan deforestasi dan emisi dari satu tempat ke tempat lain.

Greenpeace tengah mencoba untuk melibatkan para pemangku kepentingan lain dan ornop. Sebuah kesepakatan antara sejumlah ornop di Indonesia diterjemahkan dalam sebuah Platform Bersama tentang menyelamatkan hutan Indonesia. Pada dasarnya Platform tersebut berisikan beberapa persyaratan untuk menyelamatkan hutan-hutan Indonesia, yang berlaku pada skema REDD.

REDD-Monitor: Apakah Greenpeace terlibat dalam kelompok kerja untuk Satuan Tugas REDD+?

Bustar Maitar: Kami tidak terlibat secara langsung. Dalam Platform Bersama kami menyetujui siapa yang berada di dalam Satuan Tugas dan siapa yang berada di luar. Kami setuju bahwa Greenpeace dan Friends of the Earth, WALHI/FoE Indonesia dan beberapa lainnya lagi, akan tetap berada di luar kelompok kerja Satuan Tugas. Peran kami adalah mengawasi batasan-batasan REDD.

REDD-Monitor: Bagaimana  posisi Greenpeace dalam isu perdagangan karbon?

Yuyun Indradi: Saat ini kami tidak mendukung pasar karbon. Kami memiliki ide sendiri mengenai pasar hibrida yang pada dasarnya merupakan campuran antara dana publik dan mekanisme pasar. Tapi sejauh ini, masih merupakan konsep di atas kertas.

Bustar Maitar: Kami juga belum mendukung perdagangan karbon karena infrastruktur untuk pasar karbon ini belum terbangun dan tidak ada kesepakatan mengenainya. Sejauh ini baru ada pasar sukarela dan itu tidak cukup baik.

Tapi juga perdagangan karbon bukanlah solusi bagi iklim. Menurut saya ini penting, karena apa yang kita bicarakan di sini adalah mengurangi deforestasi dan mengurangi emisi karbon. Menciptakan sebuah komoditas baru dari karbon bukanlah benar-benar sebuah solusi bagi permasalahan tersebut. Sederhana saja. Jika seseorang dapat merokok dalam jumlah banyak dan orang itu memberikan uang pada orang lain untuk menyerap asap yang ia ciptakan, ini hanya akan membuat orang lain itu sakit. Ini merupakan penyederhanaan mengenai mengapa kami tidak mendukung perdagangan karbon. Karena apa yang tengah kami coba lakukan adalah mengurangi emisi karbon global untuk menangani isu iklim.

REDD-Monitor: Tahun lalu Greenpeace membuat sebuah seri peta yang menunjukkan berapa banyak hutan yang masih berisiko walaupun ada moratorium yang telah disetujui sebagai bagian dari kesepakatan 1 milyar USD antara Indonesia-Norwegia. Sebelum moratorium diberlakukan, Yuyun mengatakan bahwa “Moratorium yang diusulkan sama sekali tidak memadai.” Apakah yang menjadi pandangan saat ini dari Greenpeace terhadap moratorium dan pandangan Anda secara umum mengenai kesepakatan REDD senilai USD1 milyar antara Indonesia-Norwegia?

Bustar Maitar: Hanya dua hari setelah Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) mengumumkan kesepakatan dengan Norwegia di Oslo, kami memberikan aplaus terhadap komitmen yang dibuat Presiden SBY. Mengapa? Karena sebagaimana yang telah saya sampaikan sebelumnya, sebuah moratorium itu sendiri merupakan salah satu kunci tuntutan dari masyarakat sipil di Indonesia selama 20 tahun terakhir. WALHI, sebagai contoh, sudah mengangkat isu ini 20 tahun yang lalu. Dan dua tahun yang lalu Presiden SBY membuat komitmen.

Jadi, sebagai sebuah batu loncatan politik ini sangat penting bagi Indonesia, untuk menunjukkan kesediaan paling tidak Presiden SBY untuk membicarakan isu hutan. Greenpeace masih mendukung initiatif ini, Tapi pada saat yang bersamaan ada tantangan untuk memastikan bahwa semua badan-badan pemerintah bekerja sama dengan baik.

Moratorium itu ditunda hampir enam bulan dari tanggal asli yang dijanjikan oleh Presiden, terutama disebabkan banyak pemangku kepentingan, khususnya dari sektor bisnis, yang melobi untuk melemahkan moratorium tersebut.

Badan-badan resmi pemerintah tidak berbicara satu sama lain. Dan ini merupakan sebuah masalah. Ada Satuan Tugas REDD, dan Kementerian Kehutanan memiliki kewenangan kuat terhadap hutan, tapi ada juga otoritas tanah, BPN (Badan Pertanahan Nasional), dan Kementerian Pertanian menangani konsesi kelapa sawit. Mereka tidak saling berkomunikasi satu sama lain.

Kami tidak terkejut ketika moratorium keluar dan ternyata tidak cukup kuat untuk menangani masalah deforestasi. Ada banyak pengecualian. Ketika peta moratorium keluar, kami melihat bahwa wilayah-wilayah lahan gambut kunci tidak termasuk di dalamnya. Analisis kami adalah bahwa ini sangat jauh dari apa yang kami harapkan, ini benar-benar jauh dari apa yang ingin dilihat oleh masyarakat sipil dari komitmen pemerintah. Dan moratorium tersebut hanya meliputi perizinan-perizinan baru dan hutan primer, sementara kesepakatan Norwegia-Indonesia menyatakan hutan alam.

Masalah lain yang telah kami lihat adalah bahwa Pemerintah Norwegia tidak benar-benar ‘mendorong’ pemerintah Indonesia untuk mengikuti apa yang telah disepakati dalam Surat Pernyataan Kehendak (Letter of Intent). Pemerintah Norwegia tengah memainkan posisi ‘tunggu dan lihat’, tapi saya meyakini bahwa mereka menyadari ada sebuah risiko jika mereka tidak mengatakan sesuatu, karena Pemerintah Norwegia memainkan sebuah peran kunci untuk menangani isu deforestasi dan untuk mendukung inisiatif REDD, tidak hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia. Jika Pemerintah Norwegia tidak benar-benar mempertahankan isu ini di Indonesia, maka mereka akan mempertaruhkan kredibilitas mereka.

Hampir satu tahun sejak moratorium dimulai tapi masih tidak ada institusi REDD. Salah satu hal kunci dalam kesepakatan Norwegia adalah bahwa Pemerintah Indonesia harus memiliki institusi REDD. Sejauh ini kita hanya memiliki Satuan Tugas REDD, yang hanya merupakan suatu badan persiapan.

Menurut pendapat kami, moratorium tersebut seharusnya tidak memiliki batasan waktu, tapi harus berbasis kinerja. Apa yang ingin kami capai adalah reformasi sektor kehutanan di Indonesia. Jika setelah dua tahun kita belum sampai di sana, itu artinya moratorium harus diperpanjang, sampai kita bisa menyetujui bahwa sistemnya telah cukup diubah untuk memastikan bahwa hutan dilindungi dan dikelola dengan baik untuk masa depan.

Yuyun Indradi: Moratorium tersebut hanya meliputi hutan-hutan primer, yang artinya bahwa hutan-hutan sekunder masih berisiko. Sekitar 35 juta hektare dari hutan sekunder dapat berpotensi menjadi sumber emisi. Jadi ini masih praktik bisnis seperti biasa. Potensi emisi dari hutan sekunder sama besarnya dengan emisi sebelumnya dari deforestasi. Ini juga merupakan deforestasi.

Belum lagi kenyataan bahwa masih banyak bagian-bagian kecil dari hutan primer dalam area moratorium yang tersebar di seluruh Indonesia. Tidak ada jaminan bahwa hutan-hutan primer ini akan tetap ada di peta revisi moratorium mendatang, atau pada masa akhir moratorium.

Moratorium itu seharusnya menyertakan sebuah peninjauan terhadap konsesi-konsesi yang sekarang ada. Dari revisi pertama peta moratorium (Desember 2011) area hutan lindung dikurangi hampir empat juta hektare, tanpa penjelasan di mana dan apa status area hutan ini. Seharusnya tercatat, dari mana empat juta hektare tersebut. Kami berharap bahwa revisi kedua dalam bulan Mei 2012 akan lebih baik ketimbang sebelumnya dan kami berharap tidak ada lagi pengurangan pada area moratorium tersebut. Tapi kita lihat saja apa yang terjadi.

Bustar Maitar: Hal penting lainnya adalah dari awal, kami meminta pemerintah untuk melakukan sebuah peninjauan hukum secara menyeluruh dari seluruh konsesi yang ada karena banyak hutan alam dan lahan gambut telah tercakup dalam konsesi. Tanpa meninjau konsesi-konsesi yang ada, menurut saya akan sangat sulit mencapai komitmen presiden untuk pengurangan emisi 41%. Kami mengatakan 41%, bukan 26%, karena 26% merupakan komitmen yang hanya berasal dari pemerintah Indonesia. Dengan dukungan internasional, seperti dukungan Norwegia, targetnya adalah pengurangan emisi 41%.

Yuyun Indradi: Kejelasan mengenai hak tanah dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat juga penting. Jika ini tidak diselesaikan, maka reformasi apapun di sektor kehutanan tidak akan berhasil. Dalam LoI antara Indonesia dan Norwegia jelas dinyatakan bahwa harus ada suatu mekanisme mengenai resolusi konflik. Itu juga harus ditangani.

Masih ada juga celah terbuka lainnya di moratorium tersebut, bahwa moratorium tidak menyertakan hutan dengan cadangan bahan bakar. Banyak cadangan batubara yang sangat besar dan energi panas bumi Indonesia terdapat di bawah hutan-hutan, yang artinya area-area hutan yang lebih luas berada dalam risiko jika pemerintah memperbolehkan celah ini tetap berada dalam moratorium.

REDD-Monitor: Greenpeace sangat kritis terhadap peran yang dimainkan oleh McKinsey dalam REDD. McKinsey sudah sangat terlibat di Indonesia. Dapatkah Anda menceritakan tentang masalah-masalah yang ditimbulkan oleh jenis analisis McKinsey dalam isu REDD di Indonesia.

Yuyun Indradi: Pada dasarnya, yang tengah kami coba soroti mengenai McKinsey adalah kurangnya transparansi yang berkaitan dengan asumsi-asumsi yang mereka gunakan untuk memproduksi kurva biaya. McKinsey akhirnya menyalahkan masyarakat lokal sebagai aktor-aktor utama deforestasi di Indonesia.

McKinsey gagal melihat permasalahannya dengan kebijakan-kebijakan dan implementasi dari kebijakan tersebut. Mereka tidak melihat permasalahan korupsi dalam sektor kehutanan. Namun penemuan McKinsey akan dijadikan acuan oleh pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan mendatang mengenai REDD. Menurut pendapat kami, ini tidak akan memperbaiki tata kelola hutan tapi akan membuatnya makin buruk.

Menyalahkan masyarakat lokal bukanlah solusi terhadap deforestasi. McKinsey tidak melihat gambaran yang lebih luas, bahwa terdapat operasi-operasi berskala lebih besar, perusahaan-perusahaan transnasional yang menjadi pendorong utama dalam sektor minyak sawit, pulp dan kertas dan pertambangan. Itulah jenis isu di mana kami tidak setuju dengan McKinsey.

REDD-Monitor: Tahun lalu, sebuah persetujuan ditandatangani oleh UE dan Indonesia mengenai illegal logging. Seberapa banyak Greenpeace terlibat dalam diskusi-diskusi mengenai isu illegal logging di Indonesia?

Bustar Maitar: Secara khusus tentang konsultasi-konsultasi mengenai pengembangan SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu), kami tidak benar-benar terlibat dalam hal ini. Kami diundang ke beberapa rapat, tapi Greenpeace tidak benar-benar memberi sumbangan besar dalam proses panjang SLVK.

Tapi sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, sejak 2005, salah satu isu kunci yang diangkat oleh Greenpeace di Indonesia adalah aktivitas illegal logging.  Kami menyingkap apa yang saat itu tengah terjadi di Papua. Dan tentu saja  kami mendukung inisiatif apapun yang mencoba mengurangi aktivitas illegal logging, khususnya dari operasi-operasi perusahaan besar.  

Dalam pandangan kami, pemerintah Indonesia sudah memiliki peraturan-peraturan untuk menangani masalah illegal logging. Tantangannya adalah penerapan kebijakan itu sendiri. Hal ini mengangkat isu tata kelola, yang tidak benar-benar kuat. Banyak interpretasi mengenai illegal logging yang berdampak terhadap masyarakat lokal, tidak menangani penebang-penebang liar berskala besar.

Dengan SVLK, tentu saja kami senang bahwa skema ini ada, tidak sungguh-sungguh untuk menyelesaikan masalah, tapi paling tidak untuk menangani isunya dan agar mulai mendidik perusahaan-perusahaan dan pemerintah bahwa hal ini merupakan sesuatu yang penting untuk ditangani.

Kami telah melihat beberapa perusahaan mencoba menggunakannya sebagai klaim hijau. Misalnya Asia Pulp and Paper, beberapa hari setelah SVLK diluncurkan, mengklaim bahwa mereka memenuhi syarat SVLK. Tapi APP masih membabat lahan gambut, hutan alam dan habitat spesies yang terancam punah. Kami tidak ingin melihat hal semacam ini.

Untuk menerapkan kesepakatan Uni Eropa (UE)-Indonesia mengenai penebangan liar di lapangan membutuhkan komitmen penuh dari pemerintah. Sebuah tinjauan terhadap sistem yang ada, termasuk sistem yang telah dikembangkan pemerintah, sudah  harus dilakukan sejak dulu.

Yuyun Indradi: Secara pribadi saya terlibat dari tahun 2003, sebelum saya bergabung dengan Greenpeace, dalam mengembangkan SVLK. Ketika kami mengajukannya pada pemerintah, mereka mengeditnya dan membagi standarnya menjadi dua. Jadi yang satunya adalah SLVK dan yang lainnya merupakan sertifikasi wajib untuk pengelolaan berkelanjutan.

SLVK sebagian besar merupakan sebuah kompilasi peraturan yang berlaku berdasarkan Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup, khususnya peraturan-peraturan penilaian dampak lingkungan hidup. Tapi ada perbedaan yang sangat besar, seperti fakta bahwa hanya 12% dari hutan yang telah ditata batas. Untuk memenuhi persyaratan legal Anda harus memiliki area telah ditata batas. Jadi 88% masih belum dianggap sah. Ini merupakan tanggung jawab pemerintah. Pemilik konsesi memiliki kewajiban untuk mengajukan dan membayar untuk proses penatabatasan hutan, pemerintah dan pemerintah daerah harus melaksanakan proses tersebut. Jadi pemilik konsesi berargumen bahwa mereka telah memenuhi kewajiban mereka, sehingga konsesi mereka sah. Tapi dari perspektif hukum secara holistik masih terdapat lubang-lubang.

Kemudian ada perdebatan yang panjang dan intens tentang bagaimana hak-hak masyarakat adat dapat dimasukkan sebagai bagian dari sistem hukum. Sayangnya hanya ada sedikit peraturan yang mengakui hak-hak masyarakat adat di Indonesia. Kami tengah mencoba mencantumkan semua komitmen-komitmen internasional dari Deklarasi PBB mengenai Hak-hak Masyarakat Adat, tetapi karena UNDRIP belum diterjemahkan ke dalam peraturan-peraturan Indonesia, hal tersebut menjadi sulit.

Jika diketahui bahwa suatu pemilik konsesi tidak menaati SVLK, tidak ada sanksi yang dikenakan, tidak ada pencabutan izin. Alih-alih, si pemilik konsesi dapat memulai kembali, kembali dari awal dan melalui prosedur sekali lagi. Ini agak lucu, karena ini berdasarkan Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Kehutanan (FLEGT), tapi tidak ada penegakan hukum.

Ini sama saja dengan APP. Ketika kami menemukan bahwa APP menggunakan ramin, yang tercatat dalam Apendiks II CITES, pemerintah tidak melakukan apa-apa. Mereka menyatakan bahwa ramin dalam kuota yang terbatas dapat diperdagangkan di bawah pengawasan, tapi karena APP tidak memiliki izin-izin yang diperlukan untuk melakukannya, hal itu telah melanggar hukum. Kementerian Kehutanan mengatakan bahwa jika kasusnya terbukti maka akan ada sanksi administratif.

Hal semacam itulah yang membuat kesenjangan penegakan hukum semakin besar belaka. Bahayanya adalah bahwa SVLK menjadi sekedar stempel yang bisa dibeli.

REDD-Monitor: Tolong ceritakan lebih banyak lagi tentang APP dan kasus ramin. Greenpeace menulis surat kepada Kementerian Kehutanan dan menjelaskan bahwa Anda menemukan adanya kayu yang ditebang secara ilegal di dalam tempat penimbunan kayu APP. Apa tanggapan dari Kementerian Kehutanan?

Bustar Maitar: Isu ramin ini sudah jadi rahasia umum. Setiap orang yang terlibat di sektor pulp dan kertas termasuk para pejabat pemerintah dan perusahaan itu sendiri mengetahui bahwa hal itu terjadi. Apa yang telah terjadi sekarang adalah bahwa Greenpeace telah menyingkap permasalahan tersebut. Ini tak hanya terjadi di APP, tapi juga di perusahaan-perusahaan lainnya, termasuk perusahaan-perusahaan minyak sawit yang membabat hutan alam di Sumatera.

Dua hari sebelum kami mempublikasikan laporan tersebut, untuk menghormati pemerintah agar melaksanakan tugasnya, kami pergi ke Kementerian Kehutanan mengatakan bahwa kami akan mempublikasikan laporan ini untuk menyingkap penebangan liar ramin. Apa yang kami katakan adalah bahwa Anda adalah pihak yang berwenang dan memiliki tanggung jawab untuk mengambil tindakan. Apa yang seharusnya terjadi ketika kami mempublikasikan laporan tersebut, karena ini sudah merupakan bukti, adalah bahwa pemerintah seharusnya langsung bersikap untuk menyita ramin liar tersebut di kilang APP dan menghentikan operasi kilang tersebut selama mereka melakukan penyelidikan.

Pemerintah memiliki kewenangan karena ramin yang digunakan oleh APP merupakan pelanggaran terhadap UU tahun 2001 yang melarang penebangan kayu ramin. Ada kewajiban bagi pemerintah untuk pergi ke sana dan melakukan penyelidikan. Pemerintah seharusnya dapat memperlihatkan bahwa mereka sangat peduli dengan penegakan hukum, khususnya karena tidak hanya melibatkan legislasi nasional, tetapi juga kesepakatan internasional mengenai CITES. Sejauh ini kami belum mendapat kabar sama sekali dari pemerintah mengenai kemajuan penyelidikan mereka.

REDD-Monitor: Apakah Anda tahu sekiranya Kementerian Kehutanan telah mendatangi kilang  pulp Indah Kiat milik APP sejak laporan Anda diterbitkan?

Bustar Maitar: Mereka mengundang kami untuk rapat pekan lalu. Pekan sebelumnya mereka memberikan sebuah salinan surat yang menyatakan bahwa mereka akan mendatangi kilang Indah Kiat. Kami menunjukkan bahwa mungkin ini sudah terlambat. Kami telah mendengar bahwa dalam beberapa hari setelah kami mengeluarkan laporan tersebut APP mulai membersihkan ramin mereka. Bukti yang kami tampilkan termasuk GPS, analisis laboratorium, foto-foto dan semuanya ada dalam laporan tersebut. Mereka perlu memeriksa di lapangan. Pekan lalu, mereka belum juga ke lapangan. Mungkin sekarang sudah.

REDD-Monitor: Dalam kaitannya dengan penerapan REDD, menurut Anda pelajaran-pelajaran apa yang dapat diambil dari seluruh pembicaraan mengenai illegal logging ini?

Bustar Maitar: Diskusi-diskusi REDD mulai dilakukan secara serius di sini saat pertemuan UNFCCC tahun 2007 di Indonesia. Greenpeace sudah terlibat dalam diskusi tersebut dan kami menghasilkan sebuah dokumen saat itu, yang disebut TDERM, Mekanisme Pengurangan Emisi Deforestasi Tropis. Apapun sebutannya, REDD atau apapun, apa yang kami ingin lihat adalah deforestasi yang berkurang dan emisi karbon yang berkurang. Dan tentu saja, isu kunci di sini adalah illegal logging.

Salah satu masalah dengan illegal logging adalah bahwa pemerintah, dan yang lainnya, hanya berpikir terkait dengan kertas, perizinan dan sertifikat. Masyarakat tidak memiliki surat-surat, tetapi perusahaan seperti APP, hanya karena memiliki izin dari Kementerian Kehutanan, mereka mengatakan bahwa mereka tidak melakukan illegal logging. Tapi illegal logging harus dipahami dari perangkat peraturan secara menyeluruh. Sebagai contoh, APP menebang ramin. Itu merupakan illegal logging. APP membabat hutan alam di lahan gambut dengan kedalaman lebih dari tiga meter. Itu merupakan illegal logging. APP membabat zona riparian (pinggir sungai). Itu merupakan illegal logging. Meski mereka telah memiliki izin dari pemerintah.

Terkait dengan pelajaran yang dapat diambil, apa yang telah kita lihat adalah bahwa khususnya di Indonesia, REDD belum mengatasi masalah yang sebenarnya. Mengapa? Antara tahun 2006-2009 laju deforestasi di Indonesia adalah 2,3 juta hektare per tahun. Itu menurut analisis kami berdasarkan informasi yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan. Kementerian Kehutanan menyebutkan angka 1,1 juta hektare per tahun. Kami meyakini bahwa laju deforestasi masih 2,3 juta hektare per tahun.

REDD belum menjawab permasalahan deforestasi yang sesungguhnya. Sebagai sebuah proses pembelajaran, mungkin, bagaimana bekerja sama satu sama lain, bagaimana menyelesaikan masalah dari proyek satu peta, mungkin itu salah satu dari pelajaran-pelajaran yang diambil bahwa negara ini harus memiliki hanya satu peta, tapi terkait dengan bagaimana mengatasi masalah yang sesungguhnya, menurut saya belum sampai sana.

Kami juga berpendapat bahwa semua pihak, semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam REDD dan moratorium tersebut, harus mulai berpikir bagaimana mengatasi permasalahan dengan sungguh-sungguh. Jika tidak, apa yang tengah terjadi dengan REDD, hanya merupakan serangkaian proyek-proyek. Dan setelah masa proyek tersebut selesai, orang-orang yang sekarang bekerja dalam isu REDD akan melompat ke proyek baru yang lain. Ini yang tidak ingin kami lihat. Sebuah siklus proyek yang tidak sungguh-sungguh mengatasi isu-isu deforestasi, isu-isu hak-hak masyarakat adat atau isu iklim. 

Ada banyak proyek REDD yang sedang berlangsung. Proyek-proyek ini harus terintegrasi satu dengan yang lainnya. Apa yang dikerjakan oleh banyak institusi sekarang adalah proyek-proyek REDD yang sangat mirip dengan inisiatif-inisiatif proyek hutan sebelumnya yang sudah pernah berlangsung di Indonesia. Pada akhirnya kita hanya dapat laporan-laporan saja. Satu proyek di sini, satu proyek di sana, satu proyek entah di mana dan dengan pelajaran-pelajaran yang dapat diambil dari lokasi-lokasi proyek tersebut. Akhirnya hanya berupa laporan-laporan proyek yang menyatakan inilah yang kami lakukan dalam tiga tahun terakhir. Tapi tidak ada yang benar-benar melakukan perubahan.

Yuyun Indradi: Hal lainnya adalah bahwa kita tidak menangani kesenjangan penawaran dan permintaan dalam industri hutan. Jika kita tetap membiarkan industri berkembang hingga hutan tidak bisa memasok lagi, apa yang akan kita lakukan? Ini juga tentang memperbaiki tata kelola hutan. Tak masalah apakah itu sebuah isu penebangan liar atau isu REDD. Jika tata kelola hutan bagus, penegakan hukum kuat, maka dengan atau tanpa penebangan liar, atau SVLK, atau REDD menurut saya kita dapat mengambil manfaat dari tata kelola hutan yang lebih baik.

REDD-Monitor: Pada tahun-tahun belakangan ini, Greenpeace melakukan sebuah kampanye besar terhadap Sinar Mas dan sebagai hasil dari kampanye tersebut Golden Agri Resources menandatangani sebuah kesepakatan dengan Forest Trust. Sejak saat itu, Greenpeace tidak bersuara di isu minyak sawit dan Anda sekarang memusatkan perhatian pada Asia Pulp and Paper. Bisakah Anda ceritakan sedikit tentang kampanye Golden-Agri Resources dan menurut Anda apa implikasinya bagi REDD?

Bustar Maitar: Greenpeace berkampanye selama tiga, empat tahun tentang minyak sawit dengan memusatkan perhatian pada Golden-Agri sebagai sebuah studi kasus. Komitmen final yang dilakukan Golden-Agri pada bulan Februari 2011 mencakup sebuah komitmen untuk melindungi hutan-hutan yang bernilai konservasi tinggi dan  tidak akan melakukan pembangunan di lahan gambut. Ini merupakan hal yang cukup baru terkait dengan sektor minyak sawit tidak hanya di Indonesia tapi juga secara global. Dan mereka berkomitmen pada persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan, yang juga berarti bahwa mereka memiliki kewajiban untuk menyelesaikan konflik-konflik sosial yang diakibatkan oleh operasi-operasi mereka.

Mereka juga berkomitmen untuk meningkatkan hasil produktivitas mereka dan berkomitmen atas sebuah ambang batas sementara terhadap hutan yang tidak akan mereka babat, dengan menggunakan 35 ton karbon per hektare sebagai indikator. Sejak saat itu, Golden-Agri dan TFT melakukan pekerjaan lapangan untuk mengetahui seperti apa 35 ton karbon per hektare di lapangan. Mereka sedang mengukur beberapa konsesi Golden-Agri di Kalimantan. Dan seperti apakah 35 ton karbon per hektare di lapangan? Kurang lebih dua tiga pohon per hektare. Sangat terdegradasi. Jadi mereka hanya akan mengembangkan di area di bawah 35 ton per hektare dan tentu saja dengan konsultasi yang layak dengan masyarakat lokal.

Hal ini benar-benar mencoba untuk menggabungkan kenyataan di lapangan, perspektif ekologis dan perspektif bisnis.

Greenpeace mendukung komitmen ini. Mengenai permasalahan dengan UU dan peraturan, itu hal lainnya yang harus dimasukkan secara bertahap oleh Golden-Agri ke dalam komitmen mereka. Dan pemerintah Indonesia harus melaksanakan penegakan hukum.

Golden Agri telah berkomitmen untuk menerapkan hal ini di seluruh operasi mereka, tidak hanya di Indonesia. Mereka akan menerapkan hal ini dalam perkebunan mendatang mereka di Liberia. Bagi kami ini merupakan hal yang baru dan sesuatu yang benar-benar ingin kami lihat yang dilaksanakan oleh perusahaan sendiri dengan dukungan dari TFT.

Terkait dengan REDD di Indonesia, salah satu permasalahan kunci kita adalah mendefinisikan apa itu lahan yang terdegradasi dan apa itu lahan hutan. Dan komitmen untuk tidak membabat hutan dengan lebih dari 35 ton karbon per hektare ini dapat membantu untuk mendefinisikan hal itu. Terkait dalam mengurangi emisi dari deforestasi, ini dapat membantu, dan diharapkan akan membantu menemukan cara yang tepat untuk mendefinisikan lahan yang terdegradasi.

Jadi komitmen korporasi sudah ada di sana. Hal ini sungguh tergantung pada dukungan pemerintah dan, tentu saja, juga para pemain industri lain. Karena banyak perusahaan minyak sawit lainnya merasa takut dengan angka 35 ton karbon per hektare, khususnya jika itu sesuatu yang akan dipertimbangkan pemerintah sebagai suatu kebijakan. Angka 35 ton karbon per hektare telah disebutkan dalam Strategi Nasional REDD. Ini merupakan sesuatu yang akan mempengaruhi cadangan lahan (land bank). Itu sebabnya banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berupaya mengurangi angka 35 ton per hektare.

Jika ini benar-benar terjadi dan merupakan suatu hal yang dijalankan pemerintah maka hal ini merupakan sesuatu yang akan membantu penerapan REDD di Indonesia.

REDD-Monitor: Anda baru saja menyebutkan Strategi REDD Nasional yang saya pahami tengah menunggu Keputusan Presiden, seberapa banyak Greenpeace terlibat dalam penyusunan rancangan Strategi Nasional itu?

 Yuyun Indradi: Pada dasarnya draf Strategi Nasional REDD yang terbaru dirancang oleh sekelompok orang di bawah tim Satuan Tugas REDD. Mereka ditunjuk dan sebagian besar berasal dari sektor industri. Sebagai koalisi ornop dari Platform Bersama kami juga memiliki satu orang yang terlibat. Melalui orang ini kami memberikan masukan kami ke dalam diskusi.

REDD-Monitor: Bagaimana pendapat Anda mengenai draf Strategi REDD+ Nasional?

Yuyun Indradi: Sejauh ini, dapat diterima. Walaupun, sebagai sebuah strategi hal itu tidak akan mudah diimplementasikan, diperlukan lebih banyak detail dan perlu diterjemahkan ke dalam peraturan perundang-undangan.

Tapi ada banyak Keputusan Presiden mengenai banyak isu dan meski Keppres itu dapat saling mendukung, terkadang juga bisa saling berlawanan. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana menyelaraskan semua peraturan ini sehingga Strategi Nasional REDD bisa berhasil.

REDD-Monitor: Apa pendapat Greenpeace mengenai hasil REDD dari pertemuan Cancún dan Durban, khususnya fakta bahwa sistem pengaman berada di balik kata-kata “mempromosikan dan mendukung”?

Yuyun Indradi: Menurut kami Durban merupakan suatu kegagalan. Sayangnya pertemuan Durban menempatkan REDD dan sistem pengaman kembali berada di bawah keputusan nasional masing-masing negara atau kondisi masing-masing negara. Standar-standarnya bergantung pada komitmen masing-masing negara dan bagaimana mereka akan menerjemahkannya ke dalam peraturan.

Pada saat ini di Indonesia ada dua proses yang berlangsung secara paralel, yang satu di Satuan Tugas REDD dan yang lain di Kementerian Kehutanan. Di Satuan Tugas REDD mereka tengah mencoba mengembangkan sistem pengaman yang akan dipertimbangkan sebagai bagian dari syarat-syarat pembiayaan. Dalam Kementerian Kehutanan mereka tengah mencoba menetapkan sebuah sistem informasi sistem pengaman. Akan membingungkan jika ada dua perangkat standar yang dikembangkan oleh dua instansi berbeda. Usulan saat ini adalah mencoba untuk menggabungkan keduanya menjadi satu dan kemudian menerimanya sebagai sebuah standar nasional terhadap sistem pengaman. Tapi negosiasi ada pada kedua belah pihak. Kita lihat saja apa yang terjadi. Menit-menit terakhir sering merupakan saat paling krusial untuk keputusan-keputusan yang masih dalam proses.

REDD-Monitor: Banyak hal yang terjadi terkait REDD di Indonesia. Ada 40 proyek yang janggal, Presiden telah muncul mendukung REDD, tapi pada saat yang sama deforestasi masih sangat tinggi, perluasan konsesi kelapa sawit, kayu pulp dan pertambangan. Apakah Anda optimis atau pesimis mengenai REDD di Indonesia?

Yuyun Indradi: Perasaan saya campur aduk. Saya optimis saat saya mempertimbangkan kemajuan pada komitmen di tingkat Presiden. Tapi setelah pemerintahan ini Presiden yang berikut bisa saja mencabut semua pernyataan itu.

Saya agak pesimis ketika pemerintah tidak cukup keras mencoba menangani kesenjangan penawaran dan permintaan tersebut karena itulah akar dari deforestasi. Alih-alih mengurangi kapasitas produksi, pemerintah mendorong perusahaan untuk meningkatkan kapasitas. Tapi pasokan bahan mentah tersebut tidak cukup. Sekalipun dengan banyaknya proyek-proyek REDD, tanpa menangani isu-isu khusus penawaran dan permintaan dalam sektor kehutanan tersebut, maka deforestasi tidak bisa dikurangi, karena perusahaan akan menuntut untuk mengkonversi semakin banyak lagi hutan alam.

Penegakan hukum juga masih buruk. Perasaan campur aduk antara optimis melihat peraturan dan pesimis melihat kegagalan di lapangan dalam menegakkan hukum.

Bustar Maitar: Sebagaimana saya katakan sebelumnya, apa yang telah terjadi dalam dua tahun terakhir pada REDD dan pada isu-isu hutan secara umum, merupakan sebuah langkah yang sangat besar dalam hal komitmen politik dari pemerintah. Tapi dengan melihat apa yang tengah terjadi di lapangan dan melihat bahwa masalah-masalah tersebut tidak benar-benar sedang ditangani membuat sulit untuk tetap optimis.

Pemilihan umum di Indonesia tinggal dua tahun lagi dan Presiden SBY tidak akan mencalonkan diri untuk ketiga kalinya sebagai Presiden. Jadi ini merupakan periode yang penting bagi sumber daya alam termasuk hutan. Tahun ini merupakan jendela kesempatan satu-satunya untuk mengubah sesuatu. Bukan tahun depan. Komitmen Presiden ada di sana, belum terlalu dekat ke pemilu, jadi orang masih bisa berpikir jernih apa yang harus mereka lakukan untuk negeri ini.

Greenpeace ingin memaksimalkan tahun ini untuk benar-benar mendorong perubahan dalam hal pengelolaan hutan di Indonesia. Pengelolaan hutan di Indonesia harus memasukkan sektor pertambangan, pulp dan kertas, penebangan kayu dan juga minyak sawit. Kami belum tahu seperti apa revisi kedua dari peta moratorium saat keluar di bulan Mei, tapi itu akan benar-benar menjadi indikator kunci apakah kita sedang membuat kemajuan atau tidak.

Pasar global pun tengah berubah sekarang. Permintaan terhadap produk-produk yang berkelanjutan cukup tinggi. Kita dapat melihat bahwa ada penyempitan konsumen produk-produk APP.  Ini berarti bahwa tidak ada cara lain bagi perusahaan yang berbasis sektor sumber daya alam untuk tidak beralih pada cara yang berkelanjutan. Jika tidak, beberapa waktu kemudian mereka akan kehilangan pasar. Tapi ini tidak hanya mengenai pasar, ini benar-benar mengenai bagaimana cara menangani masalah di lapangan.

Saya masih optimistis, tapi ada banyak pekerjaan yang perlu dilakukan. Ketimbang saling menyalahkan, mari kita bersama-sama menyelesaikan isu deforestasi yang sesungguhnya. Greenpeace sendiri akan memainkan peran kunci, khususnya dalam mengungkap peran perusahan-perusahaan besar dalam deforestasi di lapangan serta mendorong pemerintah untuk mengambil tindakan untuk memperbaiki tata kelola hutan. 


Wawancara ini adalah yang keenam dari serangkaian wawancara dengan aktor-aktor kunci REDD di Indonesia. REDD-Monitor berterimakasih pada ICCO yang mendanai proyek ini.