Sertifikasi FSC Kayu Jati Ditunda

Down to Earth Nr 51  November 2001

Keputusan untuk menunda sertifikasi perkebunan-perkebunan Jati di Jawa memunculkan masalah besar bagi kebijakan eko-labelling Dewan Pengurus Kehutanan di Indonesia.

Pada bulan Agustus, Smartwood, lembaga pemberi sertifikat akreditasi FSC -sebuah program dari Aliansi Hutan Tropis di Amerika Serikat-mengumumkan keputusan untuk menunda pemberian sertifikat kepada lima perkebunan ayng dikelola oleh PT Perhutani: Cepu, Kebonharjo dan Kendal di Jawa Tengah dan Madiun di Jawa Timur. Sebelumnya, sudah ada lima perkebunan kayu jati dan satu perkebunan pinus yang mendapat sertifikat dari Smartwood. Pada tahun 2000, salah satu hutan jati yang mendapat sertifikat –Mantingan-dibatalkan. Keputusan itu berarti tak akan ada hutan jati yang akan mendapat sertifikat FSc dari Indonesia sepanjang penundaan itu berlaku.

Smartwood mengatakan bahwa penundaan tersebut –yang telah berjalan efektif pada tanggal 20 0KTOBER, didasarkan pada "pelanggaran" syarat-syarat yang ditentukan untuk mendapatkan sertifikasi sesuai dengan prinsip-prinsip dan kriteria selain juga standar-standar yang ditetapkan Smartwood." Smartwood juga mengatakan bahwa mereka percaya bahwa "keberlanjutan jangka panjang sumber daya perkebunan berada dalam kondisi penuh resiko." Menurut harian The Jakarta Post, Perhutani dianggap bersalah karena gagal untuk mengatasi penebangan liar dan tidak banyak membuat usaha untuk mengurangi konflik dengan masyarakat lokal. Sertifikasi penebangan kayu, atau eko-labelling, telah dimajukan sebagai salah satu cara untuk menekan upaya reformasi di berbagai negara di mana kebijakan-kebijakan pemerintah tidak mendukung perlindungan hutan.

Sertifikasi hutan-hutan Indonesia dibawah FSC –sebuah organisasi yang standar Sertifikasi hutan mereka diterima oleh para konsumer di Eropa dan Amerika Serikat, mendapat hujan kritik sejak tahun 1998, saat mereka memberikan sertifikat terhadap perkebunan kayu jati Perhutani. LSM-LSM telah menunjukkan kasus-kasus yang tak selesai dan korupsi dalam tubuh Perhutani, yang menyebabkan pemberian sertifikat terhadap perkebunan mereka menjadi tidak layak. Banyak sengketa dengan masyarakat-masyarakat lokal –beberapa berawal sejak periode kolonial—berasal dari pengambilalihan tanah-tanah ulayat desa oleh Perhutani. Banyak terjadi aksi-aksi "land reclaiming" di Jawa dan tempat lainnya di mana masyarakat mencoba menegaskan kembali hak-hak mereka tehradap tanah. (Lihat DTE 48:9 sebagai contoh dari konflik ini).

Pada bulan April tahun ini, sertifikasi FSC pertama dikeluarkan bagi pemegang konsesi kayu hutan alam –PT Diamond Raya yang memiliki lahan konsesi seluas 51.000 hektar di Riau, Sumatra. Sertifikasi tetap diberikan meskipun muncul keprihatinan yang diajukan oleh kalangan LSM bahwa prinsip-prinsip FSC sendiri tentang hak-hak masyarakat adat dilanggar. WALHI menuntut bahwa semua sertifikasi ditunda sampai semua sistem konsesi direvisi dan batas-batas hak tanah masyarakat adat didefinisikan dengan jelas.

Penundaan sertifikasi bagi empat perkebunan jati Perhutani menunjukan pula bahwa satu-satunya hutan yang mendapat sertifikat FSC di Jawa adalah perkebunan pinus Lawu di Jawa Timur. Keempat perkebunan itu mewakili sekitar 5% dari total 2 juta hektar perkebunan hutan yang dikelola oleh Perhutani di 54 hutan-hutan yang berada dalam pengelolaan pemerintahan kabupaten.

Keputusan ini juga memiliki pengaruh besar terhadap 36 pembuat perabotan kebun dengan sertifikasi chain of custody dari FSC yang bersandar pada perkebunan Perhutanai untuk pasokan jati mereka. Smartwood mengatakan bahwa hal ini menghubungkan kerja operasi dengna para pemasok kayu jati di Amerika Latin, Trinidad, Ghana dan India untuk segegara bertindak untuk mencatumkan nama mereka guna mengatasi jurang yang ada. Perhutani telah mengecilkan makna penundaan itu, dengan mengatakan kepada jurnalis bahwa terdapat kesalahpahaman dengan Smartwood tentang apa yang dimaksud sebagai pengelolaan perkebunan yang berkelanjutan. Jika Smartwood tetap bersikukuh dengan prinsip mereka, ujar ketua Perhutani , Martono, maka "kami bisa mendapatkannya dari lembaga sertifikasi lainnya."

(Sumber: Siaran Pers Smartwood 21/Aug/01 www.smartwood.org/new/perhutani.htmlJakarta Post 3/Sep/01; Kompas 25/Aug/01)

Untuk latar belakang, lihat DTE and Brifing Sertifikasi di Indonesia oleh Rainforest Foundation's pada bulan Juni 2001. Dokumen itu tersedia pula secara on-line di www.gn.apc.org/dte/Ccert.htm