AMAN menuduh perusahaan kelapa sawit dan pulp atas deforestasi yang merajalela

Hutan adat yang dilindungi, Meratus, Kalimantan (Foto: DTE)

DTE 96-97, Desember 2013

Meskipun ada kemajuan dalam kebijakan internasional dan kerangka pengaturannya, meskipun ada komitmen-komitmen dari para pemimpin politik, keuangan dan industri, bisnis ini bertanggung jawab atas kerusakan hutan yang merajalela untuk perkebunan kelapa sawit dan kayu, mencuri dari masyarakat adat, menyerobot tanah dan sumber daya mereka, dan menghancurkan budaya dan identitas mereka.

Inilah pesan yang didengar oleh para perwakilan bisnis dan pemerintah yang menghadiri sebuah lokakarya di Jakarta pada bulan Juni, untuk Mempromosikan Keberlanjutan dan Produktivitas Sektor Kelapa Sawit dan Pulp & Kertas. Pesan tersebut disampaikan oleh Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal AMAN, aliansi masyarakat adat Indonesia.

Dengan mengutip secara langsung seorang pemimpin adat masyarakat Muara Tae Dayak Benuaq di Kalimantan Timur, Nababan mengingatkan mereka yang menghadiri lokakarya bulan Juni tersebut bahwa tingkat deforestasi Indonesia masih lebih dari 1,5 juta hektare per tahun. Ini, katanya, berhubungan dengan 74% emisi CO2 negara Indonesia, meskipun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah berjanji untuk mengurangi emisi Indonesia menjadi 26%. Pemusnahan hutan-hutan adat dan mengubahnya menjadi perkebunan-perkebunan kelapa sawit, dengan pelanggaran sepenuhnya terhadap standar-standar hak asasi manusia internasional, termasuk Deklarasi PBB mengenai Hak-hak Masyarakat Adat, dan hukum pidana Indonesia sendiri, tengah terjadi saat ini di Muara Tae di Kalimantan Timur, katanya, dan di banyak tempat lainnya di Indonesia. Sementara itu korupsi dan tindak pidana kehutanan semakin buruk saja, dan kebakaran-kebakaran hutan terus mencekik sebagian besar wilayah Sumatera, Malaysia dan Singapura setiap tahun.

Dengan mengacu pada sebuah ‘fajar bagi hutan adat di Indonesia’ yang baru berkat keputusan Mahkamah Konstitusi untuk mengeluarkan hutan adat dari zona hutan negara,[1] Nababan mengatakan akan menjadi tugas masyarakat adat untuk ‘mengalahkan kinerja’ lembaga-lembaga negara dalam mencegah deforestasi serta membagikan ‘pengetahuan mereka yang telah berusia ratusan tahun tentang bagaimana memelihara dan melindungi hutan-hutan kita.’

 Tugas kalian, Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang terhormat, adalah untuk memperoleh persetujuan dari masyarakat adat terhadap kegiatan-kegiatan investasi dan pembangunan yang akan dilaksanakan dalam wilayah kami. Ini akan membutuhkan kesabaran, niat baik Anda, dan sebuah kerangka kerja untuk persetujuan yang sejati yang didasari pada informasi yang lengkap, transparansi dan pada akhirnya penerimaan, baik dari pemerintah maupun sektor swasta, terhadap hak masyarakat adat untuk mengatakan TIDAK pada model-model pembangunan yang merusak yang merugikan kita semua dan ibu pertiwi.

(Sumber: Aliansi Hutan Tropis 2020 (Tropical Forest Alliance 2020): Lokakarya Mempromosikan Keberlanjutan dan Produktivitas Sektor Kelapa Sawit dan Pulp & Kertas, Jakarta 27 Juni 2013. Pernyataan dari Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) )

 

Presiden SBY dituntut oleh para penduduk desa di Riau, WALHI

Pada hari yang sama ketika para Anggota Parlemen Eropa memberikan suara mengenai amendemen bahan bakar nabati di Eropa, delapan penduduk desa dari Riau — salah satu pusat kelapa sawit Indonesia dan sebuah wilayah yang telah menderita akibat kebakaran hutan yang mencekik — menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mongabay melaporkan bahwa pada tanggal 11 September para penduduk desa menuntut Presiden dan sejumlah pejabat lainnya atas dampak-dampak perubahan iklim dan kerusakan lingkungan di provinsi tersebut. Mereka mengatakan mereka telah mengalami masalah kesehatan, mengalami kerugian keuangan, dan menyaksikan merosotnya kualitas hidup mereka karena pembabatan hutan dan lahan gambut. Mereka menyalahkan perusahaan-perusahaan kayu dan perkebunan atas kerusakan hutan dan lahan gambut Riau. Tuntutan hukum para penduduk desa yang didukung oleh ornop lokal Jikalahari, Telapak Riau dan Indonesian Center for Environmental Law (Pusat Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia atau ICEL) juga menuntut Menteri Kehutanan dan Menteri Lingkungan Hidup Indonesia, serta Gubernur provinsi Riau.[2]

Bulan berikutnya, WALHI (Wahana Lingkungan Indonesia) juga mengumumkan bahwa mereka sedang menuntut Presiden SBY. Sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada 9 Oktober menyatakan bahwa kelompok tersebut memasukkan gugatan terhadap SBY dan 19 pembantunya terkait kebakaran hutan yang terus menerus terjadi di Sumatera.

Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, mengatakan kelompoknya mengambil tindakan ini terhadap Presiden “untuk mengingatkan beliau dan jajaran pemerintahannya akan kewajiban konstitusi mereka untuk melindungi lingkungan hidup Indonesia dan hak-hak rakyatnya akan lingkungan hidup yang sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia”.

WALHI juga menunjuk perkebunan – khususnya perkebunan kelapa sawit dan kayu pulp – sebagai penyumbang utama terhadap situasi lingkungan hidup yang memburuk di Sumatera. Musim yang telah sekian lama menjadi rujukan bagi pertanian dan tradisi masyarakat telah berganti menjadi musim-musim malapetaka dengan banjir, kabut asap dan krisis pangan dan air menjadi sebuah peristiwa tahunan, dengan membawa penderitaan pada masyarakat, katanya.[3]

Dukung Petisi 35!

AMAN sedang mengumpulkan tanda tangan dari kelompok dan individu untuk mendukung sebuah petisi untuk percepatan implementasi keputusan Mahkamah Konstitusi No. 35, 2013. Ini adalah keputusan yang menegaskan kembali bahwa hutan adat adalah hutan yang terletak di dalam wilayah adat dan seharusnya tidak bisa lagi dianggap sebagai hutan negara

Tanda tangan untuk mendukung petisi ini di http://www.aman.or.id/bahasa-indonesia/



[1] Untuk latar belakang, lihat ‘A turning point for Indonesia’s indigenous peoples, info terkini DTE, 7 Juni 2013.

[2] ‘Indonesian villagers sue president over climate change’, Diane Parker, Mongabay-Indonesia, 11 September 2013. http://news.mongabay.com/2013/0911-dparker-villagers-sue-indonesian-president.html

[3] ‘Mengabaikan Lingkungan Hidup dan Melupakan Rakyat, WALHI Gugat Presiden dan 18 Jajarannya’ WALHI, 9 Oktober 2013, http://www.elsam.or.id/article.php?id=2694&lang=en