Switch to English



Factsheet Down to Earth tentang Lembaga-lembaga Keuangan Internasional

No 30, Juli 2003


LKI di Indonesia

LKI adalah singkatan dari Lembaga-lembaga Keuangan Internasional atau International Financial Institutions (IFIs). LKI merupakan organisasi internasional, yang beranggotakan beberapa pemerintahan negara, biasanya negara maju. Mereka meminjamkan uang kepada negara berkembang. LKI yang paling menonjol adalah Kelompok Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Asian Development Bank (ADB). LKI juga dikenal sebagai Bank-bank Pembangunan Multilateral (Multilateral Development Banks).

Seri Factsheet bulanan tentang LKI ini menyajikan informasi tentang kiprah mereka di Indonesia.


Indonesia Pasca IMF

Perdebatan mengenai perlu tidaknya Indonesia memutuskan hubungan dengan IMF (Dana Moneter Internasional) telah berlangsung cukup lama. Tetapi baru-baru ini, persoalan tersebut menjadi topik yang menghangat kembali sehubungan dengan akan berakhirnya program reformasi ekonomi Indonesia dengan IMF pada Desember 2003. Mengingat keterlibatan IMF selama ini, pilihan-pilihan dan konsekuensi apa yang dimiliki Indonesia pasca IMF ?

Keterlibatan IMF selama ini

Hubungan intensif Indonesia dengan IMF dimulai sejak Indonesia menerima tawaran IMF untuk melaksanakan program reformasi ekonomi setelah terjadinya krisis Asia tahun 1997 (lihat LKI DTE no 2. Kerjasama IMF dengan Indonesia dilaksanakan dalam bentuk berbagai program yang akan dilaksanakan oleh Indonesia dan butir-butir program itu dicantumkan dalam Letter of Intent (LoI). Program-program ini pada hakikatnya merupakan prasyarat (conditionalities) untuk pencairan dana pinjaman IMF sesuai dengan jadual yang telah ditetapkan.Kerja sama semacam ini dalam skema IMF termasuk dalam kategori Fasilitas Dana Perpanjangan (Extended Fund Facility / EFF).

Kontrak dengan IMF ini telah berlangsung selama tiga periode seperti terlihat pada tabel berikut:

Posisi Kesepakatan Keuangan Indonesia-IMF (per 31 Maret 2003)
Jenis Disetujui Berakhir Pinjaman yang disetujui (US$ milyar) Pinjaman yang dicairkan (US$ milyar)
Stand-by loan (program pinjaman bersyarat) 5 November 1997 25 Agustus 1998 10,83 4,76
Fasilitas Dana Perpanjangan (EFF) 25 Agustus 1998 4 Februari 2000 6,99 4,93
Fasilitas Dana Perpanjangan (EFF) 4 Februari 2000 31 Desember 2003 4,72 2,94 (sampai Maret 2003)
Sumber: IMF


Fasilitas Dana Perpanjangan tahap II sampai dengan akhir Maret 2003 baru dicairkan US$ 2,94 milyar. Setelah Dewan Eksekutif IMF menyetujui monitoring tahap sembilan, segera dicairkan dana sebesar US$ 480 juta. Rencananya dalam tahun 2003 ini, IMF akan mencairkan US$ 1,8 milyar.

Pada umumnya, dari semua dana pinjaman yang disetujui, tidak semua dicairkan. Hal ini disebabkan karena evaluasi berkala IMF menunjukkan Indonesia tidak dapat memenuhi beberapa persyaratan yang tercantum dalam LoI seperti tingkat inflasi, keterlambatan agenda privatisasi.

Banyak kalangan memperdebatkan peran IMF selama ini di Indonesia. Pada kenyataannya keterlibatan IMF di Indonesia dapat dilihat dari 3 hal berikut. Pertama, adanya aliran dana pinjaman IMF yang masuk ke Indonesia untuk menutupi defisit APBN (kesenjangan pembiayaan). Kedua, perbaikan kondisi ekonomi makro yang berdampak pada peningkatan kepercayaan pasar atau investor. Ketiga, dukungan IMF bagi Indonesia dalam memperoleh persetujuan penjadwalan utang dalam Paris Club. Selama ini tidak ada negara yang pernah mengajukan penjadwalan utang tanpa didukung oleh IMF.

Namun demikian, keberadaan IMF untuk menyelamatkan Indonesia dari krisis ekonomi mengalami kegagalan. Faktor penyebab kegagalan tersebut tidak hanya karena kegagalan manajemen Pemerintah Indonesia untuk mengatasi krisis, tetapi terutama disebabkan oleh resep generik IMF untuk meningkatkan pajak, mengurangi pengeluaran publik dan meningkatkan suku bunga yang justru memperpanjang dan memperdalam krisis ekonomi di Indonesia.

Studi-studi lain juga telah mendokumentasikan secara baik mengenai dampak negatif dari kebijakan-kebijakan IMF. Pertama, tekanan IMF untuk meningkatkan ekspor melalui kebijakan deregulasi dan liberalisasi pada akhirnya menyebabkan negara-negara dengan basis industri manufaktur yang lemah mengeksploitasi SDA seperti tambang dan hasil hutan sebagai tumpuan ekspor. Kedua, kebijakan pengetatan anggaran justru berdampak terhadap pemotongan subsidi-subisidi di sektor-sektor pangan, pendidikan dan kesehatan yang menimbulkan biayasosial dan trauma besar bagi kelompok miskin seperti misalnya kasus-kasus di Zimbabwe, Ghana, Jamaica, Amerika Latin. Keberadaan IMF juga berdampak terhadap kedaulatan suatu negara. IMF banyak melakukan intervensi dalam proses-proses pengambilan keputusan ekonomi dan politik dengan dalih perlunya negara tersebut mempertahankan stabilitas ekonomi untuk mendukung kepercayaan pasar.

Dibalik semua itu, ada hal mendasar yang perlu dicermati dari keberadaan IMF. Keterpurukan Indonesia sendiri dalam krisis ekonomi tidak hanya bisa dipandang sebagai efek menular dari krisis ekonomi yang bermula di Thailand. Kebijakan-kebijakan liberalisasi sektor keuangan yang diterapkan dan didorong oleh kelompok-kelompok IMF dan Bank dunia (beserta negara-negara industri pendukungnya) terhadap pemerintah Indonesia telah berandil besar terhadap tidak kuatnya ekonomi Indonesia dan tidak terkendalinya jumlah hutang tidak hanya hutang publik (hutang negara) tetapi juga hutang swasta. Menerapkan kembali kebijakan-kebijakan IMF (dan Bank Dunia) sebetulnya sama saja dengan membuat Indonesia kembali pada faktor-faktor awal penyebab krisis.


Pilihan-Pilihan Bagi Indonesia

Desember 2003 merupakan akhir dari kontrak pemerintah Indonesia dengan IMF. Hamzah Haz selaku Wakil Presiden RI, memberikan pernyataan resmi pertama pada awal Mei 2003 mengenai keputusan pemerintah untuk tidak memperpanjang program dengan IMF pasca Desember 2003. Keputusan ini diambil berdasarkan TAP MPR No. VI/2002, sehingga jika pemerintah akan melanjutkan program tersebut harus melalui persetujuan MPR. Isi dari TAP MPR itu mencerminkan permintaan MPR untuk tidak melanjutkan kerja sama dengan IMF yang diikat dengan program dalam bentuk LoI karena dianggap kerja sama semacam ini mengurangi kebebasan Indonesia dalam mengurus dirinya sendiri.

Dengan berakhirnya program Fasilitas Dana Perpanjangan pada Desember 2003, Penasehat Senior IMF untuk Asia Pasifik, Daniel Citrin menyatakan bahwa total kewajiban pemerintah Indonesia kepada IMF mencapai US$ 9,7 milyar, yang dapat dicicil bertahap sampai dengan tahun 2010.

Menanggapi keinginan Indonesia untuk mengakhiri kerjasama, IMF melalui Citrin, mengajukan tiga pilihan. Pilihan pertama, membuat kontrak baru dengan sistem yang sama seperti yang selama ini dijalankan (stand-by loan). Kedua, disebutkannya sebagai Precautionary Stand-By Loan dan pilihan ketiga yang ditawarkan berupa Monitoring Pasca Program (Post Program Monitoring/PPM).

Pilihan pertama dan kedua mengharuskan Indonesia untuk tetap mengikatkan diri dalam bentuk LoI seperti sekarang ini. Sementara pilihan ketiga tidak didasarkan atas LoI. Perbedaan antara skema pilihan pertama dan kedua, terletak pada jangka waktu kontrak dan jangka waktu pembayaran. Pada pilihan pertama, jangka waktu kontrak dan pembayaran lebih panjang dibandingkan dengan Precautionary Stand-By Loan yang dapat disamakan dengan pinjaman darurat, yang hanya kita gunakan jika benar-benar diperlukan. Digunakannya kata 'precautionary' untuk menunjukkan bahwa Pemerintah harus menjalankan kebijakan ekonomi yang betul-betul sehat, yang merupakan pertahanan lini pertama (first line defense). Sementara pada pilihan ketiga, Indonesia mengakhiri masa dengan disertai program monitoring empat kali setahun tetapi tanpa pencairan pinjaman.

Diluar pilihan yang ditawarkan IMF tersebut, tentunya pilihan keempat adalah pembayaran langsung tanpa monitoring dan selanjutnya tidak ada lagi perjanjian ekonomi di antara kedua belah pihak.

Kedua pilihan pertama yang ditawarkan IMF pada prinsipnya memberikan akses bagi Indonesia untuk mendapatkan kesempatan penjadwalan kembali utang dalam Paris Club. Setiap tahunnya Indonesia mendapatkan penjadwalan utang sebesar US$ 3 milyar melalui Paris Club.

Namun demikian, sampai saat ini pertimbangan pilihan bentuk hubungan dengan IMF setelah berakhirnya kontrak tersebut masih menjadi perdebatan yang panjang di kalangan pemerintah dan ekonom Indonesia. Tetapi keputusan untuk mengambil pilihan yang ditawarkan IMF harus dibuat dalam bulan Juli 2003 mengingat pemerintah harus segera menyusun RAPBN yang akan dipresentasikan kepada DPR dalam bulan Agustus. Karena Pemerintah belum berani secara terbuka menyampaikan strategi pilihan keluar yang tepat dari IMF sehingga akhirnya DPR memberikan ultimatum kepada Pemerintah untuk menentukan pilihan mana yang tepat hingga tanggal 18 Juni 2003.


Apa yang dilakukan Pemerintah?

Walaupun belum ada keputusan resmi dari Pemerintah, Menteri Keuangan Boediono mengindikasikan ketidaksetujuannya apabila Indonesia memutuskan untuk membayar langsung tanpa monitoring. Menurutnya Indonesia akan kehilangan kesempatan menjadwalkan utang sebesar US$ 3 milyar tahun 2004 yang telah disetujui dalam Paris Club. Berkaitan dengan pilihan yang akan diambil, pemerintah Indonesia saat ini membentuk dua tim khusus. Kedua tim tersebut adalah:

  1. Tim yang mengkaji pilihan strategi yang paling tepat (exit strategy), diketuai oleh Anggito Abimanyu (staf ahli Departemen Keuangan). Tim ini telah bertemu dengan Kadin (Kantor Dagang dan Industri) dan sejumlah asosiasi pengusaha untuk membicarakan reformasi pajak sebagai salah satu alternatif penggalangan dana domestik. Kadin sendiri mengatakan bahwa pihaknya hanya perlu mendapatkan keyakinan bahwa program reformasi pajak tidak makin memberatkan pengusaha.
  2. Tim yang mengkaji kebijakan-kebijakan yang harus dilakukan Indonesia pasca IMF, diketuai oleh Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi, dan beberapa anggotanya adalah pakar ekonomi seperti Sri Adiningsih, Sri Mulyani, Mochtar Buchori, dan Herry Ahmady. Tim ini telah bertemu dengan beberapa ekonom Jepang untuk membahas kebijakan yang dapat meningkatkan kondisi ekonomi makro pasca IMF. Tim ini merekomendasikan pada pemerintah untuk tetap melakukan program reformasi ekonomi seperti yang selama ini dilakukan di bawah monitoring IMF. Sebagai alternatif penggalian dana diusulkan adanya reformasi pajak dengan fokus pada memperlebar obyek pajak dan bukan dengan meningkatkan nilai pajak. Selain itu, juga diusulkan agar pemerintah mencari pinjaman domestik melalui penjualan surat berharga (issuing bonds).


Pendapat IMF

Daniel Citrin berpendapat Indonesia dapat bertahan tanpa dukungan dana dari IMF dan Paris Club jika pemerintah dapat mempertahankan stabilitas ekonomi. Adanya cadangan devisa yang aman, meningkatnya kepercayaan pasar, menurunnya inflasi, stabilitas nilai tukar dan rendahnya tingkat suku bunga, merupakan indikator yang menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia mampu mengatasi masalah fiskal yang selama ini menjadi fokus program reformasi ekonomi dengan IMF.

Walaupun demikian, Citrin secara pribadi menyarankan agar pemerintah Indonesia tidak terburu-buru mengambil keputusan mengingat ketidakpastian kondisi ekonomi global. Citrin menambahkan bahwa dirinya tidak dapat memprediksikan reaksi pasar terhadap pilihan-pilihan tersebut, tetapi sepertinya pasar lebih menyukai pilihan pertama. Pilihan tersebut mengindikasikan bahwa IMF masih akan hadir di Indonesia yang diyakini banyak pihak dapat meningkatkan kepercayaan pasar yang sebetulnya tidak terlalu yakin dengan komitmen pemerintah Indonesia untuk melaksanakan reformasi ekonomi. Pihak IMF memang masih menginginkan Indonesia tetap mengadakan kerjasama demi keberlanjutan program reformasi ekonomi dan cenderung tidak menyarankan Indonesia untuk mengakhiri kerjasama tanpa monitoring.

Perdebatan Pilihan

Kwik Kian Gie, Kepala Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), mengharapkan pemerintah memutuskan untuk membayar langsung seluruh utang pada IMF (tanpa monitoring) setelah Fasilitas Dana Perpanjangan berakhir karena pembayaran dengan cicilan justru menambah beban bunga yang memberatkan APBN. Cicilan utang juga menyebabkan Indonesia masih berada di bawah kontrol IMF. Bahkan Kwik mengatakan pasar akan bereaksi positif melihat kemampuan Indonesia membayar utang.

Senada dengan Kwik, Sekretaris Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (Infid) Binny Buchori menyatakan bahwa PPM tidak lebih dari pilihan sekadar 'basa-basi' agar tak segera lepas dari ketergantungan Dana Moneter Internasional (IMF) saat berakhirnya program kerja sama. Dia mengatakan tiga pilihan yang dimiliki pemerintah menunjukkan sikap keengganan Pemerintah untuk lepas secepatnya dari IMF.

Pilihan untuk keluar dari Indonesia dengan monitoring (pilihan ketiga) ini yang dinilai paling banyak mendapat dukungan dari menteri kabinet,pilihan yang banyak dianjurkan oleh para ekonom termasuk dunia usaha. Selain dianggap tidak melanggar TAP MPR, juga tidak membahayakan cadangan devisa. Di bawah PPM, Indonesia dapat melunasi utang pada IMF dengan cara mencicil, IMF tidak dapat lagi terlibat dalam merancang program reformasi ekonomi karena tidak memerlukan LoI, dan penting dalam menjaga kepercayaan investor.

Perdebatan mengenai pemilihan pilihan itu bersumber dari dua isu penting yang harus dipertimbangkan sebagai konsekuensi yaitu kewajiban pembayaran utang dan kepercayaan pasar pada keseriusan pemerintah Indonesia melakukan reformasi ekonomi.

Salah satu ukuran yang sering dipakai untuk melihat kemampuan Indonesia membayar utang adalah cadangan devisa. Cadangan devisa Indonesia saat ini sekitar US$ 33 milyar dinilai cukup aman untuk membayar hutang langsung kepada IMF, dan untuk 6 bulan kedepan tidak membahayakan impor. Tetapi perdebatan ini tidak hanya sekedar memastikan Indonesia memiliki cadangan devisa yang cukup, tetapi ada kestabilan politik dan ekonomi yang menjamin bahwa cadangan devisa tidak akan terganggu. Bahwa kemudian, banyak pihak berdebat mengenai tingkat kepercayaan pasar yang akan terganggu dengan keluarnya Indonesia dari IMF bukan merupakan perdebatan peran IMF untuk meningkatkan kepercayaan Indonesia, tetapi lebih kepada kerentanan kondisi politik Indonesia yang terkait dengan operasi militer di Aceh dan menghadapi pemilu 2004 mendatang.

Saat ini hutang publik Indonesia - hutang yang ditanggung publik melalui negara padahal hutang itu dilakukan oleh negara- mencapai US$ 131,4 milyar dan lebih dari setengah produk domestik bruto Indonesia.

Tahun Hutang publik (negara)
dalam US $ milyar
% dari PDB
(Produk Domestik Bruto)
Hutang per kapita
dalam US $ milyar
1997 137 63 4,3
2000 135 62,8 8,4
2001 131,4 60,1 7,2
Sumber: WDI (World Development Indicator) database, Bank Dunia, April 2003


Adakah Alternatif ?

Selain penggalian dana dalam negeri, beberapa pihak menyatakan kemungkinan mendapatkan pinjaman bilateral dan bantuan dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan Jepang. Tim ekonomi Jepang sendiri mengusulkan agar Indonesia memaksimalkan peran CGI di dalam memperoleh alternatif pinjaman.

Dalam sidang CGI Januari 2003 lalu, Pemerintah Jepang sendiri telah memberikan komitmennya untuk mendukung pembiayaan APBN 2004 dengan memberikan pinjaman segera setelah Indonesia keluar dari program IMF. Jepang sangat mendukung keluarnya Indonesia dari IMF, dan bersedia menarik investor Jepang ke Indonesia dengan beberapa syarat antara lain keseriusan pemerintah dalam melakukan reformasi perpajakan, perilaku birokrasi, dan sistem perburuhan.

CGI melalui Andrew Steer, Perwakilan Bank Dunia di Indonesia, sepenuhnya mendukung Indonesia setelah Indonesia mengakhiri program IMF. Indonesia akan memperoleh akses terhadap pinjaman dalam jumlah yang signifikan yang disebut IDA (International Development Association) (Lihat juga Factsheet LKI 1. Pinjaman ini tidak dibebani bunga (0%) selama 40 tahun. Bank Dunia sendiri (lihat di LKI DTE Update no. 33, Juni 2003) telah menyatakan komitmennya untuk tetap memberikan bantuan pasca IMF.

Sepertinya Indonesia tidak perlu khawatir dengan alternatif pembiayaan negara pasca IMF mengingat tawaran-tawaran yang datang baik dari donor bilateral maupun multilateral. Tetapi kembali kepada persoalan utama, Indonesia melepaskan diri karena politik intervensi yang kuat dari pinjaman IMF, dan apabila Indonesia mengikatkan kembali kepada dana IDA, Jepang atau meningkatkan pinjaman dari Bank Dunia apakah mengurangi intervensi? Kunci kredibilitas ada pada diri kita sendiri dan tidak ditentukan oleh pihak luar.

Sumber:
The Jakarta Post 28/04, 29/04, 30/04, 01/05, 02/05, 05/05, 06/05, 08/05, 09/05.
Asia Pulse/Antara, 23/04
Bisnis Indonesia 09/05, 13/05
http://www.brettonwoodsproject.org/topic/reform
http://straitstimes.asia1.com.sg/ (archived)
http://www.upi.com
http://www.tempo.co.id/
http://www.infid.or.id
http://www.imf.org
http://www.worldbank.org



Factsheet LKI diterbitkan oleh Down to Earth, Kampanye Internasional untuk Lingkungan Hidup yang Berkeadilan di Indonesia.

Update dan Factsheet tentang LKI tersedia dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Anda dapat memperolehnya melalui email (versi rtf) secara cuma-cuma. Edisi cetak tersedia sebagai suplemen newsletter DTE. Newsletter dapat Anda peroleh dengan cara berlangganan atau saling tukar dengan publikasi organisasi Anda.

Bila Anda ingin menerima Update bulanan dan Factsheet via email, silakan kirim alamat email Anda ke dte@gn.apc.org. Cantumkanlah bahasa yang Anda kehendaki. Anda juga bisa memilih kedua bahasa.


Kantor: 59 Athenlay Rd, London SE15 3EN, England, email: dte@gn.apc.org tel/fax:+44 207732 7984; web:http://dte.gn.apc.org


   Advokasi    DTE Homepage    Buletin    Link