Hutan untuk Masa Depan - Bab Tambahan

Hutan untuk Masa Depan - Bab Tambahan:

Sebuah Ikhtisar Internasional Sistem Pengelolaan Sumber Daya Alam Adat di Simpang Jalan

Chip Fay[1]

I. Politik Pengakuan

Keenam studi kasus yang disajikan dalam bab-bab sebelumnya merupakan sebuah potret tentang apa yang tengah terjadi di seluruh Indonesia. Kasus-kasus itu menunjukkan perjuangan, kemampuan dan potensi masyarakat lokal untuk melindungi dan menjadikan sumber daya alam yang membentuk lanskap mereka produktif.

Mereka menceritakan kisah suatu negeri di mana kemampuan dan potensi lokal ini diabaikan secara sengaja oleh pemerintah pusat dan yang sistem pengelolaan hutan dan pembentukan hutan yang dimiliki masyarakat lokal itu dibuat tak terlihat oleh birokrasi kehutanan nasional. Indonesia juga adalah suatu negeri di mana rasa takut pemerintahnya untuk mengakui sistem pengelolaan hutan lokal sedemikian besar sehingga menteri kehutanan (saat itu), yang terkesan dengan apa yang ia lihat di Krui, Sumatera, di tahun 1998, khawatir bahwa ia mungkin perlu berkonsultasi terlebih dahulu dengan Presiden Suharto sebelum mengambil langkah berani untuk mengakui dan menjamin beberapa ribu hektare wanatani yang mengagumkan.[2] Sementara itu tangan kanan Presiden, Bob Hasan, dan beberapa anggota lain dari asosiasi konsesi kayu (APKINDO) secara aktif berperan dalam salah satu laju penebangan hutan nasional tercepat di dunia – sebuah kecenderungan yang terus berlanjut hingga hari ini.

Sebagaimana didiskusikan dalam bagian Pendahuluan, pemerintah Indonesia mengklaim menguasai kira-kira 70% tanah negara ini dan mencadangkannya untuk perlindungan fungsi hutan, baik produksi maupun konservasi. Kebanyakan wilayah ini telah diserahkan kepada industri hutan dan, di beberapa tempat seperti Papua, jutaan hektare hutan hujan perawan terus diklasifikasikan untuk konversi ke penggunaan lain seperti perkebunan kelapa sawit yang monokultur.[3]

Dengan demikian proses ini sangat mengabaikan hukum Indonesia yang memperbolehkan penetapan suatu kawasan sebagai hutan negara (gazettement) hanya bila tidak dibebani hak-hak atas tanah yang sudah ada sebelumnya. Hal ini secara khusus dijelaskan dalam UU Kehutanan tahun 1999 yang membagi kawasan hutan dalam dua jenis: wilayah “Hutan Negara” dan “Hutan Hak”.[4] Menurut data resmi dari Departemen Kehutanan, pemerintah secara hukum telah menetapkan kawasan Hutan Negara seluas kurang dari 12 juta ha atau kira-kira 10% dari keseluruhan kawasan hutan.[5] Bagian-bagian penting dari kawasan yang tersisa dapat dan mungkin seharusnya diasumsikan telah memiliki hak-hak atas tanah dan digolongkan sebagai hutan hak.

Pertanyaan mendasarnya adalah apa yang terjadi di dalam kawasan-kawasan yang tumpang tindih dan diperebutkan? Negara telah menyerahkan 60 juta hektare kepada industri kayu; 22 juta hektare kepada perkebunan dan 58 juta hektare disisihkan sebagai hutan suaka alam termasuk taman-taman nasional.[6] Daftar ini harus ditambah dengan 482 konsesi penambangan dan area transmigrasi.

Mayoritas penduduk setempat yang pandangannya disampaikan dalam bab-bab sebelumnya dapat membuat argumen hukum yang kuat bahwa kontrak industri hutan di wilayahnya adalah cacat hukum karena tanah dan hutan ini bukanlah hutan negara melainkan harus diklasifikasikan sebagai hutan milik. Namun, sementara argumen hukum ini secara signifikan mewarnai perdebatan tentang hak-hak di Indonesia, hingga Indonesia membentuk sistem yudisial yang berfungsi tampaknya hanya sedikit kemajuan yang sungguh-sungguh di lapangan.

Sikap pemerintah nasional yang keras kepala tidak mau mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengakui hak-hak tanah dan sumber daya alam lokal sebagian besar didasari oleh kepentingan pusat untuk menyerahkan bidang-bidang tanah yang luas untuk ekploitasi agribisnis dan hutan. Ekonomi politik dari kontrol atas sumber daya inilah yang menentukan alokasi sumber daya tersebut. Masyarakat setempat diberi kesempatan untuk memanfaatkan hanya hingga kepentingan ekonomi untuk akusisi lahan atau hutan luas tiba di wilayah tersebut. Sebagaimana juga terlihat jelas dalam kisah yang diceritakan dalam bab-bab terdahulu, dengan enggan mereka diberi toleransi atau diakomodasi jika mereka berhasil melawan. Jika suara lokal kuat, khususnya yang berasal dari masyarakat adat, beberapa pemerintah provinsi dan kabupaten memberi tanggapan, sebagaimana akan didiskusikan kemudian.

Walau hukum Indonesia adalah kumpulan undang-undang dan peraturan yang sering kali tumpang tindih atau bertabrakan, ada dasar hukum yang cukup dalam UUD 1945 hasil revisi tahun 2000 bagi pengakuan wilayah dan sistem pemerintahan adat. Pasal 18B secara khusus mengakui dan menghormati komunitas adat dan hak-hak tradisional mereka, walaupun hal itu dilakukan hanya sejauh pengakuan tersebut sesuai dengan, atau tidak mengancam, prioritas pembangunan nasional.[7]

Ada terobosan penting pada tahun 1999 ketika Menteri Agraria menghadiri pembukaan Kongres Masyarakat Adat pertama,  yang juga pembentukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Tersentak oleh jumlah sengketa tanah yang dilaporkan oleh para pemuka adat, ia merumuskan Peraturan Menteri Agraria tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.[8]

Keputusan ini menggulirkan sebuah proses yang menentukan kriteria terhadap pengakuan Hak Ulayat. Badan Pertanahan Nasional (BPN) dapat menerima pendaftaran tanah adat dan memperlakukannya sebagai sebuah hak ulayat dan tak dapat dialihkan. Selain itu, kebijakan tersebut memperbolehkan masyarakat adat untuk menyewakan tanah mereka kepada pemerintah dan kemudian pemerintah dapat mengalihkan hak ini ke sektor swasta. Pasal 4 ayat 1b dari peraturan ini menyatakan bahwa institusi pemerintah, badan hukum dan anggota masyarakat non-adat memiliki hak atas tanah adat hanya apabila masyarakat adat telah melepaskan hak-haknya atas tanah tersebut.[9]

Peraturan ini memindahkan tanggung jawab penuh atas proses ini pada pemerintah provinsi dan kabupaten. Hal ini membuat beberapa kritikus saat itu menyatakan bahwa pemerintah nasional sekedar ingin mengalihkan masalah ke pemerintahan lokal. Para kritikus juga mempertanyakan mengapa pemerintah lokal harus memainkan peranan yang sangat penting dalam menentukan apakah masyarakat adat ada atau tidak.

Kemudian, dalam apa yang dianggap sebagai salah satu tindakan paling responsif yang pernah diambil sebuah badan perwakilan Indonesia untuk menciptakan momentum politik bagi pemerintah untuk mengambil tindakan mengenai reformasi agraria dan pengakuan hak adat, Majelis Permusyawaratan Rakyat, badan pengatur kebijakan tertinggi di Indonesia, menyetujui kerangka legislasi nasional TAP MPR IX (2001).[10] Penting dicatat bahwa masyarakat sipil Indonesia, khususnya aktivis hukum dan hak-hak adat, memainkan peran sentral dalam merumuskan dan menghimpun dukungan politik untuk ketetapan ini.

Ketetapan ini menginstruksikan pemerintah untuk mengambil tindakan mengenai reformasi agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Salah satu prinsipnya adalah mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat. Ketetapan ini mewajibkan parlemen (DPR) dan Presiden untuk membuat peraturan-peraturan lanjutan untuk melaksanakan reformasi agraria dan pengelolaan sumber daya alam dan untuk membatalkan, mengubah atau merevisi segala aturan hukum yang tidak sesuai dengan ketetapan ini. Dalam apa yang bisa dilihat sebagai suatu pernyataan mengenai strukur pemerintahan perwakilan Indonesia, enam tahun kemudian, pemerintahan-pemerintahan berikutnya sedikit sekali atau sama sekali tidak mengambil tindakan terkait instruksi ini.[11]

Akan tetapi, selama lebih dari beberapa tahun terakhir, beberapa pemerintah daerah telah menanggapi tuntutan akan pengakuan masyarakat adat, meski tanpa melibatkan secara langsung pemerintah nasional atau BPN. Pada tahun 2001, DPRD Sumatera Barat memberlakukan sebuah peraturan yang menghidupkan kembali nagari atau wilayah adat sebagai entitas pemerintahan mandiri. Beberapa badan legislatif kabupaten telah menggunakan ruang yang tersedia dalam peraturan otonomi daerah untuk menerbitkan  peraturan yang mengakui keberadaan unit-unit pemerintahan adat local.[12] Contoh-contohnya adalah:

  • Peraturan daerah Kabupaten Lebak No. 32/2001 mengenai perlindungan atas hak ulayat masyarakat Baduy;
  • Peraturan daerah Provinsi Sumatera Barat No. 9/2000 mengenai nagari dan peraturan daerah kabupaten mengenai tanah ulayat;
  • Peraturan daerah Kabupaten Lampung Barat No. 18/2004, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis Masyarakat;
  • Keputusan Bupati Kapuas Hulu No. 59/1998 mengenai Pedoman Penggunaan Tanah Hak Ulayat/Hak Serupa Itu dan Tanah Hak Milik Adat Untuk Kepentingan Perusahaan;
  • Keputusan Bupati Luwu Utara No. 300/2004 mengenai pengakuan keberadaan masyarakat adat Seko.[13]

Sementara pengalaman pengakuan di tingkat provinsi dan kabupaten tetap terbatas dan proses politik dan sosial yang mendorong upaya-upaya pengakuan tersebut belum dianalisis dengan baik, semua itu merepresentasikan perkembangan terbaik hingga hari ini. Akan tetapi, meski terdapat beberapa kemajuan di tingkat lokal dalam proses pengakuan tersebut, bukti menunjukkan kenyataan bahwa konflik – yang sering kali dengan kekerasan – atas tanah dan sumber daya alam lainnya saat ini sedang meningkat di Indonesia.[14]

 

II. Kontribusi Ekonomi dari Sistem Pengelolaan Sumber Daya Alam Lokal

Tanpa kecuali, masyarakat di dalam semua studi kasus ini bergantung pada sumber daya hutan untuk kesejahteraan mereka dan sebagian besar dari hutan-hutan tersebut ditanami oleh mereka atau nenek moyang mereka.

Adalah lazim bahwa pangan dan hasil panen lainnya merupakan bagian tak terpisahkan dari wanatani ini karena sistem ini dimaksudkan untuk berproduksi secara tetap. Juga lazim bahwa satu produk cenderung ‘menggerakkan sistem tersebut’ sementara yang lainnya diandalkan untuk mengimbangi/menutupi/menambal/to complement produk tersebut ketika harganya turun. Sebagai hasilnya, sistem ini sering kali lebih tahan banting dibandingkan sistem yang tidak menyediakan kebutuhan dasar dan cenderung memberikan sedikit perhatian terhadap risiko pengelolaan.

Wanatani semacam ini tersebar di seluruh pulau besar di nusantara dan beberapa di antaranya telah ada sejak ratusan tahun yang lalu.[15] Berikut ini adalah daftar yang memperlihatkan jenis-jenis wanatani:

  • wanatani karet di Sumatera dan Kalimantan;[16]
  • wanatani buah-buahan/tanaman ekspor di semua pulau;[17]
  • wanatani damar di Sumatera;[18]
  • wanatani rotan di Kalimantan;[19]
  • wanatani tengkawang di Kalimantan.[20]

Tidaklah terlalu sederhana bila menggambarkan ciri dinamika pembangunan pedesaan di Indonesia dan di banyak negara lainnya sebagai suatu persaingan hebat antara dua paradigma. Paradigma pertama, sebagaimana dipaparkan dalam buku ini, telah berkembang selama beberapa generasi dan menekankan keanekaragaman tumbuhan dan pohon atau polikultur. Paradigma ini berdasarkan tak hanya pada pertumbuhan tetapi juga pada pencapaian ekuilibrium (kesetimbangan) ekonomi dan ekologi. Paradigma kedua memaksimalkan produksi dari satu spesies komersial, atau monokultur, yang kerap kali terintegrasi ke atas dengan rantai suplai global. Paradigma yang pertama adalah yang telah diartikulasikan dengan baik dalam buku ini dan merupakan pilihan dan tradisi dari jutaan rakyat Indonesia. Paradigma yang kedua sangat bertumpu pada investasi modal besar, buruh migran yang sering kali dibayar murah, dan perampasan tanah yang direstui pemerintah. Banyak pihak, khususnya perkebunan hutan industri, yang juga menerima subsidi pemerintah secara langsung. Upaya-upaya untuk membuat hal yang pertama tersebut terlihat jelas adalah apa yang dirujuk oleh Suraya Afiff sebagai ’wacana perlawanan’ dalam bab sebelumnya.[21]

Hal yang perlu mendapatkan perhatian lebih besar adalah bahwa paradigma pertama memberi kontribusi yang signifikan pada perekonomian nasional. Wanatani ini menghasilkan sekitar 70% dari seluruh jumlah produksi karet nasional, sedikitnya 80% produksi resin damar, kira-kira 80 hingga 90% dari berbagai buah-buahan yang dipasarkan dan sejumlah besar hasil tanaman ekspor utama seperti kayu manis, cengkeh, biji pala, kopi, dan kemiri.[22] Di Sumatera, sekitar 4 juta hektare wanatani telah dibuat oleh masyarakat lokal tanpa bantuan pihak luar.[23] Diperkirakan 7 juta orang di Sumatera dan Kalimantan hidup dari wanatani berbasis-karet yang tersebar di wilayah seluas kira-kira 2,5 juta hektare.[24]

Para ekonom dari DFID Program Kehutanan Multi-pihak menghitung beberapa kontribusi ekonomi dari pengelolaan tanaman pohon berbasis-masyarakat atau berbasis-pekebun-rakyat di kawasan hutan dan memperkirakan besarnya kemajuan yang bisa dicapai berdasarkan berbagai kebijakan berbeda yang dapat dilakukan, seperti meningkatkan ketersediaan lahan, memastikan akses dan penguasaan, atau memperbaiki produktivitas.[25] Tujuan utama dari kegiatan ini adalah untuk memperlihatkan kontribusi berbasis-pohon petani kecil yang telah berjalan tersebut pada perekonomian nasional dan untuk memperkirakan peningkatan seandainya Departemen Kehutanan melakukan deregulasi penggunaan lahan terhadap kawasan luas ‘hutan produksi’ yang menurut data Departemen tersebut, tidak ada pohon. Temuan utamanya adalah bahwa kontribusi ekonomi saat ini dari aktivitas kehutanan pekebun rakyat mewakili sektor yang penting dan kurang dihargai dalam perekonomian Indonesia.

  • Berdasarkan data tahun 2002, aktivitas produksi pekebun rakyat berbasis tanaman dan berbasis hutan secara bersama-sama – termasuk tanaman wanatani yang meniru fungsi hutan (seperti tanaman kopi, kelapa sawit, karet dan rempah-rempah), produk hutan non-kayu dan produksi hutan rakyat – memberi kontribusi sebesar 6,2 milyar dolar AS dalam nilai ekonomi setiap tahun. Jumlah ini lebih dari 3% hasil ekonomi keseluruhan Indonesia dan menyediakan lapangan kerja bagi hampir 4 juta orang;
  • Tanaman wanatani pekebun rakyat yang berkontribusi terhadap perluasan tutupan pohon sekarang mencakup 11 juta hektare lahan dan menjadi mayoritas yang sangat besar dari nilai kontribusi di atas. Produksi hutan kayu dan non-kayu masyarakat secara relatif jumlahnya kecil;
  • Sistem wanatani pekebun rakyat sangat beragam dan campuran tanamannya bervariasi di seluruh kepulauan. 

Analisis perubahan-perubahan potensi kebijakan nasional ini menunjukkan bahwa:

  • Pengalokasian kembali lahan kecil-kecilan atau peningkatan keamanan investasi dalam produktivitas lahan dapat menghasilkan keuntungan yang tinggi, hingga mencapai pertambahan pendapatan sebesar 1,4 milyar dolar AS per tahun dan kemungkinan tambahan 1,6 juta lapangan kerja.
  • Keuntungan-keuntungan ini tidak akan terwujud secara langsung, tetapi hanya setelah ada investasi pada lahan dan penanaman tanaman baru sudah matang dan dipasarkan.
  • Nilai-nilai terbesar muncul dari perubahan kebijakan yang mendorong sistem pohon pekebun rakyat yang meniru fungsi-fungsi hutan, karena hal ini lebih besar dalam hal area, nilai dan pekerjaan ketimbang kegiatan-kegiatan lain yang diteliti.
  • Nilai-nilai terbesar juga timbul dari perubahan-perubahan kebijakan yang menambah ketersediaan lahan, ketimbang kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi produktifitas, atau pengaturan pembagian keuntungan pada lahan yang sudah ada.
  • Untuk memperoleh keuntungan-keuntungan ini, para pekebun rakyat memerlukan kepastian jangka panjang terhadap akses atas lahan untuk melakukan investasi yang diperlukan.
  • Pemerintah regional dan nasional akan memperoleh keuntungan dari meningkatnya aktivitas ekonomi, perdagangan dan potensi pengenaan pajak.

Studi-studi tambahan yang dilakukan oleh World Agroforestry Centre (Pusat Wanatani Dunia - ICRAF) menunjukkan bahwa dalam hal profitabilitas langsung dan khususnya keuntungan bagi buruh, sistem wanatani pekebun rakyat atau berbasis-petani yang beragam mengalahkan perkebunan monokultur berskala besar seperti kelapa sawit.[26]

Mayoritas perusahaan-perusahaan produktif ini berlokasi di lahan yang diklasifikasikan sebagai ‘Kawasan Hutan’. Masalahnya muncul ketika banyak dari daerah ini masuk dalam kontrak perkebunan kayu atau berada di bawah kontrol teknis dari salah satu perusahaan kehutanan yang dimiliki sebagian atau sepenuhnya oleh negara (parastatal). Konflik mengalami eskalasi ketika perusahaan-perusahaan ini berupaya untuk menegaskan penguasaan atas wilayah kontrak mereka.

 

III. Politik Spesies Hutan

Walaupun jelas – dari wilayah wanatani berbasis-masyarakat yang luas di Indonesia – bahwa masyarakat lokal memberikan kontribusi terhadap penambahan tutupan pohon dan keuntungan lingkungan pada masyarakat yang menyertainya, namun peran mereka dalam menghutankan kembali wilayah yang luas di Indonesia tetap kurang dihargai dan sebagai akibatnya kurang dimanfaatkan.

Mengapa demikian? Jawaban sederhananya adalah bahwa baik kerangka regulasi hutan maupun pelatihan formal rimbawan di Indonesia tidak menerima bahwa mayoritas pohon yang lebih disukai masyarakat lokal adalah spesies hutan. Sementara hal ini telah berlangsung beberapa dekade, contoh yang terbaru dari hal ini ditemukan dalam pedoman untuk program Perkebunan Hutan Masyarakat terbaru milik Departemen Kehutanan: Hutan Tanaman Rakyat.[27] Pendekatan penghutanan kembali dibatasi nyaris seluruhnya pada spesies kayu. Hampir tidak ada komoditas berbasis-pohon yang diteliti oleh DFID dan ICRAF yang diizinkan. Hal ini karena komoditas itu dipandang oleh Departemen Kehutanan sebagai ‘spesies non-hutan’. Spesies pohon seperti karet, coklat dan kopi sangat tidak dianjurkan.[28] Birokrasi hutan khawatir bahwa semakin produktif secara ekonomis suatu spesies, semakin banyak orang yang ingin menanamnya dan dengan demikian semakin kuat klaim mereka atas tanah mereka.

Ada juga bias yang ganjil terhadap spesies pohon yang disukai penduduk lokal, yang kemungkinan berdasarkan keyakinan bahwa spesies tersebut tidak memberikan fungsi-fungsi hutan yang dikehendaki. Contohnya, pohon kayu seperti mahoni lebih disukai ketimbang nangka yang memberikan hasil baik buah maupun kayu, meskipun keduanya memberikan layanan perlindungan daerah aliran sungai yang kira-kira sama. Semua studi kasus yang disajikan dalam buku ini menghadapi masalah ini.

 

IV. Meromantiskan Adat

Sebagaimana dicatat dalam Pendahuluan dan bab sebelumnya, contoh-contoh praktik yang baik yang diwakili oleh keenam studi kasus tersebut berisiko meromantiskan masyarakat adat dan apa yang mampu mereka lakukan. Namun para penulis telah berhati-hati dengan menegaskan bahwa tidak semua masyarakat adat memiliki atau telah memelihara sistem tradisional yang mencapai keseimbangan ekologis. Hal yang penting adalah bahwa terdapat sekumpulan informasi yang terus bertambah yang menunjukkan bahwa banyak masyarakat adat yang memilikinya. Selain buku ini, sebuah daftar yang panjang tentang sistem pengelolaan hutan berbasis masyarakat telah disusun oleh KpSHK (Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan).[29]

Hal yang tepat untuk memulai pembahasan ‘soal romantisasi’ adalah mengajukan pertanyaan ini: mana bukti bahwa industri kehutanan atau birokrasi di Indonesia telah menunjukkan kemampuan mengelola hutan secara berkelanjutan? Meningkatnya kepentingan keduanya bertepatan benar dengan lonjakan yang sangat besar pada tingkat deforestasi di seluruh nusantara selama 20 tahun terakhir (lihat Bab 1).

Bukti yang terdapat dalam studi-studi kasus pada publikasi ini dan di tempat lainnya yang menunjuk pada nilai-nilai ekonomi dan perlindungan dari pengetahuan dan praktik tradisional setempat tidak bisa diabaikan lagi. Hal ini seharusnya tak mengejutkan. Banyak masyarakat lokal memiliki hubungan antar-generasi dengan tanah dan hutan mereka. Mereka memahami ekologi dasar pedesaan seperti halnya masyarakat kota akrab dan memahami lanskap perkotaan mereka. Mereka mempertahankan keterkaitan dengan sekeliling mereka sebagai hasil dari interaksi harian dan musiman dengan lanskap mereka.

Dalam kondisi terbaik, hal ini mengarah pada suatu keseimbangan antara eksploitasi (terhadap nutrisi dan struktur tanah untuk pertanian dan wanatani) sebagai biomes ‘alami’ mereka seperti berbagai jenis hutan tropis. Yang paling penting, komunitas-komunitas ini, agar bertahan sebagai suatu masyarakat, sering kali mengutamakan kesejahteraan generasi mendatang. Ini tidak berarti bahwa individu atau masyarakat lokal tidak mengambil keputusan yang jelek atas pengelolaan lingkungan mereka. Ketika kondisi terbaik tidak ada, hal ini bisa dan memang terjadi.

Argumen ‘meromantiskan’ juga tidak didasari oleh data yang cukup yang menunjukkan masyarakat lokal tidak mengelola sumber daya alam mereka dengan baik. Hal ini berbahaya terutama karena ia menghakimi masyarakat lokal sebagai pihak yang bersalah sampai dibuktikan tidak bersalah dengan meletakkan beban pembuktian mengenai pengelolaan berkelanjutan di pundak masyarakat tersebut. Sebagaimana disimpulkan oleh Afiff dalam bab sebelumnya,[30] hal ini menjadi lebih sulit lagi untuk diterima masyarakat lokal saat mereka melihat pejabat pemerintah, sebagai pihak yang menilai dan mengadili mereka, mengizinkan industri hutan dan perkebunan menghancurkan dan mengalih-fungsikan kawasan-kawasan luas hutan alam, di mana banyak di antaranya menjadi tempat bergantung masyarakat lokal untuk kesejahteraan ekonomi, lingkungan dan sering kali spritual.

Namun, penting diakui bahwa tindakan meromantiskan masyarakat adat memang terjadi dan ada pemimpin-pemimpin adat yang telah terbukti tidak dapat dipercaya atau tak mampu melindungi kepentingan masyarakat mereka. Alasan-alasan untuk hal ini bervariasi dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Satu permasalahan umum adalah kegagalan struktur kepemimpinan tradisional untuk mengatasi lonjakan cepat serta tingkat tingginya tekanan eksternal pada sumber daya masyarakat mereka.

Banyak masyarakat adat yang dapat dilihat sebagai ‘negara di dalam negara’. Sementara hanya sedikit, jika ada, dari masyarakat-masyarakat ini yang menuntut penentuan nasib sendiri sepenuhnya, banyak di antara mereka terus berhubungan dengan sistem sosial dan politik Indonesia dengan menggunakan struktur pemerintahan mereka sendiri.[31] Hal ini bukannya tidak biasa, misalnya karena ‘kepala’ desa atau adat, sebagaimana dilihat oleh dunia luar, sebenarnya memainkan peran sebagai seorang menteri luar negeri, bernegosiasi dengan kepentingan luar tapi juga merupakan bawahan dan bertanggung jawab pada suatu struktur kepemimpinan adat yang lebih besar. Ketika tekanan dari dunia luar menjadi terlalu besar, tidak mengejutkan bila beberapa sistem akuntabilitas gagal. Karena banyak dari masyarakat-masyarakat ini baru mengenal perekonomian yang menggunakan uang tunai selama satu atau dua generasi terakhir, tekanannya dapat menjadi terlalu berlebihan bagi kepemimpinan adat. Hal ini dapat disamakan dengan seorang pemimpin lokal di Inggris yang ditawari satu juta poundsterling untuk memfasilitasi masuknya industri berskala besar di tanah desa hanya dengan konsekuensi hukum dan politik yang minim bagi dirinya.

 

V. Pengelolaan hutan adat? Inikah saatnya memperbaiki pemahaman kita?

Salah satu pelajaran yang paling penting dan mungkin paling provokatif yang didapat dari studi-studi kasus tersebut adalah bahwa ‘kehutanan’ hanyalah salah satu komponen dari sistem pengelolaan sumber daya alam sebagaimana telah dijelaskan dalam bab-bab tersebut. Apa yang sedang terjadi di wilayah-wilayah ini lebih sebagai masalah pengelolaan lanskap adat di mana keanekaragaman penggunaan tanah dan strategi penghidupan terus berkembang. Bukanlah hal yang aneh bagi masyarakat adat untuk merasa tidak nyaman dengan istilah hutan. Banyak yang menganggap penggunaan istilah ini memberikan kewenangan pada pemerintah, khususnya Departemen Kehutanan, untuk mengklaim penguasaan atas kawasan-kawasan ’hutan’ ini untuk melindungi ‘fungsi-fungsi’ mereka yang telah ditetapkan karena mereka diamanatkan untuk melaksanakannya oleh undang-undang.[32]

Apa yang diungkap oleh studi-studi kasus tersebut adalah bahwa di kebanyakan lanskap adat, terdapat hutan alam yang tersisa dan pengelolaan berkelanjutan kawasan ini ditangani secara serius oleh masyarakat adat.[33] Entah secara proporsional besar atau kecil, hutan-hutan ini menjadi komponen penting dari mosaik lanskap tersebut dengan menyediakan layanan berlipat ganda, dari pengelolaan hama bagi kawasan wanatani dan pertanian yang bersebelahan hingga penyeimbangan aliran sungai di musim hujan dan kemarau.

Jika menelaah istilah yang digunakan masyarakat lokal untuk mendeskripsikan atau menyebutkan lanskap adat mereka, kata hutan (forest), hampir tanpa kecuali, tidak pernah muncul.[34] Di Kalimantan Barat, masyarakat Dayak menggunakan terminologi tembawang sementara di Kalimantan Timur disebut lembang. Di Lampung Barat, orang Krui menyebutnya sebagai repong. Dalam setiap contoh yang dirangkum  dalam buku ini tampak bahwa, jika ditanya apakah sistem wanatani mereka adalah ‘sebuah hutan’, masyarakat lokal akan menjawabnya tidak. Mereka sebaliknya memiliki istilah lokal yang pada hakikatnya menggambarkan kebun hutan. Kebun-kebun hutan ini tidak dapat digambarkan sebagai hutan alam. Namun, walau tingkat keanekaragaman hayatinya lebih rendah, banyak kebun hutan meniru pemberian manfaat lingkungan hidup yang dilakukan hutan alam – misalnya stabilisasi habitat dan hidrologis dan penyerapan karbon.

Hal ini memunculkan pertanyaan, mengapa para peneliti, pemerhati lingkungan, LSM lokal dan yang lainnya menggunakan sebutan dalam bahasa Inggris “Indigenous Forest Management’ (Pengelolaan Hutan Adat) sementara wilayah hutan alam yang sesungguhnya pada kebanyakan lanskap adat, secara keseluruhan, cukup kecil? Setelah Konferensi Bumi di Rio, 1992, ‘hutan’ telah menarik banyak perhatian dan peluang bagi masyarakat lokal untuk menyorot sistem pengelolaan sumber daya alam adat mereka. Tetapi alternatif lain bagaimana masyarakat lokal, dalam bahasa mereka sendiri, mengartikulasikan sistem-sistem ini seharusnya tidak diabaikan lagi. Istilah yang lebih akurat – dan yang akan mencakup kebanyakan pendekatan lokal – adalah ‘Pengelolaan Sumber Daya Alam Terintegrasi Adat’.

Secara global, perdebatan mengenai pendefinisian istilah ‘hutan’ juga berlanjut. Sementara bagi sebagian orang hal tersebut mula-mula tampak sebagai permasalahan terkait detail kecil atau terkait makna kata, politik pendefinisian itu sendiri patut mendapat perhatian yang lebih besar (sebagaimana Afiff mencatat perlunya memberi perhatian yang lebih besar terhadap politik yang menyangkut definisi dari masyarakat adat).

Sementara masing-masing negara memiliki sendiri definisi hukum tentang hutan (yang sering ditemukan dalam legislasi kehutanan), sebuah definisi global terus menjadi persoalan. Definisi Organisasi Pangan dan Pertanian (The Food and Agriculture Organisation, FAO) dapat ditemukan di mana-mana, tetapi setelah ditelaah, hampir tidak bisa dikatakan sebagai definisi sama sekali. Sebagai bagian dari Penilaian Sumber Daya Hutan Global, FAO menyurvei 650 definisi dari 132 negara berkembang. Definisi global yang mereka sepakati menyatakan suatu hutan adalah “sebuah wilayah tanah seluas lebih dari 0,5 ha, dengan tutupan kanopi pohon lebih dari 10%, yang terutama tidak dalam penggunaan lahan yang bersifat pertanian atau penggunaan lahan non-hutan tertentu lainnya. Dalam hal hutan muda atau wilayah di mana pertumbuhan pohon tertekan akibat iklim, pohon tersebut harus dapat mencapai ketinggian 5m di lokasi tersebut dan memenuhi ketentuan tutupan kanopi”.[35]

Bertentangan dengan kepentingan lokal yang telah dijelaskan, penerapan definisi yang longgar ini di Indonesia akan menggolongkan banyak wilayah adat dan sistem penggunaan lahan di Indonesia sebagai hutan dan secara hukum menempatkan peraturan dari wilayah-wilayah ini di tangan Departemen Kehutanan. Yang menarik, definisi hukum Indonesia mengenai suatu hutan adalah “suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan” (garis bawah ditambahkan).[36] Sementara pertanyaan tentang apakah yang dimaksud dengan “pepohonan dalam persekutuan alamnya” belum pernah diperdebatkan secara tuntas, hal itu dapat ditafsirkan berarti biom-biom alam. Hal ini akan berarti hanya sebagian kecil saja dari kebanyakan lanskap adat yang dapat secara sah didefinisikan sebagai hutan.

Dalam praktiknya, sebuah kawasan hutan ditentukan secara eksklusif oleh Departemen Kehutanan melalui survei-survei dari balik meja. Beginilah cara bagaimana lebih dari setengah dari Indonesia telah menjadi ‘kawasan hutan’ tanpa peduli apakah ada tutupan pohon atau tidak. Dalam sebuah proses tertutup yang serupa dengan yang menghasilkan  definisi FAO, suara-suara lokal dan para pakar lain memainkan peran yang kecil atau tidak sama sekali dalam mendefinisikan wilayah hutan. Akibatnya, organisasi-organisasi masyarakat sipil, termasuk masyarakat-masyarakat lokal saat ini bersatu padu untuk membatalkan apa yang telah terjadi.

Melihat pengelolaan sumber daya alam adat pertama kali melalui mata masyarakat lokal atau sebuah lensa lanskap adat memiliki keuntungan-keuntungan dalam hal ia tidak menempatkan sistem pengelolaan sumber daya tersebut langsung ke dalam “kotak kehutanan”. Ini menyediakan sebuah pintu masuk yang memungkinkan adanya suatu kombinasi  aktivitas pengelolaan sumber daya alam lintas sektor. Kehutanan, sebagai sebuah komponen dari lanskap adat mungkin, atau mungkin juga tidak, menjadi pusat bagi dinamika lanskap tersebut. Yang paling penting, dalam hal sistem-sistem yang digambarkan dalam buku ini, sistem tersebut menghormatinya apa adanya: sebuah kombinasi berbagai strategi penggunaan lahan yang bersifat lintas sektor dan ekonomi campuran.



[1] Fellow The Samdhana Institute

[2] Menteri Djamaludin Suryohadikusumo, pers com

[3] http://www.dephut.go.id/INFORMASI/STATISTIK/2006/I11_06.pdf

[4] UU No. 41/1999 Pasal 1,  http://www.dephut.go.id/INFORMASI/UNDANG2/uu/Law_4199.htm

[5] http://www.dephut.go.id/INFORMASI/STATISTIK/2006/I28_06.pdf

[6] http://www.dephut.go.id/INFORMASI/STATISTIK/2006/I11_06.pdf; http://www.dephut.go.id/INFORMASI/STATISTIK/2006/I26_06.pdf

[7] Lihat juga Pendahuluan.

[8] Peraturan Menteri Agraria/Kepala  BPN No. 5/1999, http://www.wg-tenure.org/file/Peraturan_Perundangan/Permen_agraria_5_1999.pdf

[9] Lihat M Safitri, 2006, Communal Land Titling in Indonesia: Possibilities and Obstacles for Legal Protection of Adat Communities (Pemberian Hak Tanah Ulayat di Indonesia: Kemungkinan dan Hambatan untuk Perlindungan Hukum Masyarakat Adat), World Agroforestry Centre, Bogor

[10] Lihat juga Pendahuluan dan Bab 5

[11] M Safitri, 2006, op. cit.

[12] ibid

[13] Pemerintah daerah masing-masing di Jawa, Sumatera, Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan.

[14] Lihat, misalnya, Afrizal, 2007, The Nagari community, business and the state: The origin and the process of contemporary agrarian protests in West Sumatra, Indonesia (Masyarakat Nagari, bisnis dan negara: Asal-usul dan proses dari protes agraria kontemporer di Sumatera Barat), Sawit Watch dan Forest Peoples Programme, Bogor, Indonesia

[15] C Fay & H de Foresta, 1998, Progress Towards Recognising the Rights and Management Potentials of Local Communities in Indonesia State-Defined Forest Areas (Kemajuan Menuju Pengakuan Hak-hak dan Potensi Pengelolaan Masyarakat Lokal di Wilayah Hutan yang Ditetapkan Negara di Indonesia), makalah untuk Lokakarya tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Partisipatoris di Negara Berkembang, Mansfield College, Oxford, April 1998

[16]  CJP Colfer, DW Gill & A Fahmuddin, 1988, An indigenous agricultural model from

West Sumatra: a Source of Scientific Insight (Model pertanian adat dari Sumatera Barat: Sebuah Sumber Wawasan Ilmiah), Agricultural systems (Sistem-sistem Pertanian) 26, hal. 191-209; MR Dove, 1993, Smallholder rubber and swidden agriculture in Borneo: a sustainable adaptation to the ecology and economy of the tropical forest (Karet pekebun rakyat dan pertanian peladangan di Borneo: suatu adaptasi berkelanjutan terhadap ekologi dan perekonomian hutan tropis), Economic Botany (Botani Ekonomi) 47 (2), hal. 136-147; A Gouyon, H de Foresta & P Levang, 1993, Does ‘jungle rubber’ deserve its name? An analysis of rubber agroforestry systems in southeast Sumatra (Apakah ‘karet hutan’ patut disebut demikian? Sebuah analisis tentang sistem wanatani karet di Sumatera bagian tenggara), Agroforestry Systems (Sistem-sistem Wanatani) 22, hal. 181-206; F Momberg, 1993, Indigenous Knowledge Systems. Potentials for social forestry development: Resource management of Land-Dayaks in West Kalimantan (Sistem Pengetahuan Adat. Potensi bagi pembangunan kehutanan sosial: Pengelolaan sumber daya Dayak Darat di Kalimantan Barat), tesis MSc, Technische Universitat Berlin; L Sundawati, 1993, The Dayak garden systems in Sanggau district, West Kalimantan. An agroforestry model (Sistem kebun Dayak di kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Sebuah model wanatani), tesis MSc, Universitas Georg-August, Göttingen

[17] G Michon, F Mary & JM Bompard, 1986, Multistoried agroforestry garden system in

West Sumatra, Indonesia (Sistem kebun wanatani bertingkat di Kalimantan Barat, Indonesia), Agroforestry Systems (Sistem Wanatani) 4, hal. 315-338; MA Sardjono, 1988, Lembo: a traditional land-use system in East Kalimantan, Agroforestry untuk pengembangan daerah pedesaan di Kalimantan Timur (Lembo: sistem penggunaan tanah tradisional di Kalimantan Timur, Agroforestry untuk pengembangan daerah pedesaan di Kalimantan Timur), Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman dan GTZ; N Salafsky, 1993, The Forest Garden Project: An Ecological and Economic Study of a Locally Developed Land-Use System in West Kalimantan, Indonesia (Proyek Kebun Hutan: Sebuah Studi Ekologi dan Ekonomi dari Sistem Penggunaan Tanah yang Dibangun Secara Lokal di Kalimantan Barat, Indonesia), tesis PhD, Universitas Duke, Carolina Utara, AS

[18] E Torquebiau, 1984, Man-made Dipterocarp forest in Sumatra (Hutan Dipterokarpa buatan di Sumatera), Agroforestry Systems (Sistem-sistem Wanatani) 2,  hal. 103-128; F Mary & G Michon, 1987, When agroforests drive back natural forests: a socioeconomic analysis of a rice/agroforest system in South Sumatra (Ketika wanatani memaksa mundur hutan alam: suatu analisis sosioekonomi dari sistem sawah/wanatani di Sumatera Selatan), Agroforestry Systems (Sistem-sistem Wanatani) 5, hal. 27-55; G Michon and H de Foresta 1995, The Indonesian agroforest model. Forest resource management and biodiversity conservation (Model wanatani Indonesia. Pengelolaan Sumber Daya Hutan dan Konservasi Keanekaragaman Hayati),  Conserving Biodiversity Outside Protected Areas:The Role of Traditional Agro-ecosystems (Melestarikan Keanekaragaman Hayati di Luar Kawasan Suaka) , P.Halliday dan D.A. Gilmour (Eds.), hal. 90-106, IUCN, Gland, Switzerland.

[19] JA Weinstock, 1983, Rattan: Ecological Balance in a Borneo Rainforest Swidden (Rotan: Keseimbangan Ekologis di Peladangan Hutan Hujan Kalimantan), Economic Botany (Botani Ekonomi) 37 (1), hal. 58-68

[20] Momberg, 1993, op. cit.; Sundawati, 1993 op. cit.; W de Jong, 1994, Recreating the forest: successful examples of ethno-conservation among land-dayaks in central West Kalimantan (Menciptakan Kembali Hutan: contoh sukses konservasi-etnis di antara dayak darat di Kalimantan Barat), makalah untuk Simposium Internasional tentang Pengelolaan Hutan Tropis di Asia Tenggara), Oslo, Maret 1994

[21] Bab ‘Indonesian Overview’ oleh Suraya Afiff tersedia dalam Bahasa Inggris saja. Lihat http://www.downtoearth-indonesia.org/old-site/GNS9.pdf

[22] C Fay dan H De Foresta, 2001, Progress towards Recognizing the Rights and Management Potentials of Local Communities in Indonesian State-Defined Forest Areas (Kemajuan Menuju Pengakuan Hak-hak dan Potensi Pengelolaan Masyarakat Lokal di Wilayah Hutan yang Ditetapkan Negara di Indonesia), dalam B. Vira dan R. Jeffrey eds, Analytical Issues in Participatory Natural Resource Management (Isu-isu Analitis dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Partisipatoris), Oxford University Press.

[23]  H de Foresta & G Michon, 1997, The agroforest alternative to Imperata grasslands: when smallholder agriculture and forestry reach sustainability (Alternatif wanatani terhadap padang ilalang: ketika pertanian dan kehutanan pekebun rakyat mencapai keberlanjutan), Agroforestry Systems (Sistem-sistem Wanatani) 36, hal. 105-120

[24] Fay dan De Foresta, 2001, op cit

[25] T Brown dkk,  Contribution to National Economic Growth of  Community-Based Economic Activity in the Forest Zone (Kontribusi terhadap Pertumbuhan Ekonomi Nasional dari Aktivitas Ekonomi Berbasis-masyarakat di Kawasan Hutan), Mei 2006, DFID – MFP

[26] T P Tomich, M van Noordwijk, S Budidarsono, A Gillison, T Kusumanto, D Murdiyarso, F Stolle & AM Fagi, 2001, Agricultural intensification, deforestation, and the environment: assessing tradeoffs in Sumatra, Indonesia (Intensifikasi pertanian, deforestasi, dan lingkungan hidup: menilai kompromi di Sumatera, Indonesia), dalam: DR Lee & CB Barrett (eds.), Tradeoffs or Synergies? Agricultural Intensification, Economic Development and the Environment (Kompromi atau Sinergi? Intensifikasi Pertanian, Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup), CAB-International, Wallingford,  hal. 221-244

[27] Untuk informasi lebih lanjut, lihat DTE Newsletter no. 74, Agustus 2007

[28] Lihat juga M van Noordwijk, S Suyanto, S Budidarsono, N Sakuntaladewi1, JM Roshetko, HL Tata, G Galudra & C Fay, 2007, Is Hutan Tanaman Rakyat a new paradigm in community based tree planting in Indonesia?, (Apakah Hutan Tanaman Rakyat adalah sebuah paradigma baru dalam penanaman pohon berbasis masyarakat di Indonesia?), ICRAF Working Paper Number 45, Bogor

[30] Tersedia dalam Bahasa Inggris saja. Lihat http://www.downtoearth-indonesia.org/old-site/GNS9.pdf

[31] Suatu studi oleh World Agroforestry Center menunjukkan bahwa seluruh masyarakat adat yang dikunjungi merasa tertarik untuk mengelola masalah politik dan sosial mereka sendiri hingga ke tingkat yang ditetapkan oleh sistem politik Indonesia sebagai tingkat kabupaten. Lihat World Agroforestry Centre, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dan the Forest Peoples Programme, 2003, In Search of Recognition (Mencari Pengakuan), ICRAF, AMAN, FPP, Bogor, Indonesia.

[32] C Fay & MT Sirait, 2003, Mereformasi para reformis di Indonesia pasca Soeharto dalam: I A Resosudarmo & CJ Colfer (eds.), Ke mana harus melangkah: masyarakat, hutan, perumusan kebijakan di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Indonesia, hal. 156-175

[33] Walaupun pada kebanyakan lanskap adat hutan alam secara proporsional adalah bagian kecil dari lanskap tersebut, hal ini tidak berlaku di Papua dan bagian-bagian dari Kalimantan.

[34] Lihat juga Pendahuluan.

[35] Secara kontroversial, definisi FAO memasukkan kebun tanaman, tetapi secara spesifik mengecualikan sistem wanatani sebagai bentuk dari ‘deforestasi untuk pertanian’. Lihat FAO, 2000, Global Forest Resources Assessment (Penilaian Sumber Daya Hutan Global), Roma, ftp://ftp.fao.org/unfao/bodies/cofo/cofo15/X9835e.doc

[36] UU Kehutanan No. 41/1999, Pasal 1 op. cit.

 

AttachmentSize
Chip Fay-In-final.pdf94.47 KB