Wawancara dengan Frank Momberg, Fauna and Flora International: “Sebuah program REDD+ hutan masyarakat yang digulirkan di penjuru negeri akan memiliki pengaruh besar dalam mengurangi deforestasi dan memberdayakan masyarakat lokal”

Bagian kesembilan dari sepuluh wawancara dengan pelaku REDD oleh REDD Monitor yang diterjemahkan oleh DTE

Tulisan asli dalam Bahasa Inggris di situs web redd-monitor.org

Oleh Chris Lang, 19 April 2012

Wawancara dengan Frank Momberg, Fauna and Flora International, di Jakarta, Maret 2012.

REDD-Monitor: Tolong mulai dengan sedikit latar belakang tentang FFI dan tentang keterlibatan FFI di Indonesia.

Frank Momberg: FFI adalah organisasi konservasi tertua dunia, didirikan pada tahun 1903. Organisasi ini berbasis di Inggris dan bekerja di 40 negara di seluruh dunia. Kami telah ada di Asia sejak lama, kerja pertama kami di wilayah ini dimulai di India pada tahun 1935 dan kami telah ada di Indonesia selama beberapa dekade dengan bekerja pada isu-isu wilayah dilindungi dan konservasi hutan. Fokus utama FFI di Indonesia adalah selalu pengelolaan wilayah dilindungi dan konservasi keanekaragaman hayati. Kami telah terlibat secara formal dalam isu perubahan iklim sejak tahun 2009 yang berujung pada COP Bali.

REDD-Monitor: Berapa lama Anda telah tinggal di Indonesia?

Frank Momberg: Saya tinggal di Indonesia selama hampir 20 tahun. Saya mulai bekerja dalam pemetaan hak-hak tanah adat dan hutan kemasyarakatan, awalnya di Lampung dan Kalimantan Barat. KDTI (Kawasan Dengan Tujuan Istimewa) di Krui, Lampung, adalah satu dari pengakuan pertama terhadap hak-hak masyarakat dalam hutan di Indonesia.

Lalu saya bekerja sebagai pelatih mengenai hak-hak hutan dengan berbagai organisasi yang melakukan pelatihan bagi masyarakat lokal dan Ornop lokal dan melakukan pemetaan hak-hak masyarakat di seluruh Indonesia dari Papua hingga Kalimantan, dari Aceh hingga Nusa Tenggara Timur.

Fokus saya kemudian beralih menjadi bekerja pada pengelolaan area lindung dan konservasi keanekaragaman hayati secara kolaboratif hingga saya menjadi terlibat dalam isu-isu perubahan iklim dan REDD sekitar delapan tahun yang lalu.

REDD-Monitor: Dan berapa lama Anda telah bekerja dengan FFI?

Frank Momberg: Saya telah bekerja dengan FFI hampir 12 tahun sekarang. Setelah 10 tahun bekerja di Indonesia, kebanyakan dengan WWF, saya mulai bekerja dengan FFI di Indochina, di Vietnam dan Kamboja selama enam tahun, yang sangat memberi penyegaran. Pengalaman itu memberi saya perspektif baru tentang pengelolaan hutan berbasis komunitas yang belum ada dalam bentuk tersebut di Indonesia. Pada 2004 saya kembali ke Indonesia sebagai Direktur FFI untuk Asia untuk Pembangunan Program, berbasis di Jakarta.

REDD-Monitor: Berapa orang di FFI yang bekerja mengenai REDD di Indonesia?

Frank Momberg: Pada saat ini FFI memiliki sekitar 20 staf yang bekerja pada isu REDD, kebanyakan dari mereka berbasis di Kalimantan Barat, Aceh dan Jambi.

REDD-Monitor: Apakah FFI memiliki posisi resmi mengenai REDD?

Frank Momberg: Ya, kami memiliki pernyataan kebijakan resmi dan kami memiliki seperangkat prinsip-prinsip penuntun. Kebijakan itu menyatakan bagaimana kami terlibat dalam REDD, termasuk isu-isu seperti persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (padiatapa).

Kekuatan FFI adalah pada aktivitas demonstrasi REDD+ dan memberi saran tentang kebijakan sub-nasional REDD+, sambil memberi masukan terhadap kebijakan REDD+ nasional berdasarkan pelajaran yang dipetik di lapangan. Pekerjaan kami bermula dari masalah nyata hutan di lapangan, dengan menanggapi isu-isu deforestasi secara langsung dan mengembangkan intervensi-intervensi REDD+ dengan maksud untuk menyediakan mekanisme pembiayaan potensial jangka panjang untuk konservasi.

REDD-Monitor: Apakah FFI terlibat dalam Kelompok Kerja di bawah Satuan Tugas REDD+?

Frank Momberg: Ya, benar. FFI melakukan sejumlah pendekatan terhadap REDD+ di Indonesia, melalui aktivitas demonstrasi berbasis lapangan dan melalui kerja kebijakan, yang berhubungan dengan kerja Satuan Kerja. Satu model yang saat ini kami dukung dengan sangat aktif adalah konsesi restorasi REDD+ untuk konservasi keanekaragaman hayati. Kami memiliki proyek uji coba di Kalimantan Barat yang telah divalidasi berdasarkan VCS (Verified Carbon Standard – Standar Karbon Terverifikasi) dan saat ini dalam proses audit untuk standar CCBA (Climate, Community and Biodiversity Alliance – Aliansi Iklim, Komunitas dan Keanekaragaman Hayati).

Posisi kami paling maju secara regional dalam soal pengembangan hutan kemasyarakatan REDD+, dengan aktivitas demonstrasi yang sekarang berlangsung di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Jambi. Kami juga memberikan dukungan kebijakan nasional untuk hutan kemasyarakatan REDD+, utamanya melalui kelompok kerja penguatan masyarakat dari Kementerian Kehutanan, yang dipimpin oleh Dirjen BPDAS dan Perhutanan Sosial. Kami juga berkolaborasi dengan Kelompok Kerja REDD+ Kementerian Kehutanan dan dengan Satuan Kerja REDD+.

REDD-Monitor: Bisakah Anda gambarkan bagaimana awal mula FFI  terlibat dalam proyek Ulu Masen di provinsi Aceh.

Frank Momberg: Selama rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh pasca-tsunami, isu-isu konservasi hutan merupakan agenda yang sangat penting. Kami melihat kesempatan setelah tsunami untuk bekerja pada agenda sub-nasional untuk konservasi hutan dan rekonstruksi berkelanjutan pasca-tsunami. REDD+ adalah satu dari peluang untuk pembiayaan berkelanjutan bagi konservasi.

Pekerjaan kami di Aceh berfokus pada penguatan pemilik hutan adat, Mukim, untuk memetakan lahan adat, memfasilitasi partisipasi mereka dalam proses perencanaan tata ruang pasca-tsunami di tingkat kabupaten dan provinsi. Kami bekerja terutama di Aceh Jaya dan meluas ke empat kabupaten lainnya. Proses perencanaan partisipatoris ini menghasilkan penunjukan ekosistem Ulu Masen dalam proposal rencana tata ruang provinsi sebagai suatu kawasan strategis untuk memberikan jasa-jasa lingkungan.

Kami memiliki kesempatan bekerja dengan sangat erat bersama Pemda Aceh dan kemudian dengan Pemda Papua mengenai kebijakan perubahan iklim. Pada masa-masa awal itu, pembentukan kebijakan sub-nasional berpacu mendahului pembentukan kebijakan nasional dan FFI berperan penting dalam memberikan bantuan teknis kepada pemerintah provinsi untuk menetapkan pelarangan pembalakan untuk Aceh, mengevaluasi konsesi-konsesi dan membangun kerangka kelembagaan multi-pemangku kepentingan dari Aceh Green, yang merupakan visi untuk membangun kembali Aceh yang lebih baik dan lebih berkelanjutan setelah tsunami.

Program REDD+ Aceh dari FFI menitikberatkan pada pembangunan kapasitas teknis dan bantuan teknis dan saran kebijakan untuk Pemda Aceh. Untuk proyek Ulu Masen, kami awalnya bekerja bersama Pemda Aceh dan Carbon Conservation (sebuah calon investor REDD+). Namun kami tidak lagi berhubungan dengan Carbon Conservation. Sekarang kami sama sekali hanya mendukung pemerintah dan para pemangku kepentingan lokal karena hanya dengan menjadi independen kami dapat menindaklanjuti kerja kami.

Kami memiliki agenda hutan berkelanjutan yang lebih luas di mana REDD+ hanya satu komponen penting. Kami bekerja keras untuk melibatkan para anggota masyarakat (misalnya mantan kombatan, mantan pembalak liar, mantan pemburu satwa liar dan kelompok pemuda rentan) ke dalam penghentian konflik antara manusia dan alam dan perlindungan hutan, dengan menyediakan pekerjaan jangka-panjang. Kami telah membangun mekanisme multi-pemangku kepentingan untuk menangani illegal logging. Dengan memberikan dukungan kepada pemerintah dan para pemangku kepentingan kunci ini pada dasarnya kami telah melaksanakan REDD+ bahkan tanpa ada mekanisme finansial sebelumnya.

Saya harus menekankan ini, karena kami seringkali salah dikutip oleh laporan media yang menyatakan kami memiliki proyek REDD+ di Aceh. Kami tidak punya, Pemda Aceh yang punya, dan mereka memiliki perjanjian dengan Carbon Conservation untuk investasi REDD+. Kami sedang memberikan bantuan teknis kepada pemerintah untuk mendukung inisiatif REDD+ mereka dan memperkuat peran masyarakat lokal dan pemerintah lokal dalam REDD+.

REDD-Monitor: Anda telah menjelaskan bahwa FFI sebenarnya tidak memiliki hubungan kontrak secara langsung dengan Carbon Conservation, tapi tidakkah FFI terlibat dalam proyek yang sama?

Frank Momberg: FFI tengah memberikan bantuan teknis kepada pemerintah. Itu termasuk REDD+ dan pekerjaan untuk melindungi ekosistem Ulu Masen yang melekat di dalamnya. Kami telah bekerja dengan seluruh pemangku kepentingan untuk merevisi rencana tata ruang Aceh dan memberikan pembangunan kapasitas dan bantuan teknis kepada pemerintah.

Ulu Masen sekarang adalah Kawasan Strategis Provinsi, sebagaimana ditetapkan dalam proposal rencana tata ruang provinsi, sehingga kawasan itu memiliki visi jelas dalam merawat fungsi hutan dan keuntungan lingkungan hidup bagi masyarakat Aceh. Dan itu adalah visinya, dengan atau tanpa investor swasta yang hanya merupakan suatu model pembiayaan berkelanjutan.

REDD-Monitor: Pada bulan Mei 2011, saham Carbon Conservation dibeli sebanyak 50% oleh perusahaan pertambangan Kanada, East Asia Minerals. Apakah Anda melihat risiko bahwa proyek Ulu Masen akan memungkinkan East Asia Minerals untuk melakukan klaim hijau atas proyek-proyek pertambangan baru?

Frank Momberg: Karena FFI tidak memiliki hubungan sama sekali dengan Carbon Conservation pada tahap ini, sangat tidak pantas bagi kami untuk berkomentar tentang perusahaan pertambangan yang membeli saham di perusahaan tersebut. Tentu saja itu risiko terhadap reputasi mereka, tapi saya harus mengklarifikasi bahwa perusahaan pertambangan Kanada tersebut tidak memiliki izin eksploitasi, mereka hanya memiliki izin eksplorasi. Cuma ingin akurat dalam hal itu. 

REDD-Monitor: Tapi East Asia Minerals menyatakan dalam siaran pers mereka ketika mereka membeli 50% dari Carbon Conservation bahwa mereka berharap setelah mereka memiliki investasi dalam sebuah proyek REDD berarti mereka memiliki kemungkinan lebih untuk mendapatkan konsesi pertambangan di masa depan.

Frank Momberg: Itu keputusan Pemda Aceh. Bagaimanapun juga, peran FFI tetap jelas. Dari hari pertama kami tidak memiliki proyek REDD+ yang komersial di Aceh. Kami memiliki peran kritis dalam memfasilitasi pembangunan hubungan antara pemda Aceh dan investor swasta, termasuk Merril Lynch. Peran yang kami miliki adalah dalam fase awal ketika kami berharap bahwa kami dapat benar-benar mewujudkan (REDD) ini melalui suatu kemitraan masyarakat sipil, sektor swasta dan pemerintah. FFI diminta untuk bergabung dengan panitia pengarah yang mengawasi proyek investasi Carbon Conservation. Meski demikian, kami kemudian mundur dari peran itu untuk memusatkan perhatian pada pembangunan kapasitas untuk REDD+.

Pada masa-masa awal, FFI menyediakan pendanaan yang signifikan dan nasihat hukum secara profesional untuk memperoleh kesepakatan yang adil untuk pemda, yang mewakili kepentingan masyarakat di provinsi Aceh. Kami selalu bekerja secara bersama-sama dengan pemda Aceh dan konstituensi lokal yang mereka wakili. Dengan beberapa penasihat hukum terbaik dunia, dari Inggris dan dari Selandia Baru, kami dapat meningkatkan kepercayaan diri gubernur dan kemampuan untuk melibatkan diri dalam suatu jenis baru kesepakatan bisnis.

Proyek Ulu Masen adalah uji coba REDD+ pertama di Indonesia, mencoba hal yang belum diuji dan merupakan bagian dari tujuan proyek uji coba untuk belajar dari kesuksesan serta kekurangan untuk menjadi masukan dalam pengembangan REDD+ di Indonesia.

REDD-Monitor: Sudah adakah kredit karbon yang dijual dari Ulu Masen?

Frank Momberg: Tidak ada. 

REDD-Monitor: Sudah adakah masyarakat lokal di Ulu Masen yang menerima suatu manfaat dari  proyek itu?

Frank Momberg: Sekarang kita harus lebih spesifik apa itu proyek Ulu Masen. Proyek Ulu Masen dari FFI memiliki unsur REDD+ untuk pembiayaan berkelanjutan, tapi itu adalah program pengelolaan hutan berkelanjutan untuk ekosistem Ulu Masen. Proyek kami bukanlah sebuah uji coba komersial REDD+. Proyek Ulu Masen kami dibiayai donor, sementara Carbon Conservation selalu memiliki proyek komersial yang terpisah.

REDD-Monitor: Apakah wilayahnya sama?

Frank Momberg: Ya, wilayahnya sama. Kami bekerja dengan pemerintah lokal dan masyarakat lokal untuk melindungi hutan dan untuk memastikan bahwa mereka akan memperoleh manfaat yang adil dari proyek komersial REDD+ apapun.

REDD-Monitor: Mari berbicara tentang beberapa proyek REDD FFI lainnya di Indonesia, misalnya Gunung Palung di Kalimantan Barat.

Frank Momberg: Kami sebenarnya tidak memiliki proyek REDD di Taman Nasional Gunung Palung. Kami memiliki keterlibatan jangka panjang dengan Taman Nasional Gunung Palung, dengan memusatkan perhatian pada pengelolaan wilayah lindung dan konservasi orangutan secara kolaboratif.

Di luar Taman Nasional Gunung Palung di bentang alam hutan rawa gambut Gunung Palung, FFI sedang menguji coba intervensi REDD+ untuk mengatasi deforestasi terencana di hutan yang tidak dilindungi. Hutan-hutan ini diklasifikasikan sebagai hutan konversi, dan bersinggungan dengan TN Gunung Palung. Saya rasa ini satu dari keterlibatan REDD+ yang paling awal. Tentu saja kami memulai intervensi pertama-tama terhadap faktor pendorong deforestasi. Pendorong utama deforestasi di Kabupaten Ketapang adalah merajalelanya konversi rawa gambut dan hutan dataran rendah menjadi perkebunan kelapa sawit. Izin untuk pengembangan kelapa sawit dalam tahun-tahun terakhir tidak hanya dikeluarkan pada hutan konversi, tapi bahkan pada lahan hutan produksi yang dilindungi dan bersifat tetap, dalam beberapa kasus izin-izin ganda telah dikeluarkan secara tumpang tindih pada bidang lahan yang sama. Untuk menangani bahaya-bahaya deforestasi langsung ini, sejak hampir lima tahun terakhir kami terlibat dalam perencanaan tata ruang kabupaten dan provinsi untuk menata ulang kawasan hutan bernilai konservasi tinggi (HCVF - high conservation value forests), khususnya wilayah hutan gambut dalam, sebagai hutan produksi atau hutan lindung terbatas. Selanjutnya, kami telah bekerja sama dengan para pemegang izin kelapa sawit untuk mengidentifikasi dan melindungi HCVF di dalam konsesi atau wilayah HCVF harus dikeluarkan dari konsesi dan ditetapkan sebagai hutan desa.

Kami telah mengambil pendekatan yang sama di Kabupaten Kapuas Hulu, jadi (kami bekerja) di dua kabupaten di Kalimantan Barat. Dan saya pikir sasaran-sasaran utama REDD+ telah dicapai melalui perencanaan tata ruang. Kami telah berhasil mengurangi secara dramatis wilayah-wilayah yang telah dialokasikan untuk konversi dan mendorong seluruh pemangku kepentingan dan instansi-instansi pemerintah untuk mengklasifikasi ulang hutan konversi menjadi hutan produksi tetap. Wilayah-wilayah ini telah ditata ulang secara besar-besaran sebagai hutan produksi terbatas ketimbang hutan lindung, karena kami menginginkan kesempatan bagi masyarakat-masyarakat adat yang mengklaim hutan-hutan itu untuk membangun model-model hutan kemasyarakatan atau untuk membangun konsesi restorasi ekologis di lahan-lahan ini, yang tidak akan mungkin terjadi jika hutan ditetapkan sebagai hutan lindung atau wilayah konservasi.

Di Kapuas Hulu, secara umum kami berhasil dengan seluruh rencana pertukaran lahan dan perubahan lahan. Pemerintah pada dasarnya telah menata ulang sebagian besar kawasan hutan rawa gambut di kategori hutan konversi sebagai hutan produksi tetap. Menurut saya di Kapuas Hulu kami mencapai 80% dari tujuan kami dalam hal menyelamatkan hutan yang terancam oleh konversi terencana yang sah, sementara di Ketapang tingkat kesuksesan kami lebih rendah karena adanya kepentingan terselubung dari para pemegang izin kelapa sawit dan karena preseden hukum (izin-izin yang ada), sehingga lebih sulit bagi pemerintah untuk mengklasifikasi ulang lahan untuk mendukung pengelolaan berkelanjutan.

REDD-Monitor: Mengapa perusahaan-perusahaan itu mau menyetujui pengklasifikasian ulang ini? Apa keuntungannya bagi mereka?

Frank Momberg: Penataan ulang kawasan dilakukan secara besar-besaran untuk wilayah-wilayah konversi terencana tanpa izin-izin yang saling tumpang tindih. Jika sebuah perkebunan kelapa sawit memiliki izin yang sah maka kami memfasilitasi penilaian HCVF dan sertifikasi RSPO (minyak sawit berkelanjutan) jika perusahaan itu mengecualikan kawasan HCVF dari wilayah yang mereka konversi.

REDD-Monitor: Jadi perusahaan tersebut pada dasarnya kehilangan izin mereka untuk mengonversi hutan itu?

Frank Momberg: Sebagaimana saya katakan, di Kapuas Hulu kami beruntung karena kami memiliki hutan konversi yang belum memiliki izin-izin di atasnya. Ini adalah wilayah-wilayah yang telah direncanakan untuk dikonversi oleh pemerintah tetapi belum memiliki izin sah yang dipegang oleh suatu perusahaan. Karena itu kami cukup berhasil karena bisa mengubah kawasan tersebut menjadi kawasan produksi. Ini seperti pertukaran lahan.

Di Ketapang kami telah dapat melakukan itu ketika izin-izin habis masa berlakunya. Ada beberapa izin untuk konsesi kelapa sawit. Anda harus memiliki izin lokasi terlebih dulu yang hanya berlaku selama dua tahun. Jika perusahaan gagal mengembangkan lahan, maka izin itu habis masa berlakunya. Setelah suatu perusahaan memiliki suatu HGU (Hak Guna Usaha) maka hak hukum telah diperoleh dan perusahaan memiliki hak-hak hukum untuk mengonversi. Jadi tidak ada yang dapat menghentikannya dari perspektif hukum kecuali Anda membuktikan dengan dokumentasi bahwa lokasi itu adalah gambut dalam dan karenanya bertentangan dengan UU lingkungan hidup Indonesia, atau melibatkan mereka dalam merawat HCVF dalam konsesi tersebut dan mengejar sertifikasi RSPO.

Banyak izin berada di kawasan gambut dalam, dan di Ketapang kami telah dapat menghentikan proses itu baik di tingkat lokal maupun nasional, menghentikan Kementerian Kehutanan melepaskan lahan gambut dalam untuk dikonversi (misalnya PT Sungai Putri Lestari).  Dalam kasus Sungai Putri wilayah itu adalah hutan konversi dan perusahaan hanya memiliki Izin Lokasi dan kami dapat menghentikan proses ke arah HGU karena kami membuat dokumentasi bahwa wilayah itu adalah gambut dalam. Kemudian, area ini diklasifikasi ulang sebagai Hutan Lindung Gambut karena keberadaan gambut dalam sesuai dengan UU. Undang-undang perencanaan tata ruang sebenarnya sangat mendetail. Masalahnya adalah apakah undang-undang tersebut diterapkan dengan tingkat kecermatan tersebut di kabupaten-kabupaten tersebut. Tapi dengan  melihat kemiringan lereng gunung, penyangga sungai, kedalaman gambut dan seterusnya memberi kita banyak perangkat untuk mendukung perencanaan tata ruang lingkungan hidup. Di Ketapang intervensi yang paling penting adalah perencanaan tata ruang dan itu merupakan sebuah perangkat yang sangat berhasil untuk menangani deforestasi, paling tidak deforestasi yang direncanakan. Kami melakukan banyak upaya dalam pembangunan kapasitas, pelatihan dan bekerja dengan BAPPEDA dan pemangku kepentingan terkait, sehingga mereka memiliki kepemilikan penuh atas proses perencanaan tata ruang dan rencana akhir. Baik di Ketapang dan Kapuas Hulu kami memfasilitasi sebuah proses konsultasi publik.

Adanya penyesuaian rencana-rencana tata ruang ini memungkinkan kami untuk menjaga area-area kritis kawasan hutan yang bernilai konversasi tinggi sebagai wilayah hutan tetap. Kami juga telah dapat meyakinkan pemerintah-pemerintah kabupaten untuk mendukung ‘area-area rawa gambut berhutan (forested) pada Area Penggunaan Lain  (APL) untuk dipertimbangkan sebagai Hutan Adat atau Kawasan Lindung Gambut untuk melindungi Hutan dengan Nilai Konservasi Tinggi. Jika masyarakat mengklaim hak-hak adat atas hutan di Area Penggunaan Lain (APL) maka kami  memfasilitasi penetapan hutan adat oleh pemerintah kabupaten (Keputusan Hutan Adat). Jika area itu merupakan lahan hutan negara, kami memfasilitasi penataan ulang kawasan terhadap hutan lindung terbatas melalui proses perencanaan tata ruang dan memfasilitasi masyarakat lokal untuk mengajukan penetapan hutan desa. Pendekatan untuk bekerja dengan masyarakat lokal pertama-tama telah meningkatkan kesadaran tentang REDD+ dan jasa-jasa lingkungan yang disediakan hutan, diikuti dengan pemetaan, inventarisasi dan perencanaan pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan penetapan hutan adat atau hutan desa. Masyarakat bergabung berdasarkan prinsip seleksi-sendiri dan proses partisipasi penuh diterapkan untuk memastikan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (padiatapa).

Di Kapuas Hulu kami telah memfasilitasi model REDD+ lainnya yang merupakan suatu konsesi restorasi ekologis dengan pengelolaan yang dilakukan oleh multi-pemangku kepentingan. Kami memfasilitasi pengembangan konsesi restorasi dengan bekerja bersama sebuah perusahaan mitra, BioCarbon, dengan investasi dari Macquarie Capital, Global Forest Partners dan International Finance Corporation [IFC]. Peran FFI adalah fasilitasi proses konsultasi dan menyediakan bantuan teknis untuk ilmu karbon, dan pembangunan Dokumen Rancangan Proyek. Tujuan kami adalah untuk memastikan bahwa proyek-proyek yang tengah dikembangkan dengan investasi swasta dapat menjadi standar dalam hal keanekaragaman hayati dan hasil-hasil dari masyarakat. Kami melihat VCS dan CCB sebagai dasar untuk membangun rancangan proyek yang lebih ketat yang akan memastikan kelayakan jangka panjang proyek tersebut baik dari perspektif masyarakat dan keanekaragaman hayati tapi juga dari perspektif komersial. Jadi itu merupakan sebuah kemitraan antara investor-investor sektor swasta, FFI sebagai sebuah Ornop, dan keterlibatan dengan para pengguna hutan masyarakat lokal dan para pemilik tanah adat, dan pemerintah daerah.

Area konsesi restorasi Danau Siawan Belida sebagian besar terdiri dari hutan rawa gambut dalam. Sejak hari pertama kami memulai dengan membangun kesadar-tahuan tentang REDD+ dan konsultasi-konsultasi pemangku kepentingan di semua tingkatan, di tingkatan masyarakat, dengan memfasilitasi pemetaan pemanfaatan hutan masyarakat lokal dan penguasaan tanah adat, konsultasi-konsultasi pada tingkat kabupaten dan tingkat provinsi. Kami meminta dilakukannya sebuah kajian antropologi yang mendalam, mungkin yang paling komprehensif dalam konteks suatu proyek uji coba REDD. Kajian tersebut dilakukan oleh jurusan antropologi Universitas Indonesia dan melibatkan para antropolog yang tinggal selama beberapa bulan dengan masyarakat untuk memahami kerangka kelembagaan masyarakat, hak-hak adat, dan peraturan perundang-undangan untuk pemanfaatan sumber daya alam di area hutan.

FFI tengah bekerja sama dengan ornop-ornop masyarakat adat lokal (Kaban & Lanting Borneo) untuk memfasilitasi proses padiatapa. Saat ini kami tengah memfasilitasi proses rancangan proyek partisipatoris dengan masyarakat lokal, pemerintah daerah dan ornop untuk mengidentifikasi pendorong-pendorong deforestasi dan mengembangkan langkah-langkah mitigasi dan membangun sebuah kerangka pengelolaan hutan secara bersama-sama. Karena ini merupakan sebuah konsesi, penguasaan tanah secara resmi merupakan perizinan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan, suatu kontrak sewa jangka panjang untuk area tersebut. Karena ada pemilik-pemilik adat yang terlibat sebuah model pengelolaan bersama harus dikembangkan berdasarkan pada persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan dan pengakuan bahwa masyarakat adat memiliki kepemilikan prinsipil atas hutan tersebut.

Proses untuk mendapatkan izin tersebut masih berlangsung dan menanti persetujuan akhir dari Kementerian Kehutanan. Izin tersebut akan dimiliki oleh sebuah perusahaan Indonesia PT WHN yang dikelola oleh sebuah ornop (Yayasan) yang memiliki perwakilan yang luas. Dokumen Rancangan Proyek Danau Siawan Belida tersebut akan segera diunggah ke laman CCBA. Kami menyambut komentar-komentar tentang  dokumen tersebut. Untuk Danau Siawan Belida, kami dengan sengaja telah melakukan validasi ganda dan auditing (standar VCS dan CCBA), karena kami ingin memastikan bahwa tidak hanya kriteria terkait perubahan iklim, yang sangat kuat diwakili di VCS, yang ditaati secara penuh, tapi juga prinsip-prinsip padiatapa, konsultasi masyarakat dan aspek-aspek berbagi manfaat dari proyek tersebut (CCBA).

REDD-Monitor: Tolong gambarkan proyek FFI di perbatasan Taman Nasional Kerinci Seblat di Sumatera

Frank Momberg: Kami sedang memfasilitasi sebuah program REDD hutan masyarakat di provinsi Jambi, bekerja sama dengan mitra lokal kami, yang memfokuskan diri di kabupaten Merangin dan Sarolangun. Kami tengah mendukung masyarakat yang ingin melindungi hutan mereka dan mengelolanya secara berkelanjutan, dengan membantu mereka baik mengamankan penguasaan hutan yang diakui secara hukum baik sebagai hutan desa, di lahan hutan negara, atau Hutan Adat di ‘area penggunaan lain’, dan untuk meningkatkan kapasitas lokal baik untuk mengelola secara berkelanjutan maupun mengambil manfaat dari sumber daya hutan mereka. Jadi sekali lagi, ini berdasarkan pada sebuah prinsip seleksi-sendiri, bekerja dengan masyarakat yang secara khusus telah meminta dukungan. Hingga hari ini, 7 desa yang difasilitasi oleh FFI dan ornop lokal dan mitra-mitra pemerintah di kabupaten Merangin telah mendapatkan izin Hutan Desa dari Kementerian Kehutanan, dan Bupati mengesahkan sebuah Hutan Adat tambahan awal tahun ini.

Serupa dengan pendekatan dari program REDD+ hutan masyarakat Kalimantan Barat, kami ada pada tahapan awal memfasilitasi REDD+ berbasis masyarakat di Jambi untuk mendukung masyarakat mengakses sumber pendapatan tambahan dalam upaya mereka mengelola lahan hutan tradisional mereka secara berkelanjutan. Hingga hari ini, kami telah melakukan lokakarya membangun kesadartahuan informasi tentang perubahan iklim dan REDD+; memfasilitasi pemetaan tata guna lahan desa secara partisipatoris untuk menginformasikan pembangunan desa dan rencana pengelolaan hutan; dan memberikan pelatihan dan dukungan teknis bagi masyarakat agar terlibat sepenuhnya dalam inventarisasi sumber daya hutan, termasuk mengumpulkan data tentang cadangan karbon dan keanekaragaman hayati. Pendekatan ini menempatkan masyarakat sebagai pengendali dan pusat dari seluruh pilihan dan aktivitas pengelolaan hutan. Kami juga bekerja dengan masyarakat untuk membangun kesempatan ekonomi baru seputar produk hutan non-kayu, untuk mengakses sumber pendapatan tambahan. Kami mengimplementasikan aktivitas REDD+ hutan masyarakat di Kalimantan Barat (Kapuas Hulu dan Ketapang) dan Jambi dan kami baru-baru ini telah mulai bekerja di Kalimantan Tengah dalam rangka penetapan Hutan Desa di kabupaten Murung Raya. Pada saat yang sama kami mendukung dialog kebijakan nasional tentang REDD+ hutan masyarakat dengan ditjen perhutanan sosial dan kelompok kerja pemberdayaan masyarakat di Kementerian Kehutanan.

REDD-Monitor: Tolong gambarkan kerja FFI pada sektor minyak sawit dan bagaimana ini berhubungan dengan REDD.

Frank Momberg: FFI merupakan anggota aktif forum meja bundar minyak sawit berkelanjutan (RSPO). Kami melibatkan beberapa perusahaan dalam mengidentifikasi hutan-hutan dengan nilai konservasi tinggi dalam konsesi mereka. FFI juga memfasilitasi sebuah proses konsultasi publik untuk memastikan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut menerapkan standar RSPO dan melindungi hutan dengan nilai konservasi tinggi di dalam konsesi-konsesi itu.

Model REDD+ kelapa sawit tidak dengan sendirinya berarti bahwa konsesi kelapa sawit memiliki sebuah proyek REDD+. Sebaliknya, kami tengah bekerja melalui pendekatan kemitraan yang melibatkan para pemangku kepentingan masyarakat lokal. Satu contoh adalah konsesi kelapa sawit PT KAL, yang telah berada di tahap akhir dalam mendapatkan izin usaha. Perusahaan tersebut setuju untuk mengidentifikasi dan mengecualikan hutan dengan nilai konservasi tinggi dari konsesi tersebut dan berupaya mendapatkan sertifikasi RSPO.

Di masa lalu pendekatan RSPO sering gagal karena hutan dengan nilai konservasi tinggi diidentifikasi oleh perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab tapi kemudian tidak dikelola. Hutan tersebut tetap dikonversi, entah oleh masyarakat peladang berpindah atau ketika pemerintah kabupaten membagi-bagikan hutan dengan nilai konversi tinggi kepada konsesi kelapa sawit lainnya.

Untuk menghindari lingkaran setan tersebut, kami memprakasai sebuah model REDD+. Kami melibatkan diri secara serempak dengan masyarakat, pemerintah daerah dan Kementerian Kehutanan, untuk memastikan bahwa hutan-hutan  HCV ditransfer ke penguasaan lahan masyarakat melalui penetapan Hutan Desa. Jadi para pemilik model kelapa sawit REDD+ dan HCVF tersebut adalah masyarakat lokal, bukan perusahaan-perusahaan kelapa sawit.

Perusahaan kelapa sawit tidak memperoleh keuntungan finansial dari model REDD+ ini.

Desa pertama yang kami fasilitasi untuk mengecualikan hutan tersebut dari area konsesi dan penetapan sebaga hutan desa adalah Laman Santong. Untuk beberapa desa lainnya proses masih terus berlangsung, karena proses padiatapa memakan waktu.  Semua anggota masyarakat harus menyatakan persetujuannya terhadap model tersebut sebelum dapat terwujud. Hal itu merupakan sebuah proses seleksi-sendiri. Kita hanya bisa memiliki sebuah Hutan Desa jika itu yang ingin dilakukan desa tersebut dan jika masyarakat sekitar menyetujui.

Laman Santong telah menjadi desa pertama karena hutannya memiliki sejarah panjang kepemilikan lahan adat. Di lingkungan sekitarnya yang tumpang tindih dengan PT KAL prosesnya masih berlangsung, sebagai penduduk desa mereka tidak memiliki klaim adat atas hutan tersebut. Walau demikian sebagai pengguna hutan dan masyarakat yang tinggal di pinggir hutan yang bergantung pada hutan rawa gambut, mereka memenuhi persyaratan untuk mengajukan penetapan hutan desa. Hutan rawa gambut pesisir ini sangat penting tidak hanya karena cadangan karbonnya yang sangat besar tapi juga jasa-jasa lingkungan hidup  lainnya. Hutan tersebut merupakan sebuah hamparan yang sangat sempit di zona pesisir antara lautan dan sawah-sawah. Tanpa hutan rawa gambut, air laut dapat merembes masuk ke air tanah. Oleh sebab itu masyarakat lokal memiliki kepentingan yang sangat vital dalam memelihara hutan-hutan ini.

Kami memang pernah mempertimbangkan kemungkinan perusahaan kelapa sawit menjadi investor-bersama REDD+, dengan memegang izin lahannya. Tapi kami memutuskan untuk tidak meneruskan hal ini karena alasan lingkungan hukumnya. Sulit untuk menjaga hutan di dalam wilayah konsesi kelapa sawit karena para kepala daerah sering menganggapnya sebagai lahan yang tidak terpakai yang dapat dialokasikan ulang untuk konsesi kelapa sawit yang tidak mau mematuhi standar-standar RSPO. Adalah penting bagi kami bahwa masyarakat dapat mengambil manfaat sebanyak mungkin dari setiap potensi kredit karbon yang ada.

REDD-Monitor: Ini semua sangat jauh berbeda dibandingkan gambaran-gambaran awal REDD+, yang mengklaim bahwa jika kita menentukan suatu harga pada karbon di hutan-hutan maka hal tersebut akan menghentikan deforestasi. Apa yang Anda gambarkan jelas sangat rumit dan melibatkan banyak persiapan.

Frank Momberg: Ya, insentif ekonomi merupakan kunci satu unsur, tapi bukan satu-satunya. Kenyataannya banyak komunitas di zona penyangga Kerinci Seblat misalnya, ingin mendukung suatu inisiatif REDD+ karena mereka yakin bahwa mereka juga akan mengambil manfaat dari jasa-jasa lingkungan hidup lainnya yang disediakan oleh hutan mereka. Hutan-hutan di bentang alam Kerinci Seblat merupakan daerah aliran sungai penting yang menjamin pasokan air untuk instalasi-instalasi mikro-hidro dan mengairi sawah-sawah. Masyarakat pernah mengalami tanah longsor yang disebabkan oleh pembalakan liar dan pembabatan hutan. Masyarakat di wilayah ini juga sudah lama mencatat kepemilikan adat. Karena itu mereka menginginkan pengakuan resmi terhadap klaim mereka atas hutan-hutan ini dan untuk menghindari hilangnya akses terhadap sumber-sumber daya alam ini baik akibat konsesi-konsesi sektor swasta atau perampasan tanah yang bersifat oportunistis. Walau demikian masyarakat biasanya tidak memiliki kemampuan finansial untuk menyingkirkan faktor-faktor pendorong deforestasi, dan di sinilah pentingnya REDD.

Apapun yang terjadi, masih perlu dilihat bagaimana berkembangnya pasar-pasar REDD+ yang bersifat sukarela maupun mekanisme berbasis-dana. Kami sangat berhati-hati untuk tidak menumbuhkan harapan berlebihan dan agar masyarakat berpartisipasi secara sukarela berdasarkan pilihan sendiri untuk menentukan apakah mereka ingin membentuk Hutan Desa dan, kemudian, apakah mau berpartisipasi dalam REDD+ berbasis masyarakat.

Program hutan masyarakat yang kami lakukan di Jambi adalah hasil dari upaya koalisi ornop yang sangat luas untuk membatalkan sebuah industri perkebunan pulp dan kertas di kabupaten Merangin. Dengan dukungan ornop masyarakat berhasil mengusir perusahaan pulp dan kertas tersebut. Setelah perlawanan yang panjang, akhirnya Kementerian Kehutanan menyetujui pembatalan konsesi tersebut. Sejak saat itu FFI, beberapa LSM lokal dan pemerintah kabupaten bekerjasama dalam membangun program Hutan Desa yang ambisius di Merangin. Tujuannya untuk memfasilitasi konservasi hutan dengan memberdayakan para pengguna hutan lokal untuk mengelola hutan secara berkelanjutan dan menghindari kemungkinan pengalokasian area hutan tersebut menjadi konsesi perkebunan lagi.

Itulah visi di balik model REDD+ hutan rakyat. Kami juga berpendapat bahwa di masa mendatang terdapat pembayaran sekumpulan jasa-jasa. Mungkin tidak hanya karbon tapi juga bisa mencakup pembayaran jasa air.

Di beberapa daerah, tentu saja, masyarakat lokal memilih untuk bergandengan tangan dengan konsesi kelapa sawit dan tidak memilih REDD hutan rakyat. Itu hak mereka untuk melakukannya. Apakah manfaat dari REDD melebihi biaya peluang dan transaksi itu bukanlah perhitungan yang sederhana dan hal tersebut berbeda dari satu kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lainnya. Hal itu tergantung pada hubungan mereka dengan hutan, ketergantungan mereka pada hutan, tergantung pada biaya-biaya peluang sampingan, dan pengalaman mereka dirampas lahan oleh perusahaan-perusahaan kelapa sawit.

Untuk REDD+ hutan masyarakat pengembangan skala ekonomi adalah penting, karena tidak mungkin atau sangat sulit bagi sebuah komunitas tunggal untuk mengakses pasar dan menjual kredit secara sukarela. Satu mekanisme yang mungkin, yang sangat saya sukai adalah mengikuti model hutan masyarakat Vietnam dan menciptakan mekanisme berbasis pendanaan dengan pembayaran langsung ke rekening-rekening bank komunitas untuk perlindungan hutan yang berhasil. Kemungkinan untuk mekanisme pembiayaan semacam itu sudah ada di Indonesia. Komunitas-komunitas dapat membuka rekening bank melalui lembaga-lembaga desa atau koperasi-koperasi. Jadi uang bisa secara langsung ditransfer ke tingkat desa untuk pembayaran perlindungan hutan.  Sebuah program REDD+ hutan masyarakat yang disebarluaskan secara nasional akan memiliki pengaruh besar dalam mengurangi deforestasi dan memberdayakan masyarakat lokal. REDD+ hutan masyarakat dapat diterapkan pada pendekatan-pendekatan berbasis pendanaan. Kami menyiapkan komunitas-komunitas sehingga mereka dapat mengakses peluang yang muncul. Jika tidak ada mekanisme berbasis REDD+ secara nasional atau internasional, kami masih dapat mengakses kredit karbon yang bersifat sukarela untuk penurunan-penurunan emisi yang terverifikasi berdasarkan audit yang dilakukan oleh standar-standar VCS dan CCBA yang kami fasilitasi.

REDD-Monitor: Bagaimana posisi FFI mengenai perdagangan karbon?

Frank Momberg: Untuk mewujudkan REDD+ sumber daya-sumber daya yang signifikan harus dikerahkan. Pendanaan publik tidak akan mencukupi untuk mewujudkan pendanaan tersebut. Jadi dalam jangka panjang sebuah sistem perdagangan bisa berkontribusi terhadap pembiayaan sebuah mekanisme REDD+ global.

Walau demikian, FFI tidak hanya mendukung pro-pasar saja atau hanya pro-pendanaan saja. Ada banyak pendekatan yang bisa berupa kombinasi antara pendekatan-pendekatan berbasis pendanaan dan berbasis pasar. Program REDD+ hutan masyarakat untuk Vietnam, tampaknya merupakan sebuah pilihan baik yang melibatkan negara dalam sebuah mekanisme perdagangan global pada saat yang sama negara menerapkan mekanisme pembayaran REDD+ berbasis pendanaan kepada para pemilik hutan masyarakat. Sebuah program REDD+ hutan masyarakat yang diimplementasikan di penjuru negeri, yang mencakup ribuan desa, dengan sistem tata kelola yang baik, proses audit dan verifikasi yang ketat, dan mekanisme distribusi keuntungan yang adil serta dana menjangkau komunitas-komunitas secara langsung, mungkin merupakan pilihan yang lebih baik ketimbang proyek berbasis pasar yang bersifat sukarela dan berdiri sendiri.

REDD-Monitor: Apakah FFI sendiri memperdagangkan karbon?

Frank Momberg: Tidak, kami bukan pialang karbon. Walau demikian kami memfasilitasi investasi-investasi pasar yang bersifat sukarela dalam REDD+. Kami juga akan perlu memfasilitasi komunitas-komunitas lokal untuk mengakses para pembeli. Tapi kami tidak bertindak sebagai pialang ataupun pedagang kredit karbon.

REDD-Monitor: Bagaimana respon FFI terhadap kesepakatan Cancun dan Platform Durban yang terkait dengan REDD? Terutama bahwa sistem  pengaman ada di balik kata-kata “mempromosikan dan mendukung” dan lebih lemah ketimbang yang diharapkan banyak orang.

Frank Momberg: Menurut saya kami setuju dengan hal tersebut. Kami memasukkan sistem pengaman dalam kebijakan-kebijakan kami. Jadi itu seharusnya tidak hanya mempromosikan dan mendukung, dan harus ada rujukan khusus ke persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan. Itu merupakan sebuah kompromi yang lemah. Walau bagaimanapun kemajuan yang signifikan telah dibuat ke arah REDD+ di Cancun.

REDD-Monitor: Bagaimana pandangan FFI terhadap program REDD Norwegia-Indonesia senilai USD1 milyar?

Frank Momberg: Saya menghargai investasi Norwegia dalam REDD+, tapi saya harus mengatakan bahwa moratorium selama dua tahun yang tidak mencakup banyak hutan primer di luar area moratorium yang disetujui, yang tidak menyentuh izin-izin yang sudah diberikan, mekipun hanya berupa izin-izin lokasi, bukan program yang cukup ambisius. Menurut saya pemerintah sebenarnya dapat meninjau semua izin lokasi. Seharusnya perlu ditarik garis batas dengan izin-izin perkebunan/ usaha, karena kemudian jelas perusahaan-perusahaan yang telah melakukan investasi secara signifikan dan memiliki hak legal sepenuhnya untuk pembangunan perkebunan perlu mendapat kompensasi. Moratorium itu hanya mencakup kawasan yang dilindungi dan hutan-hutan produksi tetap, sementara moratorium tersebut mengabaikan area-area hutan yang signifikan dalam kategori hutan konversi atau hutan yang berada di lahan hutan non-negara.

REDD-Monitor: Apakah FFI terlibat dalam perdebatan mengenai illegal logging di Indonesia?

Frank Momberg: Secara signifikan, ya. Kami mempunyai proyek-proyek yang didedikasikan untuk melacak illegal logging dan kejahatan terhadap margasatwa liar, khususnya di Kerinci dan Kalimantan Barat. Memerangi kejahatan hutan telah menjadi keahlian inti FFI, khususnya yang terkait dengan pengelolaan kawasan yang dilindungi.

Di Taman Nasional Kerinci Seblat Kerinci dan Gunung Palung, contohnya, kami membangun patroli (jagawana) terintegrasi pertama yang berbasis masyarakat di Indonesia bekerja sama dengan pihak otoritas taman nasional. Kami juga mendukung mitra-mitra lokal untuk mengembangkan kelompok jagawana berbasis masyarakat di bentang alam Kerinci Seblat, di mana masyarakat lokal dan masyarakat adat berpartisipasi dalam memantau kejahatan hutan. FFI telah menjadi bagian dari jaringan masyarakat sipil yang besar di Kalimantan Barat, Jaringan Masyarakat Sipil  Konsorsium Anti-illegal Logging (KAIL) Kalimantan, menyelidiki kejahatan hutan, melaporkan kejahatan hutan, dan menyediakan pelatihan para penjaga hutan dalam memerangi kejahatan hutan, serta membina kerja sama dengan sistem peradilan dan kepolisian.

Selama beberapa waktu, program kemitraan antara  Taman Nasional Kerinci Seblat dan FFI berhasil mencapai tingkat penghukuman kejahatan hutan paling tinggi di seluruh kawasan lindung di Indonesia. Menurut saya hal tersebut merupakan kisah sukses yang sesungguhnya, karena berhasil mencegah kejahatan hutan yang telah membantu mengurangi kerugian hutan dan pada akhirnya meningkatkan populasi harimau di Taman Nasional tersebut. Kami sangat menyambut kesepakatan FLEGT dengan Uni Eropa. Itu merupakan keberhasilan besar; saya yakin itulah pertama kalinya kita secara nyata mengatasi kunci masalah inti yang mendasar, yakni perdagangan sebagai pendorong global dari deforestasi. Menurut saya jika prinsip-prinsip mengenai standar legalitas dapat diaplikasikan ke sektor kelapa sawit dan sektor perkebunan kita akan mencapai kemajuan lebih banyak lagi ketimbang dari kesepakatan-kesepakatan yang bersifat sukarela seperti RSPO.

Jika kita memiliki standar legalitas untuk perkebunan, saya pikir banyak minyak sawit yang tidak dapat diproduksi karena telah ditanam secara ilegal di hutan produksi, atau di atas lahan gambut. Maka perusahaan itu tidak akan bisa menjualnya ke pasar Eropa. Jadi saya pikir gagagsan menggunakan instrumen perdagangan itu fantastis. Itu perlu mencakup negara-negara tertentu lainnya, seperti Cina, yang merupakan bagian dari masalah maupun bagian dari solusi tersebut.

REDD-Monitor: Sudah empat atau lima tahun REDD dibicarakan di Indonesia dan ada lebih dari 40 proyek REDD. Secara terbuka Presiden menyatakan sangat mendukung REDD. Pada saat yang sama konsesi kelapa sawit makin meluas, konsesi pertambangan makin meluas dan Asia Pulp and Paper telah mengumumkan bahwa mereka berencana membangun salah satu pabrik pulp terbesar di dunia. Apakah Anda optimis atau pesimis terhadap REDD di Indonesia?

Frank Momberg: Secara prinsip saya orang yang optimis. Saya tidak percaya bahwa pekerjaan kita sia-sia. Namun saya percaya, dilihat dari pendanaan donor yang tersedia di Indonesia prestasi yang dihasilkan sangat sedikit. Menurut saya jelas bahwa keberhasilan yang dicapai tidak sebanding dengan investasi yang ditanamkan dalam REDD+. Menurut saya negara-negara lain, seperti Vietnam, dapat meraih hasil yang lebih baik. Walaupun Vietnam masih mengalami degradasi hutan tapi daerah tutupan hutannya meningkat. Intervensi-intervensi sektor kehutanan di sana telah lebih berhasil ketimbang di Indonesia – terutama dalam hal pemberian kewenangan atas hutan kepada masyarakat lokal.

Saya sangat kecewa bahwa pemerintah daerah yang terlibat dalam REDD+ telah dipersulit dan bukannya didukung. Begitu pula tak satupun sektor swasta didorong untuk terlibat dalam REDD+. Di negara-negara Asia lain seperti Nepal lebih mudah untuk mengembangkan proyek pasar sukarela.

Menurut saya cukup memalukan bahwa setelah lima tahun masih belum ada penjualan kredit karbon dari Indonesia di pasar sukarela. Ini terutama disebabkan oleh hambatan-hambatan birokrasi yang sangat besar. Dibutuhkan banyak rekomendasi dari otoritas nasional dan lokal dan jika mau tetap bersih dan berjalan di jalur yang benar, yang harus dilakukan adalah duduk dan menunggu. Karena sistem REDD+ berdasarkan izin tidak jauh berbeda dari perizinan kelapa sawit atau perizinan konsesi penebangan kayu. Politikus-politikus yang ada masih sama yang dapat menjadi pelaku korupsi. Tanpa sebuah sistem perizinan yang lebih sederhana, yang transparan dengan sistem tata kelola yang baik, REDD+ akan menghadapi permasalahan yang sama sebagaimana perizinan yang lain terkait dengan tata kelola dan korupsi. Karena FFI dan mitra sektor swasta kami berkomitmen untuk tidak berkompromi  terhadap korupsi, dan berkomitmen pada tata kelola yang super bersih, maka, kami harus bertahan selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun untuk mencapai satu langkah maju. Setiap pengembang sektor swasta lainnya di negara ini dapat menyebutkan betapa sulitnya untuk bergerak maju pada REDD+ yang berbasis proyek.

Walau demikian, saya pikir kita sedang membuat kemajuan di Indonesia. Untuk saat ini saya optimis.


Wawancara ini adalah yang kesembilan dari serangkaian wawancara dengan aktor-aktor kunci REDD di Indonesia. REDD-Monitor berterimakasih pada ICCO yang mendanai proyek ini.

Foto: Stephan Röhl on flickr.