Bisnis, hak-hak asasi manusia dan iklim dalam hubungan Inggris-Indonesia

Tambang batubara merusak hutan di dekat Maruwai, Kalimantan Tengah (Foto: DTE)

Bagaimana dorongan pemerintah Inggris terhadap perdagangan dan investasi berisiko memperburuk keadaan bagi masyarakat yang tertindas

DTE 98, Maret 2014

Bulan ini DTE dan AMAN menulis surat terbuka kepada Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Inggris David Cameron, menyerukan agar segera diambil tindakan nyata untuk memulihkan hak-hak masyarakat adat Indonesia terhadap hutan adat mereka, sebagaimana ditetapkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi yang sangat penting tahun lalu.[1]

Kami menyerukan peninjauan kembali kebijakan pemerintah Inggris terhadap Indonesia supaya kebijakan-kebijakan yang bertentangan mengenai investasi dan kerja sama pembangunan diamendemen untuk mendukung hak-hak masyarakat adat.

Pemerintah Inggris memiliki enam wilayah prioritas, sebagaimana disampaikan untuk konsumsi publik di laman https://www.gov.uk/government/world/indonesia: mendukung warga negara Inggris di Indonesia; menjunjung hak-hak asasi manusia di Indonesia; melindungi keamanan nasional Inggris dari Indonesia; bekerja sama dengan Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN); menangani perubahan iklim dan mendukung Indonesia untuk mencapai pertumbuhan dengan karbon rendah; dan meningkatkan bisnis dengan Indonesia. Prioritas terakhir inilah yang lebih penting ketimbang yang lainnya dan khususnya bertentangan dengan agenda-agenda hak-hak asasi manusia dan perubahan iklim. Ketidakseimbangan ini dan kontradiksi-kontradiksi ini perlu disikapi.

Ada satu masalah besar dengan pendekatan Inggris terhadap Indonesia: di satu sisi pemerintah Inggris memperkenalkan diri sebagai pendukung hak-hak asasi manusia dan penanganan perubahan iklim, di sisi yang lain sebagai pendukung bisnis dengan Indonesia. Sementara itu, sistem pengaman lintas isu tidak memadai. Ini berarti bahwa badan pemerintah Inggris sedang mempromosikan investasi oleh perusahaan-perusahaan Inggris dalam pembangunan infrastruktur dan industri berbasis sumber daya alam, yang memiliki dampak negatif terhadap hak-hak dan sumber penghidupan masyarakat serta tingkat emisi gas rumah kaca. Halaman web pemerintah Inggris bertajuk “Meningkatkan bisnis dengan Indonesia” menyatakan bahwa sektor bisnis yang menawarkan peluang yang cukup bagus untuk perusahaan Inggris termasuk infrastruktur, pertahanan dan keamanan, barang-barang konsumsi, energi, pendidikan, solusi karbon rendah dan jasa keuangan. Brosur-brosur yang dibuat oleh UKTI memang mengidentifikasi berbagai peluang dalam industri-industri karbon rendah, bangunan hijau dan energi terbarukan, tetapi pada saat yang sama mereka menyoroti infrastruktur, minyak dan gas, pertambangan dan agribisnis sebagai sektor-sektor yang khususnya potensial bagi perusahaan-perusahaan Inggris.

Dalam brosur UKTI  bertajuk ‘Berbisnis di Indonesia: Sebuah Perspektif Bisnis Inggris’, misalnya, manajer regional dari konsultan desain dan rekayasa Scott Wilson menyarankan, “Ada banyak peluang dalam produk khusus teknologi (niche technologies) dan berbagai proyek infrastruktur, seperti sistem transportasi batu bara, transportasi publik dan skema pembangkitan listrik. Ada kebutuhan yang sangat besar terhadap proyek-proyek infrastruktur di Indonesia dan berbagai peluang dapat bersaing dengan proyek-proyek serupa di Brasil, Rusia, India dan Cina.”[2]

Semua ini adalah sektor-sektor yang melibatkan pengalokasian lahan, penggunaan mesin berat untuk membabat hutan, lahan pertanian dan apapun lainnya yang menghalangi jalannya, dan/atau mengeruk kekayaan alam yang dikandungnya. Sektor-sektor ini juga terkait erat dengan konflik, pelanggaran hak-hak asasi manusia dan kerusakan lingkungan hidup, dan emisi gas rumah kaca yang meningkat akibat kerusakan hutan dan lahan gambut. Dalam hal bisnis yang terkait bahan bakar fosil, dampak-dampak iklim itu meluas hingga ke masa depan karena pada akhirnya terjadi pembakaran bahan bakar tersebut, selain emisi dari ekstraksi, pemrosesan dan pengapalan.

Jenis pembangunan industri primer ini secara mencolok menjadi bagian penting dalam rencana induk ekonomi pemerintah Indonesia untuk 2025 – dikenal sebagai MP3EI – yang telah memperoleh kritik keras karena mengabaikan hak-hak dan kepentingan dari jutaan orang – termasuk masyarakat adat dan masyarakat lokal, yang tinggal di wilayah sasaran (lihat kotak).

Perusahaan-perusahaan Inggris yang berinvestasi di sektor-sektor ini di Indonesia memiliki sejarah panjang keterkaitan dalam dampak-dampak sosial, lingkungan hidup dan iklim yang serius – DTE secara berkala telah mengangkat keprihatinan terhadap perusahaan-perusahaan sektor ekstraktif Rio Tinto, BP, BHP-Billiton, dan yang baru-baru ini Bumi Plc[3], sebagai bagian dari kampanye kami untuk meminta perusahaan-perusahaan tersebut bertanggung jawab terhadap dampak-dampak mereka di Indonesia.[4] Saat ini, London Mining Network (di mana DTE adalah anggota pendirinya) menyerukan pengawasan yang lebih ketat terhadap perusahaan yang tercatat di Bursa Saham London, sebagai bagian dari kampanye yang lebih besar untuk menuntut tanggung gugat korporasi perusahaan-perusahaan pertambangan yang berbasis di London (lihat tulisan terpisah).

Bisnis, bisnis, bisnis...

Keseimbangan di antara prioritas-prioritas yang saling bersaing dalam kebijakan Inggris terhadap Indonesia telah beralih sejak pemerintahan koalisi David Cameron berkuasa pada 2010. Melakukan lebih banyak bisnis dengan Indonesia telah menjadi prioritas utama karena Indonesia diidentifikasi sebagai satu dari 17 pasar prioritas dengan pertumbuhan tinggi[5] dan bagian dari rencana keseluruhan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Inggris dengan cara meningkatkan ekspor. Saat ini, Inggris dan Indonesia memiliki kurang dari 1% bagian dari pasar masing-masing, dengan Inggris menduduki peringkat ke-20 pengekspor terbesar ke Indonesia.[6] Sebaliknya, Inggris adalah salah satu dari investor asing terbesar Indonesia, dengan peringkat kelima pada tahun 2013 (lihat kotak). Hubungan ini tetap dipelihara melalui kunjungan resmi secara berulang kali. Menteri Luar Negeri Inggris mengunjungi Indonesia pada Januari tahun ini, sedangkan Menteri Perdagangan dan Investasi serta Menteri Pertahanan mengunjungi Indonesia pada saat yang berbeda di tahun 2013. Hal ini didahului oleh kunjungan Perdana Menteri, David Cameron, pada April 2012, dengan disertai oleh 30 'pemimpin bisnis'. Cameron dikritik oleh organisasi-organisasi hak-hak asasi karena menyerukan Inggris untuk menjual lebih banyak persenjataan[7], tetapi selain itu relatif hanya sedikit perhatian yang telah diberikan terhadap ‘perlombaan bisnis’ ini di Indonesia.[8] Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diundang untuk melakukan kunjungan kenegaraan ke Inggris kemudian pada tahun itu, di mana beliau dianugerahi gelar kesatriaan kehormatan oleh Sang Ratu (dan juga disambut oleh para pemrotes hak-hak asasi manusia dan lingkungan hidup).[9] Dalam kunjungannya termasuk sebuah pertemuan dengan para eksekutif BP di mana Cameron mengumumkan perluasan proyek gas Tangguh yang dioperasikan BP, proyek ekstraksi dan pencairan gas yang sangat besar dan berdampak tinggi yang dibangun di lahan masyarakat adat di Teluk Bintuni, Papua Barat. "Perjanjian mengenai pembangunan senilai £7,5 miliar ini adalah berita yang sangat bagus bagi BP, salah satu investor asing terbesar di Indonesia. Hal itu adalah dorongan yang sangat hebat terhadap perdagangan dan investasi Inggris yang terus bertumbuh di pasar Indonesia yang baru muncul," kata Cameron.[10]

Perdagangan dan investasi Inggris di Indonesia

Inggris sudah menjadi salah satu investor terbesar di Indonesia, dan pemerintah yang berkuasa saat ini mendorong perusahaan-perusahaan Inggris untuk berinvestasi lebih banyak lagi. Mereka juga mendukung para pengekspor Inggris untuk menjual lebih banyak lagi barang dan jasa ke tempat yang diakui mereka sebagai sebuah pasar yang tumbuh dengan pesat. Pada April 2012 Perdana Menteri Inggris dan Presiden Yudhoyono mengumumkan sebuah komitmen untuk menggandakan perdagangan (barang dan jasa) pada 2015 menjadi £4,4 miliar. Berdasarkan angka-angka yang diberikan oleh Bank Indonesia, investasi langsung Inggris yang mengalir ke Indonesia antara 2004 dan 2013 mencapai jumlah US$6,458 milyar.[11] Inggris adalah investor terbesar UE di Indonesia selama periode tersebut, dan dalam konteks global, investor terbesar keempat di Indonesia, setelah Jepang, Singapura, dan AS.[12] Pada 2013, Inggris adalah investor terbesar kelima di Indonesia (US$926 juta), berdasarkan data Bank Indonesia, dengan Korea Selatan nyaris melampaui investasi Inggris pada tahun tersebut.[13]

Brosur-brosur yang ditujukan untuk mendorong bisnis Inggris  untuk mengembangkan hubungan dagang dengan Indonesia menyoroti pasar-pasar yang melonjak cepat serta sumber daya alam dan buruh murah. Sektor-sektor seperti energi, pertambangan, infrastruktur dan agribisnis diidentifikasikan sebagai hal yang menjadi minat khusus bagi para investor Inggris.

Secara global, pada 2012-13, FCO dan UKTI menghabiskan £420 juta untuk mempromosikan pertumbuhan ekonomi Inggris dengan mendukung para pengekspor Inggris, melalui jejaring kantor luar negeri mereka. http://www.nao.org.uk/wp-content/uploads/2014/10/10258-001-FCO-and-UKTI-Book.pdf

Perhatian khusus terhadap Indonesia sebagai pasar prioritas berarti bahwa bisnis yang melonjak dengan Indonesia memperoleh sumber daya yang diperkuat, dalam hal staf, layanan dan pendanaan. Badan pemerintah Inggris 'Perdagangan & Investasi Inggris di Indonesia (UKTI Indonesia)' membantu perusahaan-perusahaan berbasis di Inggris untuk mengakses peluang-peluang bisnis di Indonesia, dengan menawarkan informasi, kontak, saran dan dukungan untuk memasuki pasar yang baru, sebagaimana disampaikan dalam laman uk.gov. Lembaga itu juga membantu misi-misi perdagangan dari Inggris ke Indonesia dan sebaliknya; dan bekerja sama dengan Utusan Dagang Cameron untuk Indonesia, Richard Graham, untuk mengidentifikasi peluang-peluang baru untuk mendukung bisnis Inggris yang ingin memasuki pasar Indonesia. Perundingan dagang bilateral telah dimulai pada 2011 yang bertujuan untuk meningkatkan akses pasar, dengan putaran ketiga dari perundingan tersebut dijadwalkan pada November 2013; sebuah “Kelompok Visi 2030” yang dipimpin pebisnis sedang dibentuk untuk melaporkan kepada kedua menteri perdagangan tentang aspirasi-aspirasi bagi hubungan dagang dan investasi bilateral pada tahun 2030 dan tindakan yang dibutuhkan untuk mencapainya.[14] Di tingkat regional, ada juga sebuah ‘Gugus Tugas Asia’ yang bertujuan untuk “mengumpulkan para pakar dari bidang industri, pendidikan dan pemerintah untuk fokus pada mendorong ekspor Inggris, dan investasi, ke negara-negara Asia.” Gugus Tugas itu bertemu dua kali setahun untuk mendiskusikan apa yang secara praktis dapat mereka lakukan untuk membantu mencapai tujuan ini.[15]

LSM Inggris mendesak transparansi dalam pendanaan baru Inggris untuk mengatasi pendorong deforestasi

Satu kelompok LSM berbasis di Inggris, termasuk Forest Peoples Programme, FERN, Greenpeace, Environmental Investigation Agency dan Global Witness menyerukan pemerintah untuk menyelesaikan rencana untuk program baru Hutan dan Perubahan Iklim (Forest and Climate Change, FCC) yang telah lama ditunggu-tunggu melalui proses yang konsultatif dan kolaboratif dengan mekanisme yang akuntabel untuk mencairkan dana berdasarkan Dana Iklim Internasional (International Climate Fund, ICF) Inggris. Pada Juli tahun lalu, mereka membuat beberapa rekomendasi untuk memperbaiki rancangan FCC tersebut, termasuk agar FCC harus

  • mendukung sistem tata kelola hutan berbasis masyarakat, dan mengakui peran masyarakat hutan sebagai pemegang hak dan pelaku ekonomi utama,[16] dan
  • bertindak atas bukti-bukti efektifnya penguasaan oleh masyarakat yang terjamin dalam membendung hilangnya hutan dan memberikan berbagai manfaat bagi sumber penghidupan masyarakat setempat dan masyarakat hutan, termasuk kaum perempuan.

Lihat: www.forestpeoples.org untuk seluruh rekomendasi LSM dan mengenai ICF. (Sumber: Pemerintah Inggris akan memperbaiki proposal untuk deforestasi dan dana iklim bilateral. 1/Okt/2013)

Prioritas-prioritas pemerintah Inggris yang bertabrakan di Kalimantan Timur

Salah satu layanan yang tersedia untuk komunitas bisnis diberikan oleh Kantor Luar Negeri dan Persemakmuran (Foreign & Commonwealth Office, FCO), yang menerbitkan Info Terkini Negara tentang Indonesia. Info terkini pada Oktober 2013, Indonesia: Land, Coal, People and Power in East Kalimantan (Indonesia: Tanah, Batu Bara, Masyarakat dan Kekuasaan di Kalimantan Timur) menjadi bacaan yang mengguncang karena ia secara apik menangkap konflik antara prioritas bisnis, hak-hak asasi manusia dan perubahan iklim. Laporan itu menyusul sebuah kunjungan ke Kalimantan Timur oleh Deputi Kepala Misi Kedutaan di Jakarta dan sebuah tim dari Unit Perubahan Iklim (Climate Change Unit, CCU) yang didanai Inggris. Laporan itu memaparkan secara terbuka tentang dampak dari industri batu bara yang sangat besar di provinsi itu. “Tambang-tambang terbuka mengelilingi kota, bahkan berbatasan dengan jalan-jalan utama. Selama pertemuan antara Kedutaan dengan pemerintah provinsi, tim tersebut menyaksikan kapal-kapal tongkang batu bara yang sangat besar melintasi Sungai Mahakam setiap beberapa menit.”

Laporan itu menggambarkan dampaknya terhadap masyarakat:

“Sebagaimana terjadi pada banyak perekonomian yang mengandalkan sumber daya, masyarakat lokal bergelut untuk memperoleh manfaat dari lonjakan ekonomi tersebut. Hanya sekitar 5% dari populasi Kalimantan Timur yang dipekerjakan dalam sektor ekstraktif tersebut... Masyarakat asli Dayak tetap terpinggirkan, berjuang untuk pengakuan hak-hak tanah tradisional, sementara keturunan para petani pendatang yang asli Jawa telah terjepit. Tim tersebut bertemu dengan satu desa yang dikelilingi oleh tambang-tambang (yang dimiliki oleh walikota saat ini dan yang sebelumnya). Dengan terputusnya pasokan air mereka secara permanen, dan sedikitnya prospek terhadap rehabilitasi lahan, para penduduk desa menggambarkan bagaimana para tetangga dan kerabat telah diadu domba satu sama lain.”

Laporan itu juga menyebutkan dampak-dampak yang tak disengaja dari program desentralisasi Indonesia:

“Desentralisasi telah memajukan akuntabilitas lokal dan dapat mempromosikan satu generasi baru para pemimpin nasional yang reformis. Tetapi pengambilan keputusan yang dilimpahkan ke pemerintah lokal terhadap isu-isu seperti izin kehutanan dan pertambangan juga telah memberi insentif pada korupsi dan pengambilan keputusan yang buruk.”

Lalu laporan itu menunjuk pada ketidakkonsistenan dalam pendekatan pemerintah daerah dan nasional terhadap penggunaan sumber daya:

“Gubernur [Kalimantan Timur] Awang telah membuat pembangunan berkelanjutan sebagai sebuah prioritas, dengan menguatkan moratorium empat tahun dari Presiden Yudhoyono terhadap konsesi hutan dan izin pertambangan yang baru. Strategi hijau tingkat provinsi sudah siap sedia; sebelumnya pada tahun ini beliau mengumumkan satu tahun pelarangan terhadap perusakan hutan. Awang sedang bekerja sama secara erat dengan Unit Kerja Presiden, UKP4. Tetapi kemitraan antara Awang dan Yudhoyono menggambarkan kekuatan yang bertentangan yang sedang bermain. Hingga April tahun ini, Awang sedang menghadapi dakwaan korupsi terhadap keputusan-keputusan yang diambilnya sebagai pemimpin daerah yang mengawasi tambang KPC.[17] Dan baik dia maupun Yudhoyono sedang mempromosikan proyek-proyek infrastruktur utama di provinsi tersebut; sebuah pengembangan sawit 6 juta hektare baru saja diumumkan.”

Setelah menyajikan secara detail tantangan-tantangan yang sangat besar secara ekonomi, lingkungan hidup, lahan, tata kelola dan iklim, serta masalah-masalah yang dihadapi oleh para investor Inggris (yang mencakup BP, Rio Tinto, Churchill dan Bumi Resources yang bernasib buruk)[18], laporan FCO tersebut menjelaskan bagaimana proyek 4 tahun CCU itu ditujukan untuk mendukung “perbaikan tata kelola dari penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan dan kehutanan di Indonesia, termasuk di Kalimantan Timur.”

“Bekerja sama dengan UKP4[19] inisiatif Presiden Yudhoyono, pemerintah provinsi dan organisasi masyarakat sipil setempat, proyek itu bertujuan untuk meningkatkan ketaatan dan akuntabilitas dalam pemberian izin dan situasi penerbitan izin-izin penebangan kayu, perkebunan kelapa sawit dan industri pertambangan, melalui transparansi anggaran lokal, UU kebebasan informasi yang efektif dan dukungan bagi inisiatif-inisiatif antikorupsi.”[20]

Ini cukup masuk akal bagi sebuah unit perubahan iklim – jika gagasan umum dari meningkatnya ketaatan dan akuntabilitas adalah untuk mencegah lebih banyaknya izin dikeluarkan, karena ini akan membantu membatasi kerusakan terhadap hutan, dan dengan sendirinya iklim, di wilayah pertambangan batu bara yang merajalela dan pembangunan infrastruktur yang terkait.

Sebagaimana ditulis dalam laporan tersebut, konflik kepentingan dalam kebijakan Inggris terhadap Indonesia menjadi semakin tampak jelas:

“Sementara itu, kami terus mendorong perusahaan-perusahaan Inggris – yang secara historis lamban melakukan tindakan berisiko ke Indonesia, apalagi ke daerah pedalaman – untuk mengambil keuntungan dari infrastruktur dan peluang-peluang lain yang ditawarkan tempat-tempat seperti Kalimantan Timur. Pelimpahan wewenang telah menghasilkan sebuah gambaran kompleks di tingkat lokal dalam hal penguasaan lahan dan pengambilan keputusan. Tetapi laju pertumbuhan dan sejumlah besar proyek mega infrastruktur yang baru (termasuk sebuah pelabuhan peti kemas internasional di Balikpapan, beberapa bandara daerah baru, dan sebuah zona pelabuhan dan industri baru di Maloy) memberikan peluang nyata bagi para investor Inggris.”

Ini menimbulkan beberapa pertanyaan: apakah FCO mencoba mendorong lebih banyak investasi Inggris di suatu wilayah di Indonesia di mana perusahaan-perusahaan seperti Rio Tinto, BP dan Bumi telah melakukan sebegitu banyak kerusakan terhadap iklim dan sumber penghidupan masyarakat? Apakah FCO berpesan kepada para investor untuk tidak terlalu khawatir terhadap risiko korupsi karena CCU akan membantu memuluskan jalan untuk mereka dengan program perbaikan tata kelolanya? Apakah mendukung investasi Inggris dalam proyek-proyek infrastruktur di “daerah pedalaman” Indonesia tampaknya sesuai dengan tujuan dari Climate Change Unit untuk “mendukung orang-orang di komunitas terpencil untuk mempunyai pilihan dan kontrol terhadap pembangunan mereka sendiri dan untuk meminta para pembuat keputusan bertanggung jawab”?[21]

Jelaslah bahwa ada kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan dalam kebijakan Inggris terhadap Indonesia. Ini membutuhkan perhatian segera supaya prioritas bisnis yang dominan dari pemerintah Inggris saat ini tunduk pada penyelidikan yang lebih kuat dan sistem pengaman yang lebih ketat. Langkah ini perlu mengakui dan melindungi sepenuhnya hak-hak asasi manusia dari komunitas-komunitas rentan yang tinggal di wilayah-wilayah yang menjadi sasaran dari investasi, sejalan dengan kewajiban-kewajiban traktat hak-hak asasi internasional dari Inggris. Sistem pengaman juga dibutuhkan untuk memastikan intervensi Inggris di Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca, bukan meningkatkannya.

Konsensus yang meningkat tentang perlunya menghindari investasi di batu bara?

Pada November 2013, Inggris mengumumkan sebuah kebijakan baru untuk tidak lagi menempatkan dana publik dalam pembiayaan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara di negara-negara berkembang. “Sama sekali tidak masuk akal bila negara-negara seperti Inggris dan AS mengurangi karbon dalam sektor energi mereka sambil membiayai pembangkit listrik berbahan bakar batu bara untuk dibangun di negara-negara lain. Hal itu mengganggu upaya-upaya global untuk mencegah perubahan iklim yang berbahaya dan menyimpan bom waktu finansial di masa depan bagi negara-negara tersebut [di mana mereka dibangun], “kata Menteri Energi Inggris, Ed Davey dalam perundingan iklim antar pemerintah tahun lalu di Warsawa. Namun, sejak 2007, Inggris telah menyediakan sekitar $500 juta (£310 juta) untuk proyek-proyek batu bara, kebanyakan melalui sahamnya di bank-bank pembangunan seperti Bank Dunia, berdasarkan angka-angka yang diolah oleh lembaga Natural Resource Defense Council (NRDC) dari AS. AS telah menyediakan hampir $9 miliar selama periode yang sama, Jerman sekitar $6 miliar dan Jepang hampir $20 miliar. Sebuah survei oleh LSM AS Environmental Defense menemukan bahwa pada 2009 Indonesia adalah penerima tertinggi dari dana-dana publik (termasuk dana Kelompok Bank Dunia) untuk stasiun pembangkit listrik berbahan bakar batu bara.[22]

Langkah pemerintah Inggris, yang mengikuti pengumuman serupa dari AS dan Bank Dunia, telah disambut tetapi juga dikritik karena tidak bergerak cukup jauh. Ini karena pelarangan pendanaan tidak mencakup pembiayaan jaminan ekspor, yang terus menanggung pembiayaan perusahaan yang terlibat dalam penambangan batu bara (perjanjian kredit ekspor terakhir adalah dengan sebuah perusahaan yang memasok peralatan tambang batu bara ke Siberia).[23] Terlepas dari pengumuman Bank Dunia pada Juli 2013 bahwa mereka akan membatasi pinjaman batu bara hanya untuk 'keadaan yang sangat jarang', mereka terus menyokong (hingga mencapai jumlah USD33,9 juta) jaminan pemerintah untuk konstruksi Proyek Pembangkit Listrik Jawa Tengah, yang akan menjadi salah satu pembangkit listrik berbahan bakar batu bara terbesar di Asia Tenggara.[24]  

Baru-baru ini LSM Inggris, World Development Movement (WDM), menyambut langkah pemerintahnya tersebut, tetapi sekarang meminta pemerintah Inggris mengambil tindakan untuk membatasi pembiayaan swasta Inggris terhadap batu bara.

“Kebijakan pemerintah saat ini mengenai pembiayaan batu bara tidak konsisten. Menghentikan pendanaan publik terhadap batu bara dari luar negeri tanpa melakukan tindakan apapun terhadap pendanaan swasta tampaknya tidak akan punya dampak yang transformatif karena pendanaan publik untuk batu bara hanya bagian yang sangat kecil dari miliaran pound yang mengalir ke industri tersebut setiap tahun dari sektor swasta. Pemerintah Inggris telah menaruh sekitar £330 juta dari dana publik ke dalam stasiun pembangkit berbahan bakar batu bara dan penambangan batu bara sejak 2007, sementara bank-bank Inggris telah menaruh £12 miliar dana swasta hanya ke dalam pertambangan batu bara sejak 2005. Itu berarti bahwa perbankan Inggris telah menaruh sedikitnya 27 kali lebih banyak uang per tahun untuk batu bara ketimbang pemerintah Inggris.”

“Di seluruh dunia, di negara-negara seperti Indonesia dan Kolombia, penambangan batu bara menghancurkan lahan pertanian, mencemari pasokan air dan menggusur keseluruhan desa. Sektor perbankan swastalah, bukan pendanaan publik, yang membiayai lonjakan bisnis di batu bara ini.” [25]

Tahun lalu, menyusul sebuah kunjungan ke Kalimantan oleh WDM dan DTE, sebuah laporan WDM mengungkapkan bahwa, sejak 2009, bank-bank Inggris telah memberi lebih banyak pinjaman untuk batu bara Indonesia ketimbang perbankan dari negara manapun di seluruh dunia.[26] Sebelumnya, pada 2012, bersama dengan London Mining Network, dan menyadari efek perangsang bisnis tersebut dari pasar keuangan London, DTE menyerukan aturan yang lebih ketat tentang perusahaan pertambangan yang tercatat di Bursa Saham London, dengan menggarisbawahi kasus Bumi plc.[27] Lama kelamaan perusahaan-perusahaan pertambangan batu bara, seperti Bumi, kehilangan legitimasi mereka bahkan di mata komunitas investasi. Pada saat yang sama, organisasi masyarakat sipil terus meminta pemerintah Inggris untuk bertindak mengurangi investasi Inggris di batu bara, memberlakukan kontrol kredit hijau, mewajibkan pelaporan wajib terhadap emisi karbon yang dibiayai dan memastikan kriteria dan regulasi yang lebih ketat terhadap perusahaan-perusahaan yang tercatat di Bursa Saham London. (Lihat juga artikel terpisah tentang permintaan LMN agar parlemen Inggris melakukan penyelidikan mengenai industri ekstraktif).[28]

Dalam beberapa bulan terakhir, serangkaian laporan telah dipublikasikan dengan fokus pada investasi dan ekonomi industri batu bara Indonesia, dengan menyoroti banyak hal yang tidak konsisten sebagaimana disebutkan di sini. Para investor sendiri semakin terpapar pada kenyataan-kenyataan ini, biaya-biaya sebenarnya dan, yang paling penting, dampak-dampak dari pengoperasian pertambangan itu sendiri.[29]

File 605

Tambang batubara seluas mata memandang, tambang KPC/Bumi Resources, Kalimantan Timur: hanya tunggul pohon yang tersisa dari hutan. (DTE)

 

 

 

 

 

 

 

 

MP3EI, jalur kereta api batu bara Kalimantan dan kepentingan batu bara Inggris

Demam batu bara Kalimantan, yang begitu menghancurkan bagi masyarakat, lahan pertanian, hutan, lahan gambut dan iklim, secara dramatis akan semakin intensif jika rancangan utama rencana induk ekonomi Indonesia, MP3EI, diimplementasikan. MP3EI adalah rencana tingkat nasional, yang dipublikasikan oleh Menteri Koordinasi Bidang Perekonomian pada 2011, yang ditujukan untuk mempercepat pembangunan di Indonesia.[30]

Rencana tersebut membagi nusantara menjadi 6 koridor utama, masing-masing dengan fokus ekonomi yang berbeda. Kalimantan telah ditetapkan sebagai ‘Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Tambang & Lumbung Energi Nasional’, dan strategi umum untuk industri batu bara adalah “untuk mendorong kegiatan ekstraksi cadangan besar batu bara yang terletak di wilayah pedalaman Kalimantan, disertai penyiapan infrastruktur dan regulasi yang mendukung seraya tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.”[31]

'Infrastruktur yang memadai' ini mencakup pembangunan jalur kereta api khusus untuk mengangkut batu bara dari wilayah yang kaya batu bara seperti Kabupaten Murung Raya di Kalimantan Tengah – lokasi dari proyek batu bara Indomet yang direncanakan oleh BHP Billiton – ke sungai-sungai atau pelabuhan-pelabuhan di pesisir pantai. Itu berarti membuka wilayah yang sebelumnya tidak dapat diakses untuk eksploitasi berskala besar, yang memungkinkan perusahaan-perusahaan tambang batu bara mengangkut batu bara secara jauh lebih cepat dan dengan biaya yang jauh lebih rendah ketimbang melalui jalan raya. MP3EI mengutip data mengenai produksi batu bara pada 2009 yang menyatakan bahwa produksi akan meningkat 6,7 kali lipat bahkan jika perbaikan infrastruktur diterapkan di Kalimantan Tengah belaka (lihat angka, diambil dari MP3EI).

Proyek jalur kereta api yang tercatat di dalam dokumen MP3EI adalah dari Kalimantan Tengah menuju Kalimantan Timur, Puruk Cahu - Tanjung Isuy (203 km) dan Puruk Cahu - Bangkuang (185 km, keduanya di Kalimantan Tengah), dimana kedua proyek itu dijadwalkan akan dimulai pada 2015.

Rencana-rencana yang lebih baru yang diajukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pada 2012 mencakup perpanjangan proyek Puruk Cahu – Bangkuang hingga ke Lupak Dalam (di pesisir Kalimantan Tengah) untuk “membantu provinsi tersebut mengangkut lebih banyak lagi batu bara”(20 juta ton per tahun).[32] Direktur kereta api dari Kementerian Perhubungan telah menguraikan secara singkat 10 proyek jalur kereta api di Kalimantan, yang semuanya adalah bagian dari Rencana Induk Jalur Kereta Api Trans Kalimantan, dan membutuhkan investasi total sejumlah sekitar Rp600 trilyun ($62,4 miliar). Perusahaan Jalur Kereta Api Rusia milik negara Rusia sedang membangun sebuah jalur kereta api batu bara di Kalimantan Timur, sedangkan fase kedua dari proyek tersebut direncanakan akan menghubungkan Kalimantan Timur dan Tengah (sebagaimana disebutkan di atas). Sebuah proyek jalur kereta api batu bara terpisah yang menyambungkan Muara Wahau ke pelabuhan Lubuk Tutung di Kalimantan Timur akan dibangun oleh Middle East Coal Holdings dari Uni Emirat Arab, katanya.[33]

Proyek-proyek ini dan dampak-dampak negatif yang parah yang akan ditimbulkan semakin mengkhawatirkan bagi masyarakat yang terkena dampaknya dan OMS yang membela kepentingan mereka. Sebuah koalisi dari dua belas organisasi saat ini menentang proyek Kalimantan Tengah tersebut, dengan menyatakan bahwa itu akan mengakibatkan kerusakan secara ekologis.[34] Nordin, direktur eksekutif dari salah satu kelompok itu, Save Our Borneo, menyerukan agar rencana proyek itu dibatalkan, dengan mengatakan bahwa itu akan mengakibatkan “eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam di Kalimantan Tengah dan tidak akan menjamin keadilan energi bagi masyarakat.”[35] Di Kalimantan Timur, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim juga menentang proyek jalur kereta api ini, yang, kata mereka, akan menguntungkan para investor asing tetapi tidak memberi apa-apa bagi masyarakat. Di tingkat yang lebih luas, para OMS Indonesia sedang menyuarakan kekhawatiran yang serius tentang dampak-dampak dari MP3EI di seluruh negeri, dengan menunjukkan bahwa fokusnya pada proyek-proyek berskala besar akan memperburuk konflik-konflik terhadap lahan dan sumber daya. Proyek-proyek MP3EI saat ini didorong maju, kata mereka, sedangkan pemerintah tidak mengambil tindakan untuk melindungi masyarakat di lapangan, dan, dalam hal masyarakat adat, tidak menerapkan keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengeluarkan hutan adat milik masyarakat adat dari kekuasaan negara (lihat artikel terpisah).

Perusahaan-perusahaan tambang batu bara berbasis Inggris, seperti BHP Billiton, sangat besar kemungkinannya mengambil keuntungan dari proyek-proyek jalur kereta api ini, meskipun mereka tidak ingin terlalu dikaitkan secara terbuka dengan berbagai inisiatif yang akan memicu lebih banyak lagi eksploitasi batu bara di Kalimantan dengan dampak-dampak yang parah bagi masyarakat lokal.[36] Pada pertemuan umum tahunan perusahaan yang baru lalu di London, DTE menantang dewan perusahaan dengan pertanyaan tersebut. Kepala BHP Billiton Jac Nasser mengatakan perusahaan tersebut tidak melanjutkan penyelidikan atau pembangunan fasilitas jalur kereta api. Namun beliau menghindari memberikan jaminan secara terbuka untuk tidak menambang dan tidak menggunakan jalur kereta api tersebut. [37]

Agak ironis bahwa BHP Billiton – salah satu pengekspor batu bara terbesar dunia – merasa perlu untuk tidak menganggap penting proyek jalur batu bara Kalimantan di pertemuan umum tahunannya, sementara dana publik Inggris digunakan untuk menyoroti peluang-peluang investasi secara khusus dalam pembangunan infrastruktur jenis ini serta sektor-sektor lainnya yang menghalangi akses masyarakat terhadap lahan dan sumber daya mereka. Hal ini memaparkan lebih jauh tentang betapa tidak terpadunya prioritas-prioritas Inggris mengenai perubahan iklim, hak-hak asasi manusia dan bisnis di Indonesia.



[2]       UKTI, Berbisnis di Indonesia: Sebuah Perspektif Bisnis Inggris’, Juli 2010, halaman 23, dapat diunduh dari http://www.ukti.gov.uk/export/countries/asiapacific/southeastasia/indonesia/doingbusiness.html, diakses pada 25/Feb/2014. Lihat juga UKTI Berbisnis di Indonesia, November 2010, dapat diunduh dari laman yang sama, yang memberikan lebih banyak detail tentang peluang-peluang di beberapa sektor, termasuk jalur kereta (termasuk untuk sektor pertambangan), pembangkit listrik, minyak & gas dan pertambangan, serta energi terbarukan.

[3]  Sekarang berganti nama menjadi ‘Asia Resource Mineral’ dalam sebuah upaya untuk menjaga jarak dari skandal-skandal yang melanda perusahaan.

[4]  Lihat kampanye batu bara di laman DTE untuk informasi lebih lanjut. http://www.downtoearth-indonesia.org/id/campaign/coal

[5]  Lihat di laman Perdagangan dan Investasi Inggris, “Indonesia”, di http://www.ukti.gov.uk/export/countries/asiapacific/southeastasia/indonesia.html, diakses pada 25/Feb/2014

[6]  Meningkatkan bisnis dengan Indonesia, pemerintah Inggris, https://www.gov.uk/government/priority/improving-business-with-indonesia, diakses pada 25/Feb/2014.

[7]  Lihat ’David Cameron menyerukan penjualan senjata Inggris ke Indonesia’, The Guardian 11/Apr/2012, http://www.theguardian.com/politics/2012/apr/11/david-cameron-trade-mission-indonesia. Lihat latar belakang lebih lanjut tentang penjualan senjata Inggris ke Indonesia dan kaitannya terhadap utang luar negeri Indonesia, lihat DTE 64, 2005 di http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/hutang-najis-indonesia-kepada-inggris-untuk-pembelian-senjata

[8]  “Saya bertekad melakukan semampu saya untuk memastikan bahwa Inggris berhasil dalam perlombaan global dan untuk menghubungkan bisnis Inggris ke perekonomian yang paling cepat tumbuh di dunia...” Perdana Menteri David Cameron, Februari 2013. Lihat: http://www.tvetuk.org/wp-content/uploads/UKTI-High-growth-and-emerging-markets-bulletin-April-2013.pdf. Lihat juga: http://www.bbc.co.uk/news/uk-politics-20304800

[9] Lihat ‘Demokrasi menandai lawatan SBY ke Inggris’, DTE, http://www.downtoearth-indonesia.org/story/demonstration-mark-visit-president-sby-uk

[10] Pemerintah Indonesia Menyetujui Rencana Pengembangan Lebih Lanjut untuk Perluasan Tangguh LNG, BP, 31/Okt/2012. http://www.bp.com/en/global/corporate/press/press-releases/indonesian-government-approves-plan-of-further-development-for-expansion-of-tangguh-lng.html. Untuk informasi lebih lanjut tentang proyek Tangguh dan perspektif masyarakat, lihat http://www.downtoearth-indonesia.org/id/campaign/bp-tangguh

[11]    Angka-angka aliran investasi neto yang diberikan oleh Kantor Statistik Nasional Inggris sedikit berbeda dari angka Bank Indonesia, lihat http://www.ons.gov.uk/ons/dcp171778_343719.pdf

[12]  Lihat tabel: V33: Investasi Langsung di Indonesia Menurut Negara Asal, dapat diakses via http://www.bi.go.id/id/statistik/seki/terkini/eksternal/Contents/Default.aspx, diakses pada 25/Feb/2014.

[13]  Lihat tabel: V33: Investasi Langsung di Indonesia Menurut Negara Asal, ibid.

[14]     Meningkatkan bisnis dengan Indonesia, pemerintah Inggris, https://www.gov.uk/government/priority/improving-business-with-indonesia, diakses pada 25/Feb/2014. Informasi lebih banyak tentang layanan yang ditawarkan ada di halaman 27 di Brosur Berbisnis di Indonesia: Sebuah Perspektif Bisnis Inggris, Juli 2010, satu dari dua pedoman dengan format PDF dapat diunduh dari http://www.ukti.gov.uk/export/countries/asiapacific/southeastasia/indonesia/doingbusiness.html

[16] Pada Maret 2014, sebuah lokakarya internasional tentang deforestasi dan hak-hak masyarakat hutan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah mengeluarkan sebuah deklarasi mengenai hal ini: http://www.forestpeoples.org/topics/climate-forests/news/2014/03/palangka-raya-declaration-deforestation-and-rights-forest-people

[17] Sebagaimana telah kami dokumentasikan, perusahaan-perusahaan Inggris telah memainkan sebuah peran penting dalam mengembangkan dan mengelola tambang yang sangat merusak ini. Lihat DTE 85-86, Agustus 2010, untuk latar belakang lebih jauh. http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/korupsi-kolusi-dan-nepotisme

[18]  Laman DTE untuk latar belakang lebih jauh. 

[19]  Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, juga dikenal sebagai UKP4, dipimpin oleh Kuntoro Mangkusubroto. UKP4 juga memimpin pengembangan Kebijakan Satu Peta di Indonesia – lihat DTE 93-94, Desember 2012.  http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/kebijakan-satu-peta-one-map-policy-di-indonesia

[22]  Lihat Environmental Defense, www.edf.org/documents/9584_coal-plants-spreadsheet.xls dan ‘Hubungan batubara Inggris-Indonesia’ dalam buletin edisi khusus DTE (no 85-86, Agustus 2010) http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/hubungan-batubara-inggris-indonesia.

[23]  Lihat http://oneworld.org/2013/11/20/british-coal-pledge-not-worth-the-paper-its-written-on/, laporan 2012-2013 dari lembaga Pembiayaan Ekspor Inggris ada di https://www.gov.uk/government/uploads/sistem/uploads/attachment_data/file/207721/ecgd-ukef-annual-report-and-accounts-2012-to-2013.pdf. Pembiayaan ekspor Inggris bagi perusahaan yang menjual barang ke Indonesia dalam periode tersebut adalah untuk produk-produk yang dijual ke kepolisian Indonesia (peralatan penjinak bom), Kementerian Pertahanan (peralatan intelijen) dan peralatan kontrol pencemaran untuk sebuah perusahaan rekayasa dan konstruksi Korea Selatan (GS E&C Corp).

[25]  Mengendalikan pembiayaan swasta Inggris terhadap batu bara, Arahan Anggota Parlemen, Januari 2014. WDM http://www.wdm.org.uk/sites/default/files/Mp%20briefing%20on%20coal%20jan%202014_0.pdf

[26]  Scrivener A J (2013), Mendanai sambil Membakar Kalimantan: Bagaimana sektor keuangan Inggris mendukung pembiayaan lonjakan bahan bakar fosil. World Development Movement. September 2013. www.wdm.org.uk/sites/default/files/banking_while_borneo_burns.pdf

[29]  Laporan Banktrack tentang investasi perbankan di batu bara: http://www.banktrack.org/download/banking_on_coal/banking_on_coal_4_67_6.pdf. Laporan Greenpeace tentang efek industri batu bara terhadap perekonomian Indonesia (dalam bahasa Indonesia dan Inggris): http://www.greenpeace.org/seasia/id/press/reports/Bagaimana-pertambangan-batubara-melukai-perekonomian-Indonesia/

[30]  Lihat Rencana-rencana Besar untuk Papua, DTE 91-92, Mei 2012, http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/rencana-besar-untuk-papua. Versi bahasa Inggris dari MP3EI lihat: http://www.ristek.go.id/file/upload/ebook_web/mp3e1/MP3EI_versi%20Ind.pdf

[31]  MP3EI (versi bahasa Inggris), 2011, halaman 102.

[32]   “Central Kalimantan’s $2.8bn coal railway to kick off early next year” (Jalur kereta api batu bara USD 2,8 miliar di Kalimantan Tengah akan dimulai awal tahun depan),  Jakarta Post 14/Nov/2012

[33]   “Central Kalimantan’s $2.8bn coal railway to kick off early next year” (Jalur kereta batu bara USD 2,8 miliar di Kalimantan Tengah akan dimulai awal tahun depan),  Jakarta Post 14/Nov/2012

[34]    Versi bahasa Inggris dari pernyataan masyarakat sipil, lihat: http://www.minesandcommunities.org/article.php?a=12455

[35]   ‘Coal railway could cause 'ecological disaster' in Indonesian Borneo, warn environmentalists’ (Jalur kereta batu bara dapat mengakibatkan ‘bencana ekologi’ di Kalimantan, aktivis lingkungan memperingatkan), Diana Parker, Mongabay, 30/Sep/13.

[36]  Untuk penjelasan secara keseluruhan tentang keterlibatan sektor swasta Inggris dalam pertambangan batu bara di Kalimantan, lihat: http://www.theguardian.com/global-development/2013/oct/30/coal-mining-uk-profits-indonesia

[37]  Lihat laporan LMN tentang pertemuan umum tahunan BHP Billiton, London, 5/Nov/2013, di http://www.downtoearth-indonesia.org/story/lmn-report-bhp-billiton-agm-london