Rencana Besar untuk Papua

Pembangunan jalan di hutan Papua Barat tahun 2011 (Foto: DTE)

DTE 91-92, Mei 2012

Dalam edisi khusus buletin  kami tentang Papua yang terbit pada bulan November 2011, DTE telah memaparkan sejarah panjang dan kelam tentang eksploitasi sumber daya dengan pendekatan dari atas ke bawah (top-down) di Papua. Saat ini, serangkaian rencana pembangunan baru tengah disorongkan, di bawah upaya pemerintah mencakup seluruh Indonesia untuk mempercepat pembangunan (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)) yang diluncurkan tahun lalu. Serangkaian rencana tambahan khusus untuk Papua kini dipromosikan oleh Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B), yaitu sebuah unit khusus untuk percepatan pembangunan di Tanah Papua. Pemerintah berharap bahwa UP4B akan berhasil tidak seperti  Otonomi Khusus yang gagal dan menyepelekan seruan untuk menangani masalah status politik Papua. Namun dengan masih berlanjutnya kekerasan yang dilakukan negara dan tekanan politik berarti dalam keadaan sekarang ini misi itu sulit mencapai keberhasilan.

MP3EI

Keseluruhan rencana tingkat nasional untuk mempercepat pembangunan di Indonesia disebut sebagai MP3EI - Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Dokumen besar ini, yang diterbitkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris pada bulan Mei 2011,  mengetengahkan tiga tahapan periode rencana untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025. Tujuannya adalah agar pada saat itu Indonesia bisa berada di  peringkat ke-9 perekonomian  terbesar di dunia. Landasan rencana ini adalah percepatan pertumbuhan ekonomi yang menitikberatkan investasi sektor swasta dan meningkatkan iklim investasi dengan memperbaiki atau menghapus peraturan-peraturan yang dapat menghambat proyek.

Dua puluh dua  kegiatan ekonomi yang dianggap berpotensi tinggi untuk pertumbuhan dijadikan target perhatian khusus dalam dalam delapan program utama, yaitu: pertanian, pertambangan, energi, industri, kelautan, pariwisata, telekomunikasi, dan pengembangan kawasan strategis. Beberapa di antara 22 kegiatan ekonomi potensial yang tercatat adalah bauksit, tembaga, nikel, batubara, minyak dan gas, kayu, kelapa sawit, kakao, karet, pertanian pangan, pariwisata, peralatan pertahanan dan baja.

Rencana ini membagi Indonesia menjadi enam target koridor sesuai dengan karakter masing-masing, namun pada beberapa kasus dapat terjadi tumpang tindih fokus ekonomi. Koridor yang dimaksud adalah:

  • Sumatra sebagai “Sentra produksi dan pengolahan hasil bumi, dan lumbung energi nasional”
  • Jawa sebagai “Pendorong industri dan jasa nasional”
  • Kalimantan sebagai “Pusat produksi dan pengolahan hasil tambang dan lumbung energi nasional”
  • Sulawesi sebagai “Pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, minyak dan gas, dan pertambangan nasional”
  • Bali – Nusa Tenggara sebagai “Pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional”
  • Papua – Maluku sebagai “Pusat pengembangan pangan, perikanan, energi, dan pertambangan nasional”

Pertumbuhan tahunan PDB nasional dengan penerapan MP3EI diharapkan menjadi sekitar 12,7% secara nasional, dengan pertumbuhan wilayah dalam koridor sebesar 12,9%, serta mengurangi dominasi  Jawa di perekonomian Indonesia. Tambahan pembangkit energi listrik yang dibutuhkan untuk melaksanakan rencana ini diproyeksikan sekitar 90.000 MW pada tahun 2025 dan nilai total investasi diidentifikasi sebesar  4.012 triliun rupiah (USD437 miliar). Kontribusi pemerintah adalah sekitar 10% dari total biaya ini dalam bentuk penyediaan infrastruktur dasar, sementara sisanya akan disediakan oleh BUMN, sektor swasta, serta melalui mekanisme kerja sama pemerintah swasta/KPS (Public Private Partnership/PPP).

MP3EI di Papua

Investasi sebesar Rp622 triliun ditujukan untuk Papua-Maluku dalam MP3EI, dengan sebagian besar dana yang diperlukan ini berasal dari sektor swasta. Tujuh pusat ekonomi yang diidentifikasi di koridor Papua-Maluku adalah: Sofifi dan Ambon di provinsi Maluku dan Maluku Utara; serta Sorong, Manokwari, Timika, Jayapura, dan Merauke di provinsi Papua Barat dan Papua. Proyek Lumbung Pangan dan Energi Terpadu Merauke (Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE)) diidentifikasi sebagai salah satu  kegiatan ekonomi utama, selain tembaga (Timika), nikel (Halmahera), minyak dan gas (Sorong dan Teluk Bintuni), dan perikanan (Morotai, Maluku Utara, dan Ambon, Maluku).

Beberapa tantangan yang telah diidentifikasi oleh MP3EI adalah tingkat Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) yang rendah (walaupun laju pertumbuhannya lebih tinggi dari pertumbuhan rata-rata); kesenjangan tinggi di wilayah tersebut; tingkat investasi rendah, produktivitas sektor pertanian belum optimal (karena fasilitas irigasi yang terbatas), infrastruktur pendukung pembangunan tidak memadai, mobilitas populasi rendah, dan (terutama di Papua) jumlah penduduk rendah.

Infrastruktur lintas-sektor yang diperlukan untuk mendukung rencana-rencana ini  termasuk pembangunan jalan Trans-Papua, perbaikan dan perluasan bandar udara dan pelabuhan laut, pembangunan pembangkit listrik tenaga batubara  di Timika dan Jayapura (serta masing-masing satu di Maluku dan Maluku Utara), pembangkit listrik tenaga panas bumi di tujuh lokasi, dan dukungan jaringan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).

Walaupun kawasan Mamberamo pada tahun 1990-an ditargetkan sebagai pusat pengembangan agro-industri, kawasan ini tidak merupakan area fokus MP3EI. Tapi MP3EI memang mencatat  potensi tinggi kawasan ini untuk membangun pembangkit listrik. MP3EI menganjurkan pemerintah untuk melakukan studi kelayakan atas aktivitas pembangunan agar dapat mempromosikan kawasan tersebut kepada para investor potensial. [1]

 

File 303MIFEE

Salah satu proyek utama MP3EI adalah proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di bagian selatan Papua  – sebuah skema raksasa yang membuka lahan dan merusak penghidupan tradisional masyarakat adat Malind beserta kelompok-kelompok adat lainnya di bagian selatan Papua .[2]

Menurut MP3EI, MIFEE akan mencakup area sebesar 1,2 juta hektare, dan terdiri dari 10 klaster  Sentra Produksi Pertanian (KSPP).[3] Prioritas pengembangan jangka pendek (2011-2014) adalah mengembangkan klaster I - IV,  yang meliputi area seluas 228.023 ha, di Greater Merauke, Kali Kumb, Yeinan, dan Bian. Prioritas jangka menengah (2015 - 2019), area-area  untuk sentra produksi pertanian pangan, hortikultura, peternakan, perkebunan, dan budi daya air  akan dikembangkan di Okaba, Ilwayab, Tubang, dan Tabonji. Jangka panjang (2020-2030),  area produksi pusat untuk tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perikanan, dan perkebunan yang akan dikembangkan di Nakias and Selil. Tanaman pangan terdiri dari beras, jagung, kacang kedelai, sorgum, gandum, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Hewan ternak akan terdiri dari ayam, hewan ternak, kambing, dan kelinci. Tebu, karet, dan kelapa sawit adalah tanaman non-pangan yang diidentifikasi akan dikembangkan dalam skema tersebut.

Rencana pengembangan infrastruktur yang dikaitkan dengan MIFEE terdiri dari pembangunan pelabuhan, infrastruktur air dan reklamasi rawa, jalan dan jembatan, pabrik pupuk organik dan proyek ammonia-urea di Tangguh (lihat kotak, di bawah); dan pembangkit listrik biomassa di Merauke dan Tanah Miring.

Tembaga, minyak, dan gas

MP3EI mencanangkan peningkatan produksi tembaga, minyak, dan gas di Papua, serta meningkatkan nilainya melalui industri pengolahan hilir. Tiga pengolahan tembaga (smelter) baru akan dibangun di Indonesia, satu di antaranya adalah di Timika di  lokasi pertambangan tembaga dan emas Freeport-Rio Tinto, untuk menambah pengolahan tembaga yang saat ini sudah ada di Gresik, Jawa Timur. Pengembangan kawasan industri tembaga di Timika sudah direncanakan, bersama dengan pembangkit listrik, perbaikan  jalan dan pelabuhan serta perubahan peraturan perundang-undangan untuk mendukung pengembangan. Eksplorasi minyak dan gas akan ditingkatkan dengan  akses yang diperbaiki untuk  para investor. Ini termasuk   penerapan ‘layanan satu pintu/layanan terpadu dalam bidang perizinan dan produksi eksplorasi untuk mempercepat penuntasan isu-isu lintas sektoral (seperti persoalan tumpang-tindih lahan dan dampak lingkungan) dan dengan cara yang terintegrasi’.

Infrastruktur pendukung yang disebutkan dalam MP3EI untuk lokasi proyek Tangguh yang dioperasikan oleh BP di Bintuni terdiri dari pipa-pipa transmisi dan pengembangan jaringan distribusi (lihat juga kotak di bawah tentang hubungan ke MIFEE).

Bagaimana dengan masyarakat, lingkungan dan perubahan iklim?

Masalah keberlanjutan sosial dan lingkungan hampir tidak disinggung dalam  rencana ini. Walaupun ada asumsi bahwa pengembangan ekonomi akan menguntungkan masyarakat Indonesia secara keseluruhan, tidak disebutkan bahwa harus ada pengaman (safeguards) bagi komunitas-komunitas lokal yang lahan dan sumber dayanya akan digunakan dalam daftar panjang  proyek-proyek pembangunan itu. Ini mungkin mencerminkan cara  pengkonsepan MP3EI  yang hanya dilakukan oleh pemerintah dan sektor swasta, tanpa partisipasi masyarakat sipil atau pemangku kepentingan lainnya.

Menjelang bagian akhir dokumen MP3EI, ada sebuah bagian tentang undang-undang dan regulasi yang memerlukan amendemen  untuk mempercepat pembangunan. Di bagian ini ada sejumlah pengakuan tentang masalah di lahan-lahan sekitar, klaim penggunaan lahan yang tumpang tindih dan tanah adat/tanah ulayat milik masyarakat adat. Pada bagian teratas daftar ini tertulis “Perlu pengkajian ulang atas undang-undang dan peraturan pemerintah yang berkaitan dengan diterapkannya tanah ulayat sebagai bagian dari komponen investasi yang memberi peluang kepada pemilik tanah ulayat  mendapatkan keuntungan ekonomi yang lebih tinggi.” Kajian ini dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kementerian Kehutanan (Kemhut), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) dengan target penyelesaian pada tahun 2011. Dokumen ini juga menyebutkan bahwa  rencana tata ruang wilayah harus disahkan pada akhir tahun 2011 sebagai landasan dalam penyelesaian potensi konflik lahan dalam hutan, perkebunan, dan lokasi-lokasi pertambangan.

Walaupun hal ini berarti mengakui adanya masalah sampai  tingkat tertentu, penyelesaiannya tampaknya hanya dimaksudkan untuk memuluskan jalan lebih banyak  investasi dengan memastikan para pemangku kepentingan, termasuk pemilik hak tanah ulayat, untuk lebih diuntungkan dari sebelumnya. Jadi,  model pembangunan tersebut hanya mementingkan investasi – dengan memprioritaskan kebutuhan dunia usaha –  bukannya berfokus pada masyarakat, yang akan mementingkan kebutuhan komunitas dalam mencapai pembangunan yang efektif dan berkelanjutan baik secara sosial maupun lingkungan. Pendekatan yang berfokus pada masyarakat akan lebih mempertimbangkan kepentingan masyarakat adat untuk melaksanakan hak mereka atas kesepakatan dengan informasi awal tanpa paksaan (Padiatapa/FPIC) sebelum menyetujui melanjutkan  proyek investasi apa pun, namun MP3EI tidak menyebutkan tentang FPIC tersebut.

Prioritas terhadap kepentingan dunia usaha sangat nyata dalam penjelasan tentang proyek MIFEE dalam MP3EI. Di situ, rencana  tersebut menyatakan perlu ada percepatan dalam proses konversi lahan hutan menjadi areal tanaman pangan  dan perlunya ‘sosialisasi’ kepada masyarakat lokal tentang pelaksanaan dan keuntungan dari program MIFEE ini bagi kesejahteraan komunitas. Bahasa semacam ini menunjukkan bahwa tidak banyak kemajuan dari semenjak zaman Suharto, saat berbagai komunitas juga diinformasikan tentang keuntungan dipakainya lahan mereka untuk konsesi produksi kayu, proyek pertambangan dan lokasi-lokasi transmigrasi. Seperti yang saat ini terjadi di areal proyek MIFEE, kegagalan menghormati hak-hak masyarakat adat yang terkena dampak walaupun  telah dijamin secara internasional menyebabkan adanya pemaksaan dan praktik manipulasi untuk mendapatkan sertifikat yang menyatakan bahwa  masyarakat adat telah menyerahkan tanahnya; meningkatnya konflik dan kekerasan antarsuku; dan pembukaan hutan yang merupakan sumber penghidupan suku Malind dan komunitas masyarakat adat lainnya.[4] (Lihat kotak untuk sumber informasi lebih lanjut tentang MIFEE.)

Mengenai masalah  perubahan iklim, MP3EI juga memperlihatkan ketidakpedulian yang sama mengenai dampak sosialnya. Rencana Aksi Nasional pemerintah untuk  Gas Rumah Kaca (RAN-GRK)  adalah salah satu dari elemen perencanaan dan peraturan yang ditetapkan sebagai bagian dari proses perencanaan pembangunan nasional yang terpadu  yang memasukkan  MP3EI di dalamnya. Namun tidak ada indikasi bagaimana rencana ambisius untuk pertambangan, ekploitasi minyak dan gas, dan industri berat akan berdampak terhadap tingkat emisi gas rumah kaca. Sama halnya juga, tidak ada informasi mengenai  dampak pembukaan hutan untuk perkebunan dan pertanian terhadap emisi CO2. Perubahan iklim hanya digambarkan secara singkat sebagai salah satu tantangan yang dihadapi Indonesia, tapi selebihnya tidak dipedulikan dalam dokumen itu.  Pada bagian tentang perkayuan, yang merupakan kegiatan utama di koridor Kalimantan, fokus berada pada pengembangan hutan buatan untuk produksi kayu bulat dan kayu lainnya, seperti produk dari rotan dan bambu, sementara juga menyebutkan bahwa hutan alami akan digunakan untuk tujuan non-kayu, termasuk REDD.[5] Akan tetapi,  penekanannya jelas  untuk meningkatkan produksi kayu bulat, kayu lapis, dan produk lain yang mengeksploitasi “... area berpotensi besar untuk pengembangan industri perkayuan, dengan memperluas  nilai ekonomi dari produksi hutan yang belum tersentuh …”.[6]

UP4B

UP4B atau Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dibentuk pada bulan September 2011 melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 66/2011. Unit ini dipimpin oleh Bambang Darmono, mantan komandan militer di Aceh dan melapor langsung kepada Presiden.

Periode mandat UP4B adalah dari tahun 2011- sampai 2014.Tugas mereka termasuk memastikan penerapan ‘Rencana Aksi Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat’. Perpres No. 66/2011 menyatakan bahwa percepatan pembangunan perlu dilakukan melalui kebijakan sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya, yang disebutkan terakhir ini termasuk juga membangun “komunikasi konstruktif” antara pemerintah dan rakyat di provinsi Papua dan Papua Barat. Komunikasi ini, kemudian,  dilakukan melalui “pemetaan dan pengelolaan sumber persoalan dalam politik, penegakan hukum, dan hak asasi manusia.” Bahasa yang dipakai di sini mengindikasikan bahwa misi UP4B membuka untuk adanya diskusi tentang penyebab keresahan politik di kalangan orang Papua, walau lingkup diskusi semacam itu (seperti, apakah dapat menyertakan seruan untuk diadakannya referendum bagi penentuan status politik Papua di masa yang akan datang) tidak dijabarkan.

Sebagaimana yang tercantum pada bagian pendahuluan, Rencana Aksi Percepatan (yang dipilih dari Rencana Aksi Lengkap[7]), dengan program strategi cepat, bertujuan meningkatkan lahan pekerjaan dan mendorong pertumbuhan kegiatan ekonomi baru yang berpotensi mempercepat pertumbuhan ekonomi regional. Kegiatan-kegiatan ini harus pada skala yang dapat dipikul oleh kapasitas tampung lingkungan, dan harus mengkonsolidasikan peran pemerintah, BUMN dan sektor swasta. Rencana ini terdiri dari 7 kategori:

  • Ketahanan pangan (peternakan babi di Area Dataran Tinggi Tengah, provinsi Papua, dan ternak di kabupaten Bomberai dan Kebar, provinsi Papua Barat);
  • Penanggulangan kemiskinan (meningkatkan modal Usaha Kecil dan Menengah (UKM) untuk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, ternak dan industri desa lain melalui inisiatif pemerintah);
  • Pengembangan industri desa (pemrosesan sagu);
  • Perbaikan pendidikan (pendidikan gratis hingga sekolah menengah atas, untuk menjangkau seluruh kabupaten dan desa di provinsi Papua dan Papua Barat);
  • Peningkatan pelayanan kesehatan (menerapkan pelayanan kesehatan gratis untuk menjangkau seluruh kabupaten, seperti disebutkan di atas);
  • Pengembangan infrastruktur dasar (penyediaan energi yang terbarukan– mikrohidro dan tenaga surya; pembangkit tenaga listrik berbasis batubara di Jayapura dan Mimika (34 MW); pabrik semen di Timika dan Manokwari. Kegiatan di Timika akan didanai oleh perusahaan pertambangan Freeport sebagai bagian dari program CSR mereka).
  • Tindakan afirmatif untuk masyarakat adat Papua (jatah untuk murid berprestasi untuk kuliah di universitas terbaik di luar Papua; jatah keanggotaan angkatan bersenjata dan polisi, jatah untuk mendapat tempat di akademi-akademi militer dan  polisi;  jatah untuk posisi di sekolah-sekolah kebidanan dan  perawat; mendirikan pusat pelatihan pegawai negeri di Sorong, dan akademi pelatihan guru di provinsi Papua dan Papua Barat).

Partisipasi komunitas dibatasi dalam memberikan masukan terhadap rencana tahunan dan berpartisipasi dalam pelaksanaan Rencana Aksi, serta pemantauan dan pengawasan.

Rencana ini mengikuti wilayah strategis yang diidentifikasi dalam MP3EI sebagai ‘koridor Papua-Maluku’. Rencana ini menyatakan bahwa fokus MP3EI pada ekonomi, dan khususnya investasi,  akan disinergikan dengan Rencana Aksi UP4B dengan penekanannya pada kebijakan pembangunan sosial ekonomi, dan sosial politik serta sosial budaya. Rencana Aksi Percepatan mengandung sebuah daftar panjang proyek yang akan dilaksanakan pada periode 2011/2012 tapi tidak memasukkan perubahan peraturan atau kebijakan yang menurut Rencana itu diperlukan untuk mendukung investasi di kedua provinsi tersebut. Perpres No. 66/2011 malah hanya menyatakan bahwa UP4B akan mengembangkan kapasitas pemerintah daerah dalam merancang peraturan daerah.

Konflik Terus Berlangsung

Penindasan menggunakan kekerasan terhadap para pembangkang politik terus berlanjut sejak dilangsungkannya Kongres Masyarakat Papua ke-3 di Abepura pada bulan Oktober lalu (lihat DTE 89-90). Pasukan Indonesia telah menjalankan beberapa operasi  “penyapuan” di DataranTinggi Tengah. Menurut organisasi yang berbasis di Inggris, Tapol, seluruh komunitas diserang dan rumah-rumah mereka beserta gereja, pusat pertemuan adat  dan  bangunan-bangunan milik umum dihancurkan. “Penyerangan seperti itu, yang konon ditujukan untuk membasmi kelompok pertahanan rakyat Papua yang hanya bersenjata  minimal, telah memaksa para penduduk kampung untuk meninggalkan rumah mereka demi mencari perlindungan di hutan-hutan sekitar, sehingga mereka kehilangan penghidupan mereka dan berisiko menghadapi kelaparan serta terserang  penyakit.”

Walaupun tidak ada yang dimintai pertanggunggugatan untuk  pembunuhan-pembunuhan yang terjadi setelah Kongres ke-3 itu, lima orang pimpinan Papua yang ditangkap setelah kongres sekarang telah diadili, dinyatakan bersalah melakukan makar, dan dijatuhi hukuman tiga tahun penjara. [18]

Menurut Dr Neles Tebay, Koordinator Jaringan Perdamaian Papua (Papua Peace Network), akan ada lebih banyak lagi pelanggaran hak asasi manusia pada masa yang akan datang karena ribuan tentara tambahan telah dikerahkan di Papua Barat dan akar penyebab konflik Papua belum juga diatasi.  Dalam pernyataannya kepada Parlemen Eropa pada bulan November, Dr Tebay mengatakan bahwa Indonesia beranggapan bahwa Papua Barat adalah bagian integral dari wilayahnya dan menggunakan alasan penumpasan pergerakan separatis di Papua Barat untuk menjustifikasi segala bentuk kekerasan yang dilakukan negara dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap rakyat Papua. “Di lain sisi, banyak masyarakat adat Papua melihat tanah ulayat mereka di Papua Barat diduduki oleh kelompok militer Indonesia. Mereka merasa telah dan masih dijajah oleh Indonesia. Maka mereka meningkatkan perlawanan mereka terhadap kekuasaan kolonial di tanah leluhur mereka.”

Dr Tebay menyambut baik komitmen Presiden SBY di muka umum untuk berdialog dengan masyarakat Papua, dan meminta dukungan Eropa untuk dialog terbuka dengan Pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan konflik Papua secara damai.[19]

Penilaian Sejauh ini

Beberapa bagian dari Rencana Aksi UP4B (seperti peningkatan pelayanan kesehatan dan pendidikan), apabila dilaksanakan dengan benar, akan memberi manfaat positif bagi rakyat Papua. Namun tampaknya hal tersebut dikalahkan oleh kepatuhan UP4B untuk menjalankan model pengembangan ekonomi dasar yang dijabarkan dalam MP3EI – kelanjutan  proyek-proyek sumber daya alam yang bersifat intensif modal besar dan berskala besar, dan skema infrastruktur yang ambisius telah banyak merusak komunitas masyarakat adat Papua hingga saat ini.

Pada dasarnya, UP4B belum diterima di Papua. Media massa melaporkan adanya reaksi bermusuhan pada pertemuan-pertemuan yang diadakan untuk mempromosikan  UP4B di Jayapura dan Manokwari pada bulan Desember dan Januari; demonstrasi oleh pelajar Papua di Makassar, Sulawesi, untuk menolak UP4B di bulan Februari; dan pada bulan Maret 2012, dilaporkan terjadi penangkapan di FakFak pada saat demonstrasi untuk menolak inisiatif tersebut.[8]

Pada pertemuan di bulan Desember, Hakim Pahabol dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB) mengatakan bahwa persoalan dasar di Papua adalah politik, bukan kesejahteraan. “Kami hanya ingin referendum. Tidak ada yang lain.”[9] Bahkan mereka yang dilaporkan mendukung UP4B, menyatakan skeptis terhadap pelaksanaannya. Yusak Reba, dosen di Universitas Cendrawasih, mengatakan bahwa UP4B perlu memenuhi harapan masyarakat atau “krisis kepercayaan antara Papua dan Jakarta” akan memburuk. Dia mengatakan bahwa dia masih berharap program tersebut dapat memberi manfaat positif kepada rakyat Papua, namun memperingatkan bahwa UP4B tidak memiliki kewenangan dalam pelaksanaan, sehingga tetap administrasi daerah dan pemerintah pusat yang harus bertanggung jawab penuh dalam membawa perubahan positif.[10]

Komentar-komentar tersebut menunjukkan bahwa UP4B hampir tidak mungkin dapat mencapai misinya dalam menyelesaikan persoalan mendasar Papua atau mengakhiri kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (lihat kotak). Yang paling bisa diberikan oleh  unit ini adalah membantu rakyat Papua hidup sedikit lebih baik dalam kondisi yang sangat tidak adil. Namun apabila tujuan utamanya adalah untuk melancarkan eksploitasi sumber daya secara top-down yang lebih merusak, UP4B tidak mungkin bisa memperbaiki nasib rakyat Papua, malah bisa memperburuknya.

Perusahaan LG dari Korea Selatan merencanakan pabrik petrokimia di Teluk Bintuni

Menurut laporan media massa, sebuah kerja sama Korea Selatan dan Indonesia akan mengembangkan pabrik petrokimia senilai USD3 miliar di Tangguh, Teluk Bintuni, Papua Barat. Presiden SBY telah menandatangani kesepakatan  awal pada saat kunjungannya ke Korea Selatan, untuk pembangunan oleh LG International Corp dan PT Duta Firza. Firlie Gandinduto dari Duta Firza mengatakan pada bulan Maret bahwa konstruksi akan dimulai pada pertengahan tahun 2014.[11]

Teluk Bintuni adalah lokasi instalasi LNG Tangguh yang kontroversial yang dioperasikan oleh perusahaan energi multinasional berbasis di Inggris, BP. Sebelumnya di bulan yang sama, Bisnis Indonesia mengutip  seorang pejabat senior Kementerian Perindustrian yang mengatakan bahwa BP tertarik untuk membangun sebuah kawasan petrokimia terintegrasi dengan menggunakan gas yang diperoleh dari lapangan gas Tangguh.[12] BP kemudian mengklarifikasi bahwa mereka tidak tertarik melakukan hal tersebut, namun akan tetap berfokus pada LNG dan juga pengembangan, eksplorasi dan produksi Tangguh.[13]

Pejabat lain dari Kementerian yang sama menyatakan bahwa rencana pembangunan kawasan tersebut membutuhkan kepastian adanya pasokan  gas. Berdasarkan informasi kementerian itu, tahap pertama pembangunan tersebut membutuhkan minimal pasokan gas sebesar 382 juta standar kubik kaki per hari, dan akan  digunakan untuk memasok dua pabrik urea berkapasitas 3.500 ton per hari dan dua pabrik amonia berkapasitas 2.000 ton per hari, serta sebuah pabrik metanol. Pejabat tersebut menyatakan beberapa perusahaan dari Jerman, Korea Selatan, dan Jepang tertarik untuk memproduksi metanol dan produk turunannya di Tangguh, sementara PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) berminat untuk membangun pabrik amonia dan urea.[14]

Apakah Teluk Bintuni memang akan melihat adanya pembangunan klaster petrokimia atau tidak; rencana semacam ini ini tidak tercantum dalam rencana induk MP3EI yang diterbitkan tahun lalu. Namun, rencana untuk membangun fasilitas produksi amonia dan urea di Tangguh memang tercantum dalam MP3EI, dan dikaitkan dengan pasokan  pupuk yang dibutuhkan untuk proyek MIFEE,[15] dan dalam Rencana Aksi UP4B. Menurut UP4B, tanggal yang ditargetkan untuk memulai  konstruksi proyek amonia-urea adalah tahun 2011 dan selesai pada tahun 2015 serta membutuhkan investasi  sebesar  Rp20.850 miliar yang akan dilaksanakan oleh BUMN PT Pusri.[16] Pembangunan selanjutnya yang direncanakan untuk Bintuni termasuk perbaikan jalan, pembangunan pipa transmisi gas dan jaringan distribusi.

Tangguh sebagai magnet

Tidak diragukan bahwa operasi LNG Tangguh oleh BP merupakan penarik utama  untuk adanya  rencana pembangunan selanjutnya di dalam dan sekitar Teluk Bintuni. Hal-hal ini sangat mungkin  mengundang masuknya para  tenaga kerja migran dari bagian lain Papua dan dari bagian lain Indonesia.

Patut diingat bahwa dalam tahap perencanaan Tangguh, BP berdalih bahwa mereka memiliki strategi untuk mencegah migrasi besar-besaran ke area tersebut. Bahkan sebelum proses produksi gas dimulai pun segera terlihat jelas bahwa usaha pencegahan itu tidak berhasil  karena  para migran dari luar Papua pindah ke sana.

Sekarang, dengan lebih banyaknya proyek sedang disiapkan untuk Bintuni, serta rencana perusahaan itu sendiri untuk meningkatkan produksi gas di Tangguh, strategi BP menjadi lebih tidak terpercaya. Bahkan lebih nyata lagi bahwa perusahaan semacam BP sebaiknya berhenti berpura-pura bahwa mereka bukan yang menjadi penyebab utama masuknya industri lain ke area operasi mereka.[17]

 

Informasi lebih lanjut tentang MIFEE

An Agribusiness Attack in West Papua: Unravelling the Merauke Integrated Food and Energy Estate (Penyerangan Agrobisnis di Papua Barat: Mengupas Kawasan Pangan dan Energi Terpadu Merauke -MIFEE) adalah sebuah laporan independen daring (online) tentang MIFEE:

http://awasmifee.potager.org.

Ironic Survival (Kondisi Bertahan Hidup yang Ironis) adalah sebuah film tentang proyek MIFEE yang dibuat oleh ‘Papuan Voices’, sebuah proyek pemberdayaan dan pembuatan film. Lihat http://www.engagemedia.org/papuanvoices.

Sebuah halaman kampanye facebook baru “No to MIFEE (Katakan Tidak kepada MIFEE)” dibuka di http://www.facebook.com/pages/NO-to-MIFEE/369111889765905.

SORAK: (Suara Orang Kampung) adalah forum bagi masyarakat kampung di Papua Selatan (Merauke, Mappi, dan area Boven Digul) untuk berbicara langsung tentang persoalan dan aspirasi mereka, termasuk pengembangan perkebunan. Versi bahasa Inggris dan Indonesia.

http://blog.insist.or.id/sorak/archives/1854.

FPP, AMAN, Sawit Watch dan berbagai kelompok lain telah mengirimkan permintaan tindak lanjut kepada UN Committee on the Elimination or Racial Discrimination (CERD)/ Komite PBB untuk Penghapusan Atau Diskriminasi Ras tentang kasus MIFEE. Lihat surat bulan Februari 2012 di http://www.forestpeoples.org/.

Situs web MIFEE baru oleh DTE http://www.downtoearth-indonesia.org/id/campaign/mifee.



[1] Rencana Aksi Percepatan UP4B mencakup studi kelayakan untuk proyek bendungan air  yang akan dilaksanakan oleh sebuah badan pemerintah, yaitu Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi pada tahun 2011-2013. Informasi lebih lanjut tentang  rencana-rencana sebelumnya untuk Mamberamo dapat dilihat di DTE 89-90, November 2011, dan DTE 50, Agustus 2001.

[2] Lihat http://www.downtoearth-indonesia.org/id/campaign/mifee. Sebuah investigasi baru-baru ini oleh  Tempo memberikan wawasan lebih lanjut  bagaimana skema ini memiskinkan masyarakat lokal. Lihat http://eng.tempointeraktif.com/arsip/2012/04/11/INT/mbm.20120411.INT24559.id.php#

[3] Konsep-konsep MIFEE yang lain menyebutkan kawasan-kawasan berbeda dengan jenis tanaman yang berbeda yang akan ditanam.

[4] Kondisi MIFEE telah didokumentasikan dengan cukup baik selama dua tahun terakhir – lihat http://www.downtoearth-indonesia.org/id/campaign/mifee

[5] Reducing Emissions from Forest Degradation and Deforestation (REDD)–  skema-skema konservasi karbon dengan melindungi hutan-hutan (lihat /id/theme/redd untuk informasi lebih lanjut.

[6] MP3EI, halaman 113

[7] Rencana Aksi lengkap (2011-2014   ada dalam Lampiran II Peraturan Presiden No. 65, September 2011, tentang Percepatan Pembangunan di provinsi Papua dan Papua Barat), sementara Rencana Aksi Percepatan untuk periode 2011-2012 terdapat dalam Lampiran I.

[8] Lihat Jakarta Post 8/Des/2011, 12&14/Jan/2012; Feb 20, 2012; dan westpapuamedia, Maret 1.

[9] Jakarta Post 8/Des/11.

[10] Jakarta Post 14/Jan/2012

[11] VIVAnews 28/Mar/2012

[12] Bisnis Indonesia 16/Mar/2012

[13] Indonesia Today 16/Mar/2012

[14] Bisnis Indonesia 16/Mar/2012

[15] MP3EI, halaman161

[16] Lihat tabel, halaman 38, UP4B Rencana Aksi Percepatan

[17] Lihat DTE 89-90 tentang perkembangan terakhir Tangguh. Lebih lanjut tentang strategi BP untuk membatasi migrasi masuk dapat dilihat di DTE 65, Mei 2005 dan laman BP sendiri tentang migrasi masuk di Tangguh di http://www.bp.com/sectiongenericarticle.do?categoryId=9004769&contentId=7008850

[19] Pernyataan kepada Subkomite Parlemen Eropa tentang Hak Asasi Manusia, ‘Dengar Pendapat Umum tentang kondisi hak asasi manusia di Asia Tenggara dengan fokus khusus Papua Barat’, 29 November 2011.