OMS minta UE untuk ‘menghentikan perampasan tanah Indonesia untuk bahan bakar hayati’

Para juru kampanye di luar gedung Parlemen Eropa, Strasbourg, September 2013

DTE 96-97, Desember 2013

Sebuah pemungutan suara yang menentukan tentang bahan bakar hayati di Parlemen Eropa pada 11 September 2013 telah gagal memperbaiki kebijakan yang cacat yang mendorong deforestasi, perampasan lahan dan pelecehan hak-hak asasi manusia, seraya menggerogoti kedaulatan pangan masyarakat di negara-negara produsen seperti Indonesia.

Emisi karbon yang meroket; hutan-hutan yang terbakar atau dibuldoser dan habitat alam liar yang rusak; mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada hutan hancur, tanah leluhur mereka diambil tanpa izin. Di Indonesia, beban kehancuran dari revolusi bahan bakar hayati Uni Eropa tersebut jelas sekali dan sudah saatnya Eropa bertanggung jawab.

Ini adalah pesan yang disampaikan selama kampanye bersama antara OMS Indonesia dan internasional – termasuk Down to Earth – di Eropa pada September 2013, saat para Anggota Parlemen Eropa berkumpul untuk pemungutan suara mengenai amendemen terhadap Panduan Energi Terbarukan (Renewable Energy Directive, RED) dan Panduan Kualitas Bahan Bakar (Fuel Quality Directive, FQD) dari UE (lihat kotak). 

RED dan FQD

RED dan FQD adalah panduan kebijakan penting yang ditujukan untuk meningkatkan porsi energi terbarukan dalam campuran energi UE dan mengurangi emisi gas rumah kaca Eropa. Panduan-panduan itu juga telah berdampak meningkatkan permintaan minyak sawit dari Indonesia, produsen sawit terbesar dunia, serta produsen-produsen minyak sawit lainnya. UE adalah tujuan utama bagi minyak sawit Indonesia, dan pengimpor paling tinggi terhadap biodiesel sawit yang diproduksi di Indonesia.

Nur Hidayati dari Walhi dan Bondan Andriyanu dari Sawit Watch – didukung oleh DTE dan kelompok-kelompok Eropa lainnya – menyajikan kepada para pembuat keputusan di Parlemen tersebut gambaran mengenai seperti apa kehidupan masyarakat lokal Indonesia yang terkena dampak dari ekspansi minyak sawit untuk bahan bakar nabati. Mereka juga menyoroti fakta bahwa menggunakan minyak sawit untuk bahan bakar hayati bersifat kontraproduktif dalam kaitan dengan penanganan perubahan iklim. Sebuah pernyataan yang ditandatangani oleh 59 OMS Indonesia menghimbau seluruh 766 Anggota Parlemen Eropa untuk tidak mengabaikan dampak-dampak yang menghancurkan dari produksi bahan bakar nabati di negara-negara produsen seperti Indonesia (lihat petisi OMS).

Indonesia sedang berencana untuk lebih melipatgandakan luas kebun kelapa sawit hingga mencapai sekitar 11 juta hektare saat ini. Menurut Sawit Watch, pemerintah telah menerbitkan konsesi awal, atau izin lokasi yang mencakup 26,7 juta hektare lahan untuk pengembangan minyak sawit, yang sepertiga di antaranya berada di lahan gambut.[1]

Persiapan menuju pemungutan suara September

Kembali ke Oktober 2012, Komisi Eropa (KE) mengusulkan amendemen kebijakan terhadap RED dan FQD yang telah lama ditunggu-tunggu.[2] Usulan itu berupaya membatasi dampak-dampak dari kebutuhan Eropa akan bahan bakar nabati dengan memasukkan dua amendemen kritis terhadap Panduan-panduan tersebut: 1) penetapan batas atas sebesar 5%[3] atas jumlah bahan bakar hayati berbasis tanaman pangan yang diizinkan dalam target energi terbarukan 10% untuk bahan bakar transportasi, pada 2020; dan 2) pelaporan – tetapi bukan penghitungan – emisi-emisi yang disebabkan oleh perubahan penggunaan tanah secara tak langsung (Indirect Land Use Change – ILUC) (lihat info terkini bahan bakar nabati April 2013 dari DTE untuk latar belakang lebih jauh).[4] Usulan tersebut bersifat positif dalam arti itulah pertama kalinya Komisi Eropa secara formal telah mengakui bahaya dari penggunaan pangan untuk bahan bakar dan dampak dari ILUC. Namun, DTE dan para ornop lainnya berpendapat bahwa amendemen-amendemen tersebut tidak beranjak cukup jauh untuk menangani dampak-dampak nyata dari bahan bakar nabati terhadap masyarakat dan lingkungan hidup di negara-negara produsen seperti Indonesia, dan juga tidak mengurangi emisi GRK.[5]

Menguraikan jargon

Pembahasan tentang istilah berikut ini berupaya untuk menunjukkan beberapa perbedaan dan tumpang-tindih antara berbagai macam istilah yang digunakan dalam perdebatan mengenai bahan bakar nabati.

Bahan bakar hayati (biofuel) vs bahan bakar nabati (agrofuel):*

UE mendefinisikan biofuel (bahan bakar hayati) sebagai bahan bakar cair yang secara biologis berasal dari non-fosil dan suatu sumber energi terbarukan, untuk dibedakan dengan bahan bakar fosil, dan terdiri dari dua kategori: bensin hayati (biogasoline) dan biodiesel.[6]

Tanaman yang digunakan untuk membuat bahan bakar hayati umumnya bersifat kaya akan gula (seperti tebu), tepung (seperti jagung) atau minyak (kelapa sawit). Bahan bakar hayati dapat dihasilkan dari sejumlah besar tanaman, termasuk kacang kedelai, bit gula, minyak rapa, kanola, jatropha, padi dan gandum, serta jagung/maizena, tebu dan kelapa sawit. 

Istilah agrofuel (bahan bakar nabati) bukanlah bagian dari glosarium UE, tetapi umum dipakai untuk merujuk ke bahan bakar hayati yang dihasilkan dari tanaman yang ditanam dalam skala besar, dan seringkali bersifat monokultur. DTE lebih memilih menggunakan istilah agrofuel ini karena monokultur berskala besar inilah yang menyebabkan dampak-dampak buruk bagi masyarakat dan lingkungan hidup.

Sisa tanaman hutan dan pertanian, seperti batang dan daun, juga digunakan untuk membuat bahan bakar hayati/bahan bakar nabati.

Biodiesel vs bioetanol

Bioetanol dan biodiesel adalah bahan bakar hayati yang umum dipakai dalam transportasi. Biodiesel dibuat dari produk berminyak seperti minyak sayur atau lemak hewan. Ini adalah bahan bakar hayati yang paling umum di Eropa dan biasanya diproduksi dengan mengekstrak minyak-minyak tersebut dari tanaman seperti minyak sawit dari Indonesia. Bioetanol dibuat dari tanaman tepung atau gula seperti gandum atau tebu, yang ditanam secara besar-besaran di Amerika Selatan dan Afrika.

Bahan bakar hayati berbasis tanaman pangan dihasilkan dari tanaman, yang sebenarnya bisa juga dimanfaatkan sebagai pangan – sehingga menimbulkan persaingan bagi produksi pangan.

Bahan bakar hayati berbasis lahan dihasilkan dari tanaman pangan atau nonpangan, yang membutuhkan lahan untuk tumbuh. Minyak sawit dan jatropha adalah sama-sama berjenis bahan baku bahan bakar hayati berbasis lahan.

Tanaman energi adalah tanaman yang digunakan untuk memproduksi bahan bakar atau bentuk-bentuk energi yang lain, dan mencakup tanaman pangan dan nonpangan. Jatropha dan rumput-rumputan khusus adalah contoh dari tanaman energi nonpangan.

Bahan bakar hayati dapat diklasifikasikan sebagai generasi ke-1, ke-2 atau ke-3, tergantung pada jenis bahan baku dan proses produksinya.

Suatu bahan baku (feedstock) adalah bahan mentah yang digunakan untuk membuat suatu jenis bahan bakar hayati. Minyak sawit, gandum, sisa pertanian dan alga adalah seluruhnya jenis-jenis bahan baku.

Bahan bakar hayati generasi ke-1 (‘konvensional’) menggunakan teknologi konvensional untuk mengubah minyak, tepung atau gula yang ditemukan dalam tanaman pangan menjadi bahan bakar. Minyak sawit, gandum dan maizena adalah beberapa dari tanaman bahan bakar hayati generasi ke-1 yang paling luas digunakan. Karena tanaman tersebut biasanya ditanam semata-mata hanya untuk tujuan bahan bakar hayati, mereka dianggap bersaing dengan pangan. Saat ini, hampir semua bahan bakar hayati di UE terbuat dari bahan baku generasi ke-1.

Bahan bakar hayati generasi ke-2 biasanya dibuat dari limbah atau sisa pertanian dan kehutanan seperti selulosa, hemiselulosa, lignin atau pektin (yakni bagian yang terbuang ketika tanaman dipanen untuk produk utamanya, seperti produk pangan atau kayu). Mereka juga dapat mencakup tanaman nonpangan yang ditanam dengan sengaja seperti rumput-rumputan energi atau jatropha.

Bahan bakar hayati generasi ke-3 masih dalam masa-masa awal pengembangan. Alga adalah sumber bahan bakar hayati yang paling maju dan padat energi, dan tidak membutuhkan tanah yang baik untuk ditanami, sehingga menjadikannya opsi yang semakin menjanjikan. Namun, biaya produksi yang tinggi saat ini berarti bahwa biayanya akan terlalu mahal di pompa tersebut, sehingga membatasi kelayakannya sebagai suatu bahan bakar komersial.

Istilah ‘bahan bakar hayati maju’ seringkali digunakan untuk bahan bakar hayati yang dibuat dari bahan baku generasi ke-2 atau ke-3 dan mengindikasikan proses-proses teknologi yang lebih maju yang dipakai untuk memproduksi bahan bakar tersebut.

Tetapi istilah tersebut harus diperlakukan dengan hati-hati! Bahan bakar hayati generasi ke-2 tidak selalu lebih berkelanjutan ketimbang generasi ke-1. Masalah-masalah yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan, persaingan dengan tanaman pangan dan jumlah energi yang digunakan dalam proses produksi perlu dipertimbangkan saat menilai keberlanjutan yang sejati dari bahan bakar hayati.

*Perlu dicatat bahwa pemerintah Indonesia menggunakan istilah "bahan bakar nabati" sebagai padanan kata "biofuel". Meski tidak jelas betul alasannnya, namun hal itu sudah dipakai dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Di sisi lain DtE memilih menggunakan istilah "bahan bakar hayati" sebagai padanan kata "biofuel" dan memakai "bahan bakar nabati" untuk "agrofuel". Alasan utamanya adalah karena istilah "bio" di luar negeri memiliki konotasi "organik" dan "baik", misalnya toko atau bahan organik di Jerman selalu diawali dengan "bio", contohnya bioladen (laden = toko). Dengan demikian, menurut kami, menyatakan bahan bakar nabati adalah biofuel dapat menyesatkan karena tidak semua yang "nabati" bersifat "baik". Alasan lainnya adalah karena istilah "hayati" telah lama dipakai sebagai padanan kata dari "bio", misalnya "ilmu hayati" untuk istilah "biology" dan "keanekaragaman hayati" untuk "biodiversity".

Sebuah proses panjang

Dibutuhkan beberapa tahap negosiasi lanjutan sebelum amendemen-amendemen tersebut dapat disetujui dan berlaku menjadi undang-undang. Pertama, usulan itu harus dinegosiasikan oleh tujuh komite kunci dari Parlemen Eropa yang akan mengedepankan posisi mereka sendiri terhadap amendemen kebijakan tersebut. Usulan itu kemudian akan berlanjut untuk pemungutan suara pleno penuh oleh Parlemen Eropa pada 11 September 2013, yang berarti bahwa seluruh 766 Anggota Parlemen Eropa akan menyampaikan pendapatnya tentang amendemen mana yang akan diterima atau diubah.

Pada Juli 2013, Komite Lingkungan Hidup (Environment Committee, ENVI), yang ditugaskan untuk memimpin proses tersebut, menyampaikan posisi akhir mereka kepada para Anggota Parlemen Eropa. Posisi akhir tersebut mengandung sejumlah perubahan kritis terhadap usulan awal KE, termasuk penghitungan wajib (ketimbang hanya pelaporan) terhadap emisi ILUC baik pada RED maupun FQD, yang berlaku segera. Posisi akhir itu juga mengusulkan peningkatan batas atas pada bahan bakar nabati menjadi 5,5% (0,5% lebih tinggi dari usulan KE) tetapi yang penting, batas atas ini mencakup tidak hanya tanaman pangan tetapi juga seluruh tanaman berbasis lahan dan akan diterapkan pada keduanya, FGD dan RED – suatu amendemen penting yang akan memiliki dampak positif lebih banyak dalam hal membatasi Perubahan Penggunaan Tanah secara Tak Langsung secara keseluruhan. Secara umum, posisi ENVI adalah suatu perbaikan terhadap usulan KE, tetapi berbagai LSM mendesak para Anggota Parlemen Eropa untuk memperkuat amendemen-amendemen tersebut lebih lanjut dengan memperketat batas atas pada seluruh tanaman berbasis lahan menjadi 5% sebagai sebuah cara membatasi penggunaan bahan bakar berbasis lahan hingga hanya di atas tingkat penggunaan saat ini yang 4,7%. Tuntutan LSM untuk sebuah batas atas 5% adalah suatu usulan sementara pembatasan kerusakan, sebagai langkah menuju pengurangan konsumsi hingga nol secepat mungkin.

Terlepas dari kepemimpinan ENVI dalam proses tersebut, komite-komite lainnya memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi bagaimana para Anggota Parlemen Eropa memberikan suara. Komite Industri, Penelitian dan Energi (Industry, Research and Energy Committee, ITRE), yang lebih terbuka dalam menerima tuntutan industri bahan bakar hayati, menekan agar melemahkan usulan KE dan ENVI. ITRE menuntut batas atas sebesar 6,5%, bukti ilmiah yang lebih banyak sebelum mempertimbangkan pelaporan ILUC, dan menolak opsi-opsi untuk penghitungan ILUC secara keseluruhan.

Kunjungan keliling tentang bahan bakar nabati

Saat pemungutan suara bulan September di Parlemen Eropa di Strasbourg semakin dekat, kegiatan lobi semakin intensif dari kedua pihak yang berdebat itu. Dirasakan penting agar para ornop dan masyarakat tersebut dimobilisasi untuk melawan tuntutan-tuntutan dari lobi industri bahan bakar hayati generasi pertama dan untuk mendesak seluruh Anggota Parlemen Eropa untuk memberi suara untuk mendukung (atau memperkuat) usulan ENVI tersebut. Sebuah tim kampanye yang terdiri dari DTE, Watch Indonesia, FoE Eropa, Misereor, Sawit Watch dan WALHI, mengadakan kunjungan berkeliling selama dua minggu di Parlemen Eropa di Brussels dan Strasbourg untuk memastikan bahwa para Anggota Parlemen Eropa mendengar secara langsung tentang dampak-dampak dari kebijakan UE di lapangan di negara-negara produsen secara langsung dari para perwakilan OMS Indonesia. Melalui pertemuan-pertemuan publik, presentasi, wawancara media, dan diskusi dengan para Anggota Parlemen Eropa, kelompok-kelompok tersebut menyoroti empat masalah utama terkait bahan bakar nabati:

Bahan bakar nabati buruk bagi iklim

Jika dampak-dampak dari perubahan penggunaan tanah secara tak langsung (ILUC) diperhitungkan, sebagian besar bahan bakar nabati berarti emisi karbon lebih banyak, bukan lebih sedikit. Jika lahan gambut dipertimbangkan, minyak sawit dari Indonesia menjadi salah satu bahan bakar terkotor dari yang ada, karbonnya jauh lebih intensif daripada solar dari fosil. Kebijakan bahan bakar nabati yang saat ini berlaku mengabaikan hal ini.

Bahan bakar nabati mempromosikan perampasan lahan, pelecehan hak asasi manusia, konflik

Jutaan hektare lahan dirampas dari masyarakat di negara-negara seperti Indonesia untuk memenuhi permintaan bahan bakar nabati yang terus meningkat dari Eropa. Hak masyarakat adat atas Perizinan Atas Dasar Informasi Awal dan Tanpa Paksaan tidak dihormati. Pasukan keamanan dibawa masuk untuk menangani perlawanan masyarakat terhadap perampasan lahan oleh perusahaan-perusahaan besar, yang mengarah pada konflik-konflik kekerasan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia.

Bahan bakar nabati buruk untuk keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup

Hutan dan keanekaragaman Indonesia yang berharga berada dalam ancaman yang serius dari ekspansi besar-besaran minyak sawit – yang sebagian didorong oleh permintaan bahan bakar nabati dari Eropa. Orangutan yang terancam punah kehilangan habitatnya saat hutan dikonversi menjadi minyak sawit. Pembakaran ilegal menciptakan asbut (asap kabut) yang mencekik Indonesia dan negara-negara tetangganya. Pertanian intensif dan penggunaan bahan kimia di perkebunan menyebabkan polusi sungai, kelangkaan air, degradasi lapisan tanah dan masalah-masalah kesehatan bagi para pekerja kebun.

Bahan bakar nabati tidak masuk akal secara bisnis atau pembangunan

Subsidi industri bahan bakar nabati yang sangat besar yang dibayar oleh para pembayar pajak di Eropa hanya menciptakan 3600 lapangan kerja langsung di seluruh Eropa pada tahun 2011, seraya menyebabkan kerusakan hutan dan emisi GRK yang lebih tinggi. Ini bertentangan dengan upaya ekonomi dan politik UE yang bertujuan mengurangi deforestasi di Indonesia. Kepedulian masyarakat yang meningkat terhadap dampak-dampak negatif membuat bahan bakar nabati menjadi sebuah investasi bisnis yang berisiko dan menggerogoti kewajiban UE utuk melakukan “pembangunan yang bertanggung jawab”.

Kelompok ornop tersebut menyerukan para Anggota Parlemen Eropa untuk memberi suara mendukung:

  1. Penghitungan penuh terhadap seluruh emisi CO2 yang dihasilkan dari tanaman bahan bakar nabati yang meningkat (yang disebut ‘perubahan penggunaan tanah secara tak langsung’ / ILUC), melalui faktor-faktor ILUC dengan tanaman tertentu – untuk FQD serta RED. Inilah opsi kebijakan terbaik yang saat ini tersedia untuk tidak memberi motivasi bagi bahan bakar nabati yang bersifat kontraproduktif dalam mengurangi emisi karbon (khususnya minyak sawit).
  2. Penghentian pertumbuhan bahan bakar nabati yang bersaing dengan tanaman pangan yang vital, dengan suatu batas atas yang sejati dan sehat (yakni 5% atau kurang yang berlaku bagi FQD dan RED) terhadap penggunaan bahan bakar nabati. Pilih batas atas yang serendah mungkin.

Dan, sebagai langkah-langkah selanjutnya:

  • Suatu penilaian dampak sosial dan lingkungan hidup yang independen mengenai kebijakan bahan bakar nabati UE di negara-negara seperti Indonesia – dengan maksud untuk membuat kriteria keberlanjutan yang bersifat wajib, untuk tidak memasukkan bahan bakar nabati atau bahan baku bahan bakar nabati yang diimpor ke dalam UE yang tidak memenuhi standar lingkungan hidup dan hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip perdagangan yang adil.
  • Langkah-langkah kebijakan menuju penghapusan bertahap terhadap seluruh bahan bakar nabati berbasis lahan, dan penghapusan bertahap terhadap berbagai subsidi, untuk menurunkan konsumsi mereka hingga nol secepat mungkin.
  • Penerapan berbagai insentif kebijakan yang menjadikan transportasi kita ramah lingkungan yang sejati. Secara keseluruhan, berbagai kebijakan yang memusatkan perhatian pada pengurangan gas rumah kaca, penghematan energi besar-besaran, dan pengalihan moda transportasi akan menjadi cara yang lebih efektif terhadap mitigasi perubahan iklim, tanpa biaya-biaya sosial dan lingkungan hidup dari bahan bakar nabati.[7]

Bahan bakar hayati UE – sebuah ancaman terhadap kedaulatan pangan Indonesia

Kedaulatan pangan mengacu pada hak-hak masyarakat untuk mendefinisikan sistem pangan mereka sendiri dan menjadi pusat dari keputusan tentang sistem dan kebijakan pangan.

Perubahan penggunaan tanah secara tak langsung yang disebabkan oleh ekspansi perkebunan minyak sawit untuk bahan bakar hayati menghancurkan hutan yang digunakan oleh jutaan masyarakat lokal dan adat untuk berburu, mengumpulkan dan bercocok tanam.

Dengan mengalokasikan ulang lahan untuk memelihara tanaman bahan bakar hayati ketimbang memberi makan untuk masyarakat, kebijakan-kebijakan bahan bakar hayati dari UE tersebut merampas hak-hak masyarakat Indonesia terhadap kedaulatan pangan.

Sebagai seorang panelis bersama dengan Pelapor ENVI Corinne Lepage pada Debat Akbar Bahan Bakar Hayati Parlemen, Nur Hidayati dari Walhi menyampaikan keprihatinan dari OMS Indonesia kepada peserta dari 180 perwakilan industri, politik, media dan ornop. Protes jalanan yang berwarna-warni di Parlemen Eropa di Brussels dan Strasbourg memperlihatkan para aktivis berpakaian tongkol jagung dengan menuntut ‘Pangan Tidak untuk Bahan Bakar’ dan meminta UE untuk “hentikan perampasan lahan Indonesia untuk bahan bakar hayati”. Pada hari pemungutan suara, para ornop menyerahkan petisi dengan 243.998 tanda tangan kepada para Anggota Parlemen Eropa yang utama, termasuk Pelapor ENVI (lihat gambar).

DTE, dengan didukung oleh Biofuelwatch juga menyerukan para warga UE untuk menulis surat kepada para Anggota Parlemen Eropa mereka dan mendesak mereka untuk memilih memastikan amendemen-amendemen ini.[8]

Protes di Berlin

Hampir seratus orang menghadiri sebuah pertemuan untuk mendiskusikan bahan bakar nabati dan berbagai dampaknya pada pertemuan yang diselenggarakan oleh kelompok ornop di Berlin. Presentasi di antaranya diberikan oleh Bondan Andriyanu dari Sawit Watch. Acara itu dijadwalkan bertepatan dengan peluncuran RSPO Eropa yang bertujuan untuk mempromosikan penggunaan minyak sawit berkelanjutan di salah satu pasar utamanya. Watch Indonesia! dan lembaga-lembaga lainnya mengadakan aksi-aksi jalanan untuk menyoroti dampak-dampak negatif dari minyak sawit.

Terima kasih banyak kepada setiap orang yang menulis surat kepada para Anggota Parlemen Eropa dalam menanggapi seruan aksi kami bulan September!

Pemungutan suara sudah sangat dekat, sehingga setiap surat dipandang dapat mempengaruhi para Anggota Parlemen Eropa untuk memilih menentang batas atas yang lebih tinggi terhadap bahan bakar hayati berbasis lahan. Dukungan Anda juga membantu mendukung pesan kami untuk reformasi kebijakan saat bertemu para Anggota Parlemen Eropa di Brussels.

Membaca tanggapan-tanggapan Anda benar-benar berguna maka dari itu ucapan terima kasih secara khusus ditujukan bagi mereka yang mengirim surel kepada kami untuk memberi tahu kami bagaimana tanggapan para Anggota Parlemen Eropa yang dihubungi.

Hasil utama pemungutan suara

Para Anggota Parlemen Eropa memilih untuk menetapkan batas atas 6% terhadap penggunaan ‘bahan bakar hayati berbasis lahan’ (juga dikenal sebagai generasi pertama) untuk memenuhi permintaan bahan bakar Eropa. Karena bahan bakar hayati generasi pertama telah memenuhi porsi 4,7% dari pasar bahan bakar transportasi UE, para ornop menekan para Anggota Parlemen Eropa untuk membuat batas atas menjadi 5% untuk membatasi penggunaan saat ini, dan kerusakan yang disebabkannya, hingga hanya di atas level saat ini. Meski hanya lebih tinggi 1%, batas atas 6% tersebut yang dipilih oleh para Anggota Parlemen Eropa akan memiliki dampak besar bagi keamanan pangan dan kedaulatan pangan di beberapa negara termiskin dunia dan, menurut ornop internasional Actionaid, “akan membuat tanaman yang alih-alih berpotensi memberi makan bagi lebih dari 20 juta orang justru dibakar setiap tahun sebagai bahan bakar di dalam mobil.”[9]

Para Anggota Parlemen Eropa memang memilih mendukung penghitungan emisi ILUC dalam Panduan Kualitas Bahan Bakar, tetapi ini tidak akan diberlakukan hingga 2020 dan tidak akan diberlakukan terhadap RED. Keputusan ini betul-betul tidak bertanggung jawab, sehingga masyarakat Eropa masih akan membayar subsidi yang tinggi dalam tujuh ke depan untuk mendukung biodiesel yang memiliki jejak karbon yang lebih besar ketimbang bahan bakar fosil.

Para Anggota Parlemen Eropa menyokong target 2,5% untuk bahan bakar hayati generasi kedua, yang dibuat dari sumber-sumber nonpangan seperti limbah pertanian, kotoran dan alga. Mereka juga memilih mendukung ‘penghitungan berganda’ terhadap bahan bakar hayati maju – yang berarti bahwa bahan bakar maju tertentu dapat dihitung 2 atau 4 kali terhadap target-target energi terbarukan. Perubahan-perubahan ini mengirimkan sebuah sinyal positif kepada industri untuk berpindah dari bahan bakar hayati generasi ke-1 dan menuju generasi ke-2.

Keputusan penting lainnya adalah sebuah target 7,5% terhadap porsi bioetanol di dalam bahan bakar hayati – yang memberi sinyal sebuah peralihan dari biodiesel ke bioetanol. Sementara peralihan dari biodiesel tersebut akan menjadi sebuah langkah positif bagi negara-negara seperti Indonesia, yang menyediakan minyak sawit untuk biodiesel, hal itu menjadi berita buruk bagi negara-negara yang menderita akibat dampak lingkungan hidup dan hak-hak asasi manusia dari perkebunan untuk tanaman bioetanol.

Berbalik arah

Pemungutan suara itu sangat tipis hasilnya dan banyak Anggota Parlemen Eropa mengakui dan bertindak berdasarkan keprihatinan Sawit Watch dan WALHI, tetapi sebuah kelompok inti Anggota Parlemen Eropa yang kuat mempengaruhi hasil tersebut hingga mendukung reformasi yang lebih lemah. Hasil ini tidak akan membawa keringanan bagi masyarakat yang menderita akibat dampak-dampak dari kebijakan bahan bakar nabati UE di lapangan – sebuah tindakan berbalik arah yang mengecewakan terhadap janji-janji UE untuk memperbaiki kebijakannya yang gagal.

“Para Anggota Parlemen Eropa telah mengabaikan keprihatinan jutaan orang Indonesia mengenai dampak-dampak dari kebijakan bahan bakar nabati UE terhadap tanah dan penghidupan mereka. Pemungutan suara ini akan memperburuk deforestasi, perampasan lahan dan pelecehan hak-hak asasi manusia di Indonesia,” kata Nur Hidayati dari WALHI.[10] UE telah kehilangan kesempatan penting untuk memperbaiki aspek-aspek yang paling merusak dari kebijakan bahan bakar hayatinya dan sekali lagi, telah memprioritaskan industri dan perdagangan di atas masyarakat dan lingkungan hidup.

Amendemen yang mengusulkan PADIATAPA

Satu hasil yang berpotensi positif adalah dicantumkannya prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal dan Tanpa Paksaan (PADIATAPA) dalam amendemen-amendemen yang diusulkan oleh para Anggota Parlemen Eropa dalam pemungutan suara kebijakan bahan bakar nabati pada September 2013.

Susunan katanya adalah sebagai berikut, baik pada FQD maupun RED:

 ‘4a. Bahan bakar hayati dan cairan hayati yang dipertimbangkan untuk tujuan yang dimaksud dalam paragraf 1 tidak dibuat dari bahan baku berbasis lahan kecuali apabila hak-hak hukum pihak ketiga menyangkut penggunaan dan penguasaan lahan tersebut dihormati, di antaranya dengan memperoleh persetujuan atas dasar informasi awal dan tanpa paksaan dari pihak ketiga tersebut,[11] dengan keterlibatan dari lembaga-lembaga perwakilan mereka.’[12]

Reaksi Indonesia

Kampanye tersebut menghasilkan reaksi-reaksi yang keras di Indonesia, dengan tuduhan-tuduhan negatif terhadap para ornop lokal maupun luar negeri karena menyuarakan keprihatinan mereka tentang industri-industri pulp dan kertas dan minyak sawit. Beberapa hari setelah pemungutan suara pada 11 September tersebut, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia menyerukan pemerintah untuk memainkan peran penting dalam mengusir LSM, khususnya dari luar negeri, yang menyerang industri-industri pulp dan kertas dan minyak sawit. Dia mendesak industri-industri ini untuk melawan citra negatif tersebut dengan bersikap lebih proaktif dalam mempromosikan pengoperasian mereka yang lebih ramah lingkungan. Menteri Lingkungan Hidup setuju bahwa para ornop – khususnya yang dari luar negeri – dengan sengaja membesar-besarkan masalah lingkungan hidup dengan tujuan mencegah pembangunan industri-industri pulp dan kertas dan minyak sawit Indonesia, dan seharusnya tidak diizinkan untuk terus melakukan hal ini.[13]

Reaksi ini, dan perdebatan di Indonesia tentang bahan bakar hayati dan dampak-dampaknya terhadap kebijakan UE, adalah sebuah sinyal bahwa pesan-pesan Sawit Watch dan WALHI tersebut disuarakan secara efektif di Eropa. Selain itu, diskusi-diskusi tentang bagaimana memperbaiki sistem penyelesaian sengketa dari Forum Meja Bundar tentang Kelapa Sawit Berkelanjutan (Roundtable on Sustainable Palm Oil) telah mendapat dorongan ekstra oleh kampanye Eropa tersebut. Sebuah resolusi yang dirancang oleh Sawit Watch, yang juga anggota RSPO, baru-baru ini disetujui pada pertemuan terakhir organisasi itu di Medan.
 

Apa yang terjadi selanjutnya?

Hasil-hasil dari pemungutan suara Parlemen Eropa (‘pembahasan pertama’) harus disampaikan ke Dewan Menteri (yakni Negara Anggota) untuk peninjauan lebih lanjut sebelum ditetapkan menjadi peraturan. Untuk mempercepat proses tersebut, Pelapor Corinne Lepage meminta mandat dari Parlemen untuk segera maju bernegosiasi dengan Dewan tersebut – tetapi usulannya ditolak oleh satu suara. Sebagai gantinya, sebuah kelompok Anggota Parlemen Eropa membuat usulan tandingan untuk mengembalikan amendemen-amendemen tersebut ke Parlemen Eropa untuk ‘pembahasan kedua’, menyusul peninjauan Dewan tersebut – dan dimenangkan oleh dua suara. Ini adalah momen kritis dalam proses tersebut, yang dapat menyebabkan penundaan tanpa batas dalam memperbaiki kebijakan tersebut.

Penundaan lebih lama

Bola sekarang (Desember 2013) ada di tangan Dewan UE karena mereka menyelesaikan pembahasan pertama dari amendemen-amendemen kebijakan tersebut. Dewan tersebut memiliki kesempatan untuk memperkuat amendemen-amendemen tersebut, tetapi posisi Parlemen Eropa telah membelah negara-negara Anggota. Para pemain kunci seperti Inggris, Belanda, Belgia dan Finlandia dilaporkan ingin sekali melihat batas atas tersebut dikurangi, tetapi hanya untuk tanaman pangan. Yang lainnya, seperti Jerman, menolak bersuara lantang secara terbuka tentang posisi mereka atau menekan agar batas atas tersebut ditingkatkan menjadi 7% atau bahkan 8%. Beberapa negara anggota mendorong untuk tidak memasukkan faktor-faktor ILUC dari kebijakan tersebut secara bersama-sama.

Debat yang masih berlangsung itu berarti bahwa Dewan tidak akan menyelesaikan posisi mereka dan menyetujui untuk mengembalikan ini ke Parlemen Eropa untuk peninjauan akhir (pembahasan kedua) hingga pertengahan Desember 2013. Dengan pemilihan Parlemen yang ditetapkan pada April tahun depan dan para Komisioner baru akan menempati kursi-kursi mereka, tampaknya tidak mungkin dihasilkan sebuah persetujuan sebelum 2015.

Jadi apa arti semua ini? Secara singkat, UE telah berhasil mengerem kemajuan positif terhadap perbaikan kebijakan bahan bakar hayati selama sedikitnya satu tahun lagi, dengan mengabaikan bukti ilmiah akan dampak-dampak yang menghancurkan dari kebijakan tersebut. Penundaan lebih lama memungkinkan lebih banyak waktu bagi lobi industri untuk membangun tekanan terhadap para pembuat kebijakan untuk melemahkan atau meniadakan amendemen-amendemen tersebut. Penundaan tersebut juga menciptakan ketidakpastian lebih lanjut bagi investasi dalam alternatif-alternatif energi terbarukan yang lebih inovatif, termasuk bahan bakar maju yang berkelanjutan. Masih lebih buruk, hal itu meningkatkan risiko harga pangan yang lebih tinggi, emisi karbon yang lebih banyak dan konflik-konflik lahan di negara-negara produsen seperti Indonesia.

Informasi lebih lanjut: Clare McVeigh dteproguk@gn.apc.org

Seruan aksi – bantu kami melanjutkan tekanan!

Kita harus, antara sekarang dan 12 Desember 2013, mendesak pemerintah-pemerintah UE untuk mengedepankan usulan yang kuat tentang bagaimana memperbaiki kebijakan bahan bakar hayati yang gagal.

Jika Anda tinggal di UE, bantulah kami untuk mendukung seruan dari Indonesia dengan menghubungi Menteri Energi dan Perdana Menteri/Presiden Anda), melalui surel, telepon, surat atau Twitter dengan meminta mereka untuk:

1) Menetapkan batas serendah mungkin terhadap penggunaan tanaman pangan dalam RED dan FQD  

2) Menerapkan penghitungan wajib ILUC dalam RED dan FQD, untuk memastikan seluruh emisi karbon dari bahan bakar hayati dipertimbangkan.

3) Memastikan bahwa faktor pengali untuk bahan bakar hayati maju berlaku hanya bagi target bahan bakar transportasi sebesar 10% dan tidak bagi keseluruhan target energi terbarukan sebesar 20% yang ditetapkan dalam RED.

Anda dapat memperoleh detail kontak di laman parlemen negara Anda. Untuk melihat contoh surat, silakan kunjungi www.downtoearth-indonesia.org/. Kami sangat menghargai bila Anda memberitahu kami apabila Anda menghubungi menteri Anda dan bagaimana tanggapan mereka.

Diperlukan aksi lebih banyak pada 2014

Setelah keputusan Dewan UE, dokumen tersebut kembali lagi ke Parlemen Eropa untuk pembahasan kedua sebelum ditetapkan menjadi legislasi – sehingga kita masih akan perlu melanjutkan tekanan pada 2014! Ikuti ruang bahan bakar nabati di laman DTE untuk informasi tentang apa yang terjadi selanjutnya atau hubungi Clare McVeigh di dteproguk@gn.apc.org.

Informasi lebih lanjut:

Seluruhnya dapat diperoleh di laman DTE di: http://www.downtoearth-indonesia.org/id/campaign/agrofuels-and-oil-palm-plantations

Sebuah pesan bahan bakar nabati untuk Eropa: wawancara video pendek dengan Bondan Andriyanu dari Sawit Watch dan Nur Hidayati dari WALHI

Petisi Masyarakat Sipil Indonesia Kepada Parlemen Uni Eropa Tentang Kebijakan Biofuel Eropa

Menyikapi dampak-dampak kebijakan agrofuel Uni Eropa terhadap Indonesia, Laporan bersama oleh DTE, 11.11.11. Sawit Watch, WALHI, Friends of the Earth Europe, Watch Indonesia! dan Misereor, 2 September 2013

Pemungutan suara bahan bakar nabati Eropa melemahkan kedaulatan pangan, hak pangan dan iklim (pernyataan bersama oleh DTE dkk)

Gambar-gambar protes dari Strasbourg



[1] FPP, CIRAD, ILC Palm oil dan masyarakat adat di Asia Tenggara, Januari 2011, hal. 21; Norman Jiwan ‘Deforestation Moratorium is not Panacea?’, Jakarta Post, 1 Juli 2010 di http://www.thejakartapost.com/news/2010/07/01/deforestation-moratorium-not-panacea.html

[7] Lihat ‘Menangani dampak dari kebijakan bahan bakar nabati UE terhadap Indonesia', Laporan bersama oleh DTE, 11.11.11. Sawit Watch, WALHI, Friends of the Earth Europe, Watch Indonesia! dan Misereor, 2 September 2013

[9] ‘Food should be used to fill people, not cars’ ['Pangan harus dipakai untuk mengisi orang, bukan mobil’] Lucy Hurn, Actionaid, 24 September 2013.

[10] Lihat ‘Pemungutan suara tentang agrofuel di Eropa mengorbankan ketahanan pangan, hak-hak dan iklim' Pernyataan bersama oleh DTE, 11.11.11, Watch Indonesia! dan WALHI, 13 September 2013.

[11] Catatan: FPIC (PADIATAPA) adalah bagian dari hukum internasional yang telah berkembang terkait dengan masyarakat adat, dan dengan demikian ‘pihak ketiga’ sebagaimana ditetapkan dalam amendemen yang diusulkan, meski mencakup masyarakat adat, adalah kategori yang agak terlalu luas. Untuk diskusi lebih lanjut mengenai ini, lihat The Rights of Non-Indigenous ‘Forest Peoples’ with a focus on Land and Related Rights - Existing International Legal Mechanisms and Strategic Options [Hak-hak dari ‘Masyarakat Hutan’ Bukan-adat dengan fokus pada Tanah dan Hak-hak Terkait, Mekanisme Hukum Internasional yang Berlaku dan Opsi-opsi Strategis], Kertas Diskusi FPP, 18 September 2013.

[12] P7_TA-PROV(2013)0357, Fuel quality directive and renewable energy ***I, European Parliament legislative resolution of 11 September 2013 on the proposal for a directive of the European Parliament and of the Council amending Directive 98/70/EC relating to the quality of petrol and diesel fuels and amending Directive 2009/28/EC on the promotion of the use of energy from renewable sources (COM(2012)0595 – C7-0337/2012 – 2012/0288(COD)) [Panduan kualitas bahan bakar dan energi terbarukan ***I, Resolusi legislasi Parlemen Eropa pada 11 September 2013 terhadap usulan untuk suatu panduan dari Parlemen Eropa dan dari Dewan yang mengamendemen Panduan 98/70/EC yang berkaitan dengan kualitas bahan bakar bensin dan solar dan yang mengamendemen Panduan 2009/28/EC terhadap promosi penggunaan energi dari sumber-sumber terbarukan], dapat diperoleh di http://www.europarl.europa.eu/RegData/seance_pleniere/textes_adoptes/provisoire/2013/09-11/0357/P7_TA-PROV(2013)0357_EN.pdf