Analisis DTE tentang perkembangan penting dalam kebijakan agrofuel Eropa – latar belakang

Info Terkini DTE tentang Agrofuel, April 2013, Bagian I

Agrofuel atau bahan bakar nabati berbasis lahan (bahan bakar nabati dari tanaman yang membutuhkan area yang luas untuk tumbuh) buruk untuk masyarakat dan planet.

Di seluruh dunia, agrofuel secara keliru sedang diunggulkan sebagai sumber energi ‘berkelanjutan’ dan ‘terbarukan’. Uni Eropa (UE) merupakan salah satu pasar terbesar dunia, yang semakin bergantung pada agrofuel untuk memasok bahan bakar transportasi dan pembangkit listrik Eropa. Tapi dampak dari produksi agrofuel diabaikan. Agrofuel memperburuk perubahan iklim, menghancurkan hutan-hutan dan keanekaragaman hayati paling penting di dunia serta mengakibatkan penderitaan pada masyarakat yang tinggal di negara-negara produsen. LSM dan organisasi masyarakat sipil (OMS) telah mengangkat kekhawatiran mengenai hal tersebut, para ilmuwan dan akademisi telah mengonfirmasikannya dan pada akhir tahun lalu Komisi Eropa akhirnya mengakuinya: kebijakan Eropa yang mendorong agrofuel berbasis lahan (khususnya, tanaman pangan) perlu berubah secara drastis dan cepat.

Pada bulan Oktober 2012, Komisi Eropa (KE) mengusulkan amendemen kebijakan yang telah lama ditunggu-tunggu terhadap Panduan Energi Terbarukan dan Panduan Kualitas Bahan Bakar, yaitu legislasi UE yang mewajibkan Eropa untuk mengurangi emisi karbonnya.[1] Proposal tersebut berupaya untuk membatasi dampak dari permintaan Eropa atas agrofuel, dan secara khusus, untuk menghitung dampak dari Perubahan Penggunaan Lahan secara Tak Langsung  (Indirect Land Use Change - ILUC). Info terkini terdiri dari dua bagian ini menyajikan sebuah analisis singkat mengenai unsur-unsur penting dalam proposal-proposal KE. Di bawah ini kami menyajikan latar belakang singkat mengenai isu-isu ini dan dalam bagian kedua kami meringkas dan menjelaskan apa arti sesungguhnya amendemen-amendemen ini terhadap masa depan produksi agrofuel. Bagian kedua juga menyajikan pendapat DTE dan saran-saran untuk perbaikan.

Latar belakang proposal Komisi Eropa untuk amendemen kebijakan agrofuel, Oktober 2012

Perubahan Penggunaan Lahan secara Tak Langsung (ILUC) telah menjadi hal perdebatan agrofuel yang paling mengemuka. Perubahan penggunaan lahan secara langsung terjadi ketika lahan dibuka untuk tanaman bahan bakar nabati. Perubahan penggunaan lahan secara Tak Langsung (ILUC) adalah akibat sekunder: di mana lahan dibuka untuk memberi tempat bagi tanaman yang lalu tergusur oleh tanaman bahan bakar nabati. Ketika lahan ini merupakan tanah dengan cadangan karbon tinggi (seperti hutan atau lahan gambut), ILUC meningkatkan emisi karbon. Dampak ILUC lainnya antara lain penghancuran hutan dan keanekaragaman hayati, penghilangan hak masyarakat lokal atas tanah dan menjadi ancaman bagi keamanan produksi pangan dunia. Akan tetapi dampak-dampak ini tidak diperhitungkan dalam Panduan Energi Terbarukan (Panduan 2009/28/EC) dan Panduan Kualitas Bahan Bakar (Panduan 2009/30/EC).

Panduan Energi Terbarukan (RED) dan Panduan Kualitas Bahan Bakar (FQD) merupakan dasar dari legislasi Uni Eropa (UE) yang bertujuan untuk mengurangi emisi karbon di Eropa. Panduan-panduan tersebut menetapkan target untuk mengurangi konsumsi energi UE, meningkatkan porsi energi terbarukan dalam transportasi, pemanas, dan pembangkit listrik, serta menetapkan standar kualitas bahan bakar untuk transportasi. Kedua Panduan itu menentukan kriteria keberlanjutan yang harus dipenuhi oleh agrofuel jika ingin dihitung ke dalam target energi terbarukan tersebut. Namun, kelayakan dari kriteria-kriteria ini menjadi pusat perdebatan – dengan isu kunci bahwa emisi karbon serta dampak sosial dan lingkungan hidup yang diakibatkan dari ILUC tidak dianggap atau diperhitungkan secara hukum di dalam kriteria tersebut.

Sejumlah kajian ilmiah dan akademis yang kuat telah muncul dalam lebih dari tiga tahun terakhir yang menunjukkan bahwa ketika emisi ILUC dipertimbangkan, mayoritas agrofuel tidak lebih baik bagi iklim ketimbang bahan bakar fosil dan, dalam beberapa kasus, lebih buruk. Minyak sawit, yang digunakan dalam produksi biodiesel, memiliki salah satu jejak karbon yang paling besar. Mayoritas bahan mentah (tanaman) yang digunakan untuk agrofuel di Eropa diimpor dari negara berkembang, mendesak pemanfaatan lahan yang membuat UE sebagai salah satu pendorong utama perampasan tanah untuk memasok agrofuel di dunia.[2] Laporan Dewan Nuffield tentang etika agrofuel (April 2011) memberikan gambaran yang jelas tentang kerusakan yang akan ditimbulkan oleh permintaan UE akan agrofuel yang terus meningkat terhadap masyarakat lokal dan lingkungan hidup di negara-negara produsen seperti Indonesia. Laporan tersebut juga menyusun sebuah kerangka etik untuk memandu pembuatan kebijakan untuk agrofuel.

Kajian-kajian ini memunculkan sebuah tuntutan kuat akan reformasi terkait perundang-undangan. Khususnya, harus dilakukan sesuatu untuk menghentikan dampak-dampak dari penggunaan lahan secara tak langsung dari agrofuel akibat dari desakan untuk memenuhi target 10% untuk bahan bakar terbarukan bagi transportasi.

Proposal Oktober 2012 untuk amendemen terhadap RED dan FQD tersebut merupakan upaya pertama KE untuk menangani kekhawatiran-kekhawatiran ini melalui reformasi kebijakan yang nyata. Tujuan-tujuan kunci mereka adalah untuk “membatasi kontribusi bahan bakar hayati (dengan risiko emisi ILUC) yang konvensional (yakni berbasis tanaman-pangan) ke arah pencapaian target dalam Panduan Energi Terbarukan”[3]; untuk “meningkatkan kinerja gas rumah kaca yang berasal dari proses produki bahan bakar hayati (dengan mengurangi emisi-emisi terkait)”[4] dan untuk “mendorong penetrasi pasar yang lebih besar dari bahan bakar hayati maju (rendah-ILUC)”[5] (misalnya, limbah dan residu seperti minyak goreng bekas). Secara sekilas, proposal tersebut tampak menjanjikan – selangkah ke arah yang tepat untuk reformasi kebijakan berjangka lebih panjang. Akan tetapi, keburukannya terletak pada detailnya, dan proposal tersebut gagal secara bertingkat untuk menghentikan dampak terburuk dari agrofuel. Lihat analisis DTE terhadap proposal Oktober 2012 dari KE.


[1] RED memerintahkan bahwa, pada tahun 2020, Eropa harus mengurangi emisi gas rumah kaca secara keseluruhan sebesar 20% (di bawah tingkat 1990) dan bahwa 20%  dari energi Eropa harus berasal dari ‘sumber terbarukan’ (walaupun masing-masing Negara Anggota  memiliki target yang berbeda dalam cakupan angka ini). Selain itu, RED menetapkan sebuah target secara khusus untuk bahan bakar transportasi. RED mewajibkan setiap Negara Anggota untuk memastikan bahwa minimum 10% dari total energi yang digunakan untuk transportasi berasal dari sumber terbarukan. Mayoritas terbesar dari ini diharapkan akan dipenuhi dari bahan bakar nabati – dengan biodiesel yang lebih intensif karbon (ketimbang bioetanol) sebagai pilihan yang lebih disukai secara keseluruhan. Sebuah legislasi terpisah Panduan Kualitas Bahan Bakar menetapkan aturan terhadap kualitas dari bahan bakar yang digunakan dalam kendaraan Eropa. Secara khusus, Panduan itu memerintahkan sebuah kewajiban pengurangan 6% pada intensitas gas rumah kaca dari bahan bakar pada 2020 (berdasarkan Pasal 7a). untuk mencapai pengurangan 6% ini, Negara Anggota akan bergantung pada pencampuran bensin dan solar dengan bahan bakar nabati.

[2] Perampasan Tanah untuk Biofuel Harus Dihentikan. GRAIN, 21 Februari 2013: http://www.grain.org/article/entries/4653-land-grabbing-for-biofuels-must-stop

[3] COM (2012) 595 - Proposal untuk suatu Panduan dari Parlemen Eropa dan dari Dewan, dengan mengamendemen Panduan 98/70/EC terkait kualitas bahan bakar bensin dan solar serta dengan mengamendemen Panduan 2009/28/EC tentang promosi penggunaan energi dari sumber terbarukan. 17.10.2012. Halaman 3.

[4] COM (2012) 595 - Proposal untuk suatu Panduan Parlemen Eropa, 17.10.2012. (ibid.) Halaman 3.

[5] COM (2012) 595 - Proposal untuk suatu Panduan Parlemen Eropa, 17.10.2012. (ibid.) Halaman 3.