Analisis DTE terhadap proposal Oktober 2012 dari Komisi Eropa

Info Terkini DTE tentang Agrofuel, April 2013, Bagian II

Berikut adalah bagian kedua dari Info Terkini DTE tentang Agrofuel atau bahan bakar nabati bulan April 2013. Bagian ini menyajikan analisis singkat mengenai elemen-elemen penting dari proposal Komisi Eropa (KE). Bagian pertama menyajikan latar belakang dari proposal tersebut.

Proposal lengkap KE dapat diakses di sini.

Proposal KE: Batas atas 5% terhadap penggunaan agrofuel berbasis tanaman pangan (generasi pertama) untuk transportasi

Apa artinya ini?

Sebuah batasan 5% akan diberlakukan pada jumlah agrofuel berbasis tanaman pangan yang digunakan untuk memenuhi tujuan Uni Eropa (UE) untuk memastikan bahwa sedikitnya 10% dari energi yang digunakan untuk transportasi berasal dari sumber-sumber terbarukan pada tahun 2020. Berdasarkan kebijakan yang saat ini berlaku, agrofuel yang dibuat dari tanaman pangan dapat secara legal memasok seluruh target 10% untuk transportasi. Proposal baru tersebut mengurangi separuh jumlah ini. Namun, bahan bakar berbasis pangan sudah memasok hampir 5% (4,7% pada 2010) agrofuel yang digunakan di UE – sehingga batas atas tersebut tidak mengurangi penggunaan agrofuel: hanya berbeda sedikit di atas tingkatan yang berlaku saat ini.

Pendapat DTE

KE telah mengakui adanya kompetisi antara menanam tanaman untuk pangan dan untuk bahan bakar nabati dan proposal tersebut di antaranya untuk mengatasi hal ini. Tetapi ada tiga kelemahan utama:

1) Tidak ada perubahan! Menetapkan batas hanya sedikit di atas tingkatan sekarang sama saja dengan mempertahankan apa yang ada sekarang. Selanjutnya, proposal tersebut tidak mencakup fakta bahwa, antara sekarang dan tahun 2020 (tenggat untuk target 10% bagi energi transportasi yang terbarukan) permintaan terhadap bahan bakar transportasi mulai meningkat. Ini berarti bahwa volume aktual dari agrofuel dari tanaman pangan masih akan meningkat secara signifikan antara sekarang dan tahun 2020, terlepas dari adanya batas atas 5% tersebut.[1]

2) Batas atas 5% bukanlah plafon yang mutlak. Proposal tersebut membatasi jumlah agrofuel berbasis pangan yang tercakup dalam target 10% transportasi yang terbarukan untuk tahun 2020 tetapi tidak melarang penggunaan agrofuel berbasis pangan yang melebihi batas atas 5%. Selanjutnya, proposal tersebut berlaku terhadap target 10% transportasi dalam Panduan Energi Terbarukan (RED)[2] tapi tidak terhadap Panduan Kualitas Bahan Bakar (FQD).[3] Ini memberikan kebebasan bagi Negara Anggota untuk memulai penggunaan campuran yang lebih tinggi dari agrofuel berbasis pangan di dalam biodiesel dan bensin sebagai cara mengurangi intensitas gas rumah kaca dari bahan bakar pada tahun 2020, alih-alih menggunakan pilihan bahan bakar rendah-karbon, seperti hidrogen atau listrik bersih. 

3) Proposal itu mengabaikan dampak-dampak dari bahan mentah agrofuel berbasis lahan yang tidak digolongkan sebagai tanaman pangan[4] namun menimbulkan kompetisi ketat antara lahan dan produksi pangan. Ini mencakup tanaman seperti jatropha, yang mengkonsumsi sejumlah besar lahan dan sumber daya alam (seperti air dan unsur hara tanah) tapi memberikan hasil yang minimal.[5] Informasi yang disampaikan dalam Rencana Aksi Energi Terbarukan Nasional[6] (peta jalan energi terbarukan yang disampaikan oleh setiap Negara Anggota pada 2011) menunjukkan bahwa mayoritas Negara Anggota akan memilih agrofuel berbasis lahan lainnya (dari tanaman seperti jatropha) untuk memenuhi sisa 5% dari target energi terbarukan untuk transportasi. Kegagalan menetapkan batas terhadap seluruh bahan mentah berbasis lahan akan memberikan insentif perluasan pasar untuk agrofuel berbasis lahan lainnya dalam skala besar-besaran. Kriteria keberlanjutan yang dibutuhkan untuk membatasi kerusakan lingkungan dan sosial yang akan diakibatkannya masih tidak memadai.

Bagaimana memperbaiki proposal itu?

Agar memiliki arti, batas atas 5% itu harus diterapkan pada seluruh agrofuel berbasis lahan dan harus berlaku secara setara terhadap RED maupun FQD. Rencana-rencana lanjutan harus ditetapkan untuk menghapus secara bertahap penggunaan bahan mentah agrofuel apapun yang memiliki dampak negatif pada masyarakat lokal, lingkungan hidup atau yang meningkatkan emisi karbon dibandingkan dengan bahan bakar fosil

 Proposal KE: Untuk meningkatkan persyaratan minimum penghematan gas rumah kaca (GRK) bagi instalasi baru (pabrik pemrosesan agrofuel) yang dibangun di Eropa menjadi 60%, dibandingkan dengan bahan bakar fosil – berlaku mulai 1 Juli 2014

Apa artinya ini?

Proposal ini bertujuan untuk memastikan bahwa seluruh agrofuel mendatang (yang ditujukan untuk transportasi, pemanas atau pembangkit listrik) 60% lebih besar efisiensi karbonnya ketimbang bahan bakar fosil. Target penghematan GRK saat ini adalah 35% dan diatur agar meningkat secara progresif hingga 50% pada 2017 dan 60% pada 2018 – sehingga proposal ini menjadikan target penghematan 60% dalam empat tahun. Proposal ini juga bertujuan untuk coba menghalangi investasi pada instalasi dengan kinerja GRK buruk dan memberi insentif investasi pada instalasi yang ‘lebih bersih’. Namun 60% penghematan GRK tersebut hanya akan berlaku bagi pabrik pemrosesan yang mulai beroperasi pada 1 Juli 2014. Seluruh pabrik yang beroperasi sebelum tanggal tersebut dapat diperhitungkan menurut peraturan yang berlaku  saat ini dan akan jadi klausul kakek (grandfather clause),[7] yang berarti akan dikecualikan dari persyaratan baru tersebut.

Pendapat DTE

Saat ini cukup banyak pabrik pemrosesan yang dibangun di Eropa untuk memenuhi mayoritas dari usulan 5% porsi bahan bakar transportasi agar berasal dari tanaman berbasis pangan (dengan memperhitungkan pertumbuhan kebutuhan bahan bakar transportasi antara sekarang dan tahun 2020), sehingga proposal ini pada dasarnya sedikit atau tidak memberikan perubahan terhadap praktik yang berlaku sejauh menyangkut bahan bakar transportasi. Berdasarkan penghitungan ini, KE gagal memenuhi janjinya untuk memberi insentif hanya pada agrofuel dengan kinerja terbaik. Negara Anggota masih akan diizinkan untuk menghitung agrofuel dengan jejak karbon terburuk seperti minyak sawit dan kedelai, ke dalam target energi terbarukan mereka.

Bagaimana memperbaiki proposal itu?

Seluruh bahan bakar nabati yang diproduksi atau dikonsumsi di Eropa harus tunduk pada persyaratan penghematan GRK 60%, tanpa kecuali atau penundaan.

Proposal KE: ‘Penghitungan ganda’ untuk agrofuel dengan emisi Perubahan Penggunaan Lahan secara Tak Langsung (ILUC)[8] yang rendah atau nihil

Apa artinya ini?

Kontribusi agrofuel yang diproduksi dari tanaman non-pangan cenderung akan dihitung berlipatganda (dua atau empat kali lipat) terhadap target 10% energi terbarukan. Niat dari proposal tersebut adalah untuk memberikan insentif ekstra bagi investasi dalam agrofuel ‘maju’ (generasi kedua atau ketiga), yang diproduksi dari ‘limbah’, ‘produk sampingan’ dan ‘residu’[9] yang tidak menciptakan permintaan tambahan terhadap lahan atau meningkatkan emisi karbon – khususnya yang digunakan untuk memenuhi 10% energi terbarukan pada target transportasi. Agrofuel yang akan dihitung empat kali lipat di antaranya adalah alga, jerami, pupuk kandang dan lumpur limbah. Di antara hal-hal yang akan dihitung dua kali lipat adalah minyak goreng bekas, lemak binatang tertentu, bahan selulosa non-pangan,[10] dan bahan lignoselulosa[11] (kecuali balak gergajian dan balak venir).

Pendapat DTE

Beberapa limbah dan residu memang dapat menjadi berkelanjutan dan harus diberi pelipatgandaan ekstra sebagai sebuah insentif untuk meningkatkan investasi dan pemanfaatannya. Namun dibutuhkan definisi yang jelas dari bahan ‘limbah’, ‘produk sampingan’ dan ‘residu’ agar dapat menilai keberlanjutan dari sumber daya tersebut dan memastikan bahwa dampak-dampak tak langsung apapun telah diperhitungkan. Ekstraksi berlebihan dari residu biomassa pertanian dan hutan khususnya dapat meningkatkan tekanan pada ekosistem dan memperburuk degradasi lingkungan hidup.[12]

Bagaimana memperbaiki proposal itu?

Proposal itu harus memasukkan definisi yang jelas dari bahan ‘limbah’ dan ‘residu’ dan memerinci batasan penggunaan yang berkelanjutan. Sistem pengaman lingkungan hidup yang kuat untuk pemanfaatan limbah, produk sampingan dan residu untuk penggunaan dalam produksi agrofuel harus dimaksudkan secara jelas untuk memastikan bahwa bahan mentah maju ini betul-betul berkelanjutan.

Proposal KE: Untuk memasukkan faktor-faktor perubahan penggunaan lahan secara tak langsung (ILUC) dalam cara para pemasok bahan bakar dan Negara Anggota melaporkan penghematan gas rumah kaca dari agrofuel.

Apa artinya ini?

Proposal itu berlaku untuk ‘bahan bakar hayati (biofuel) dan cairan hayati (bioliquid)’ yang digunakan untuk transportasi, pemanas dan pembangkit listrik. Secara sederhana, kebanyakan agrofuel yang berasal dari tanaman yang memanfaatkan lahan akan diberikan sebuah ‘faktor ILUC’. ‘Faktor ILUC’ mewakili perkiraan emisi dari tambahan perubahan penggunaan lahan yang dihasilkan ketika lahan pertanian yang digunakan untuk menanam tanaman pangan atau pakan ternak diambil alih untuk menanam agrofuel. Ketika, misalnya, hutan dibabat atau lahan gambut dikeringkan untuk mengakomodasi tanaman pangan untuk memasok bahan bakar ini, sehingga menghasilkan tingkat emisi GRK yang tinggi, agrofuel tersebut akan mendapat nilai faktor ILUC yang tinggi. KE menyatakan bahwa agrofuel yang menyebabkan perubahan penggunaan lahan secara langsung[13] sudah diwajibkan untuk memperhitungkan emisi-emisi ini.[14]

Negara Anggota dan para pemasok bahan bakar sudah diwajibkan untuk menyajikan laporan tentang kemajuan mereka dalam mencapai target energi terbarukan dari RED dan FQD – tetapi dalam proposal baru tersebut emisi karbon dari perubahan penggunaan lahan secara tak langsung dari masing-masing bahan mentah juga harus dimasukkan. Namun, walaupun pelaporan adalah wajib, faktor ILUC tidak akan diperhitungkan secara formal dalam kriteria keberlanjutan dari RED (Pasal 17) atau berdasarkan kewajiban untuk mengurangi intensitas karbon dari bahan bakar transportasi di bawah FQD (Pasal 7a). Ini berarti bahwa tidak akan ada kekuasaan perundang-undangan untuk membatasi penjualan atau pemanfaatan di dalam pasar UE dari agrofuel tersebut yang mempunyai dampak-dampak terburuk bagi masyarakat, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim.

Pendapat DTE

KE telah gagal memenuhi salah satu tujuan penting dari peninjauan perundang-undangan tersebut – untuk memastikan bahwa Negara Anggota dan para pemasok bahan bakar bertanggung jawab atas emisi karbon yang dihasilkan dari ILUC. Sekedar pelaporan tentang emisi hanya sedikit sekali membuat perubahan kecuali jika penghitungan emisi secara aktual diberlakukan sebagai suatu persyaratan hukum dalam kriteria keberlanjutan. Cara yang paling efektif untuk meningkatkan insentif bagi agrofuel berkinerja terbaik adalah memastikan penghitungan karbon dari masing-masing bahan mentah secara benar melalui penerapan dari faktor ILUC. Karena gagal mencapai tujuan mendasar ini, proposal itu terus mendukung keberadaan agrofuel dengan emisi daur hidup karbon tertinggi dan yang menyebabkan sejumlah kerusakan lingkungan hidup dan sosial terburuk di dunia. Proposal ini bertentangan dengan pengakuan Komisi bahwa “perubahan penggunaan lahan secara tak langsung dapat mengurangi penghematan emisi gas rumah kaca yang berkaitan dengan bahan bakar hayati dan cairan hayati”.[15]

Bagaimana memperbaiki proposal itu?

Seluruh agrofuel yang membutuhkan lahan untuk tumbuh atau di mana bahan ditanam untuk tujuan produksi agrofuel harus mendapat sebuah faktor ILUC. Penghitungan karbon ILUC harus diberlakukan berdasarkan hukum di dalam kedua Panduan Energi Terbarukan dan Panduan Kualitas Bahan bakar. 

 Kesimpulan

Proposal tersebut menegaskan pengakuan resmi KE yang pertama mengenai dampak-dampak ILUC terhadap perubahan iklim dan produksi pangan, dengan mengajukan faktor-faktor ILUC dalam pelaporan. Proposal itu juga mengakui bahaya-bahaya dalam mengembangkan kebijakan-kebijakan yang menciptakan kompetisi antara pangan dan bahan bakar, sehingga KE harus diberi ucapan selamat mengenai hal ini. Walau demikian, tampaknya Komisi tunduk karena tekanan dari lobi industri dan mengabaikan rekomendasinya sendiri untuk mengambil “pendekatan pencegahan dini”.[16] Proposal tersebut penuh dengan kontradiksi, dengan menerapkan aturan terhadap RED tapi tidak terhadap FQD dan menetapkan persyaratan untuk pelaporan mengenai faktor ILUC tanpa memperhitungkan itu dalam kriteria berkelanjutan. Mereka mengakui bahwa RED dan FQD adalah kebijakan yang cacat tetapi tidak cukup mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menanganinya.

Meskipun telah diadopsi, proposal tersebut belum ditetapkan menjadi legislasi – sehingga masih ada kesempatan bagi UE untuk memperbaiki Panduan yang lemah itu.

 Apa yang terjadi selanjutnya?

Selama satu-dua tahun ke depan[17] proposal tersebut akan dibahas melalui proses keputusan bersama Uni Eropa[18] di mana revisi, amendemen dan bahkan digugurkannya proposal tersebut akan didiskusikan sebelum menjadi legislasi.

Pada akhir tahun ini Komisi Eropa dijadwalkan akan mengumumkan kriteria berkelanjutan ILUC yang baru untuk agrofuel. Sebagai Negara Anggota dari UE, para pemerintah Eropa dengan demikian harus bertindak saat ini juga untuk memperdebatkan sudut pandang mereka dan mengajukan amendemen atau alternatif terhadap amendemen tersebut, sebelum ditetapkan menjadi hukum UE.

Beberapa tanggal penting yang perlu diingat:

  • 2014: Sebuah peninjauan terhadap Panduan Energi Terbarukan akan dimulai. Persiapan menuju peninjauan tersebut memberikan sebuah peluang untuk mengangkat beberapa kekhawatiran yang penting, khususnya kegagalan Komisi untuk menghitung faktor-faktor ILUC dalam kriteria berkelanjutan, untuk menerapkan ambang batas 60% penghematan GRK terhadap semua agrofuel (termasuk yang diproduksi sebelum Juli 2014) – dan kekurangan luar biasa akan kriteria berkelanjutan sosial untuk membatasi dampak sosial dan hak asasi manusia dari permintaan atas agrofuel UE tersebut.
  • 1 Desember 2017:  Pabrik pemrosesan agrofuel yang beroperasi sebelum 1 Juli 2014 harus memenuhi ambang batas penghematan gas rumah kaca sebesar 35%
     
  • 1 Januari 2018:  Pabrik pemrosesan agrofuel yang beroperasi sebelum 1 Juli 2014 harus memenuhi ambang batas penghematan gas rumah kaca sebesar 50%
     
  • 2020: Tenggat bagi UE untuk mencapai targetnya sebesar 10% target terbarukan untuk bahan bakar transportasi. Subsidi lebih lanjut untuk agrofuel akan dihilangkan kecuali jika tampak ada ‘penghematan gas rumah kaca secara substansial’. Juga tenggat bagi UE untuk mencapai target 20% pengurangan emisi GRK pada tahun 2020 dan 20% dari campuran energi UE akan berasal dari sumber terbarukan.

Kembali ke Info Terkini Bahan Bakar Nabati DTE 2013, pengantar dan latar belakang

 


[1] Untuk informasi lebih lanjut mengenai dampak perampasan tanah terkait mandat bahan bakar nabati UE lihat http://www.grain.org/article/entries/4653-land-grabbing-for-biofuels-must-stop, GRAIN, 21 Februari 2013. 

[2] RED memerintahkan bahwa, pada tahun 2020, Eropa harus mengurangi emisi gas rumah kaca secara keseluruhan sebesar 20% (di bawah tingkat 1990) dan bahwa 20%  dari energi Eropa harus berasal dari ‘sumber terbarukan’ (walaupun masing-masing Negara Anggota  memiliki target yang berbeda dalam cakupan angka ini). Selain itu, RED menetapkan sebuah target secara khusus untuk bahan bakar transportasi. RED mewajibkan setiap Negara Anggota untuk memastikan bahwa minimum 10% dari total energi yang digunakan untuk transportasi berasal dari sumber terbarukan. Mayoritas terbesar dari ini diharapkan akan dipenuhi dari agrofuel – dengan biodiesel yang lebih intensif karbon (ketimbang bioetanol) sebagai pilihan yang lebih disukai secara keseluruhan.

[3] FQQ menetapkan aturan seputar kualitas bahan bakar yang digunakan dalam kendaraan di Eropa. Secara khusus, FQD memerintahkan kewajiban pengurangan 6% dalam intensitas gas rumah kaca dari bahan bakar pada tahun 2020 (berdasarkan Ayat 7a). Untuk mencapai pengurangan 6% ini, Negara Anggota saat ini mengandalkan pencampuran bahan bakar bensin dan solar dengan agrofuel.

[4] Misalnya, tanaman bahan bakar nabati yang membutuhkan wilayah lahan yang luas untuk tumbuh, seperti jatropha.

[5] Lihat Perjuangan untuk Tanah, Buletin DTE Edisi Khusus untuk informasi lebih lanjut mengenai agrofuel, jatropha dan perampasan tanah.

[6] Negara Anggota dari UE diwajibkan, berdasarkan Pasal 4 dari Panduan Energi Terbarukan (2009/28/EC),[1] untuk menyampaikan Rencana Aksi Energi Terbarukan Nasional (NREAP) yang merinci bagaimana mereka memperkirakan akan mencapai target tahun 2020 yang mengikat secara hukum atas porsi energi terbarukan dalam total konsumsi energi mereka. Pada 2011, NREAP menunjukkan bahwa mayoritas Negara Anggota itu telah memilih untuk menggunakan agrofuel sebagai sumber utama energi terbarukan dalam transportasi pada 2020.

[7] Klausul kakek (grandfather clause) memungkinkan suatu keadaan, pemanfaatan atau aturan yang telah ada sebelumnya untuk tetap berlaku meskipun ada regulasi yang lebih baru. Pencantuman klausul kakek dalam proposal tersebut adalah cara KE memberikan industri agrofuel rasa aman bahwa investasi dan lapangan kerja akan dilindungi terlepas dari adanya perubahan terhadap legislasi.

[8] ILUC adalah di mana tanaman untuk agrofuel menggusur lahan dengan cadangan karbon tinggi (seperti hutan atau lahan gambut) atau lahan yang sebaliknya dapat digunakan untuk penghasil pangan. ILUC meningkatkan emisi karbon, menghancurkan hutan dan keanekaragaman hayati, menyingkirkan hak-hak tanah masyarakat lokal dan mengancam keamanan dari produksi pangan dunia – tetapi dampak-dampak itu tidak dihitung dalam Panduan Energi Terbarukan (RED) dan Panduan Kualitas Bahan Bakar (FQD).

[9] Untuk informasi lebih lanjut tentang bahan mentah alternatif silakan lihat laporan baru Institut Kebijakan Lingkungan Hidup Eropa (Institute for European Environmental Policy, IEEP) mengenai Keberlanjutan Bahan Bakar Hayati Maju di UE: Menilai keberlanjutan dari daftar limbah, residu dan bahan mentah lainnya yang ditetapkan dalam proposal Komisi Eropa tentang Perubahan Penggunaan Lahan secara Tak Langsung (ILUC) http://www.ieep.eu/assets/1173/IEEP_2013_The_sustainability_of_advanced_biofuels_in_the_EU.pdf

[10] Selulosa adalah bahan yang mudah terbakar yang ditemukan dalam tanaman nonpangan seperti ganja (hemp), rumput prairi (switchgrass) dan dedalu (willow).

[11] Bahan lignoselulosa adalah residu zat tanaman kering seperti buangan pengolahan kayu sisa atau pabrik pengolahan kertas, atau zat berserat yang tertinggal setelah batang tebu digiling untuk memperoleh airnya.

[12] Untuk informasi lebih lanjut tentang definisi kebijakan UE dan potensi manfaat dan risiko menggunakan bahan mentah ‘maju’, lihat halaman 3 dari laporan baru Institut Kebijakan Lingkungan Hidup Eropa (IEEP) mengenai Keberlanjutan Bahan Bakar Hayati Maju di UE: Menilai keberlanjutan dari daftar limbah, residu dan bahan mentah lainnya yang ditetapkan dalam proposal Komisi Eropa tentang Perubahan Penggunaan Lahan secara Tak Langsung (ILUC) http://www.ieep.eu/assets/1173/IEEP_2013_The_sustainability_of_advanced_biofuels_in_the_EU.pdf

[13] Menurut Institut Kiel: Tinjauan mengenai Kajian IFPRI, “perubahan penggunaan lahan secara langsung adalah konversi lahan, yang tidak digunakan untuk produksi tanaman sebelumnya, menjadi lahan yang digunakan untuk produksi bahan mentah bahan bakar hayati tertentu. Emisi yang diakibatkan oleh proses konversi tersebut dapat secara langsung dikaitkan dengan beban bahan bakar hayati dan kemudian dialokasikan ke neraca karbon yang spesifik dari bahan bakar hayati itu”. Lihat http://www.ebb-eu.org/EBBpressreleases/Review_iLUC_IfW_final.pdf.

[14] MEMO/12/787 dari Komisi Eropa, bertanggal: 17/10/2012, Perubahan Penggunaan Lahan secara Tak Langsung (ILUC) http://europa.eu/rapid/press-release_MEMO-12-787_en.htm.

[15] COM (2012) 595 - Proposal untuk suatu Panduan dari Parlemen Eropa dan dari Dewan, dengan mengamandemen Panduan 98/70/EC terkait kualitas bahan bakar bensin dan solar dan dengan mengamandemen Panduan 2009/28/EC tentang promosi penggunaan energi dari sumber terbaharukan. 17.10.2012. Halaman 2.

[16] COM (2012) 595 - Proposal untuk suatu Panduan Parlemen Eropa 17.10.2012, (ibid.) Halaman 2.

[17] Jadwal untuk diskusi dan menetapkan tenggat untuk membuat legislasi belum terkonfirmasi dan tampaknya akan dibentuk melalui proses keputusan-bersama (lihat catatan kaki 18 di bawah).

[18] Proses keputusan-bersama dalam kasus ini akan melibatkan Parlemen Eropa, Dewan Menteri dan Komisi Eropa. Untuk informasi lebih lanjut tentang bagaimana keputusan UE dibuat, lihat http://europa.eu/eu-law/index_en.htm.