Memperjuangkan pengakuan atas tanah adat

Nenek Mahbun

Down to Earth No. 87, Desember 2010 

Sebuah informasi baru tentang Badan Registrasi Wilayah kelola Adat (BRWA) yang diluncurkan awal tahun ini.

Tanah sudah di tangan kamilah, Nak.., tapi pengakuan belumlah kami dapatkan. Kami ingin bebas, merdeka mengerjakan tanah kami...(Nenek Mahbun dari Desa Kelumpang Lima)

Nenek Mahbun sedang duduk bersama Ibu Mardiah, Ibu Misna, Ibu Icik dan bersama-sama dengan ibu-ibu lainnya, bapak-bapak  bahkan anak-anak hadir  di Lapangan Merdeka, Medan pada 17 Maret 2010. Mereka begitu bersemangat dan antusias untuk merayakan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang secara bersamaan meluncurkan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).[1] Kutipan kalimat Nenek Mahbun begitu mengena dengan situasi di Lapangan Merdeka. Massa yang berjumlah ratusan orang ini adalah anggota Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI)[2] yang berkumpul membawa berbagai spanduk menuntut pengakuan atas tanah adat mereka.

Nenek Mahbun, setahun lalu sudah berusia 75 tahun. Menurut pengakuannya, “Saya berjuang dari kecik, Nak, untuk mendapatkan kembali tanah kami. Kira-kira sudah 55 tahunlah sampai sekarang. Lihatlah kaki Nenek Mahbun cacat tertebas parang saat bertahan di lahan”. Cerita senada juga diungkapkan Bapak Ibrahim Isra seorang Tetua Adat dari Kampung Secanggang. Pola perladangan berpindah yang mereka gunakan telah mengakibatkan tanah mereka dirampas oleh Pemerintah dengan alasan tanah ditelantarkan. Mereka mulai melakukan aksi mengambil tanah mereka kembali dari tahun 1979 sampai saat ini. Berbagai cara sudah ditempuh termasuk melalui jalur hukum. Tetapi mereka belum mendapatkan pengakuan atas hak mereka. Ancaman  dari PTPN II  yang menggunakan tangan serikat buruh PTPN II dan polisi terus terjadi, bahkan di saat acara  Hari Kebangkitan Masyarakat Adat dan Peluncuran BRWA.  PTPN II  mengancam akan melakukan aksi pengosongan lahan, itulah kenapa tidak seluruh masyarakat dapat hadir di Lapangan Merdeka hari ini. “Kami takut lahan sudah dihancurkan ketika kami kembali ke kampung. Jadi sebagian harus tinggal untuk berjaga-jaga di lahan.” 

“Bagi kami (BPRPI) hari ini sangat bersejarah. Baru pada acara ini Pemerintah mau hadir dan duduk bersama kami.  Hari ini kami datang beramai-ramai untuk mendapatkan pengakuan dari Pemerintah (Sumatera Utara).” Ketika bangkit dari duduk untuk mengikuti acara yang akan dimulai, Nenek Mahbun mengatakan, “Bantulah kami untuk mendapatkan hak kami karena tanah adalah sumber hidup kami. Perjuangan ini bukan untuk nenek yang sudah tua tetapi untuk anak cucu dan generasi ke depan”. 

Harapan besar itu juga yang dibawa oleh perwakilan masyarakat adat lain yang berkumpul di Lapangan Merdeka seperti perwakilan dari Jaringan Kerja Masyarakat Adat Aceh (JKMA), Aliansi Masyarakat Adat Riau (AMAR), AMAN Jambi, masyarakat adat Kasepuhan dari Jawa Barat, yang hadir. Peluncuran BRWA ditandai dengan dibukanya banner besar di Lapangan Merdeka Medan oleh Wakil Gubernur Sumatera Utara Bapak Gatot Pujonoegroho. Secara simbolis telah diserahkan sertifikat pendaftaran BRWA kepada daerah yang sudah diverifikasi yaitu:  Masyarakat Adat Enggano, Bengkulu; Wilayah Adat Lusan, Kalimantan Timur; Wilayah Adat Lewolema, Nusa Tenggara Timur;  Wilayah Adat Pulau Nasi, Aceh; Wilayah Adat Lodang, Sulawesi Selatan dan Wilayah Adat Sei Utik/Dayak Iban, Kalimantan Barat.

Harapan besar telah disandarkan pada BRWA, badan yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB AMAN) bekerjasama dengan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) dan Forest Watch Indonesia (FWI). BRWA berfungsi sebagai wadah pendaftaran wilayah-wilayah adat se-Nusantara, untuk melayani berbagai kebutuhan informasi baik dari Pemerintah, maupun Non-Pemerintah mengenai keberadaan Masyarakat Adat dan Wilayah Adatnya.

Kehadiran BRWA menurut Kasmita Widodo (Ketua Pelaksana Harian) dimaksudkan untuk mendorong adanya:

  1. Pengakuan terhadap wilayah-wilayah masyarakat adat.
  2. Memberikan tekanan kepada Pemerintah Daerah untuk memberikan perlindungan dengan menampilkan informasi-informasi mengenai wilayah adat di daerahnya.

Registrasi merupakan bagian upaya BRWA mempersiapkan data-data untuk memperkuat proses Rancangan Undang-Undang tentang perlindungan Masyarakat Adat yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) 2010 – 2014. Di sisi lain, masyarakat adat mau atau tidak haruslah menyikapi masuknya proyek-proyek nasional seperti REDD ke wilayah-wilayah adat. AMAN Sulteng telah memberikan rekomendasi yang kuat kepada proyek UN REDD yang akan diimplementasikan di wilayah Togean dengan menggunakan informasi yang dikonsolidasikan di BRWA. AMAN Sulteng mensyaratkan proyek ini harus melakukan FPIC dan menggunakan UNDRIP (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples) sebagai kerangka kerja bersama masyarakat adat dengan menampilkan informasi wilayah-wilayah adatnya.

Untuk menjawab tantangan kerja BRWA ke depan dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak dan infrastruktur BRWA yang kuat di daerah. Sosialisasi telah dilakukan bekerjasama dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) terutama kepada organisasi-organisasi masyarakat adat dan LSM. Sosialisasi bukan hanya untuk pembentukan Kantor Wilayah BRWA tetapi juga memperhatikan masukan dari masyarakat adat tentang kelembagaan ini. Ada catatan menarik dari proses ini, masyarakat adat pemilik peta dan pengguna peta merasakan kehadiran BRWA menjadi penting. Inisiatif komunitas yang terus berkembang untuk mendata dan memetakan wilayah adatnya secara partisipatif tidak terhenti hanya pada saat peta diproduksi. Masyarakat adat membutuhkan upaya-upaya mengkonsolidasikan peta-peta wilayahnya sehingga kontrol di antara masyarakat adat terhadap wilayah mereka menjadi lebih terbuka. Di lain pihak LSM masih ragu-ragu terhadap penggunaan peta yang dipublikasikan ini. Dodo menyatakan bahwa kekhawatiran ini tidak boleh menutup kesempatan komunitas adat dan organisasi-organisasi masyarakat adat untuk mengambil peluang advokasi melalui BRWA.

Saat ini BRWA sudah memiliki Kantor Wilayah di Sulawesi Tengah, dua kantor Wilayah yang sedang dalam persiapan adalah Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.  Pemilihan Kantor Wilayah didasarkan pada luasan wilayah yang sudah dipetakan dan aspek lainnya. Sulawesi Tengah sudah menjadi pusat gerakan pemetaan partisipatif di Sulawesi sejak lama. Beberapa cerita sukses masyarakat adat dalam advokasi tata ruang juga sudah menjadi bahan belajar berbagai pihak dari wilayah ini. Kalimantan Barat adalah pelopor gerakan pemetaan partsipatif di Indonesia yang difasilitasi oleh Unit Pemberdayaan Pengelolaan Sumber Daya Alam berbasis Kemasyarakatan (PPSDAK) dibawah Yayasan Pancur Kasih dan secara masif telah memetakan kampung-kampung adat sebesar 7% dari wilayah Kalimantan Barat. PPSDAK juga membantu beberapa pemetaan di wilayah Kalimantan Tengah. Melalui Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2008 tentang kelembagaan adat, yang turunannya adalah Peraturan Gubernur (PerGub) No 13 tahun 2009 tentang tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah, Pemerintah Kalimantan Tengah (Kalteng) berupaya untuk melindungi kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat lokal berkenaan dengan sumberdaya hutan dan lahan. Hutan bukan sekedar gerombolan pohon atau sumberdaya ekonomi tetapi merupakan bagian dari budaya dan kearifan lokal, rumah, tempat usaha atau tempat sakral keagamaan bagi sebagian masyarakat lokal. Peraturan Gubernur ini bisa digunakan sebagai peluang untuk mengidentifikasi sebaran wilayah adat di Kalimantan Tengah oleh AMAN Kalteng dan membangun perlindungan bagi komunitas-komunitas adatnya. Pemetaan sudah banyak dilakukan di daerah hulu di mana kampung-kampung adat masih cukup kuat hidup dalam tata nilai budayanya. 

Pengembangan BRWA ini juga didukung oleh Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) melalui pengembangan simpul-simpul layanan JKPP di berbagai wilayah. Saat ini simpul layanan yang sudah ada adalah di Riau, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan dan Papua. Selain memperkuat infrastruktur JKPP dan BRWA, pengembangan simpul layanan ditujukan untuk percepatan fasilitasi wilayah-wilayah dalam proses pemetaan partisipatif dan registrasi wilayah adat.  Saat ini 20 kampung adat di Tana Luwu, Sulawesi Selatan sedang mendapatkan dukungan untuk pemetaan wilayah mereka.

JKPP juga sedang mengembangkan registrasi wilayah kelola rakyat di luar dari wilayah-wilayah adat. Fasilitasi ini ditujukan untuk identifikasi tanah-tanah yang diduduki oleh petani atau dikelola oleh masyarakat lokal. Contohnya seperti di wilayah-wilayah kelola rakyat di Jawa Timur dengan aksi yang dilakukan oleh Serikat Petani Lumajang. “Tanah di sana diklaim oleh pihak Perhutani. Tanah yang dulunya adalah bekas perkebunan Belanda itu secara de facto adalah milik petani lokal,” ucap Junaidi, Sekretaris Jenderal Serikat Petani Lumajang. Dia menuturkan sebaiknya tanah tersebut diberikan untuk rakyat, jangan diberikan kepada pengusaha bermodal besar.[3]

Note

2  Untuk membaca sejarah BPRPI (Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia) silahkan mengunduh artikel Down To Earth Nomor 63 November 2004 ‘Melayu Farmer’s Long Struggle for Land Rights’, artikel Down To Earth Nomor 68 Februari 2006 ‘Mengenang Abah Nawi, Pemimpin Adat yang memberi inspirasi'.

3 SuaraSurabaya.net, 24 September 2010