Kebuntuan bahan bakar hayati berlanjut hingga 2014

buah sawit

DTE 98, Maret 2014

Keragu-raguan dan ketidakpastian terhadap kebijakan bahan bakar hayati Uni Eropa (UE) terus berlangsung, sementara masyarakat di Indonesia terus menderita akibat berbagai dampak dari ekspansi kelapa sawit.

Tahun 2013 berakhir dengan kebijakan bahan bakar hayati yang terperangkap dalam kebuntuan akibat keragu-raguan.[1] Dewan Eropa gagal mencapai kesepakatan mengenai langkah-langkah yang diajukan oleh Parlemen Eropa pada bulan September, yang ditujukan untuk menangani dampak-dampak negatif dari perubahan penggunaan lahan secara tak langsung (ILUC) dan bahan bakar hayati berbasis lahan. Menginjak beberapa bulan di tahun 2014 proposal Parlemen Eropa mulai berdebu di lemari parlemen. Sementara para pengambil keputusan terus menimbang-nimbang, tidak ada perubahan terkait dengan bahan bakar hayati dan kerusakan yang disebabkannya terhadap masyarakat, lingkungan hidup dan iklim.

Visi untuk Kerangka Iklim dan Energi Eropa Pasca 2020

Sementara itu, fokus mengenai energi terbarukan telah beralih ke masa depan – pasca 2020. Pada bulan Januari tahun ini, Komisi Eropa (KE) mengeluarkan sebuah laporan yang menggambarkan visi mereka untuk kerangka iklim dan energi Uni Eropa (UE) untuk 2020-2030. Proposal Komisi tersebut merefleksikan permintaan-permintaan dari industri bahan bakar hayati dan beberapa negara anggota UE untuk sebuah kerangka iklim UE ‘yang disederhanakan’ pasca 2020.

Kerangka iklim dan energi UE saat ini (yang berakhir pada 2020) mensyaratkan negara-negara anggota untuk mencapai target-target yang spesifik untuk mengurangi emisi dan meningkatkan porsi energi terbarukan mereka – khususnya dalam transportasi. Jika disetujui, berbagai sub-target yang ada dalam sektor transportasi dan energi akan dicoret berdasarkan kerangka ‘2030’ yang baru tersebut. Sebagai gantinya, UE akan menetapkan sasaran energi terbarukan secara tunggal yakni 27% dan sebuah target tunggal untuk memotong karbon hingga 40% pada 2030 (dibandingkan dengan tingkat tahun 1990), yang akan berlaku untuk Uni Eropa sebagai suatu kesatuan tanpa target-target yang spesifik atau mengikat bagi masing-masing negara anggota.

Kerangka yang baru itu akan memberikan fleksibilitas bagi pemerintah untuk memilih cara-cara yang paling efektif dari sisi biaya guna memotong emisi – tetapi apa yang terjadi pada para negara anggota yang gagal dalam memperkenalkan lebih banyak energi terbarukan? Sebagai pengganti target-target yang mengikat secara nasional, kerangka 2030 tersebut mendorong ‘pendekatan regional’ yang baru, yang mendukung konsultasi dan koordinasi yang lebih baik mengenai kebijakan energi nasional dan regional di antara negara-negara tetangga sebagai sebuah strategi untuk mencapai target-target energi dan iklim.

Masih tidak jelas benar bagaimana persisnya gaya tata kelola yang baru ini akan memastikan bahwa pemerintah bertanggung gugat terhadap kontribusi energi terbarukan mereka – khususnya mengingat ketiadaan target yang mengikat atau kapasitas hukum untuk menerapkan sanksi. Sejumlah fleksibilitas dapat bersifat positif untuk memberikan kebebasan bagi pemerintah untuk membentuk jalur energi terbarukan mereka sendiri. Sayangnya, sejarah telah menunjukkan bahwa target-target wajib di tingkat nasional adalah penting untuk menghasilkan tindakan dan untuk membuat pemerintah bertanggung gugat untuk melaksanakan janji-janji mereka. Jadi, akankah ketiadaan target yang sah secara hukum bagi negara-negara anggota memungkinkan emisi-emisi, khususnya dari transportasi, untuk lolos tanpa sanksi, pasca 2020? Bisakah kemudian Eropa gagal mencapai target emisi terpadunya pada 2030 sebagai akibatnya? Bagaimana Eropa dapat memberi kepastian bahwa Uni Eropa akan mencapai targetnya tanpa kemampuan untuk mengukur atau menilai target tersebut di tingkat negara anggota?  

Ini hanyalah beberapa pertanyaan yang muncul saat negara-negara anggota Uni Eropa masuk ke dalam perdebatan mengenai proposal Komisi Eropa. Tekanannya sekarang berlanjut agar dapat mencapai sebuah kesepakatan untuk kerangka 2030 yang baru sebelum Negosiasi Iklim Internasional 2015 di Paris.

Apa artinya untuk bahan bakar hayati?

Debat tentang apa yang harus dianggap sebagai energi ‘terbarukan’ yang sejati telah menguasai diskusi iklim selama bertahun-tahun – dan tak ada lagi yang lebih bertahan selain debat seputar bahan bakar hayati. Kerangka baru KE mengusulkan beberapa perubahan positif, termasuk mengakhiri dukungan publik (subsidi) bagi bahan bakar hayati berbasis tanaman pangan setelah 2020. Mencoret 10% sub-target untuk energi terbarukan dalam transportasi kemungkinan besar akan mengakhiri mandat bahan bakar hayati yang saat ini diberlakukan bagi negara-negara anggota UE. Mandat bahan bakar hayati telah mendorong meningkatnya permintaan akan bahan mentah industri yang berbasis lahan, seperti minyak sawit dari Indonesia, yang mengakibatkan berbagai dampak yang menghancurkan pada sumber penghidupan masyarakat, hutan dan lahan gambut.

Jadi apakah kerangka iklim dan energi yang baru tersebut menjadi satu alasan untuk bergembira akan bahan bakar hayati? Belum cukup. Dengan mengusulkan agar sub-target tersebut dicoret dari tujuan 2030, KE menghapus insentif bagi para pemerintah untuk mengadakan bahan bakar hayati, yang dapat mengarah pada suatu penghapusan bertahap dari bahan bakar hayati generasi pertama seperti minyak sawit – yang tentunya merupakan sebuah langkah positif. Tetapi meskipun mandat bahan bakar hayati dilucuti, Panduan Energi Terbarukan (Renewable Energi Directive, RED), yang awalnya menetapkan target bahan bakar hayati dan merangsang pasar, telah menciptakan kehausan akan bahan bakar hayati di Eropa, yang tampaknya tidak akan lenyap. Jika harga minyak naik cukup tinggi, negara anggota dapat mempertimbangkan bahan bakar hayati sebagai kontribusi yang layak bagi bauran energi terbarukan dalam negeri mereka, meski tanpa dukungan dari subsidi UE. Bahayanya adalah bahwa berdasarkan kerangka ‘bebas target nasional’ 2030 tersebut, UE akan memiliki kontrol legislatif yang sedikit terhadap bagaimana pemerintah berkontribusi terhadap target utama Uni Eropa mengenai energi terbarukan dan pengurangan emisi – termasuk kuantitas (dan kualitas) dari bahan bakar hayati apapun yang mungkin mereka gunakan. Hal lain yang membuat masyarakat sipil semakin khawatir, kerangka yang baru itu gagal menetapkan target 2030 mengenai efisiensi energi dan malah mengusulkan untuk melucuti Panduan Kualitas Bahan Bakar (Fuel Quality Directive, FQD), yang menetapkan target berdasarkan hukum sebesar 6% terhadap intensitas gas rumah kaca dalam bahan bakar.[2] FQD sangat penting untuk memastikan bahwa hanya bahan bakar hayati yang paling efisien dan paling tinggi menghemat karbon-lah yang digunakan sehingga kehilangan FQD membuka pintu bagi para pemerintah untuk menggunakan bahan bakar yang lebih tidak berkelanjutan dengan dasar legislatif yang kecil untuk menuntut ganti rugi.

Biomassa

Laporan KE mengakui batasan-batasan dari bahan bakar hayati generasi pertama sebagai suatu bahan bakar terbarukan di Eropa, serta isu-isu yang terkait dengan perubahan penggunaan lahan secara tak langsung. Rencana energi dan iklim untuk 2030 akan mempromosikan penggunaan bahan bakar hayati tingkat lanjut untuk menggantikan bahan bakar hayati generasi pertama dan untuk mengurangi karbon pada sektor transportasi tertentu. Laporan tersebut juga menyatakan bahwa target terbarukan yang ambisius akan membutuhkan peningkatan yang kuat dalam penggunaan biomassa – baik dalam negeri maupun impor – dan mendorong “Membaiknya kebijakan biomassa … yang dibutuhkan untuk memaksimalkan penggunaan biomassa yang efisien sumber daya agar dapat menghasilkan penghematan gas rumah kaca yang kuat dan dapat diverifikasi”.

KE mengakui berbagai tantangan dan pembatasan dalam melaksanakan visi ini, tetapi tidak menyebut bagaimana mereka akan mengatasinya. Yang menjadi kekhawatiran khusus menyangkut promosi biomassa dan ‘bahan bakar hayati tingkat lanjut’ adalah isu keberlanjutan pada skala besar.[3] Kriteria keberlanjutan lingkungan hidup yang berlaku di UE buruk dan kebijakan-kebijakannya hampir seluruhnya tidak memasukkan acuan terhadap dampak sosial dari bahan bakar hayati dan biomassa pada negara-negara produsen. Hanya kriteria keberlanjutan yang diperbaiki secara radikal dan mengikat secara hukum, dengan sanksi untuk ketidakpatuhan, yang mempunyai peluang untuk mengontrol adanya kerusakan lingkungan hidup atau sosial yang disebabkan oleh permintaan yang tinggi akan biomassa dan bahan bakar hayati. Jika target-target transportasi dalam RED dipangkas, akan tidak mudah mempertahankan kriteria keberlanjutan bahan bakar hayati secara efektif, bisa jadi mustahil.

Semua mata tertuju ke pengambil keputusan

Target utama KE untuk visi energi dan iklim 2030 tersebut tampaknya ambisius – tetapi kerangka di belakangnya mempunyai kelemahan-kelemahan yang signifikan. Tanggung jawab sekarang ada pada negara-negara anggota UE untuk memperkuat kerangka pasca 2020 itu, tanpa kehilangan fokus pada prioritas di depan mata untuk memperbaiki masalah-masalah kebijakan bahan bakar hayati yang berlaku saat ini. Adalah penting untuk mengingatkan mereka yang memiliki kewenangan membuat perubahan-perubahan yang diperlukan akan tanggung jawab mereka untuk melakukannya.



[1] Untuk informasi lebih jauh, lihat artikel DTE: EU Energy Council fails to agree on restrictions to bad biofuels (Dewan Energi UE gagal menyetujui pembatasan terhadap bahan bakar hayati yang buruk).

2] Panduan Kualitas Bahan Bakar (FQD) menetapkan aturan-aturan untuk kualitas bahan bakar yang digunakan pada kendaraan di Eropa. Secara khusus, FQD memerintahkan pengurangan wajib sebesar 6% terhadap intensitas gas rumah kaca dalam bahan bakar pada 2020 (lihat Pasal 7a). Untuk mencapai pengurangan 6% ini, negara-negara anggota mengandalkan pencampuran bensin dan solar dengan bahan bakar nabati.