Switch to English



Update Down to Earth tentang Lembaga-lembaga Keuangan Internasional


No 37, April 2004



Inisiatif Sektor Kehutanan "Mumbai"

Tanggal 16-21 Januari 2004 di Mumbai (India) diselenggarakan Forum Sosial Dunia IV. FSD pertama diselenggarakan tahun 2001 di Porto Alegre (Brasil) sebagai gerakan tandingan terhadap Forum Ekonomi Dunia yang dimotori kelompok korporasi dan didukung Bank Dunia, IMF, dan WTO. "Another World is Possible" adalah kampanye WSF yang diwujudkan dengan penciptaan forum terbuka untuk melakukan refleksi, perdebatan ide, pertukaran pengalaman, serta membangun hubungan antara masyarakat sipil dan gerakan yang menentang neoliberalisme dan dominasi kapital. WSF ingin membuktikan bahwa ada alternatif pembangunan lain yang berpusat pada rakyat dan kemandirian. Diikuti oleh lebih dari 75.000 peserta dari seluruh dunia yang mewakili ornop, masyarakat adat, aktivis, serta pemenang hadiah Nobel.

Merespon kegiatan ini, Bank Dunia meragukan apakah "dunia lain" yang diusulkan oleh Forum tersebut bisa terwujud atau hanya sebatas retorika. Mimpi tersebut dianggap masih mengambang dan jauh dari kenyataan sekarang. Globalisasi yang manusiawi hanya dapat dicapai melalui kerjasama dengan LKI dan korporasi yang justru mereka tentang.

Masyarakat adat serta ornop yang peduli akan isu kehutanan menggunakan momen WSF ini dengan membuat pertemuan strategis untuk membicarakan isu perlindungan hutan dan hak masyarakat kehutanan. Empat isu yang dibahas adalah dampak konservasi, politik lingkungan global, kesalahan pembangunan yang mempengaruhi komunitas lokal, serta fokus pada buruknya dampak perkebunan monokultur yang ditujukan lebih untuk melayani kepentingan industri daripada kebutuhan hidup masyarakat lokal. Mereka mengeluarkan kesepakatan "Mumbai Forest Initiative" (www.wrm.org.uy/statements/form_Mumbai.html) yang memuat prinsip untuk memproteksi hutan dan memperhatikan hak masyarakat adat. Kesepakatan itu juga merekomendasikan agar LKI tidak lagi berperan dalam kebijakan kehutanan dan proyek yang berhubungan dengan kehutanan mengingat besarnya peran LKI dalam kerusakan hutan.

WALHI yang turut serta dalam FSD dan juga Forum Ekonomi Dunia di Davos (Swiss) memberikan perhatian pada tiga isu utama yaitu pertanggungjawaban perusahaan, masalah air, dan globalisasi. MNC dianggap hanya mementingkan keuntungan tanpa memperhatikan dampak negatif pada komunitas lokal, oleh karena itu WALHI akan mengadvokasikan UU Corporate Responsibility di tingkat nasional.

Sumber :
www.worldbank.org
World Bank Press Review devnews@worldbank.org
www.walhi.or.id/English/updates/wal_wsfwef_31012004.htm
www.wsfindia.org
Kompas 20 Januari 2003, 22 Januari 2003
www.wrm.org.uy

ADB Water Week dan Proyek Desentralisasi Air
Pada tanggal 26-30 Januari 2004 di Manila (Filipina), ADB mengadakan pertemuan membahas masalah air bertema "Water for the Poor: Setting the Rules and Finding the Money". Diikuti oleh 350 peserta se-Asia Pasifik, pertemuan ini menghasilkan sejumlah prioritas tindakan untuk menyediakan akses air yang lebih baik bagi kelompok miskin. Masalah kemiskinan perdesaan menjadi fokus. Disepakati pentingnya peningkatan pembiayaan di perdesaan dan perbaikan mekanisme pembiayaan melalui desentralisasi. Salah satunya melalui pemberian kredit perdesaan dan perbaikan mekanisme pembiayaan kegiatan ekonomi di perdesaan (lihat LKI Update No. 35 November/Desember 2003 di dte.gn.apc.org/Aiu35.htm).

Prioritas tindakan yang disepakati adalah (1) desentralisasi pembiayaan kepada komunitas lokal dan ornop, (2) melakukan riset aksi dan penilaian keberhasilan program percobaan untuk memperbaiki desain proyek dan menyelaraskannya dengan struktur institusi yang ada, (3) mendorong sektor swasta lokal untuk membiayai dan menjadi mitra dalam proyek air, dan (4) fokus pada incremental action (peningkatan aksi) di tingkat lokal.

Pihak LKI menyoroti bahwa buruknya pelayanan air disebabkan buruknya kinerja pemerintahan dan pembiayaan. Erna Witoelar, Duta Besar Khusus PBB untuk Millennium Development Goals (MDG) di Asia-Pasifik mengatakan bahwa persoalannya bukan pada kurangnya pembiayaan dan kemampuan teknis, tetapi hambatan politis dan kurangnya kemauan politis. Apakah cara yang ditempuh sudah benar, apakah sudah ada kebijakan yang tepat dan institusi yang responsif terhadap aspirasi perempuan, kelompok miskin dan marjinal?

Muncul pula asumsi adanya konspirasi di balik pengelolaan air yang memarjinalkan kelompok miskin. Charles Andrews, Spesialis ADB untuk Air dan Sanitasi menyetujui pendapat tersebut dan menambahkan bahwa konspirasi diperkuat dengan lemahnya tata pemerintahan dan pengenaan tarif yang rendah. Solusinya adalah memberikan otonomi yang lebih luas dan pembiayaan yang proporsional, mendorong peran sektor swasta, kepemimpinan yang efektif, dan kuatnya masyarakat sipil sebagai katalisator.

Ravi Narayanan, Direktur Organisasi Water Aid menekankan perluasan fokus pada kemiskinan karena tersingkirnya perempuan. Kelompok miskin jangan hanya dipandang sebagai korban, tetapi juga potensi dalam pengetahuan, kemampuan, dan sumber daya.

Dalam kesempatan ini, ADB memberikan penghargaan bagi Phnom Penh Water Supply Authority di Kamboja atas keberhasilannya selama 12 tahun memberikan perbaikan pelayanan air sehingga saat ini sudah 80% masyarakat mendapatkan akses pada air bersih dan mengurangi penggunaan air yang tidak efisien dari 72% menjadi 22%. ADB melihat bahwa keberhasilan ini dicapai melalui kreativitas dan inovasi dalam kebijakan air dan pelaksanaannya.

Wakil Presiden ADB Liqun Jin menutup pertemuan ini dengan penekanan untuk (1) mentargetkan kelompok miskin sebagai sasaran pembangunan, (2) mencari keseimbangan strategi jangka panjang dan jangka pendek, (3) memperbaiki akses kelompok miskin pada pembiayaan, tidak hanya dari sumber eksternal tetapi juga menggali potensi internal, (4) memaksimalkan pengetahuan yang ada dan jaringan informasi, serta (5) memunculkan kepemimpinan yang setara gender. Dalam mengupayakan perbaikan pelayanan air kepada kelompok miskin, seluruh peserta menyetujui bahwa tidak perlu mentoleransi penyediaan air yang tidak efisien, memobilisasi publik untuk menekan politisi dan birokrat, dan selalu mengingat bahwa pelanggan harus mendapatkan pelayanan yang baik.

Desentralisasi pengelolaan air yang menjadi rekomendasi telah masuk ke Indonesia. Dalam bulan ini juga ADB mengalokasikan pinjaman USD 73 juta untuk desentralisasi manajemen irigasi di Indonesia, tepatnya berupa partisipasi dalam pengelolaan irigasi dan sumber daya air. Program di 25 daerah di provinsi Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan ini memberikan prioritas bagi perdesaan yang 40% penduduknya berada di bawah garis kemiskinan. Diperkirakan proyek ini akan menguntungkan 1,5 juta keluarga petani, 40% di antaranya adalah petani gurem dan petani tanpa lahan.

Sebelumnya telah dilakukan studi yang menyimpulkan bahwa kendala umum dalam irigasi berkelanjutan adalah lemahnya kebijakan, rendahnya tingkat partisipasi pihak yang berkepentingan, dan tidak memadainya penilaian dan pendanaan pemeliharaan dan pengoperasian irigasi.

Apakah desentralisasi akan menguatkan kontrol masyarakat marjinal terhadap air ataukah hanya menjadi legitimasi masuknya korporasi swasta ke sektor air melalui privatisasi? Tata pemerintahan yang buruk dinilai sebagai sebab, dan hal itu pulalah yang menjadi legitimasi masuknya sektor swasta.

Sumber:
www.adb.org/Media/Articles/2004/4217_Regional_Water_Access/default.asp
www.adb.org/Documents/News/2004
www.irn.org/programs/mekong/index.asp?id=040129.adbrelease.html
www.adb.org

Forum Air Dunia Untuk Masyarakat
Di tingkat internasional, sekitar 4000 ornop dan aktivis masalah air serta masyarakat adat dari lebih 60 negara berkumpul di Delhi (India) pada 11-14 Januari 2004 menjelang WSF IV di Mumbai (India). Dari Indonesia hadir perwakilan dari Koalisi Anti Utang. Pertemuan ini merupakan forum debat yang diselenggarakan bertepatan dengan momen WSF IV dan diorganisir oleh Peoples World Water Forum dan Asia Pacific Movement on Debt and Development. Tujuannya untuk membicarakan visi untuk aksi dan strategi menghadapi kekuatan global berupa destruksi dan privatisasi air. Intinya, perlu meningkatkan kontrol terhadap korporasi multi-nasional (MNC), LKI, dan pemerintah nasional dalam pengelolaan air. Air bukanlah komoditi yang dapat diprivatisasi dan dijual demi mendapat keuntungan.

People's World Water Forum (PWWF) merupakan kumpulan aktivis penentang kapitalisme global yang bertemu pada pertemuan WTO di Cancun. Banyak forum dibentuk untuk mengatasi masalah air tetapi belum ada yang terorganisasi sehingga tercipta solidaritas global, padahal persoalannya sama yaitu adanya negosiasi yang rahasia dan tidak tranparan sehingga air menjadi komoditi yang dimiliki oleh TNC. Akibatnya tarif air tinggi sehingga tak terjangkau masyarakat luas. Pembangunan bendungan tidak memperhatikan daya dukung lingkungan, petani kekurangan pasokan air. Perempuan sebagai konsumen utama air juga menjadi korban.

Forum ini belum menghasilkan kesepakatan tindak yang cukup kongkrit, tetapi telah membuat draft kesepakatan yang akan diadvokasikan sehingga tercipta solidaritas global untuk menentang peran-peran LKI dan korporasi multi-nasional dalam pengelolaan air. Masih perlu pembuktian panjang apakah forum ini mampu menahan kekuatan kapital korporasi besar yang didukung oleh LKI.

Sumber:
www.pwwf.org/
wmass.indymedia.org/newswire/display/2219/index.php
www.genderandwateralliance.org/english/main.asp
www.vshiva.net/water/call_action.htm
Updating informasi melalui email pada blueplanet@blueplanetproject.net.
www.citizen.org/cmep/Water/conferences

Kontak person PWWF: vshiva@vsnl.com, lidy@jubileesouth.org, liza@jubileesouth.org Kontak person dari Indonesia dapat menghubungi www.kau.or.id

Dana ADB untuk Penguatan Masyarakat Sipil Indonesia
Januari 2004 ADB mengeluarkan hibah bantuan teknis sejumlah USD 300.000 untuk membiayai keterlibatan masyarakat sipil di Indonesia dalam proses pembangunan. Dukungan dana diperoleh dari Department for International Development (DFID) Partnership for Innovation in Poverty Reduction. Pelaksanaannya di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen Dalam Negeri.

Dalam jangka pendek, bantuan ini dimaksudkan untuk membangun mekanisme pelibatan masyarakat sipil sebagai pemain kunci dan stakeholder dalam proyek ADB. Selanjutnya diharapkan dapat melembagakan kontribusi masyarakat sipil dalam pembangunan regional.

Dalam pertemuan rutin Resident Mission ADB di Indonesia dengan masyarakat sipil sejak Maret 2001, disepakati kebutuhan menciptakan kelompok kerja regional yang melibatkan masyarakat sipil agar dapat berinteraksi dengan pemerintah daerah, khususnya Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Perdesaan. Dalam proses konsultasi, kelompok masyarakat sipil meminta adanya kelompok kerja serupa di banyak tempat di Indonesia, tidak hanya di Jakarta. Merespon kebutuhan tersebut, ADB membangun kelompok kerja di Yogyakarta, Bandung, dan Medan dengan pertimbangan di ketiga tempat tersebut sudah ada kerjasama ADB-masyarakat sipil serta adanya sejumlah proyek ADB yang sedang berjalan. Kelompok kerja ini akan terlibat sejak proses desain, manajemen, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi. Dana juga dimaksudkan untuk memperbaiki basis data wilayah dan mendiseminasikan kebijakan, prosedur, dan operasi ADB di daerah-daerah. Dalam hal ini, apakah masyarakat sipil mampu berperan mengontrol proyek-proyek ADB ataukah hanya menjadi alat untuk mempermudah masuknya proyek-proyek ADB ke daerah.

Sumber :
www.adb.org/Media/Articles/2004/4125_Indonesia_Regional_Development/default.asp

Bank Dunia untuk Infrastruktur
Bank Dunia juga menyatakan bahwa di kawasan Asia Timur masih perlu peningkatan investasi untuk infrastruktur paling tidak sebesar USD 200 milyar sampai tahun 2010. Saat ini baru USD 20 milyar per tahun yang dibiayai oleh sektor swasta dan LKI. Buruknya infrastruktur ini mempengaruhi kinerja ekonomi negara berkembang dan juga pada pengurangan kemiskinan. Untuk itu, Bank Dunia bersama ADB dan JBIC akan melakukan studi untuk menilai kebutuhan infrastruktur dan strategi pembiayaannya melalui modal swasta dan publik. Infrastruktur di sini mencakup energi, transportasi, penyediaan air, dan sistem telekomunikasi. Pembiayaan infrastruktur harus dilakukan secara transparan dan mengakomodasi masalah lingkungan dan sosial, serta keberimbangan desa-kota. Saat ini Jepang, Cina, Korea Selatan dan negara-negara Asia Tenggara sedang mengkaji kemungkinan pengembangan pasar obligasi untuk pembiayaan tersebut. LKI sangat mempercayai asumsi bahwa infrastruktur berperan penting dalam mengurangi kemiskinan melalui pertumbuhan ekonomi yang cepat.

Di Indonesia, Bank Dunia dan Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur (KKPPI) dalam laporannya menyatakan bahwa infrastruktur di Indonesia sangat buruk. Hanya kira-kira 34% penduduk perkotaan atau 14% dari total penduduk mendapat pelayanan air bersih secara langsung. Begitu pula dengan penyediaan listrik dan telekomunikasi. Lahirnya undang-undang ketenagalistrikan dan telekomunikasi baru yang mendukung privatisasi BUMN menjadi jawaban atas persoalan tidak kondusifnya kelembagaan dan peraturan bagi sektor swasta di Indonesia.

Sumber :
www.worldbank.or.id

Surat Tim EIR untuk Bank Dunia dan berbagai Tanggapan dari ORNOP
Tim EIR akhirnya melayangkan surat resmi (www.eireview.org) kepada Bank Dunia mengenai hasil kajian industri ekstraktif beserta rekomendasi bagi Kelompok Bank Dunia selanjutnya (lihat Update LKI No. 36 Januari 2004).

Di luar itu, sejumlah pihak pun melayangkan surat kepada James Wolfensohn, Presiden Bank Dunia yang isinya mendukung rekomendasi tim EIR dan mendorong Bank Dunia agar mengikuti rekomendasi tersebut. Kelompok-kelompok tersebut antara lain:

  • ß sejumlah kelompok kerja keagamaan yang pada tanggal 17 Februari 2004 memberikan surat pada Bank Dunia (www.sndden.org/rwg/).
  • ß Sebelas orang pimpinan organisasi utama yang bergerak di isu lingkungan dan kesehatan masyarakat mengirim surat senada (www.eireview.org).
  • ß 6 peraih hadiah Nobel untuk perdamaian, antara lain Jody Williams dan Archishop Desmond Tutu (www.bankwatch.org/press/index.html).
Emil Salim dan tim EIR di Washington DC pada tanggal 26-30 Januari 2004 bertemu dengan Presiden Bank Dunia James Wolfensohn, manajemen dari Divisi Minyak, Gas, dan Tambang, serta berbagai pihak terkait untuk membicarakan pelaksanaan rekomendasi tim EIR. Rencananya, tim Manajemen Kelompok Bank Dunia tersebut akan memberikan surat tanggapan pada tanggal 25 Februari 2004, tetapi Wolfensohn memutuskan untuk menunda tanggapan tersebut karena masih dibutuhkan waktu lebih lama untuk mempertimbangkan temuan-temuan Tim EIR serta menilai posisi dan peran setiap pihak selanjutnya.

Setelah itu, Manajemen Kelompok Bank Dunia akan menyerahkan Draft Tanggapan atas rekomendasi EIR kepada Komite Efektivitas Pembangunan (Committee on Development Effectiveness/CODE). Dalam suratnya kepada Wolfensohn, Emil Salim menawarkan agar sebelum draft tersebut diserahkan kepada CODE, Tim EIR dan Kelompok Bank Dunia bertemu dan hasil dari pertemuan tersebut dimasukkan ke dalam Draft Tanggapan tersebut. Bank Dunia dan Tim EIR menjadwalkan pertemuan akhir untuk membahas pelaksanaan rekomendasi tanggal 19-20 April 2004. Selain itu, Emil Salim juga meminta agar Draft Tanggapan dipublikasikan secara terbuka untuk dikomentari oleh publik.

Sumber:
www.eireview.org
www.sndden.org/rwg/
www.eireview.info
www.bankwatch.org

Surat-surat tanggapan dari kelompok masyarakat dapat dilihat lebih lengkap di www.eireview.org
Kontak Presiden Bank Dunia James D. Wolfensohn jdwolfensohn@worldbank.org

Kontak Ornop yang ikut menandatangani surat kepada Bank Dunia dapat melalui Petr Hlobil
CEE Bankwatch Network
Kratka 26, Praha 10, 100 00, Czech Republic
Tel.+fax: 420-2-7481 65
e-mail: energy@bankwatch.org

Janneke Bruil
t: +31 20 622 13 69
Coordinator International Financial institutions Program
Friends of the Earth International

Keith Slack, Oxfam America, 1-202-496-1308 Payal Sampat, Mineral Policy Center, 1-202-247-1180 Andy Whitmore, PIPLinks 44 1865 242264 Emily Caruso, Forest Peoples Programme, 44 1608 652893 Steve Kretzmann, Institute for Policy Studies, 1-202-234-9382 x210.


Update LKI diterbitkan oleh Down to Earth, Kampanye Internasional untuk Lingkungan Hidup yang Berkeadilan di Indonesia.

Update dan Factsheet tentang LKI tersedia dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Anda dapat memperolehnya melalui email (versi rtf) secara cuma-cuma. Edisi cetak tersedia sebagai suplemen newsletter DTE. Newsletter dapat Anda peroleh dengan cara berlangganan atau saling tukar dengan publikasi organisasi Anda. Bila Anda ingin menerima Update bulanan dan Factsheet via email, silakan kirim alamat email Anda ke dte@gn.apc.org. Cantumkanlah bahasa yang Anda kehendaki. Anda juga bisa memilih kedua bahasa


Kantor: 59 Athenlay Rd, London SE15 3EN, England; email: dte@gn.apc.org tel/fax: +44 207732 7984; web:http://www.gn.apc.org/dte


   Advokasi    DTE Homepage    Buletin    Link