Switch to English



Factsheet Down to Earth tentang Lembaga-lembaga Keuangan Internasional

No 29, Mei 2003


LKI di Indonesia

LKI adalah singkatan dari Lembaga-lembaga Keuangan Internasional atau International Financial Institutions (IFIs). LKI merupakan organisasi internasional, yang beranggotakan beberapa pemerintahan negara, biasanya negara maju. Mereka meminjamkan uang kepada negara berkembang. LKI yang paling menonjol adalah Kelompok Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Asian Development Bank (ADB). LKI juga dikenal sebagai Bank-bank Pembangunan Multilateral (Multilateral Development Banks).

Seri Factsheet bulanan tentang LKI ini menyajikan informasi tentang kiprah mereka di Indonesia.


Aceh "Pasca Konflik"


BERITA TERKINI

Perundingan Damai mengenai Aceh di Jepang pada 18 Mei telah gagal.
Sejak 19 Mei pemerintah Indonesia memberlakukan darurat militer.
TNI langsung melancarkan operasi militer besar yang memakan biaya Rp. 1,7 trilyun (sekitar 200 juta dolar AS) yang diambil dari anggaran tahunan negara tahun 2003.
Insiden kekerasan di Aceh dilaporkan telah meningkat.
Pada waktu tulisan ini dibuat, 18 warga sipil – termasuk 2 anak berumur 12 tahun - dilaporkan tewas dibunuh oleh TNI di kabupaten Bireuen.

Sumber:
SNO 133, INFID, 22 Mei 2003
Guardian, 22 Mei 2003


Semenjak tahun 1976, Aceh telah menjadi perhatian dunia karena konflik berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia. Selama masa itu tercatat 10.000 korban, anak-anak kehilangan orangtua, pendidikan terlantar, jumlah janda meningkat, infrastruktur hancur, dan kepercayaan menurun.

Perjanjian damai dan negosiasi diupayakan, tetapi titik temu sulit tercapai. Setelah melalui negosiasi berkepanjangan, titik terang mulai terlihat dengan ditandatanganinya Perjanjian Penghentian Permusuhan "The Cessation of Hostilities Agreement (CoHA)" antara Pemerintah Indonesia dengan GAM yang dimediasi oleh Henry Dunant Centre (HDC) pada 9 Desember 2002 di Henry Dunant Centre for Humanitarian Dialogue di Genewa, Swiss.

Momen ini menandai perubahan "pembangunan” di Aceh. Lembaga donor mulai memikirkan bagaimana membangun Aceh. Seperti apakah program-program pembangunan yang diinginkan lembaga tersebut? Bagaimana kemungkinannya dalam konteks Aceh pasca konflik?


Kemiskinan di Aceh: Konflik atas pengelolaan SDA

Konflik telah menyebabkan buruknya pelayanan kesehatan dan pendidikan, hancurnya perumahan, serta terhambatnya jalur distribusi barang dan jasa akibat praktek premanisme. Selain itu, konflik telah mengakibatkan menurunnya kepercayaan dan meningkatnya rasa curiga yang berlapis, tidak hanya terpusat antara Pemerintah dengan GAM, tetapi juga antara masyarakat dengan pemerintah, termasuk di dalam komponen masyarakat dan pemerintah itu sendiri. Konflik yang tajam terjadi tidak hanya antara GAM dengan militer dan polisi, tetapi juga antara militer dan polisi.

Konflik di Aceh bermuara pada persoalan pengelolaan sumberdaya alam yang potensial untuk mengeruk keuntungan, yaitu minyak, gas, dan hutan. Industri tambang MOI (Mobil Oil Indonesia) dan PT Arun adalah cikal bakal munculnya industri petrokimia skala besar lainnya, seperti industri pupuk PT PIM, AAF, dan pabrik kertas PT KKA. Keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut selanjutnya membentuk Zona Industri Lhokseumawe. Arun sendiri menghasilkan sekitar US$ 7 juta per harinya.

Konflik dalam pengelolaan sumberdaya alam tidak hanya bersumber pada korupsi dan monopoli yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan Nangroe Aceh Darussalam (NAD) sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan, tetapi juga adanya "perebutan" bisnis sektor-sektor tersebut yang dilakukan oleh militer, polisi dan GAM. Bisnis militer telah berkembang ke berbagai sektor, seperti kehutanan, minyak dan gas, serta transportasi, termasuk menyediakan jasa keamanan bagi perusahaan multinasional. Praktek-praktek penyelundupan kayu dilakukan baik oleh pihak pemerintah, militer, polisi dan GAM.


Program-program apa dari donor yang sudah ada di Aceh?

Situasi di Aceh telah mendorong lembaga donor untuk mengimplementasikan program-program kemanusiaan dan pembangunan, sekaligus menyebabkan tertunda atau terhentinya program-program tersebut. Sebelum penandatangan CoHA, program-program lembaga donor untuk Aceh diantaranya:


Apa yang Dipikirkan Lembaga Donor dalam Membangun Aceh Pasca Konflik?

Lembaga donor dan Pemerintah telah mengadakan pertemuan pendahuluan "The Prepatory Conference on Peace and Reconstruction in Aceh" di Tokyo pada 3 Desember 2002, untuk membuat kerangka panduan dan kesepakatan bagi donor membangun Aceh pasca konflik. Lembaga donor yang hadir adalah perwakilan dari USAID, UNICEF, WHO, OCHA, UNDP, WFP, IOM.

Lembaga donor yang hadir dalam pertemuan tersebut meyakini pentingnya dialog multidonor dan Civil Society Organization (CSO) yang menekankan pentingnya partisipasi dan konsultasi dalam rekonstruksi Aceh dan membangun proses demokrasi, dengan prioritas sebagai berikut:

Pada pertemuan tersebut, dihasilkan kerangka panduan untuk Donor dan Pemerintah dalam membangun Aceh sebagai berikut:
  1. Mendukung program-program kemanusiaan dan pembangunan yang memberikan hasil cepat bagi perdamaian yang merupakan prasyarat terjaminnya pelaksanaan pembangunan berikutnya.
  2. Pemerintah dan donor diharapkan tidak lagi membekukan dana proyek kesehatan, pendidikan, jalan, dan irigasi, tetapi sebaiknya dilakukan revisi rencana anggaran (RAPBN) oleh Menteri Keuangan. Selama ini, sering terjadi keterlambatan pencairan dana dari donor untuk proyek kesehatan, pendidikan, jalan, dan irigasi di perdesaan dengan alasan sulitnya supervisi lapangan.
  3. Menggunakan mekanisme program yang terbukti efektif menjangkau kelompok miskin. Mekanisme yang sudah terbukti efektif mencapai kelompok sasaran adalah KDP (Kecamatan Development Program) karena perencanaan, pelaksanaan dan monitoring program dilakukan oleh komunitas itu sendiri. Dengan demikian, semua program donor di Aceh harus mengacu pada mekanisme tersebut.
  4. Mendukung monitoring independen terhadap berbagai program pembangunan sosial ekonomi. Monitoring independen dari kelompok masyarakat sipil tidak hanya untuk memonitor pelaksanaan perjanjian perdamaian, tetapi juga untuk mendukung iklim investasi.
  5. Penggunaan sumberdaya secara efektif. Walaupun anggaran dari pemerintah pusat ke NAD adalah ke-4 tertinggi, tetapi dana tersebut tidak mencukupi karena tingginya korupsi. Karena ada kekhawatiran terjadi kekurangan dana untuk pelayanan publik di bidang pendidikan dan kesehatan, maka lembaga donor harus mampu menciptakan mekanisme program yang mampu mengatasi kebocoran dana.
  6. Meningkatkan transparansi publik dan akuntabilitas. Untuk mengatasi persoalan kepercayaan, setiap dana program yang masuk ke Aceh harus dipublikasikan dan dapat diakses oleh semua golongan masyarakat. Lembaga Donor harus memastikan perencanaan, pelaksanaan dan monitoring program yang menjamin partisipasi dan transparansi publik.
  7. Mengukur dan meningkatkan iklim investasi. Lembaga donor meyakini bahwa faktor penting bagi penciptaan perdamaian di Aceh adalah membangun sektor swasta (bisnis) yang kuat dan efisien. Premanisme yang menjarah di berbagai sektor dalam kondisi tidak adanya sistem hukum, membuka peluang premanisme yang lebih besar dan berdampak terhadap kerentanan investasi usaha besar. Oleh karena itu, perlu ada penilaian iklim investasi di Aceh yang tidak hanya meliputi usaha besar tetapi juga memperhatikan pengusaha lokal.
  8. Menjamin keberlangsungan sumberdaya di Aceh. Dengan berbagai dukungan dana dari lembaga donor, pemerintah NAD akan memiliki dana yang besar dan dana tersebut hanya efektif apabila disertai dengan peningkatan kapasitas "penyerapan dana" bagi kelompok miskin. Saat ini penyerapan dinilai masih kecil dan diharapkan meningkat pasca konflik.
Di dalam laporan Promoting Peaceful Development in Aceh Januari 2003 (http://www.worldbank.or.id), ada prasyarat yang jelas bahwa beberapa dana akan diturunkan jika perjanjian damai telah memperlihatkan hasil yang positif. Termasuk di dalamnya, program investasi jangka panjang pada proyek-proyek sektoral, seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur dan komunikasi dengan tujuan untuk memperbaiki mekanisme penyaluran dana di Aceh yang didanai oleh Bank Dunia, ADB, JBIC (Japan Bank for International Corporation).

Disebutkan juga terdapat dua program yang dianggap sukses di Aceh di mata kelompok donor adalah CRP (UNDP) dan KDP (Bank Dunia). Program ini dianggap sukses karena manfaatnya dirasakan oleh sejumlah besar komunitas dalam jangka pendek dengan tingkat kebocoran dana yang rendah. Hal ini yang kemudian dijadikan argumen oleh Bank Dunia di dalam pertemuan pendahuluan lembaga-lembaga donor untuk "merekomendasikan bahwa program pembangunan yang baik bagi Aceh adalah program pembangunan yang mekanismenya seperti KDP, yaitu pembangunan berbasis komunitas dengan prinsip-prinsip partisipasi, transparansi dan bertanggung-gugat (akuntabel). Studi Akatiga mengenai KDP di salah satu desa di Subang, Jawa Barat, menunjukkan bahwa pengambilan keputusan masih didominasi oleh kelompok elit dan birokrasi desa. Sementara itu program-program kredit tidak jatuh ke tangan kelompok miskin. Bahkan sistem kompetisi yang diterapkan dalam KDP telah menunjukkan kecenderungan melemahnya kolektifitas kelompok-kelompok masyarakat.

Dalam kerangka panduan untuk donor dan pemerintah, ditekankan pentingnya pertumbuhan ekonomi bagi proses perdamaian melalui penciptaan iklim yang kondusif bagi investor melalui program peningkatan prasarana dan perbaikan manajemen pemerintahan. Tetapi, panduan tersebut kurang menekankan aspek-aspek yang menjadi sumber konflik yaitu pengelolaan sumberdaya alam dengan memperhatikan hak-hak masyarat sipil Aceh.

Apabila prasyarat pemberian dana didasarkan pada perkembangan proses perdamaian di Aceh, apakah konflik dapat berakhir?


Apakah konflik berakhir?

Empat bulan setelah perjanjian perdamaian ditandatangani, kontak senjata dan aksi kekerasan masih berlangsung. Sejumlah 114 pemantau terpaksa ditarik dari daerah-daerah konflik ke Banda Aceh, beberapa sekolah dasar dan SMP di daerah konflik ditutup, lebih dari 10.000 warga di Bireun dan Aceh Tengah kembali mengungsi dalam kondisi tempat pengungsian yang mengkhawatirkan dimana ratusan pengungsi dilaporkan menderita diare, batuk, malaria, demam dan penyakit kulit, dan aktifis-aktifis Aceh masih menjadi target kekerasan dari Militer.

Pertemuan Dewan Bersama (Joint Council Meeting) yang rencananya untuk menyelesaikan konflik tersebut gagal dilaksanakan karena pihak pemerintah RI menarik mundur delegasi setelah pihak GAM meminta penundaan pertemuan tersebut dari 25 April menjadi 27 April 2003 di Geneva, Swiss. Pada dasarnya perbedaan ini terjadi karena GAM menginginkan kemerdekaan dan bukan hanya otonomi daerah. Sementara Pemerintah Indonesia sendiri secara tegas menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan cara-cara damai asalkan GAM mengakui kedaulatan NKRI. Sebagai akibat dari konflik yang tidak kunjung usai setelah perjanjian CoHA. Pemerintah Indonesia akan melaksanakan operasi militer.

Jepang, Uni Eropa, AS dan Bank Dunia telah mengeluarkan pernyataan Bersama (Press Release, The World Bank, 10 April 2003) yang meminta agar GAM dan Pemerintah RI sama-sama menahan diri dan tidak melakukan tindakan kekerasan. Kegagalan perdamaian ini menurut mereka terjadi karena selama ini semua pihak baik GAM, Pemerintah RI, maupun Henry Dunant Centre belum bekerja secara terpadu. Secara khusus, Yutaka Imura, Duta Besar Jepang untuk Indonesia yang juga perwakilan lembaga donor di konferensi Tokyo, menyatakan bahwa pihaknya mendorong GAM dan Pemerintah Indonesia untuk tetap konsisten terhadap cara-cara damai sesuai prinsip CoHA dan penyelesaian konflik di Aceh harus tetap dilakukan dalam wilayah kedaulatan RI. Pemerintah Jepang sendiri telah mengirim Wakil Menteri Senior Tetsuro Yano ke Jakarta untuk misi perdamaian. Jepang sendiri sedang mempertimbangkan untuk menyediakan dana tambahan untuk rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh tetapi Yano menegaskan dana tersebut akan diberikan tergantung pada perkembangan proses perdamaian. Saat ini Jepang sendiri telah mendistribusikan US$ 8 Juta setelah CoHA.

Berkaitan dengan proses perdamaian, Rufriadi, seorang aktifis Aceh menyatakan perjanjian perdamaian tidak memberikan ruang bagi masyarakat sipil untuk berperan. Padahal, di Aceh terdapat cukup banyak organisasi masyarakat yang melakukan perjuangan secara damai dan melakukan aksi-aksi untuk mencapai perdamaian di Aceh, baik dalam bentuk koalisi maupun forum. Beberapa yang tercatat antara lain, Duek Pakat Inong Aceh (organisasi perempuan), organisasi mahasiswa seperti SIRA (Sentra Informasi Referendum Aceh), FARMIDIA (Forum Aksi Reformasi Mahasiswa Islam di Aceh), SMIPA (Solidaritas Mahasiswa Islam Peduli Aceh), organisasi pelajar seperti SPUR (Solidaritas Pelajar untuk Rakyat), LSM seperti Walhi Aceh, Kontras Aceh, LBH Banda Aceh, Kelompok Kerja Transformatif Gender (KKTG), Flower Aceh, Cordova, Yayasan Pembinaan Masyarakat Desa, Forum Perempuan Aceh.

Memahami situasi di Aceh yang masih memanas bagaimanakah program-program pembangunan dan kemanusiaan yang dilaksanakan oleh lembaga donor akan dijalankan?

SUMBER:
Promoting Peaceful Development in Aceh, January 2003
The World Bank Indonesia (http://www.worldbank.or.id)
www.thejakartapost.com
www.kompas.com
www.satunet.com
AFP dan http://straitstimes.asia1.com.sg/asia/story/0,4386,181156,00.html
(5 April 2003)
Tempo, 20 April 2003.

Keterangan mengenai program KDP dapat dilihat di http://www.worldbank.or.id

dibawah situs community driven development, lihat juga Factsheet 26 at atau melihat draft laporan penelitian KDP yang dilakukan Akatiga di http://www.akatiga.or.id



Factsheet LKI diterbitkan oleh Down to Earth, Kampanye Internasional untuk Lingkungan Hidup yang Berkeadilan di Indonesia.

Update dan Factsheet tentang LKI tersedia dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Anda dapat memperolehnya melalui email (versi rtf) secara cuma-cuma. Edisi cetak tersedia sebagai suplemen newsletter DTE. Newsletter dapat Anda peroleh dengan cara berlangganan atau saling tukar dengan publikasi organisasi Anda.

Bila Anda ingin menerima Update bulanan dan Factsheet via email, silakan kirim alamat email Anda ke dte@gn.apc.org. Cantumkanlah bahasa yang Anda kehendaki. Anda juga bisa memilih kedua bahasa.


Kantor: 59 Athenlay Rd, London SE15 3EN, England, email: dte@gn.apc.org tel/fax:+44 207732 7984; web:http://dte.gn.apc.org


   Advokasi    DTE Homepage    Buletin    Link