Switch to English
Down to Earth No.66, Agustus 2005


Permintaan kayu melonjak, banjir besar menghantam

Banjir bandang yang menerjang Aceh Tenggara pada akhir bulan April telah menewaskan setidaknya sembilan belas orang serta melukai puluhan lainnya. Bencana tersebut ada kaitannya dengan besarnya permintaan kayu untuk rekonstruksi Aceh pasca tsunami.

Banjir yang membawa batu-batu, kayu dan air menerjang sepanjang perbukitan itu, benar-benar telah menghancurkan rumah-rumah penduduk pada tanggal 26 April saat sebagian besar dari mereka tengah tidur. Desa Lawe Gerger, Lawe Mengkudu, dan Lawe Lak-Lak di Kabupaten Aceh Tenggara adalah yang terparah diterjang banjir. Laporan menyebutkan bahwa jumlah korban meninggal adalah sembilan belas atau dua puluh orang, dan lima orang lagi belum ditemukan. Salah satu laporan media menyatakan bahwa sekitar 490 rumah telah hancur hanya di satu desa saja, namun angka resmi memperkirakan bahwa kerusakan yang terjadi hanya pada 70 lebih rumah. Beberapa jalan hancur dan tak dapat dilalui.

Banjir tersebut menghantam saat terjadi hujan lebat yang menyebabkan Sungai Alas meluap. Menurut organisasi lingkungan hidup WALHI, penggundulan hutan telah terjadi begitu hebat pada daerah aliran sungai. Penduduk setempat telah lama mengkhawatirkan ancaman banjir, tetapi pemerintah daerah tidak pernah menanggapi secara semestinya. Memang jika membicarakan masalah penggundulan hutan tampaknya hal itu bertentangan dengan kepentingan mereka. Menurut WALHI, terdapat 12 usaha penggergajian kayu beroperasi di Kabupaten Aceh Tenggara beberapa diantaranya dimiliki oleh anggota DPRD dan pejabat provinsi. Ada sepuluh perusahaan yang memegang ijin penebangan pohon IPHHK (Industri Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) yang masing-masing mencakup area rata-rata 100 hektar. Beberapa diantaranya, juga dimiliki oleh anggota DPR Provinsi. Disamping itu, WALHI meyakini bahwa terdapat 17 perusahaan illegal logging beroperasi di wilayah itu. Pengamatan selama sebulan terakhir mencatat 10 truk membawa kayu dengan masing-masing mengangkut 30-80 meter kubik kayu.

Pelarangan penebangan hutan di tingkat provinsi telah dicanangkan sejak tahun 2001, namun illegal logging terus berlangsung tanpa menghiraukannya. Pelarangan tersebut ditegaskan kembali pada akhir tahun 2004 oleh Gubernur Abdullah Puteh, yang kini tengah dipenjara karena kasus korupsi. Selama periode itu, menurut Jakarta Post,, ada 47 perusahaan yang mengantungi ijin IPHHK, dan selama beberapa tahun terakhir lebih dari 116.000 meter kubik kayu ditebang, jauh melebihi batas ijin legal sebesar 47.500 meter kubik. Dua puluh dua dari 47 ijin penebangan tersebut telah berakhir, tapi penebangan tetap dilakukan.

Data WALHI Aceh menunjukkan dari tahun 2002-2004 terdapat 799 peristiwa banjir karena meluapnya sungai di Aceh, yang disebabkan oleh penggundulan hutan. Organisasi ini mencatat lima laporan peristiwa tanah longsor besar dan banjir bandang di Aceh sejak bencana tsunami, ditambah angka total 143 kejadian sejak tahun 2000.

Kami mendesak pemerintah untuk menghentikan dan mengambil langkah terhadap illegal logging di wilayah tersebut bunyi pernyataan pers WALHI. Kami juga mempertanyakan apa yang terjadi atas penyelesaian hukum beberapa kasus illegal logging yang terjadi di Ekosistem Leuser. Jika tidak segera diambil tindakan, kondisi hutan akan semakin buruk sebab permintaan kayu untuk kebutuhan rekonstruksi Aceh sangat tinggi kata Sofyan, Koordinator Harian WALHI Aceh (pernyataan pers WALHI 29/Apr/05).

Satu kasus illegal logging yang melibatkan anggota DPRD Aceh dan fakta bahwa kasus tersebut belum terselesaikan diyakini akan mendorong terjadinya illegal logging lainnya.

Pejabat Pelaksana Gubernur Aceh Azwar Abubakar, seperti dikutip oleh Tempo Interaktif, mengatakan bahwa di wilayah itu tidak ada illegal logging karena wilayah itu adalah hutan lindung.

WALHI juga menuntut pemerintah untuk memenuhi tanggung jawabnya terhadap para korban bencana banjir, dengan memberikan kompensasi serta memulihkan lingkungan di Aceh Tenggara. Organisasi tersebut menyatakan bahwa puluhan penduduk desa yang lolos dari bencana banjir tengah membutuhkan makanan, obat-obatan dan tempat penampungan.

Laporan Jakarta Post, bulan Juli menunjukkan bagaimana penderitaan yang semakin dirasakan para korban. Staf pemerintah daerah melakukan kunjungan beberapa hari setelah banjir untuk memilih kayu-kayu yang baik kondisinya yang berserakan di sepanjang tepi sungai. Penduduk diperingatkan untuk tidak mengambil sendiri kayu-kayu itu, dan 11 penduduk desa Lawe Gerger yang mengambilnya belakangan hari kemudian ditahan. Keluarga mereka bersaksi bahwa mereka bukanlah penebang liar, mereka hanyalah para petani yang memunguti kayu (JP 12/Jul/05).


Ekosistem Leuser

Aceh Tenggara merupakan bagian dari Ekosistem Leuser yang dilindungi. Suatu kawasan yang luasnya terbentang dari Aceh hingga provinsi Sumatra Utara dimana didalamnya terdapat salah satu hutan hujan tropis dengan keanekaragaman hayati yang paling beragam. Disini, pohon-pohon yang bernilai ekonomis tinggi telah lama menjadi incaran para penebang liar, yang telah diketahui dalam operasinya berkolusi dengan pejabat yang korup dan anggota militer dan kepolisian, tanpa mempedulikan kampanye pemerintah untuk memberantas illegal logging. Menurut data Jakarta Post, lebih dari 90% wilayah Kabupaten Aceh Tenggara diklasifikasikan sebagai hutan lindung, dengan hanya 289 hektar hutan dialokasikan sebagai hutan produksi.

Jelas kata Yashud Hutapea kepada Jakarta Post,, penebangan kayu di dalam Ekosistem Leuser adalah sebuah kejahatan yang menyebabkan banjir bandang.

Awal tahun 2002, sebanyak 26% area Taman Nasional Gunung Leuser, yang luasnya 800.000 ha di dalam Ekosistem Leuser, telah dihancurkan oleh penebang liar. Proses kehancurannya dipercepat oleh skema pembangunan jalan Ladia Galaska yang didukung pemerintah. Tujuan sebenarnya dari pembangunan jaringan jalan tersebut adalah untuk menghubungkan pantai timur dan barat Aceh, namun ini sekaligus juga membuka area terpencil hutan hujan tropis untuk dirambah penebangan liar. Skema tersebut telah disetujui meskipun mendapat tentangan dari sementara kalangan pemerintahan sendiri dan kampanye internasional yang menentangnya. Ladia Galaska sepenuhnya mendapat dukungan dari militer dan telah menjadi prioritas pemerintah segera setelah bencana gempa tsunami. Di Banda Aceh baru-baru ini berlangsung proses tawar-menawar untuk tetap melanjutkan pembangunan jaringan jalan ini. (Lihat DTE 64 dan 62 dan Aceh: Menebang Daerah Konflik untuk mengetahui latar belakang penebangan hutan di Aceh dan skema Ladia Galaska).


WALHI: Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi mengabaikan Lingkungan

Ornop lingkungan hidup WALHI telah mengritik lembaga pemerintah Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias (BRR Aceh-Nias) karena telah mengabaikan aspirasi masyarakat dan gagal untuk mengikutsertakan Menteri Lingkungan Hidup dalam struktur lembaga itu. WALHI menyatakan bahwa badan yang dibentuk pada tanggal 29 April 2005 tersebut telah gagal menunjukkan perspektif pengelolaan lingkungan hidup. Organisasi ini juga prihatin terhadap keberadaan Peraturan Pemerintah No 36/2005 tentang kewajiban pengadaan tanah dalam konteks Aceh.

(Sumber: Update 12 bencana tsunami WALHI, www.walhi.or.id)


Penebangan atas nama pemulihan kembali

Menurut WALHI Aceh, kayu yang berasal dari Aceh Tenggara sebagian besar ditujukan untuk pasar ekspor yang menguntungkan dan bukan untuk rekonstruksi di Aceh. Spesies kayu keras, seperti semaram, merbau, kruing dan meranti merupakan sasaran utama karena kayu jenis ini harganya mencapai 1.800 dolar Amerika per meter kubik di pasar internasional.

Hal yang berkaitan dengan pemulihan kembali tsunami telah jelas. Kebutuhan yang sangat besar akan ketersediaan kayu telah dimanfaatkan sebagai alasan untuk penebangan kayu di dalam Ekosistem Leuser, sementara sebagian besar kayu tidak dibawa ke Aceh atau daerah lain yang tertimpa bencana tsunami. Masyarakat desa di Aceh Tenggara melaporkan bahwa truk-truk bertuliskan Untuk Rehabilitasi Aceh mengangkut kayu gelondongan atau kayu gergajian keluar dari wilayah itu pada bulan-bulan awal setelah bencana tsunami. Truk-truk tersebut kini mengangkut kayu yang telah diproses keluar Aceh tiga atau empat kali per minggu, meningkat dua kali dari pada sebelum terjadinya tsunami.

Rupanya, secara resmi hal tersebut dibiarkan berlangsung oleh pemerintah. Kepala Kepolisian Daerah Aceh Jenderal Bachrumsyah Kasman mengakui hal ini kepada Jakarta Post, bahwa polisi telah menunda kampanye mereka terhadap illegal logging untuk memberi jalan bagi operasi bantuan darurat di Aceh. Ia mengatakan bahwa Wakil Presiden Jusuf Kalla telah memintanya untuk tidak buru-buru melakukan penangkapan terhadap pengangkutan kayu tanpa dokumen sebab Aceh tengah membutuhkan kayu dari manapun itu berasal. Kuntoro Mangkusubroto, kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan pulau Nias, tampaknya juga melakukan pendekatan yang lunak: Saya tidak mendukung illegal logging. illegal logging adalah illegal, titik...Tapi bila mereka memberikan dengan gratis (kayu illegal), saya akan senang menerimanya katanya.

Alih-alih mendapat kayu gratis, apa yang terjadi adalah justru melonjaknya harga kayu untuk rekonstruksi, membiarkan penduduk desa menderita kesusahan dalam usahanya membangun kembali perumahan mereka. Salah seorang pemilik toko penjualan kayu di Banda Aceh mengatakan bahwa para penjual kayu ditekan untuk menjual kayu dengan harga yang sangat tinggi untuk menutupi biaya yang harus mereka bayar kepada para polisi yang korup. Untuk menuju Aceh Timur, setiap sekali perjalanan harus ditempuh melalui hampir 70 titik pos pemeriksaan, dengan membayar biaya yang jumlahnya mendekati 15 juta rupiah (1.500 dolar Amerika). Jika anda tak membayarnya maka kepala anda akan dipukul atau ditendang, katanya kepada Jakarta Post,. Seorang penjaga toko juga mengisahkan bahwa ia harus membayar biaya ekstra kepada polisi yang datang ke tokonya setiap hari.

Setelah tsunami, untuk membangun sekitar 123.000 perumahan baru, Menteri Kehutanan Malam Sambat Kaban memperkirakan permintaan kayu mencapai 8,5 juta meter kubik. Ia juga menambahkan bahwa kementeriannya juga mempertimbangkan untuk memberikan ijin khusus kepada beberapa perusahaan di Aceh untuk memenuhi kebutuhan yang ada. Namun demikian, Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar dikabarkan justru meminta bantuan kayu dari negara lain (lihat DTE 64).

Sejak itu, lembaga riset Indonesia Greenomics Indonesia dan organisasi pelestarian lingkungan hidup internasional WWF telah melansir himbauan Kayu untuk Aceh, mencari bantuan kayu non tropis. Jakarta Post, memberitakan pada bulan Juli bahwa 50 kontainer yang diharapkan datang dari Amerika Serikat bulan itu, cukup untuk membangun 1.200 rumah. Himbauan tersebut didukung oleh Gubernur Azwar Abubakar yang menginginkan Aceh sebagai Provinsi Hijau.

Beberapa organisasi lain mengambil pendekatan yang lebih dari bawah ke atas (bottom-up). The Muslim Aid Fondation misalnya, membantu program pembangunan untuk masyarakat pantai dari batang pohon kelapa tua dan anyaman bambu, serta daun kelapa atau sagu sebagai atapnya. Idenya datang dari keluarga-keluarga yang terkena musibah itu sendiri dan seluruh keluarga benar-benar terlibat dalam pembangunnya.

(Pernyataan Pers, WALHI National Executive dan WALHI Aceh 29/Apr/05; Tempo Interaktif 28&29/Apr/05; AFP 27/Apr/05; Jakarta Post, 12/Jul/05)

Bantuan Masyarakat Eropa dipertanyakan

Sebuah ornop internasional makin prihatin terhadap bantuan Masyarakat Eropa (ME) untuk rekonstruksi pasca tsunami di Aceh. Menurut briefing baru dari Forests and the European Union Resource Network (FERN), elemen kunci yang tidak terdapat dalam dokumen program rekonstruksi Masyarakat Eropa adalah: Rincian langkah-langkah khusus untuk meminimalisir dampak lingkungan rekonstruksi terhadap hutan di Aceh dan di luar Aceh; Perbedaan yang nyata antara rekonstruksi jalan untuk menghubungkan kembali desa-desa, menyediakan bantuan kesehatan, ketersediaan air dan makanan, dan proyek jaringan jalan Ladia Galaska, yang berkaitan dengan penggundulan hutan dan terjadinya banjir besar; Perlunya mengintegrasikan hak masyarakat adat di dalam proses rekonstruksi.

Pada titik akhir ini, ornop FERN menyatakan bahwa rencana kerjasama pasca tsunami oleh Masyarakat Eropa dan pihak Indonesia benar-benar mengabaikan hak-hak masyarakat adat, sehingga memperburuk keberadaan mereka yang telah terpinggirkan.

Briefing itu mengungkapkan bahwa Masyarakat Eropa merupakan donor terbesar pasca tsunami dan harus memainkan peranan yang kuat untuk memastikan bahwa rekonstruksi terlaksana dengan cara yang tidak menambah parah kondisi lingkungan dan sosial yang sudah rentan. Kontribusi ME pada dana abadi rekonstruksi multi donor Indonesia adalah 208 juta Euro, lebih dari 50% dari jumlah keseluruhan dana 400 juta Euro.

(Sumber: EC Forest Platform Briefing Note June/05, FERN, www.fern.org/pages/aid/platform.htm)



Harapan akan berakhirnya konflik

Pada bulan Maret, aktivis Hak asasi manusia Aceh, Aguswandi, menyatakan kepada Parlemen Eropa bagaimana Aceh mengalami bencana ganda: tsunami dan konflik. Namun demikian, hampir seluruh perhatian internasional tertuju hanya pada salah satunya saja yaitu tsunami dari pada mendorong terciptanya penyelesaian konflik. Aguswandi berpendapat bahwa situasi konflik, yang menisbikan kebebasan berekspresi, telah menghalangi partisipasi yang bermakna dari korban selamat tsunami Aceh dalam perencanaan rekonstruksi. Hal ini, pada akhirnya, menghilangkan peluang keberhasilan program rekonstruksi yang berkelanjutan. Pendekatan yang tengah dilakukan hanya akan meningkatkan kebencian dan permasalahan yang berkepanjangan katanya. Agus juga mendesak ME untuk menjamin akses ke Aceh bagi organisasi internasional yang terlibat dalam penegakan HAM dan usaha menciptakan perdamaian; monitoring dana untuk memastikan bantuan tersampaikan kepada mereka yang paling membutuhkan; dan memastikan pihak Indonesia memenuhi komitmennya pada partisipasi publik dalam proses rekonstruksi dan rehabilitasi.


Perjanjian damai

Prospek untuk mengakhiri konflik tampak cerah setelah diumumkannya perjanjian damai pada bulan Juli antara Indonesia dan GAM, Gerakan Aceh Merdeka. Penandatanganan perjanjian damai secara resmi diharapkan akan dilakukan pada tanggal 15 Agustus. GAM telah melunakkan permintaan mereka untuk sepenuhnya merdeka dan Indonesia telah mencabut keberatannya terhadap beralihnya GAM menjadi partai politik. Perjanjian tersebut dikabarkan juga mencakup penarikan 27.000 militer Indonesia lebih separuh dari jumlah yang ada sekarang; amnesti bagi tentara GAM yang telah meletakkan senjata mereka; serta kehadiran pengawas internasional, termasuk pengamat Uni Eropa dan pengawas dari ASEAN, untuk mengawal proses berakhirnya konflik.

(Aceh: challenges of building a better future after tsunami, 16/Mar/05, Kesaksian dari Aguswandi, Tapol and ACSI, to the Committee on Development and Human Rights, European Parliament; Guardian 18/Jul/05)



Daftar isi Buletin DTE    DTE Homepage    Advokasi    Link