Switch to English
Down to Earth No. 57, Mei 2003:

Tunda sertifikasi FSC, pesan hasil penelitian penting yang baru

Sebuah penelitian oleh ahli Indonesia dan Internasional menyoroti terpinggirkannya kedudukan masyarakat adat di Indonesia. Penelitian ini mengungkapkan bahwa, terlepas dari reformasi pasca-Soeharto, pelanggaran atas tanah adat dan hak atas sumber daya oleh perusahaan penebangan kayu dan perkebunan masih terus berlanjut. Kesimpulannya adalah bahwa badan eko label, the Forest Stewardship Council, harus menghentikan sertifikasi atas hutan Indonesia sampai hak-hak masyarakat adat mendapat perlindungan.

Laporan berjudul Pelaksanaan Prinsip-prinsip FSC No. 2 dan 3 di Indonesia: Hambatan dan Kemungkinan, yang diselesaikan pada bulan Februari 2002, mengkaji tantangan - tantangan atas pelaksanaan prinsip-prinsip dan kriteria FSC di Indonesia.

Fokusnya diarahkan pada Prinsip no. 2 tentang hak penguasaan dan hak pemanfaatan dan tanggung-jawab serta Prinsip no. 3 tentang hak-hak masyarakat adat (lihat boks). Studi-studi kasus mencakup perusahaan kehutanan negara Perhutani di Jawa, pemegang konsesi hutan di luar Jawa PT Diamond Raya di Riau dan PT Intracawood Manufacturing di Kalimantan Timur; dan proyek perkebunan kayu pulp PT Finnantara Intiga (HTI) di Kalimantan Barat.

Penelitian yang dimulai pada 8 Mei ini mencoba menjawab pertanyaan penting: bisakah masyarakat adat dan penduduk setempat berdasarkan hukum menetapkan hak penguasaan dan pemanfaatan dalam jangka panjang atas hutan serta memiliki hak penggunaan dan pengelolaan tanah, wilayah, maupun sumber daya yang diakui dan dihargai tanpa gangguan? Para penulis menyimpulkan bahwa pengakuan hukum mengenai hak komunitas atas tanah di dalam wilayah konsesi hutan tidak mungkin berdasarkan undang-undang yang berlaku saat ini. Bahkan juga di luar hutan Negara, dimana konsep hak tanah kolektif (hak ulayat) diakui oleh undang-undang Indonesia, tidak ada prosedur yang efektif untuk melindungi hak ini.

Hak adat diperlakukan sebagai bentuk peraturan yang tidak kuat untuk dijadikan pegangan (hak pemanfaatan), dan berada dibawah kepentingan pemilik konsesi pengusahaan hutan.

Bagaimanapun, penelitian ini menyimpulkan ada beberapa pilihan dalam hutan kemasyarakatan yang menawarkan langkah-langkah otoritas pengelolaan pada masyarakat yang mungkin bisa dijadikan dasar bagi sertifikasi hutan kemasyarakatan, walaupun ada keraguan apakah pilihan tersebut dalam jangka panjang bisa memenuhi Prinsip FSC no.2.

Persetujuan tanpa paksaan

Hasil penelitian menggambarkan bahwa ruang bagi masyarakat untuk menerapkan hak mereka untuk memberi persetujuan tanpa paksaan (free and informed consent) dan mengendalikan manajemen hutan adalah 'terbatas', antara lain disebabkan oleh 'represi yang masih tersisa'. Halangan yang masih ada termasuk sistim administrasi desa, yang diterapkan tahun 1979, yang melemahkan kewenangan lembaga adat. Peraturan administrasi desa dicabut kembali tahun 1999, namun mayoritas pedesaan di pedalaman Indonesia masih diatur dengan sistim tersebut. Bagaimanapun di tempat-tempat yang reformasinya diarahkan untuk memberlakukan kembali lembaga adat untuk memuaskan masyarakat, penelitian menyatakan bahwa dasar untuk negosiasi yang setara antara masyarakat dan perusahaan swasta kini sudah ada.

Temuan umum menyatakan bahwa model pembangunan, sistim administrasi dan kerangka hukum Indonesia masih tetap menolak hukum adat, melemahkan kewenangan lembaga adat, dan mendorong kebijakan kehutanan yang bercorak paternalistik (dari atas ke bawah), yang semuanya melanggar norma-norma yang diakui secara internasional. Laporan menyimpulkan bahwa kondisi kebijakan kehutanan Indonesia saat ini sangat sulit, atau bahkan malah sangat bertentangan, dengan sertifikasi standar FSC".


Prinsip No. 2 dan 3 Forest Stewardship Council

Prinsip FSC No.2: Hak penguasaan dan pemanfaatan serta tanggung jawab. Hak penguasaan dan pemanfaatan jangka panjang atas tanah dan sumber daya hutan harus dengan jelas didefinisikan, dicatat dan disusun secara hukum.

Prinsip FSC No.3: Hak Masyarakat Adat. Hukum dan hak masyarakat adat untuk memiliki, memanfaatkan, dan mengelola tanah mereka, wilayah, dan sumber-sumber alam harus diakui dan dihormati.


Reformasi

Pada saat yang bersamaan, ada tanda-tanda yang memberikan harapan di masa depan. Reformasi antara lain berupa ketetapan konstitusi (yang disepakati tahun 1998) yang mengakui hak masyarakat adat di Indonesia; Ketetapan MPR 2001 yang membuka jalan untuk memperluas reformasi penguasaan tanah dan pengelolaan sumber daya alam, serta kemungkinan adanya pengakuan wilayah setempat atas lembaga adat dan hak adat terhadap hutan dibawah otonomi daerah. Namun demikian, penelitian menyimpulkan bahwa proses reformasi belum cukup jauh untuk memberikan dasar yang kuat untuk sertifikasi, kecuali untuk wilayah-wilayah tertentu.

Hasil penelitian juga menyatakan bahwa, kalau semata-mata hanya membaca Prinsip FSC no. 2 dan 3 serta penerapan secara harafiah, sertifikasi menurut standar FSC di Indonesia saat ini tidak memungkinkan. Namun demikian, para penulis dengan jelas menyatakan bahwa mereka tidak yakin kalau hanya semata-mata 'membaca' merupakan pendekatan yang terbaik. Sebaliknya mereka mengusulkan penafsiran yang fleksibel dan adaptasi secara lokal terhadap Prinsip FSC no.2 dan 3 seharusnya memungkinkan sertifikasi walaupun tidak ada hak-hak jelas yang terdefinisi secara hukum, 'bila pengelola hutan, lembaga-lembaga sertifikasi, masyarakat adat dan penduduk setempat sepakat dengan penafsiran atas Prinsip serta Kriteria yang sesuai dengan kenyataan setempat dan bila langkah-langkah yang jelas diambil melampaui apa yang diijinkan atau disyaratkan oleh undang-undang yang ada sekarang'.

Para penulis mengatakan, untuk dapat menjalankan hal ini, perlu diadakan dialog tentang apakah perlu atau tidak sertifikasi FSC diperkenalkan di Indonesia. Bila hasil dialog memutuskan untuk dilaksanakan, FSC harus membantu memprakarsai FSC nasional (seperti di Negara lain). Sebelum tercapai konsensus tentang bagaimana sertifikasi sebaiknya dilaksanakan di Indonesia melalui proses ini, maka proses sertifikasi FSC di Indonesia harus ditangguhkan untuk sementara.

Rekomendasi-rekomendasi khusus kepada pemerintah Indonesia termasuk reformasi hukum untuk:

FSC telah memberikan sertifikasi terhadap delapan konsesi di Indonesia, dan hanya satu di wilayah konsesi hutan alam (HPH). Lima dari konsesi yang dimiliki oleh perusahaan Negara Perhutani sudah ditunda oleh FSC (lihat DTE 51:8). Berkat tekanan masyarakat terhadap FSC, badan ini meminta pada para penerbit sertifikasi agar tidak lagi memberi sertifikasi pada usaha penebangan hutan yang baru di Indonesia sampai penelitian ini selesai. Seberapa jauh rekomendasi ini diterima dan dilaksanakan masih belum jelas.

Penelitian ini juga merupakan sumber informasi dari berbagai masalah yang relevan dengan hak-hak masyarakat adat dan hutan Indonesia. Hal ini termasuk :

Sistim eko label yang dikembangkan melalui Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) tidak dibahas dalam penelitian ini. Untuk mengetahui lebih banyak tentang LEI dan sertifikasi di Indonesia lihat laporan khusus DTE mengenai Sertifikasi di Indonesia, Juni 2001 dan laporan khusus DTE tentang Hutan, Masyarakat dan Hak, Juni 2002

Pelaksanaan-prinsip Prinsip FSC No. 2 dan 3 di Indonesia: Hambatan dan Kemungkinan, oleh Marcus Colchester, Direktur Forest Peoples Programme yang berkantor pusat di Inggris; Martua Sirait dari International Centre for Research in Agroforestry, Bogor; dan Boedhi Wijardjo, direktur eksekutif RACA di Jakarta, dengan sumbangan tulisan oleh Silvester Tomas Daliman dan Herbert Pane.

Naskah elektronik ada di situs WALHI di http://www.walhi.or.id. Naskah versi pra-cetak ada di situs GTZ di http://www.gtz.de/forest_certification/English/brandaktuell.asp


Daftar isi Buletin DTE    DTE Homepage    Advokasi    Link