s DTE 52 / Februari 2002: BP dan Uji Coba Tangguh
Switch to English
Down to Earth No. 52, Februari 2002

BP dan Uji Coba Tangguh

Sejak laporan terakhir DTE tentang Proyek Tangguh bulan Agustus 2001 (DTE 50), profil internasional pembangunan gas Tangguh milik BP menegaskannya sebagai "uji coba" untuk menerapkan niat baik perusahan dalam praktek. Meskipun demikian, sejauhmana komitmen BP dinyatakan dengan ikhlas masih dipertanyakan. Selain itu, seberapa jauh faktor-faktor eksternal –seperti pihak militer di Indonesia—akan membatasi kemampuan perusahaan melakukan apa yang mereka rencanakan.

British Protelum (BP) adalah salah satu dari tiga besar perusahaan minyak multinasional di dunia. Belakangan profil mereka semakin meningkat karena keberhasilan mereka mendapatkan pengakuan sebagai perusahaan dengan kepekaan lingkungan dan tanggung jawab sosial yang tinggi dalam lingkup/sektor industri perminyakan. BP telah dianggap sebagai perusahaan yang memiliki keterlibatan (pro-enggagement), dan upayanya memikat opini kalangan LSM dengan mendanai berbagai organisasi yang bergerak bidang pelestarian lingkungan. Malahan mereka juga telah menandatangani berbagai kesepakatan yang menyatakan komitmen mereka terhadap hak asasi manusia dan perlindungan lingkungan.

Perusahaan itu juga mengemukakan aspek "penghijauan" dalam aktivitas mereka sendiri melalui penanaman modal terhadap pengembangan teknik penggunaan tenaga matahari dan pengurangan emisi gas yang menyebabkan efek rumah kaca.

Meskipun demikian, kelompok-kelompok LSM dan masyarakat yang berpengalaman langsung berhadapan dengan BP berpendapat lain. Berdasarkan pengalaman, aktivitas BP di berbagai tempat terbukti bertentangan dengan citra publik yang ingin mereka kembangkan.

Sebagai contoh, BP telah dituduh terkait dengan berbagai tindak pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Kolombia. Di lembah delta Orinoco, Venezuela, BP juga bertentangan dengan masyarakat adat penghuni hutan wilayah itu. Kontroversi lebih lanjut muncul dalam aktivitas BP dalam berbagai proyek dan aktivitas penanaman modal di Angola, Tibet, Sudan dan Alaska.* Semua ini menunjukkan lebarnya jurang antara kata dan perbuatan.

Orang-orang yang mengkritik BP menyatakan bahwa dana yang ditanamkan BP untuk pengembangan energi matahari kecil saja jumlahnya dibandingkan dana yang dikeluarkan dalam seluruh aktivitas perusahaan. Para pengkritik BP menegaskan sesungguhnya kepentingan BP adalah pengolahan minyak mentah.

Meskipun demikian, BP bersikeras bahwa proyek gas alam cair (LNG) Tangguh di Teluk Bintuni, Papua Barat, selayaknya tidak dinilai berdasarkan aktivitas mereka dalam berbagai proyek sebelumnya. Meskipun demikian, tidak ada bukti kongkrit yang bisa mereka ajukan untuk membela diri dalam kegiatan tersebut. Di Indonesia, kegiatan pertambangan BP melalui perusahaan Kaltim Prima Coal – sebuah perusahaan milik bersama dengan perusahaan tambang multinasional Inggris Rio Tinto plc — sama sekali tidak menunjukkan bukti yang meyakinkan. (Lihat bagian tentang KPC di bawah)

Oleh karena itu penting juga untuk mengenal siapa rekan utama BP dalam proyek Tangguh. Perusahaan itu adalah Pertamina, sebuah perusahaan minyak negara yang terkenal korup dan memiliki catatan buruk dalam bidang hak asasi manusia. Pertamina juga merupakan partner Exxon Mobil di Aceh. Mereka membayar tentara Indonesia untuk menjaga keamangan instalasi gas. Di tempat itulah terjadi berbagai tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dan semua pelanggaran tersebut kini telah terdokumentasikan dengan baik. (lihat DTE 50)

Beberapa Pengaruh

Bagi penduduk yang tinggal di wilayah pedesaan sekitar Teluk Bintuni, proyek BP menyebabkan terjadinya perubahan yang tidak dapat mereka hindarkan. Lebih dari 500 orang akan dipindahkan dari tempat tinggal mereka di Tanah Merah ke desa baru yang letaknya 3,5 kilometer ke arah barat di Saengga. Selain itu, hutan-hutan akan ditebang – yang pada akhirnya akan menyebabkan musnahnya sumberdaya dan keragaman hayati di wilayah tersebut. Belum lagi dengan platform gas, jalur pipa, pabrik penyulingan, fasilitas pelabuhan, airstrip dan akomodasi bagi pegawai yang akan dibangun di atas tanah seluas 3.416 hektar bagi proyek tersebut. Belum lagi dengan meningkatnya lalu lintas perkapalan di Teluk Bintuni, yang akan mengganggu aktivitas penangkapan ikan lokal. Selain itu, akan terjadi gelombang arus pendatang asing dari para pekerja yang datang untuk membangun rangkaian fasilitias di wilayah itu.

Pengaruh-pengaruh potensial yang dapat diramalkan berdasarkan studi yang dilakukan oleh BP sendiri adalah:

Perubahan-perubahan terhadap lingkungan fisik kebanyakan memang dapat diduga. Berbagai rencana bisa disusun untuk mengurangi efek-efek negatif yang ditimbulkan. Cara inilah yang sedang dilakukan BP dalam melakukan proses analisa dampak lingkungan (ANDAL). Tetapi masih ada perubahan-perubahan lain yang tidak mudah diramalkan. Termasuk dalam kategori ini adalah pertanyaan utama tentang masalah keamanan di tempat kerja – dan juga rancangan-rancangan untuk menjaga situs tersebut — yang akan sangat tergantung pada faktor-faktor eksternal di luar kendali perusahaan.

Keamanan dan HAM

Berkaitan dengan operasi BP di Tangguh, ada kekhawatiran yang muncul tentang kemungkinan rekayasa pihak militer Indonesia (TNI) untuk menciptakan konflik di wilayah yang berdekatan dengan operasi BP. Tujuannya sekedar memperkuat pembenaran perlunya pengamanan yang kuat terhadap operasi BP.

Dalam berbagai pertemuan dengan staf BP, penduduk desa secara gamblang mengungkapkan kecemasan mereka terhadap persoalan tersebut. Sebagai contoh, penduduk desa Sidomakmur tempat pemukiman yang oleh BP disebut sebagai "wilayah yang terkena pengaruh langsung", penduduknya menyatakan "keprihatinan Proyek Tangguh pada akhirnya akan menggunakan pihak militer dalam kegiatan-kegiatan mereka. Sebelumnya mereka telah memiliki pengalaman tentang kehadiran pihak militer dalam menjaga keamanan pabrik pengolahan dan penebangan kayu". (BP TOR ANDAL 6.1)

Pada tahun lalu, pihak militer melakukan aksi represif di sekitar wilayah Wasior. Tindakan itu dilakukan erat kaitannya dengan pelaksanaan proyek Tangguh. Akibat aksi tersebut, sepuluh orang tewas dibunuh, sedang lainnya hilang dan banyak lagi rumah penduduk hancur dibakar.

Menurut para pengamat Papua, pembunuhan lima perwira brimob yang kemudian disusul dengan berbagai operasi militer secara intensif di Wasior, berkaitan erat waktunya dengan waktu kunjungan duta besar Inggris ke wilayah itu pada bulan Juni tahun lalu. Kesan yang muncul dari peristiwa tersebut adalah adanya niat terselubung sebagai pesan kepada BP bahwa mereka tidak dapat melakukan apa-apa tanpa "bantuan" pasukan keamanan. (Lihat juga DTE 50 tentang peristiwa ini).

Tidak dapat dipungkiri, pihak TNI merasa sangat berkepentingan dengan adanya proyek-proyek besar yang memberi peluang besar untuk mendapatkan bayaran tambahan sebagai penjaga keamanan situs proyek. Kondisi semacam inilah yang melahirkan intesitas pelanggaran HAM yang tinggi di berbagai tempat, baik di wilayah pertambangan Freeport/Rio Tinto di Papua Barat dan juga di instalasi gas Exxon Mobil di Aceh.

Di Teluk Bintuni sendiri, sudah ada pasukan brimob yang kehadirannya membawa pengaruh negatif terhadap penduduk. Menurut Far Eastern Economic Review, perusahaan Djayanti Group yang bergerak di bidang penebangan kayu, perkebunan dan perikanan di Teluk Bintuni, telah membayar 20 orang detasemen polisi "untuk memaksa pengambil alihan lahan dari penduduk lokal."

Saat diajukan pertanyaan tentang masalah-masalah keamanan, staf BP bersikukuh bahwa mereka akan mengurangi ketergantungan kepada militer. Dalam tahapan ini, gagasan menciptakan "zona bebas militer" di Tangguh menjadi mengambang. Dokumen Strategi Pembangunan Masyarakat perusahaan tersebut mengatakan bahwa kepercayaan dan penerimaan penduduk lokal merupakan persoalan yang sangat penting: "Kami bekerja sama dengan Pertamina untuk menjamin bahwa sumberdaya-sumberdaya nasional yang kritis dilindungi, khususnya melalui penerimaan penduduk lokal terhadap aktivitas kami sebagai perusahaan yang bertanggungjawab, menghargai keberadaan anggota masyarakat setempat. Strategi ini akan menghapuskan keperluan meminta bantuan besar-besaran dari pihak keamanan untuk melindungi dan menjaga orang dan fasilitas-fasilitas yang ada."

Studi Tentang Pengaruh Hak Asasi Manusia

Bagaimanakah kemungkinannya BP mengatasi tantangan pihak militer terhadap strategi keamanan mereka? Persoalanan ini sampai sekarang masih bersifat rahasia dan belum diungkapkan kepada publik. Padalah ini adalah isu penting yang harus diperhatikan dalam studi BP tentang pengaruh HAM.

Studi tentang bagaimana pengaruh HAM yang mungkin muncul telah dilakukan oleh Bennet Freeman, salah seorang anggota pemerintahan Clinton yang dikontrak BP untuk melakukan studi tersebut. Freeman adalah arsitek utama Prinsip Sukarela Inggris/Amerika tentang Keamaman dan Hak Asasi Manusia yang ditandatangi BP. Sebelum meninggalkan Papua Barat, ia menghubungi LSM yang bertempat di Inggris, TAPOL, dan sangat bersemangat untuk mencari --jika bukan TNI—siapakah yang kemudian menjadi kandidat yang cocok dalam menjaga fasilitas-fasilitas keamanan. Beberapa kemungkinan untuk "menyuap" TNI juga diajukan.

Harga yang harus dibayar memang mahal. Pihak keamanan sekarang tengah berada dalam posisi yang cukup kuat untuk mengajukan tuntutan. Selain itu, sedikit sekali adanya kemauan politik Presiden Megawati untuk menjalankan kontrol yang berarti pemerintahan sipil terhadap militer.

Peristiwa lainnya yang dapat ditunjukkan adalah pembunuhan pemimpin pro-kemerdekaan They Eluay pada bulan November. Peristiwa itu akhirnya telah meningkatkan ketegangan di Papua. Kegagalan presiden Megawati memerintahkan penyelidikan independen terhadap peristiwa pembunuhan tersebut menandakan tingkat keterlibatan militer yang tinggi dan berbagai upaya serius menutup-nutupi latar belakang politik pembunuhan tersebut.

Pendekatan yang lebih sering disebut sebagai "pendekatan keamanan" yang pernah digunakan mantan presiden Suharto untuk mengatasi kerusuhan di Papua Barat dan titik-titik rawan lainnya kembali digunakan di bawah Megawati. Padahal pendahulunya telah berupaya mengembangkan upaya dialog untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut.

Pada bulan November, mentri senior untuk bidang politik dan keamanan dalam pemerintahan Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, mengumumkan bahwa pemerintah Jakarta akan menambah jumlah pasukan sebanyak 32.500 personil yang akan dikirim ke wilayah-wilayah konflik, termasuk Aceh dan Papua Barat. Pada minggu berikutnya, presiden Megawati mengatakan bahwa pihak militer harus "teguh dalam menjalankan pekerjaan dan tidak perlu khawatir tentang tuduhan-tuduhan yang berkaitan dengan masalah pelanggaran HAM." (AFP 26/Nov/01 & 29/Dec/01)

Keprihatinan Masyarakat

Tidak seperti perusahaan-perusahaan lainnya yang beroperasi di Papua Barat, BP telah mencoba langkah baru dengan upaya mengkomunikasikan rencana proyek mereka kepada penduduk setempat. Mereka juga telah berkonsultasi dengan penduduk tentang dampak yang muncul dari proyek tersebut, masalah pemindahan penduduk dan kompensasi yang diterima masyarakat setempat.

Meskipun demikian, masih belum jelas apakah masyarakat setempat telah mendapat seluruh informasi dan kesempatan yang diperlukan dalam berdialog. Pertanyaan ini muncul karena masih ada tanda-tanda ketidakpuasan di kalangan penduduk lokal terhadap upaya yang ditempuh BP.

Seperti misalnya persoalan pemindahan penduduk di Tanah Merah. BP sendiri mengakui, meskipun sudah ada rencana "substansial meningkatkan situasi penduduk saat ini", persoalan pemukiman kembali tetap menjadi persoalan "yang berpotensi memunculkan ketidakpuasan." Penduduk setempat belum diberitahu kapan mereka akan dipindahkan. Situasi ini jelas akan mendorong munculnya rasa frustasi di kalangan penduduk seperti dinyatakan jaringan advokasi tambang Indonesia, JATAM.

"Sampai sekarang kami belum mendapatkan jaminan kapan kami akan dipindahkan ... kami tidak diperbolehkan membangun tempat tinggal baru atau bercocok tanam ..." ujar salah seorang penduduk desa. Masyarakat setempat juga prihatin tentang prospek polusi yang muncul dari situs BP yang akan mengancam ternak udang, kepiting, ikan serta sumber daya hutan bakau tempat penduduk setempat menggantungkan mata pencahariannya.

Persoalan lain yang menimbulkan pertentangan adalah masalah kompensasi: pemerintah daerah setempat telah menetapkan harga tanah berdasarkan harga tahun 1997. Harga ini jelas sangat rendah, yang hanya berkisar antara Rp. 15 – Rp. 30 per meter persegi (Rp. 10.300 = US $1) Menurut JATAM, "masyarakat semakin sadar bahwa mereka telah melakukan kesalahan melakukan kesepakatan dengan BP." Salah seorang penduduk desa berkomentar, "Kami telah dibohongi oleh perusahaan dan pemerintah; namun, sampai sekarang kami akui bahwa kami masih belum memiliki keberanian untuk memperjuangkan aspirasi kami."

Meskipun BP memiliki komitmen terhadap transparansi, tapi tidak semua informasi yang ada diungkapkan seluruhnya kepada publik. Sejumlah dokumen yang menjadi kerangka acuan Analisa Dampak Lingkungan yang oleh kantor pusat BP dinyatakan bersifat publik kepada kalangan LSM-LSM, ternyata sampai sekarang tidak pernah benar-benar menjadi dokumen publik. (DTE mendapatkan salinan dari dokumen tersebut). Padahal penting sekali agar informasi-informasi yang ada – termasuk juga hasil studi pengaruh hak asasi manusia — dapat diakses oleh masyarakat yang terpengaruh proyek tersebut dan juga LSM-LSM yang bekerja dengan mereka. Hal ini harus dilakukan apabila BP menginginkan dirinya benar-benar dipandang berbeda dengan investor yang lain.


JATAM telah mendokumentasikan catatan global tentang BP dengan judul From Persia to Papua (akan segera terbit). Catatan tersebut merupakan dokumen yang disiapkan dalam Lokakarya Advokasi LNG Papua, bulan Januari 2002. Lembaga lainnya, Australian West Papua Association, atau Asosiasi Australia Papua Barat juga sedang merancang sebuah dokumen tentang BP. Alamat kontak mereka adalah: westpapua@start.com.au Draft tersebut akan diterbitkan dalam situs web AWPA: www.awpa-melb.asn.au


BP dan Investasi Inggris

Dukungan terbuka pemerintah Inggris terhadap proyek Tangguh mencerminkan tingginya keyakinan terhadap peluang-peluang investasi di Indonesia. Menurut mentri energi Inggris, Brian Wilson, pada tahun 2000 Inggris adalah investor terbesar di Indonesia dalam sektor gas/minyak, dan kedua terbesar setelah Jepang secara keseluruhan. Selama lebih dari 30 tahun, Inggris telah menginvestasikan lebih banyak dana dibandingkan negara lainnya, kecuali Amerika Serikat, di sektor minyak dan gas.

Menteri Energi Brian Wilson, yang mengunjungi Indonesia pada bulan November tahun lalu, mengatakan bahwa BP menginvestasikan dana total sebesar US $ 11 juta untuk proyek-proyek mereka. Dari jumlah itu, US $ 1,9 juta dialirkan untuk proyek-proyek di Indonesia, termasuk proyek Tangguh. Secara keseluruhan, BP berencana menginvestasikan dana sebesar US $ 3-4 juta dalam pengembangan proyek Tangguh. Sekali lagi Wilson mengatakan bahwa "kita akan terus melihat kesempatan-kesempatan besar untuk kerjasama dalam bidang energi."

BP dan Prinsip Sukarela

Kode etik usaha atau prinsip-prinsip usaha telah dikembangkan oleh berbagai perusahaan multinasional, LSM-LSM, pemerintahan dan badan-badan internasional seperti PBB, dan Uni-Eropa, sebagai tanggapan terhadap tekanan kepada perusahaan-perusahaan untuk lebih memiliki tanggung jawab sosial dan lingkungan. BP adalah salah satu pendiri Global Compact PBB – yang menyerukan penghormatan terhadap sembilan prinsip yang meliputi beberapa aspek hak asasi manusia, hak-hak buruh dan lingkungan.

BP juga telah menandatangani prinsip-prinsip sukarela Amerika Serikat/Inggris tentang keamanan dan hak asasi manusia yang diluncurkan pada tahun 2000. Rio Tinto dan Freeport Mac Moran, pemodal ventura di Papua Barat yang terkenal dengan usaha tambang dan emas yang buruk di Papua Barat, juga merupakan penandatangan prinsip-prinsip tersebut.

Selain itu, BP juga menyatakan komitmennya terhadap Deklarasi Semesta HAM. Perusahaan tersebut telah terlibat dalam berbagai pembahasan tentang Prinsip-Prinsip Usaha HAM PBB yang sekarang ini tengah dirancang.

BP juga merupakan anggota Dewan Usaha Dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan (World Business Council on Sustainable Development) yang dirancang pada tahun 1990. Dewan itu merupakan lembaga yang bertugas mendesakkan kepentingan-kepentingan para pengusaha dalam persiapan menghadapi pertemuan Rio+10 di Johanesburg tahun ini.

Selain itu, lembaga itu juga terlibat dalam pembentukan proyek-proyek yang meragukan seperti Inisiative Pertambangan Global (Global Mining Initiative) dan Mines Mineral and Sustainable Development, yang melahirkan keberatan dari kalangan masyarakat adat dan LSM-LSM. (Lihat Corporate Europe Observer – Edisi 9 untuk pembahasan tentang keterlibatan perusahaand an Rio + 10 di situs http://www.minesandcommunities.org/Charter/rio+10.htm )

Meskipun banyak hal positif dalam tujuan kode etik tersebut, kelemahan mendasar prinsip itu justru terletak pada sifatnya yang sukarela. Tak ada sangsi-sangsi yang akan dijatuhkan jika prinsip-prinsip itu tidak dijalankan dan tak ada lembaga dari luar yang bersifat independen untuk mengawasi kepatuhan mereka terhadap prinsip-prinsip itu.

Masyarakat adat yang hadir dalam pertemuan pertambangan di London tahun lalu menyatakan inisiatif yang bersifat sukarela sukar diterima. Sebuah pernyataan yang disusunkan oleh para peserta pertemuan tersebut mengatakan:

"Dalam tahun-tahun belakangan ini, industri pertambangan telah menjadi semakin agresif dan canggih dalam memanipulasi hukum dan kebijakan-kebijakan nasional dan internasional untuk mencapai tujuannya. Undang-Undang pertambangan dari lebih tujuh puluh negara telah dirubah selama dua dekade lalu. Selain itu, undang-undang yang bertujuan untuk melindungi kelompok masyarakat adat dan lingkungan semakin terabaikan..."

Berdasarkan alasan ini, LSM-LSM yang mendukung kelompok-kelompok masyarakat adat menginginkan "kebijakan-kebijakan yang dapat diterapkan secara politik maupun hukum yang bisa mendesak industri pertambangan untuk lebih bertanggungjawab terhadap aktivitas kegiatan pertambangan dan eksplorasi yang berpengaruh terhadap masyarakat." (London Declaration 20/Sep/01)

(Sumber: Terms of Reference integrated ANDAL gas exploitation,LNG facilities,Tangguh LNG project, Manokwari, Sorong and Fak Fak regencies Irian Jaya, PT Intersys Kelola Maju; Kerebok Vol.2 No 16, December 2001; Financial Times 17/Dec/0; IndoExchange.com 6/Nov/01; Laksamana.Net, 6/Nov/01; Reuters 6/Nov/01)


Informasi Terbaru Tangguh:

Tanggal mulai: Pembangunan Proyek Tangguh direncanakan akan dimulai tahun ini (2002)
ANDAL: Analisa Dampak Lingkungan sedang dalam tahap akhir. BP mengharapkan hasil ANDAL itu akan tersedia secara publik, tapi kerangka acuan ANDAL tersebut tidak akan disediakan bagi publik. Penilaian dasar lingkungan dilakuan oleh PT Geobis Woodward-Clyde International pada tahun 1997/1998, tertanggal 10 November 1998.
Hak Asasi Manusia: Analisa dampak proyek terhadap Hak Asasi Manusia sekarang ini sedang dikerjakan (lihat tulisan utama)
Komunitas: BP memperkirakan bahwa sejumlah orang yang tinggal di desa-desa yang "terpengaruh secara langsung" seperti Tanah Merah, Saengga, Wiriagar dan Tofoi mencapai sekitar 4.200 jiwa. Pusat-pusat pemukiman penduduk yang "terpengaruh langsung" termasuk juga dua tempat transmigrasi dan kota Bintuni serta Arandi. Di sana juga terdapat 9 kelompok suku di wilayah Berau/Teluk Bintuni: Inanwatan, Sebyar/Kamberam, Soub, Wamesa, (di sebelah utara dan timur Teluk) serta Uri, Irarutu, Simuri, Sebyar/Kamber dan Mbahan di sebelah selatan.)

BP memperkirakan bahwa 43% penduduk Berua/Teluk Bintuni tergantung pada sumber-sumber pendapatan dari sumber daya alam seperti berburu, berkebun, mengumpulkan sagu, menangkap udang, kepiting atau ikan hiu.

Pemukiman Kembali: Pemukiman kembali para penduduk desa Tanah Merah (511 jiwa) akan dilakukan segera setelah rancangan ANDAL dan dokumen-dokumen lainnya disetujui oleh Jakarta. Menurut pernyataan yang dikeluarkan oleh manajer humas BP, Erwin Maryoto, pemukiman kembali masih harus menunggu sampai ANDAL BP disetujui Jakarta. Keputusan itu diperkirakan akan keluar pada bulan Juli 2002.
Tanah/Hutan: Situs Proyek LNG meliputi lahan sekitar 3.416 hektar yang mana 3.266 hektar digolongkan sebagai lahan hutan. Sebagian dari lahan itu dikuasai oleh pemegang konsesi penebangan kayu dan hutan bakau PT Bintuni Utama Murni Wood Industries. BP/Pertamina sedang dalam proses untuk mendapatkan lahan hutan itu dari Departemen Kehutanan. (TOR-EIA 1.5.3)
Penanaman Modal: Menteri Energi Inggris, Brian Wilson mengatakan pada bulan November 2001 bahwa BP telah merencanakan untuk menanam modal sebesar US $ 3-4 juta untuk mengembangkan Tangguh. Secara keseluruhan, sebelumnya perusahaan telah menegaskan untuk mengeluarkan dana investasi total sebesar US $ 11 juta, dimana sekitar US $ 1,9 juta dikeluarkan untuk pelaksanaan proyek-proyek di Indonesia, termasuk Tangguh.
Pendapatan Pemerintah: Pemasukan pendapatan akan mengalir ke Papua pada tahun 2010 setelah menjalani periode pemulihan biaya selama empat thaun. Tangguh diharapkan akan menyumbangan sebesar US $ milyar untuk Papua Barat ketika perusahaan itu mencapai puncak produksi pada tahun 2015. 70% pendapatan setelah pajak akan dibagi antara pemerintah propinsi (40%), 3 kabupaten (30%) dan pemerintah pusat (30%) (FEER 27/Desember/2001)
Penjualan Kontrak: Pelelangan untuk kontrak penjualan gas ke perusahaan Cina CNOOC secara formal telah dibuka, tapi hasilnya sampai sekarang belum diumumkan kepada publik. Pada bulan November, Pertamina menandatangani perjanjian kesepakatan (MoU) dengan GN Power untuk menmasok 1,3 juta ton LNG ke Filipina. (Kompas 7/11).
Pemegang Saham / Kontraktor: Para pemegang saham masing-masing: BP (505); MI Berau B.V. (Mitsubishi 65%, Inpex 44%] (19%); Nippon Oil (12%); British Gas (11%); Kanematsu (10%) dan Nisho Iwai (1%). Sejauh ini, perussahaan pembangunan yang telah dikontrak termasuk PT Chiyoda International Indonesia (bermarkas diJepang) dan Bechtel Inc (bermarkas di Amerika Serikat).
Ekspansi: Eksploitasi gas di masa depan diharapkan dapat diperluas dari 2 sampai 8 kereta gas sepanjang waktu (tidak enam seperti yang diungkapkan dalam laporan kami sebelumnya), yang akan membutuhkan revisi terhadap studi ANDAL. BP mengatakan tidak lagi membutuhkan lahan tambahan untuk ekspansi yang akan datang.
Operasi Sekitar: Perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah tersebut termasuk di antaranya perusahaan yang bergerak dalam bidang penangkapan udang dan kapal barang lainnya di Bintuni/Teluk Berau – yang mencapai lebih dari 200 kapal pukat harimau beroperasi di teluk tersebut. Selain itu, ada juga perusahaan penebangan kayu yang terlibat dalam penebangan hutan bakau dan hutan. Kelompok Perusahaan penebangan Djayanti menguasai lahan seluas 420.000 hektar wilayah konsensi, termasuk juga 100.000 hektar wilayah tebangan yang dialihkan menjadi lahan penanaman kelapa sawit. Djayanti dan perusahaan-perusahaan lainnya tidak mampu membayar kompensasi yang layak dan telah mengambil alih serta merusak sumberdaya-sumberdaya yang dimiliki penduduk. Di sana juga terdapat tempat-tempat transmigrasi yang berhubungan erat dengan aktivitas kelapa swati, perikanan dan proyek-proyek pengolahan sagu.

(Sumber: Jakarta Post 6/Nov/01; Kompas 7/Nov/01; Far Eastern Economic Review 27/Dec/01; http://infopapua.com/papua/0102/3101.html; Laksamana.net 6/Nov/01 serta lainnya)


Situs Web

Global compact:
http://www.unglobalcompact.org/

US/UK security & human rights principles
http://www.state.gov/www/global/human_rights/001220_fsdrl_principles.html

UN Universal declaration of Human rights
http://www.unhchr.ch/udhr/lang/eng.htm

Draft UN human rights principles for business:
http://www1.umn.edu/humanrts/links/principles11-18-2001.htm

World Business Council for Sustainable Development:
http://www.wbcsd.ch/

London Declaraton:
http://www.minesandcommunities.org/Charter/londondec.htm

Parlemen Eropa Inisiatif tanggung jawab sosial perusahaan
http://europa.eu.int/comm/employment_social/soc-dial/csr/greenpaper.htm
Serta kritik-kritik LSM terhadap aktivitas ini:
http://europa.eu.int/comm/employment_social/soc-dial/csr/csr_responses.htm

Inisiatif Pelaporan Global (Global Reporting Initiative), awalnya dibentuk oleh UNEP, bersama pihak-pihak terkait (stakeholders) sedang mengembangkan dialog tentang rangkaian indikator yang muncul di mana perusahaan harus melaporkan kinerja sosial, ekonomi dan lingkungan mereka. Lihat http://www.globalreporting.org/



Daftar isi Buletin DTE    DTE Homepage    Advokasi    Link