Switch to English
Down to Earth Nr. 50, Agustus 2001

ACEH: Gugatan Hukum Terhadap Exxon Mobil atas keterlibatannya dalam pelanggaran HAM di Aceh

Raksasa minyak Amerika Serikat, Exxon Mobil, sekarang ini tengah menghadapi gugatan di pengadilan Amerika atas keterlibatan mereka dalam pelanggaran HAM yang dilakukan tentara Indonesia di Aceh yang kini tercabik-cabik oleh peperangan.

Gugatan terhadap Exxon Mobil diajukan pada tanggal 20 Juni dan menyatakan bahwa perusahaan itu harus bertanggungjawab atas keterlibatannya dalam teror yang dilakukan pihak militer Indonesia di Aceh dengan melakukan pembunuhan massal, penyiksaan, pembunuhan, pemerkosaan dan "penghilangan" paksa tanpa hukum secara sewenang-wenang. Exxon - yang telah menghentikan kegiatan pengolahan gas alam yang menguntungkan pada bulan Maret tahun ini akibat masalah keamanan - mengeluarkan uang bagi pihak keamanan Indonesia guna menjaga fasilitas produksi mereka. Perusahaan itu dituduh telah menyediakan fasilitas gedung yang digunakan pihak militer Indonesia untuk menyiksa penduduk lokal yang dicurigai memiliki hubungan dengan GAM serta peralatan berat perusahaan seperti mesin pengeruk yang digunakan untuk menggali kuburan massal terhadap korban-korban kekerasan militer. (lihat juga DTE  39 dan 40:13).

Gugatan itu menyatakan pula bahwa perusahaan telah membeli perlengkapan militer untuk pasukan keamanan yang bertugas di proyek mereka dan membayar tentara sewaan untuk memberikan nasehat, latihan, intelejen serta perlengkapan militer di wilayah proyek gas. Gugatan itu mengatakan pula bahwa pasukan keamanan Indonesia telah menggunakan dana perusahaan untuk operasi militer yang dirancang untuk menghancurkan perlawanan di Aceh dan meningkatkan kemampuan "untuk melakukan taktik-taktik represif melawan kaum separatis di Aceh."

Gugatan diajukan di pengadilan distrik Columbia, Amerika Serikat oleh organisasi yang berkantor di Washington, International Labor Rights Fund. Tindakan tersebut dilakukan dengan mewakili sebelas penduduk desa Aceh yang namanya dirahasiakan yang mengalami penderitaan langsung akibat tindakan-tindakan pasukan keamanan Indonesia yang bekerja bagi Exxon Mobil dan/atau pengolah gas PT Arun. Peristiwa-peristiwa yang diuraikan penggugat sebagian besar terjadi pada tahun lalu dan sekarang ini. Diceritakan pula bahwa seorang penduduk desa dihardik oleh pasukan yang bertugas di Unit 113 Exxon pada bulan Januari 2001 saat sedang bersepeda menuju pasar setempat untuk menjual sayur. Prajurit-prajurit yang terlibat kemudian menembak lengannya dan melemparkan granat yang diarahkan padanya. Kemudian ia ditinggalkan begitu saja. Beruntung dirinya masih selamat dengan hanya kehilangan lengan kanan dan mata kiri dan beberapa luka-luka. Kisah lainnya yang terjadi pada tahun 2000 diceritakan seorang pria yang mengaku ditangkap dengan tangan terikat dan mata tertutup. Kemudian ia disiksa selama tiga bulan di "Kamp Rancong" yang terkenal kejam. Kamp Rencong adalah sebuah tempat penyiksaan rahasia yang kemudian terbongkar oleh publik berkat upaya yang dilakukan berbagai organisasi di Indonesia pada tahun 1998. Nampaknya, sampai akhir tahun ini tempat tersebut masih digunakan. Menurut uraian dalam gugatan itu, setelah tiga bulan disiksa, pria tersebut dibawa keluar gedung. Kemudian kepadanya diperlihatkan sebuah lubang yang penuh dengan kepala manusia. Para prajurit yang menahannya mengancam akan menambah jumlah kepala di lubang itu dengan kepalanya. Namun beruntung akhirnya ia dibebaskan. Kemudian serombongan pasukan mendatangi tempat tingalnya dan membakarnya.

Seorang penggugat perempuan menuturkan pengalaman dirinya yang terjadi pada akhir tahun 2000 lalu. Saat itu ia sedang hamil. Namun serombongan pasukan Indonesia menerobos masuk rumahnya dan mengancam akan membunuh dirinya dan anaknya yang belum lahir. Dua penggugat lainnya menuturkan bahwa suami mereka tewas dibunuh oleh pasukan Indonesia sementara suami yang satu lagi "hilang" dan dianggap sudah dibunuh. (Untuk teks lengkap, lihat www.laborrights.org)

Namun Exxon Mobil menolak bertanggungjawab atas prilaku pasukan yang menjaga fasilitas operasi mereka. Mereka mengatakan Exxon "mengutuk pelanggaran HAM dalam berbagai bentuk" dan mereka telah mengatakannya "secara aktif kepada presiden Indonesia."

Exxon Mobil memiliki anak cabang di Indonesia dengan nama Exxon Mobil Oil Indonesia (EMOI) dengan kendali saham sebesar 100% terhadap anak cabangnya. Exxon juga memiliki saham PT Arun yang mengoperasikan pabrik pengolahan gas sebesar 35%. Sedangkan 55% saham dimiliki oleh perusahaan minyak dan gas negara, Pertamina. Sisanya sebesar 10% dimiliki oleh Japan Indonesia LNG Company Ltd.

Mobil Oil Indonesia, sebutan resmi perusahaan tersebut, telah memulai operasi ladang gas Arun pada tahun 1968. Berdasarkan gugatan yang diajukan, hak ekslusif mengeksplore dan memproduksi gas di wilayah tersebut disetujui oleh rejim Suharto sebagai imbalan telah memberikan keluarga Suharto "saham kosong" di perusahaan Mobil Oil Indonesia "selain juga pembayaran langsung dan tak langsung lainnya."

Sekarang ini, Exxon Mobil adalah perusahaan minyak terbesar di dunia. Pada tahun 2000, dilaporkan bahwa perusahaan tersebut menghasilkan keuntungan terbesar di dunia dan menjadi perusahaan Amerika terbesar dalam daftar majalah Fortune. Diperkirakan jumlah keuntungan perusahaan pada tahun 2000 mencapai nilai sebesar US $ 210 milyar.

PENGARUH

Dengan kekayaan yang sangat besar yang mereka miliki, Exxon Mobil dan perusahaan transnasional lainnya memiliki posisi kekuasaan yang khas untuk mempengaruhi proses pembuatan keputusan oleh pemerintahan di negara-negara tempat mereka beroperasi. Gejalan ini khusus dilatarbelakangi oleh kondisi keuangan pemerintah NEGARA2 yang amburadul dan sangat tergantung terhadap dana yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan itu – DI Indonesia, Exoon Mobil dilaporkan memberikan pendapatan sebesar US $ 1 Milyar setiap tahunnya untuk pemerintahan Jakarta. Keputusan Presiden yang memerintahkan penempatan lebih banyak pasukan di Aceh didorong oleh penutupan operasi gas Arun milik Exxon Mobil – (Lihat DTE 49). Sejak ditetapkan langkah tersebut, ratusan penduduk sipil dibunuh dan organisasi-organisasi kemanusian serta pembela hak asasi manusia menjadi semakin sulit melakukan atktivitas mereka.

Perusahaan seperti Exxon Mobil memiliki perangkat yang berkuasa untuk mempengaruhi pembuatan keputusan di negara asal mereka. Menurut gugatan hukum yang diajukan pada bulan Juni, Exxon Mobil secara reguler menerbitkan "tajuk rencana" di Washington Post dan surat kabar lainnya dan terlibat dalam "interaksi" dengan anggota-anggota Kongres dan pemerintah AS untuk mendukung kepentingan bisnis mereka. Exxon Mobil juga berupaya menjamin dana, asuransi resiko dan keamanan bagi pengolahan gas perusahaan PT ARUN dan telah menghubungi, di antara lainnya, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, perwakilaan penjamin resiko politik pemerintah Amerika Serikat, OPIC, serta Bank Ekspor-Impor AS. Gugatan itu juga menyatakan bahwa "belakangan ini, Exxon Mobil telah bekerja untuk menjamin agar pemerintah AS tiak akan ikut campur di Aceh apabila akan merugikan kepentingan bisnis bersama antara Mobil dan PT Arun." Dengan pemerintahan baru G.W. Bush di Gedung Putuh, yang terkenal sebagai pro-industri minyak - Exxon Mobil dan raksasa minyak lainnya akan mendapatkan pengaruh yang lebih besar.

Membawa perusahaan seperti Exxon Mobil ke pengadilan di Amerika Serikat adalah satu metode yang digunakan kelompok-kelompok hak asasi manusia untuk mengungkapkan penyelewengan kekuasaan oleh perusahaan tersebut. Selain itu, ia juga dilakukan untuk menarik perhatian masyarakat terhadap dampak operasi mereka terhadap penduduk-penduduk lokal. Kasus International Labor Rights Fund adalah salah satu contoh dari meningkatnya tuntutan-tutntang terhadap perusahaan sejak pertengahan tahun 1990-an di bawah Alien Tort Act. Kasus lainnya atau yang masih berjalan sekarang ini adalah tuntutan terhadap Freeport di Papua Barat (lihat DTE 40:7), BHP Chevron dan Unocal (semuanya beroperasi di Indonesia) dan Royal Dutch/Shell.

Dampak Exxon Mobil terhadap lingkungan hidup pun sekarang ini mengalami serangan secara internasional. Mereka mengahdapi resolusi dari pemilik saham, yang disponsori Greenpeace, dalam laporan pertemuan umum tahunannya yang akan datang, dengan menuduh perusahaan itu menipu pemilik saham dengan mengecilkan resiko nyata penghangatan global. Greenpeace, Friends of the Earth, People and Planet dan LSM-LSM lainnya terlibat dalam kampanye memboikot pompa bensin milik perusahan Esso di seluruh dunia, sampai perusahan itu merubah sikap mereka terhadap pemanasan global (lihat www.stopesso.com)

(Sumber: Complaint, 11th June, 2001 to Columbia District Court, New York Times 21/Jun/01; IPS 3/May/01; Christian Science Monitor 9/Mar/01; Frontier News 11/Jul/01. Untuk laporan DTE tentang operasi Unocal dan Chevron lihat DTEs 45, 47, 48, 49)

Exxon Membuka kembali Arun?

Gugatan hukum terhadap Exxon Mobil dilancarkan pada masa penting saat Exxon mempersiapkan membuka kembali operasi gas mereka di Aceh yang telah dihentikan sejak tanggal 9 Maret. Pada bulan Mei, jalur pipa di tempat itu dirusak dan dibakar dua kali sehingga perusahaan itu membatalkan niat mereka untuk memulai kembali kegiatannya. Sementara itu pemerintah Indonesia telah menekan Exxon membuka kembali ladang-ladang gas mereka untuk membangkitkan kembali kepercayaan bisnis di Indonesia selain juga mengurangi kerugiaan finansial yang dialami pemerintah.

Pemimpin Pertamina, Baihaki Hakim, pada bulan Juni mengatakan bahwa ia akan meminta markas besar Exxon Mobil mengganti kepemimpinan perusahaan tersebut di Indonesia jika perusahaan itu tetap menolak melanjutkan kegiatannya. Pada saat laporan ini ditulis, tanggal yang ditetapkan Pertamina agar Exxon membuka kembali operasi mereka pada tanggal 4 Juli sudah terlewati tanpa satu pun pengumuman resmi dari perusahaan. Tim Exxon Mobil dilaporkan hanya melakukan pekerjaan perawatan di Aceh. Harian Jakarta Post melaporkan pada bulan Juni bahwa lebih dari 2.200 personil militer akan diterjunkan di sepanjang jalur 80 km produksi gas dan jalur distribusi di Lhoksukon, Aceh Timur sebagai dukungan untuk melanjutkan kembali operasi perusahaan.

(Wall Street Journal 13/Jun/01; Dow Jones Newswires 15/Jun/01; Jakarta Post 29/Jun/01; UN OCHA Consolidated Situation Report 29, 15-22/Jun/2001).

Proyek Exxon Mobil lainnya

Meskipun demikian, masalah yang terjadi di Aceh nampaknya tidak menghentikan langkah Exxon-Mobil mengembangkan proyek-proyek lainnya. Belum lama ini perusahaan itu melaporkan temuan cadangan minyak baru yang berisi 250 juta barel dalam proyek Cepu, Jawa. Proses negosiasi sekarang ini tengah berjalan di mana Pertamina berperan menentukan pembagian besar saham masing-masing. Dari proyek itu diharapkan tingkat produksi awal tahun 2003 akan mencapai 25.000 barrel setiap harinya dan meningkat menjadi 100.000 barrel perhari pada tahun 2004.

Perusahaan ini juga menguasai 70% saham di dalam proyek ladang gas D-Alpha di Natuna, propinsi Riau. Diperkirakan cadangan gas yang dapat dipulihkan mencapai 46 trilyun kubik. Proyek ini sebenarnya telah dimulai sejak awal terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997. Tetapi proses negosiasi terus berlangsung untuk membahas perjanjian penyaluran pipa gas ke Thailand (Jakarta Post 10/May/01; Dow Jones Newswires 12/Jun/01,15/May/01)


Pernyataan Aktivis Aceh tentang Exxon-Mobil

Radhi Darmansyah, aktivis mahasiswa Aceh telah mendukung seruan boikot terhadap Exxon Mobil sampai perusahaan itu melakukan tindakanyang menjamin bahwa aktivitas mereka tidak menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM. Ketika tampil sebagai pembicara dalam konferensi di Texas, markas pusat Exxon-Mobil, Darmansyah menuduh bahwa perusahaan itu telah mengambil keuntungan banyak dari minyak dan gas di Aceh. Sedangkan sebagai akibat aktivitas mereka, penduduk setempat dipindahkan secara paksa, terjadi pencemaran terhadap mata air dan kegiatan perikanan lokal. Selain itu, Exxon-Mobil juga bertanggungjawab terhadap kecelakaan-kecelakaan industrial yang mengakibatkan penyebaran polusi yang meluas. Darmansyah sekarang ini menjabat sebagai Sekretaris Jendral FARMIDIA, Front Reformasi Mahasiswa Aceh. Ia menguraikan pula tentang persaingan polisi dan militer di Aceh yang justru menciptakan masalah keamanan yang lebih buruk dibandingkan pejuang kemerdekaan.

"Kedua kekuatan tersebut tak ubahnya seperti dua kelompok geng yang saling bersaing. Lebih dari 75% budget mereka didapatkan dari campuran antara bisnis legal dan illegal, seperti pemerasan, pelacuran dan perdagangan narkoba. Bahkan di antara mereka ada yang menjual senjata terhadap GAM. Bandit-bandit bersenjata tersebut telah merekayasa kekerasan yang terjadi di Aceh untuk membenarkan keberadaan mereka sebagai "jalan keluar" krisis yang terjadi. Mereka merupakan pemeras profesional. Pihak ExxonMobil dan pemerintah Amerika Serikat sendiri (melalui kedutaan mereka di Jakarta, Indonesia) menyadari situasi tersebut denganb aik. Meskipun demikian mereka tetap tidak mengeluarkan pernyataan publik tentang masalah ini. Kepentingan AS seperti apakah yang dilindungi dengan cara tutup mulut seperti ini?"

Darmansyah mengatakan bahwa seharusnya Exxon Mobil tidak sekedar peduli dengan keamanan para pegawai mereka, tapi juga terhadap rakyat yang terkena pengaruh aktivitas mereka.

"Pada bulan Maret tahun ini, Exxon Mobil telah mengeluarkan tuntutan kepada pemerintah. Mereka mengatakan kepada pemerintah Indonesia bahwa mereka akan menghentikan kegiatan mereka sampai keamanan di Aceh pulih kembali. Jika mereka bisa melakukan tuntutan seperti itu, jadi mengapa mereka tidak menuntut agar pasukan yang mereka sewa tidak akan melakukan pelanggaran HAM yang serius dan meluas? Kekuasaan Exxon Mobil membuat mereka terbuka terhadap desakan pertanggungjawaban. Dengan demikian, mereka harus bertanggungjawab terhadap apa yang terjadi di Aceh."

Untuk informasi lengkap tentang pernyataan dan tuntutan tersebut, lihat "Tanggungjawab Exxonmobil terhadap kekejaman di Aceh" yang dibuat oleh Radhi Darmansyah pada Exxon Mobil Annual Meeting, Texas, 30 Mei, 2001.
internationalaffairs@siraaceh.org



Daftar isi Buletin DTE    DTE Homepage    Advokasi    Link