Perubahan Iklim, 'Pencegahan Deforestasi' dan Indonesia

Down to Earth No 74  Agustus 2007

Begitu banyak keprihatinan global terhadap perubahan iklim dan kaitannya dengan deforestasi telah memfokuskan kembali perhatian internasional terhadap perlunya melindungi hutan dunia. Merebaknya perusakan hutan dan lahan gambut di Indonesia mempunyai arti bahwa negara ini merupakan salah satu dari tiga negara utama penghasil emisi karbon dioksida, penyumbang utama pemanasan global. Sementara negara-negara tengah menyiapkan negosiasi untuk perjanjian iklim pasca-Kyoto, banyak perhatian tercurah kepada 'Pencegahan Deforestasi' (Avoided Deforestation), yaitu dana internasional untuk melindungi hutan dan menurunkan emisi karbon. Bank dunia mengambil peran utama. Apa implikasinya bagi Indonesia, bagi hutan-hutannya dan masyarakat yang bergantung pada hutan?

Tak diragukan lagi bahwa deforestasi di Indonesia telah menimbulkan dampak serius pada tingkat internasional juga di tingkat nasional dan lokal. Penebangan hutan yang merusak, kebakaran hutan yang tak terkendali, pembukaan hutan untuk perkebunan, pertambangan, pengerukan bahan bakar dari fosil, pembangunan wilayah transmigrasi, budidaya hewan air, dan pembangunan jalan telah sejak lama dikaitkan dengan dampak sosial dan ekonomi yang negatif bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal yang bergantung pada hutan, dan kerugian keuangan yang sangat besar bagi masyarakat dan negara.

Sebuah studi baru kini tengah menyoroti gambaran global, yang menunjukkan Indonesia sebagai penyumbang utama perubahan iklim, sekaligus sangat rentan terhadap dampak yang ditimbulkannya. Perusakan hutan, degradasi lahan gambut dan kebakaran hutan dituding sebagai penyebab utama masuknya Indonesia dalam urutan tiga besar penghasil emisi terbesar gas rumah kaca setelah AS dan Cina.

Berdasarkan data tahun 2000, emisi tahunan Indonesia dari sektor kehutanan dan perubahan peruntukan tanah diperkirakan setara dengan 2.563 megaton karbon dioksida (MtCO2e), jauh melebihi jumlah emisi tahunan dari sektor energi, pertanian dan limbah yang besarnya 451 MtCO2e. Sebagai perbandingan, total emisi Indonesia adalah 3.014 MtCO2e, sedangkan total emisi Cina sebesar 5.017 dan AS sebesar 6.005 MtCO2e.

Studi yang berjudul, Indonesia and Climate Change: Current Status and Policies, disponsori oleh Bank Dunia dan badan bantuan luar negeri Pemerintah Inggris (DfID) akan menjadi masukan bagi pertemuan puncak tentang perubahan iklim bulan Desember 2007 di Bali. Menanggapi peringatan dari Wetlands International pada November 2006 dan kunjungan Sir Nicholas Stern ke Indonesia di bulan Maret 2007 (lihat kotak di bawah), laporan ini menyoroti peran penting perusakan lahan gambut yang mempengaruhi munculnya angka emisi total tersebut. Rata-rata, sekitar 600 Mt CO2e terlepas ke udara dari pembusukan gambut kering setiap tahunnya. Sejumlah 1.400 Mt lainnya terlepas dalam kebakaran hutan gambut yang bisa berlangsung berbulan-bulan. Laporan tersebut, yang diluncurkan Mei 2007, juga menunjukkan bahwa emisi dari sektor energi Indonesia jumlahnya kecil, namun tumbuh sangat cepat dan bahwa emisi dari pertanian dan limbah kecil.

 

Dampak yang diperkirakan

Laporan menyebutkan beberapa dampak perubahan iklim yang dapat diperkirakan, diantaranya:

  • Peningkatan suhu sedang - sejak tahun 1990, suhu rata-rata tahunan telah meningkat sekitar 0.3 derajat Celsius pada seluruh musim;
  • peningkatan intensitas curah hujan - curah hujan per tahun diperkirakan meningkat 2-3% di seluruh Indonesia, dalam periode yang lebih pendek, meningkatkan resiko banjir secara signifikan;
  • ancaman terhadap keamanan pangan sebagai akibat perubahan iklim pada bidang pertanian;
  • naiknya permukaan air laut - ini akan menggenangi daerah produktif pantai, mempengaruhi pertanian dan penghidupan pantai, termasuk pertambakan ikan dan udang, produksi padi dan jagung;
  • air laut bertambah hangat - mempengaruhi keaneka ragaman hayati kelautan dan memberi tekanan lebih pada terumbu karang yang sudah terancam;
  • merebaknya penyakit yang berkembang biak lewat air dan vektor - seperti malaria dan demam berdarah.

Tinjauan Stern

Mantan ekonom kepala Bank Dunia, Sir Nicholas Stern ditugaskan oleh Kementerian Keuangan Inggris Raya untuk melakukan studi tentang perubahan iklim dalam rangka menyongsong konferensi perubahan iklim PBB mendatang. The Stern Review on Climate Change, yang diluncurkan bulan Oktober 2006, menarik perhatian internasional tentang perubahan iklim dan potensi hutan untuk mitigasi pemanasan global. Ia mengusulkan bahwa langkah 'pencegahan deforestasi' harus menjadi bagian dari setiap perjanjian iklim paska Kyoto dan skema percontohan harus dimulai sesegera mungkin.

Kunjungan empat hari Sir Nicholas ke Indonesia pada akhir Maret 2007 memastikan bahwa perubahan iklim telah benar-benar diletakkan pada tempat yang semestinya dalam agenda politik pemerintah Indonesia. Selain menemui Presiden SBY dan kabinetnya dan beberapa komisi di DPR RI, ia juga mengadakan pertemuan dengan beberapa mahasiswa dan organisasi. Ia juga mengunjungi Jambi yang mengalami dampak buruk sejumlah kebakaran hutan dan perkebunan kelapa sawit skala besar. Menurut LSM konservasi Warsi, hanya satu juta dari 5,3 juta hektar luas provinsi Jambi yang masih berupa hutan.

Ringkasan Tinjauan Stern Review tersedia di www.hm-treasury.gov.uk./independent_reviews/stern_review_economics_climate_change/sternreview_summary.cfm (Sumber: www.britishembassy.gov.uk/; Tempointeraktif 30/Jan/07)

 

Secara kontroversial, laporan itu juga menyatakan bahwa kebijakan dan undang-undang kehutanan Indonesia 'baik', tetapi implementasi dan penerapannya yang buruk. Hal ini bertentangan dengan pandangan bahwa kebijakan dan undang-undang kehutanan mendesak untuk direformasi, diantaranya untuk memperbaiki, kegagalan dalam mengakui hak masyarakat adat terhadap hutan dan sumber daya hutan.

Laporan ini juga menyoroti kaitan antara deforestasi dan permintaan akan produk-produk kelapa sawit (termasuk permintaan Eropa akan kelapa sawit sebagai bahan bakar nabati), kebijakan untuk memperluas produksi batu bara, dan kegagalan untuk mendorong pengembangan sumber daya energi terbarukan. 

 

Hutan rawa gambut Indonesia dan perubahan iklim

Dua puluh satu juta hektar rawa gambut Indonesia - 60% dari luas total lahan gambut seluruh dunia - menjadi perhatian utama pengambil kebijakan internasional untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Rawa gambut adalah 50-60% karbon yang dengan cepat teroksidasi untuk melepaskan CO2 jika terpapar udara. Di Indonesia sekitar 9 juta hektar dari habitat yang terancam ini telah rusak karena over-logging, dikeringkan dan dibuka dengan pembakaran untuk menyiapkan perkebunan kayu serpih atau kelapa sawit. Laporan yang disampaikan oleh Wetlands International memperkirakan bahwa 2 milyar ton karbon terlepas setiap tahunnya dari lahan gambut Indonesia. WALHI menuding bahwa raksasa pabrik kertas pulp APRIL telah menghancurkan 50.000 hektar hutan gambut di provinsi Riau hanya di tahun 2003-4 saja untuk mendirikan perkebunan kayu cepat tumbuh (fastwood).

(Sumber: Peatland Degradation Fuels Climate Change, Wetlands International, November 2006, lihat www.wetlands.org/publication.aspx?ID=d67b5c30-2b07-435c-9366-c20aa597839bwww.walhi.or.id/kampanye/hutan/strukturisasi/join_10092004

Mencegah deforestasi - akankah berhasil?

Apa yang dapat kita lakukan untuk menghentikan perusakan hutan dan lahan gambut dan menurunkan emisi gas rumah kaca yang memicu perubahan iklim? 'Pencegahan deforestasi' adalah inisiatif utama yang muncul selama beberapa tahun terakhir, namun hingga kini hanya mendapat sedikit perhatian kritis dari masyarakat sipil. Kunci untuk memahami pencegahan deforestasi dan masalah-masalah yang mungkin muncul adalah naskah yang diterbitkan bulan Juni 2007 oleh LSM yang berkedudukan di Inggris, Forest Peoples Programme, Seeing "RED"?"Avoided deforestation" and the rights of Indigenous Peoples and local communities. Berikut ini ringkasan dari dokumen tersebut, dengan beberapa tambahan kecil oleh DTE.

 

Apa itu pencegahan deforestasi?

Istilah 'avoided deforestation' atau pencegahan deforestasi, sebagaimana kini digunakan di kalangan pegiat pembangunan, mengacu pada pencegahan atau pengurangan hilangnya hutan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Perubahan peruntukan tanah, terutama hilangnya hutan di daerah tropis, dipercaya menyumbang antara 18% dan 20% dari seluruh emisi tahunan karbon dioksida (CO2), sehingga muncul desakan internasional untuk menurunkan tingkat deforestasi sebagai cara memerangi perubahan iklim.

Beberapa negara menginginkan skema pencegahan deforestasi mencakup perbaikan area hutan yang terdegradasi (dinamakan Reduced Emissions from Deforestation and Forest Degradation - REDD atau penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan), tidak hanya perlindungan terhadap hutan-hutan yang ada. Tidak mengherankan, Indonesia mendukung pilihan ini, yang menguntungkan negara-negara dengan kerusakan hutan yang parah karena industri perkayuan yang tidak lestari. Negara lain ingin membatasi hanya skema pencegahan deforestasi saja (RED), dengan alasan bahwa terlalu sulit mengukur degradasi, dan kemudian menilai keuntungan dari upaya restorasi hutan.

 

Bagaimana ini akan dilakukan?

Usulan-usulan untuk pencegahan deforestasi terbagi terbagi menjadi dua kelompok utama:

  • pendekatan berbasis pasar - mengaitkan skema-skema pengurangan deforestasi dengan sistem perdagangan karbon. Koalisi negara-negara yang memiliki hutan hujan (the Coalition for Rainforest Nations), sebagian besar LSM konservasi dan kalangan bisnis pendanaan karbon mendorong skema-skema dimana negara-negara yang memiliki hutan mendapat kredit penurunan emisi karbon bila tidak menebangi hutan mereka. Kredit ini dapat dijual di pasar karbon internasional kepada negara-negara yang memiliki industri beremisi karbon yang membutuhkan kredit untuk menjalankan operasi mereka. Hal ini menimbulkan masalah etika sebab negara dan perusahaan dapat membeli hak untuk tetap mencemari atmosfir bumi.
  • Pendekatan dana publik - memakai dana bantuan dari negara-negara kaya untuk membayar negara-negara kaya hutan di Selatan untuk mengurangi pembukaan hutan. Bantuan tersebut dikumpulkan melalui sumbangan sukarela dari negara-negara industri atau lewat pajak. Indonesia dan Brazil suka dengan pilihan ini. Apakah pembayaran dilakukan setiap tahun atau dengan jangka waktu tertentu dan apakah pembayaran dilakukan dimuka atau setelah ada tindakan juga masih dalam negosiasi.

 

Dari mana uang itu berasal?

Bank Dunia telah menjadi pemain utama dalam mengusulkan skema-skema pendanaan untuk menurunkan emisi yang berasal dari deforestasi. Pada pertemuan G8 di Jerman bulan Juni 2007, Bank Dunia telah memastikan dukungan politik tingkat tinggi untuk 'Forest Carbon Partnership Facility' (FCPF) atau Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan yang baru yang akan 'menguji kelayakan' beberapa pendekatan yang berbeda untuk mendanai RED/REDD. Sertifikasi dari FSC (Forest Stewardship Council) memainkan peran kunci dalam persoalan ini. Bank Dunia memperkenalkan pendekatan campuran (berbasis pasar dan dana publik), tetapi condong kepada perdagangan karbon. Para ekonom perbankan menekankan bahwa hanya pasar yang akan menyediakan dana yang cukup untuk menangani perubahan iklim. Mereka memprediksikan bahwa proyek pendanaan karbon bisa tumbuh menjadi lebih dari US$1 milyar di tahun 2015. Bank Dunia dijadwalkan membuat keputusan akhir untuk skema bernilai US$250 juta ini pada bulan September.

Bank Dunia mengusulkan bahwa FCPF akan jadi bagian Global Forest Alliance (GFA) yang baru, yang didanai donor besar dan sektor swasta, yang diumumkan pada Forum Kehutanan PBB ke-7 bulan April. Bank Dunia bersama WWF adalah bagian dari suatu inisiatif yang disebut sebagai Global Forest Alliance - untuk mengurangi deforestasi dan mencegah illegal logging. Di Indonesia, WWF/GFA telah bekerja sama dengan perusahaan kayu untuk mengidentifikasi apa yang dinamakan High Conservation Value Forests dan menciptakan jaringan pasar untuk mempromosikan kayu yang berasal dari hutan yang terkelola dengan baik. Tidak mau ketinggalan, The Nature Conservancy dan WWF juga mendirikan Forest Alliance di tahun 2002 dengan beberapa perusahaan swasta termasuk pengecer kayu utama.

Negara-negara yang telah mendapat skema komitmen dana untuk mencegah deforestasi termasuk Australia, pada bulan Juli ini mengumumkan dana US$160 juta baik untuk mencegah deforestasi maupun reforestasi di wilayah Asia-Pasifik.

Biaya mencegah deforestasi, seperti yang diperkirakan Bank Dunia adalah tinggi: untuk menurunkan angka tahunan deforestasi di negara berkembang sebesar 20% melalui pencegahan deforestasi akan menelan biaya US$2 -20 milyar setahun. Di lain pihak, para pakar Bank Dunia menghitung bahwa dengan US$100 milyar deforestasi dapat dihentikan sama sekali.

 

Siapa yang mendapat uang?

Bank Dunia mengatakan bahwa pembayaran ganti rugi untuk menurunkan deforestasi bisa berkisar antara US$200 - US$10.000 per hektar hutan jika hutan masih tetap utuh. Siapa yang sesungguhnya akan menerima uang tersebut di negara yang melakukan pencegahan deforestasi, tidaklah jelas dalam skema yang diusulkan. Sebagian besar sumber informasi mengisyaratkan bahwa pembayaran akan terpusat secara nasional atau langsung kepada badan-badan pemerintah. Pemerintah Indonesia mengajukan usulan bahwa dana kompensasi bisa dibagikan kepada otoritas pengelola kawasan lindung, perusahaan kayu "bersertifikat" yang menerapkan manajemen hutan lestari (sustainable forest management/SFM), inisiatif-inisiatif pemberantasan illegal logging/penebangan liar, skema pembayaran jasa lingkungan (PES) dan pengelolaan hutan berbasis masyarakat (CBFM). 

Kyoto dan Bali

Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (United Nation Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) merupakan salah satu pencapaian dari Earth Summit di Rio tahun 1992. Protokol Kyoto menentukan sasaran bagi negara-negara industri untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan menjalankan mekanisme pembangunan bersih atau Clean Development Mechanism (CDM). Ini akan membantu proyek-proyek pendanaan yang mengurangi emisi karbon dan membangun pasar karbon untuk perdagangan kredit Pengurangan Emisi bersertifikat ('Certified Emission Reduction'). Indonesia menandatangani Protokol Kyoto di tahun 1998 dan meratifikasinya pada tahun 2004.

Hanya proyek-proyek aforestasi atau penghutanan kembali yang memenuhi syarat pendanaan CDM sesuai dengan Protokol Kyoto, tetapi bukan inisiatif-inisiatif menghentikan kerusakan hutan-hutan yang masih tersisa, termasuk hutan-hutan rawa. Saat ini Indonesia tidak memiliki proyek CDM hutan. Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia kini yang memimpin dalam penyusunan kebijakan negara tentang perubahan iklim.

Wakil dari 189 negara diharapkan hadir dalam Konferensi Negara-Negara Pihak/Conference of the Parties COP ke-13 pada konvensi perubahan iklim di Bali pada bulan Desember 2007. Laporan berjudul 'Reduced Emissions from Deforestation' akan dipresentasikan sebagai basis diskusi tentang pengendalian perubahan iklim setelah Protokol Kyoto berakhir pada tahun 2012. Menteri keuangan dari seluruh dunia juga akan bertemu di Bali untuk menyepakati persyaratan keuangan untuk membuat konservasi hutan menguntungkan (profitable).

Lihat unfccc.int/files/essential_background/kyoto_protocol/application/pdf/kpstats.pdf

Skema yang diusulkan di Indonesia

Hanya terdapat sedikit skema pencegahan deforestasi di dunia dan sebagian besar merupakan inisiatif percontohan sukarela yang didanai LSM-LSM konservasi dan pembangunan, yang belum mendapat penilaian kritis dari LSM keadilan sosial atau organisasi-organisasi akar rumput.

Bagaimanapun, dorongan internasional untuk lebih mengembangkan skema-skema terus tumbuh. Bank Dunia mengusulkan proyek-proyek percontohan FCPF di Papua New Guinea, Kosta Rika, Indonesia, Brazil dan Republik Demokratik Kongo. Negara-negara tersebut diusulkan untuk membatasi emisi karbon dari deforestasi hingga tahun 2009 atau 2010, sebagai imbalannya mereka akan mendapat investasi US$250 juta.

Dilihat dengan kacamata miring, proyek-proyek pencegahan deforestasi bisa menjadi mekanisme yang menguntungkan bagi industri kehutanan Indonesia yang tengah lesu untuk menarik lebih banyak modal dan keahlian. Pada sisi lain, pembayaran REDD dapat menjadikan konservasi lebih menarik secara finansial dibanding penebangan hutan. Tiba-tiba, menjaga keutuhan hutan lindung Indonesia menjadi pilihan kebijakan yang menarik. Menteri Lingkungan Hidup Rachmad Witoelar dengan bersemangat menyampaikan kepada pers bahwa "Kami siap. Kami sudah punya rencana induk untuk mengidentifikasi dan memperbaiki atau melakukan konservasi area hutan kami. Kami juga menyiapkan sisi pendanaan untuk itu."1

Pencegahan deforestasi bisa memancing dana besar-besaran. Area yang menjadi target seluas 1 juta hektar hutan asli yang tua, dengan rata-rata cadangan karbon sebesar 600 ton CO2e per hektar, akan menghasilkan 600 juta ton kredit karbon. Jika harga yang disepakati 1 ton CO2e adalah US$5, ini akan menghimpun dana US$3 milyar sebagai kompensasi. Indonesia memiliki 18 juta hektar hutan lindung menurut data resmi. Keuntungan kotor bagi pemerintah dari operasi kehutanan di tahun 1997/8 hanya berjumlah total US$1,1 milyar.2

Indonesia mempunyai insentif lain disamping potensi pengembalian keuangan dari REDD. Pemerintah akan mengalami kesulitan untuk menegosiasikan kenaikan emisi karbon dari sumber-sumber domestik dan industri dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi jika emisi itu disebabkan oleh tingginya alih guna tanah.

Menindaklanjuti pengumuman Australia pada bulan April tentang dana Asia-Pasifik, gubernur Aceh, Papua and 'Papua Barat'3 menerbitkan pernyataan tentang minat mereka terhadap skema pencegahan deforestasi dan menyatakan bahwa mereka mungkin akan menerapkan jeda balak ipada ndustri penebangan jika dana pencegahan deforestasi bisa dijamin penyalurannya (Aceh telah melakukan).

 

Apa yang jadi kekhawatiran utama?

Terdapat resiko yang nyata, namun juga potensi manfaat dari mekanisme pencegahan deforestasi yang bisa diperoleh masyarakat adat dan masyarakat yang kehidupannya bergantung hutan . Kebanyakan proposal yang ada menyebutkan kebutuhan 'partisipasi' masyarakat dan manfaat lokal bagi masyarakat hutan. Gubernur Aceh dan Papua menjanjikan bahwa hak masyarakat adat dan komunitas lokal akan dihormati pada setiap program pencegahan deforestasi di provinsi mereka. Akan tetapi, dalam proposal yang ada sekarang, hanya sedikit yang merinci soal bagaimana hak masyarakat akan dihormati dan bagaimana manfaat lokal bisa dijamin adil dan lestari.

Beberapa kekhawatiran tentang skema pencegahan deforestasi adalah sebagai berikut:

  • Top-down dan tidak lestari? Pengalaman yang lalu menunjukkan bahwa skema yang bersifat 'dari atas ke bawah' yang direncanakan tanpa pengetahuan memadai dan tanpa persetujuan masyarakat hutan dan komunitas lokal akan gagal, dan bahwa skema top-down bisa memperkuat ketidaksetaraan dalam politik kehutanan. Sebagian besar proposal pencegahan deforestasi saat ini berasal dari Bank Dunia, pemerintahan dan LSM-LSM konservasi besar.
  • Konservasi anti-masyarakat? Yang dikhawatirkan adalah bahwa dana untuk perlindungan hutan akan dipakai untuk membeli peralatan bagi penjaga hutan dan menyokong pendekatan anti-masyarakat yang ketinggalan jaman untuk perlindungan hutan, yang dilakukan dengan mengeluarkan orang-orang lokal dari hutan dan menguatkan kontrol negara dan sektor swasta terhadap hutan.
  • Hak-hak, konflik dan persyaratan yang tidak adil: Di negara-negara (seperti Indonesia) dimana negara gagal menghormati hak masyarakat adat atas hutan, pengambilan keputusan tentang zonasi pencegahan deforestasi dan bagaimana pendapatan akan dibagi bisa meminggirkan atau menyingkirkan komunitas adat. Ada risiko tinggi bahwa hak-hak mereka atas FPIC (perjanjian dari awal tanpa paksaan=padiatapa) terabaikan. Bahkan, jika pun masyarakat mampu menegosiasikan manfaat langsung dari skema pencegahan deforestasi, tidak ada jaminan bahwa kondisi negosiasi akan setara. Skema-skema pencegahan deforestasi juga dapat menimbulkan konflik antar masyarakat yang terlibat dalam skema bagi-untung dengan mereka yang tidak terlibat.
  • Korupsi: Di mana ada uang dalam jumlah besar selalu ada resiko terjadi korupsi. Ini bisa berarti bahwa hanya sedikit manfaat - bahkan yang didapat oleh komunitas lokal - yang akan benar-benar mencapai sasaran, sebab sisanya didapat oleh badan-badan negara, pemerintah lokal dan LSM konservasi. Disamping itu juga, pembayaran skema pencegahan emisi karbon harus menjamin perlindungan hutan yang lestari daripada hanya untuk memperoleh keuntungan dengan mudah.

Untuk menjamin keberhasilan setiap skema, harus tersedia data berkualitas baik untuk menentukan tingkat pijakan deforestasi di negara sasaran dan langkah-langkah untuk meningkatkan kapasitas pemantauan dan kontrol pengelolaan hutan. Kesepakatan tentang verifikasi independen yang dapat diandalkan merupakan unsur yang penting.

Karena terburu-buru memulai pencegahan deforestasi, para pemain utama yang terlibat tidak memperhatikan dengan seksama segala sesuatu yang berkaitan dengan persoalan sosial dan etika. Kemungkinan terburuk, beberapa pendukung skema pencegahan deforestasi menganggap persoalan hak asasi sebagai 'isu sampingan' atau bahkan 'pengganggu' dari tugas utama menyelamatkan bumi, walaupun pengalaman menunjukkan bahwa hal-hal tersebut penting dan bisa menjamin langkah-langkah yang efektif dalam mengelola hutan secara berkelanjutan. Pemerintah dan badan-badan internasional yang bergegas membentuk skema pencegahan deforestasi harus diingatkan bahwa negara memiliki kewajiban hukum untuk menegakkan HAM dan memenuhi komitmen internasional dibawah pakta-pakta lingkungan. Para pendukung skema pencegahan deforestasi bisa menggunakan standar yang dikembangkan oleh badan-badan yang terlibat dalam skema kehutanan dan PES untuk memperlihatkan bahwa mereka menaruh perhatian pada isu-isu sosial dan HAM. Namun, standar tersebut sebagian besar bersifat sukareka dan tidak dapat dilaksanakan. Disamping itu, beberapa standar didasarkan pada imbalan perbuatan baik di masa depan dan mengabaikan hal-hal yang tidak dapat diterima saat ini.

Untuk menghadapi kesenjangan dalam perdebatan mengenai kebijakan pencegahan deforestasi, rasanya penting bagi masyarakat adat dan gerakan hutan di seluruh dunia memulai dialog internal yang serius mengenai pro dan kontra skema REDD yang dijalankan oleh pemerintah dan Bank Dunia. Hal-hal yang perlu dilakukan untuk memastikan: • Masyarakat adat dan gerakan kehutanan terlibat secara langsung dalam pembicaraan internasional dan nasional mengenai kebijakan pencegahan deforestasi/REDD; • Hak asasi manusia, FPIC/padiatapa, penghargaan terhadap tanah adat dan hak-hak atas sumber daya, jaminan kepemilikan tanah, pembagian manfaat secara adil dan tata pemerintahan yang baik (good governance) ditempatkan sebagai isu sentral dalam diskusi kebijakan pencegahan deforestasi;

  • Ada jaminan bahwa hak-hak adat akan diakui dan dihargai;
  • Kebijakan internasional dan nasional mengenai pencegahan deforestasi mengadopsi pendekatan berbasis hak untuk konservasi hutan lestari dan pengelolaan hutan.
  • Ada aminan bahwa masyarakat adat akan menguasai dan mendapatkan kembali kontrol atas hutan mereka dan mendapat dukungan untuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang sejati;
  • Dialog dengan pendukung pencegahan deforestasi dilakukan dengan itikad baik dan membicarakan baik potensi manfaat yang didapat maupun berbagai risikonya;
  • Setiap proses untuk mengidentifikasi faktor pendorong deforestasi di tingkat lokal dan nasional di negara-negara tropis dan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan hal itu harus melibatkan masyarakat hutan dan komunitas yang bergantung pada hutan;
  • Setiap bentuk standar yang diusulkan dan aturan untuk skema pencegahan deforestasi melibatkan sepenuhnya masyarakat adat dan komunitas lokal dan taat sepenuhnya pada hukum internasional.

Notes:
1 www.planetark.com/, di-akses 2/Jul/07 
2 Semua bersumber dari Indonesia's SBSTA submission, 2007 
3 Ini adalah nama baru propinsi 'Irian Jaya Barat', sebagai kebijakan pemerintah pusat di Jakarta untuk membagi Papua menjadi tiga propinsi. Kebijakan ini ditentang secara luas di Papua.