Switch to English






Jangan meng kambing-hitamkan Masyarakat Adat dalam kasus illegal logging
Dimana kemauan politik untuk menahan aparat dan cukong yang sudah dilaporkan tewrlibat sindikat?


Pernyataan prihatin Dewan Persekutuan Masyarakat Adat Papua berkaitan dengan hasil investigasi Tim Terpadu Operasi Hutan Lestari II yang menempatkan Dinas Kehutanan Propinsi Papua, MK, sebagai tersangka.

9 Maret 2005



Menanggapi pemberitaan Suara Pembaruan Daily, Tanggal 8 Maret 2005, dengan judul Pemberantasan Illegal Logging; Dua Kadis Kehutanan jadi Tersangka. Kami Board Perkumpulan Terbatas Pengkajian dan Pemberdayaan masyarakat Papua selaku organisasi masyarkat sipil yang mendampingi masyarakat adat di Wilayah Papua menyatakan hal-hal sebagai berikut;

Bahwa kami sangat prihatin dengan tidak adanya keberanian dan kemauan politik Tim Terpadu Operasi Hutan Lestari II untuk secara cepat menahan para individu, aparat-aparat pemerintah dan para cukong yang sudah dibuktikan dalam laporan EIA-Telapak sebagai pelaku penebangan dan pemasaran kayu illegal.

Bahwa kami sangat prihatin terhadap kondisi masyarakat adat yang memiliki Ijin Pemungutan kayu masyarakat Adat (IPKMA) yang walaupun secara sah memegang dokumen perijinan, ternyata dikambing-hitamkan, diancam dan dirugikan secara ekonomi oleh pihak-pihak yang tersebut diatas. Mereka mempunyai bukti pembayaran iuran PSDH dan Dana Reboisasi, yang diterima oleh Dephut. Mereka didatangkan para cukong pembeli kayu yang diijinkan pemerintah untuk membawa peralatan berat didalam konsesi yang tadinya hanya ditebang secara manual sesuai dengan ijin meeka.

Kami sangat prohatin terhadap dasar hukum yang di gunakan oleh Tim Penyelidik, Tim Terpadu Hutan Lestari II di Papua yang mendasari tuduhan bahwa; (1) ijin yang dikeluarkan untuk dan atas nama masyarakat adat telah melanggar UU 41/99 dan (2) Kepala Dinas Kehutanan Papua (MK) dan Kepala Dinas Kehutanan Irian Jaya barat ® telah melakukan pelanggaran hukum dengan mengeluarkan ijin diatas.

Melalui SK 522.2/3386/SET tanggal 22 agustus 2002, Gubernur Provinsi Papua mengeluarkan Ijin Pemungutan Kayu Masyarakat Adat (IPKMA) maksimum seluas 1000 ha. IPKMA diberikan kepada Lembaga Masyarakat Hukum Adat atas persetujuan Bupati atau mitra kerjanya (baik pihak swasta maupun koperasi). Ijin IPKMA hanya dapat dikeluarkan oleh kepala Dinas Kehutanan Provinsi dengan rekomendasi dari kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota dengan kwajiban untuk menanam kembali. IPKMA ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat didalam dan disekitar hutan untuk menjamin kesetaraan dalam pemanfaatan hasil hutan.

IPKMA daoat dijustifikasikan berdasarkan kewenangan yang diberikan melalui;

UU 22/99 tentang otonomi daerah yang direvisi oleh UU 32/2004 dan UU.21/01 tentang otonomi khusus Papua. Yang menjamin kewenangan pemerintah provinsi Papua untuk mengeluarkan Ijin Pengusahaan Hutan. PP 25 yang merujuk pada UU 22 memberikan kewenangan kepada pemerintah Provinsi untuk melakukan hal-hal berkut:

Pasal 38 pasal 2 UU.21/01 tentang otonomi khusus mengatakan bahwa usaha perekonomian yang memanfaatkan dilakukan dengan menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan dan pembangunan yang berkelanjutan.

Pasal 43 ayat 1 menegaskan bahwa perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat.

Pasal 43 ayat 1 menegasikan bahwa pemerintah wajib mengakui, menghormati dan melinddungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat.

UU 41/99 tentang kehutanan memberikan kewenangan sektoral untuk pengelolaan hutan lestari yang diharapkan pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini UU ini sangat konsisten dengan UU.22/99 tentang desentralisasi ddan pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Pasal 67 UU 41./99 mengakui hak masyarakat adat dalam pengelolaan hutan sepanjang masih ada dan diakui keberadaannya.

PP6/99 dari UU 41/99 memberikan hak perijinan HPH kecil kepada daerah oleh Departemen Kehutanan. PP34/02, dari UU 41/99 menarik kembali perijinan ini kembali kepada Departemen Kehutanan, dan membuat vakum pada tahun 2001. tetapi Pasal 101 PP34 tidak membatalkan PP 6 sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip UU 41.

Interpretasi bahwa pemerintah daerah tidak boleh lagi memberikan ijin masyarakat bertentangan dengan kewenangan Pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang ditegaskan di dalam PP 25/00, dari UU 22/99 tentang desentralisasi, dan UU 21/01 tentang Otonomi Khusus. Hal ini juga bertentangan dengans semangat UU 41/99 dan pasal 33 ayat 3 UUD 45 tentang kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan.

Lebih jauh lagi, PP 34, UU 41/99 tidak dapat menggantikan PP 25, UU 22/99 dan tidak dapat menggagalkan hal pemerintah daerah untuk mengeluarkan ijin hak pemanfaatan hasil hutan kayu (IPHHK).

Dalam banyak hal, IPKMA dapat diakomodasi didalam perijinan yang oleh daerah dapat dikeluarkan berdasarkan PP 34. Hal ini termasuk perijinan yang berkaitan dengan penebangan kayu atau Ijin pemungutan hasil hutan kayu. Dengan demikian maka penyelidikan yang mempertanyakan legalitas hak pemanfaatan hasil hutan kayu secara jelas diakomodasi di dalam UU 22 yang direvisi UU 32/04, PP 25 tentang kewenangan Pemerintah Provinsi , UU 21/01, UU 41/99 dan juga PP 34.

Dinas Kehutanan Propinsi Papua memiliki dasar hukum yang jelas dalam mengeluarkan IPKMA dan untuk itu maka Tim Terpadu Operasi Hutan Lestari II telah melakukan kesalahan dalam menuduh Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Papua melakukan tindakan pelanggaran terhadap UU 41/99. Dengan demikian, maka, penyelidikan selanjutnya harus lebih difokuskan pada bagaimana IPKMA menjustifikasikan kegiatan penebangan di luar aturan. Seperti yang ditegaskan didalam laporan EIA-Telapak, "The last Frontier", masyarakat diintimidasi aparat dan cukong dengan harga kayu yang sangat rendah (Rp 100.000 per m3 Merbau yang ketika dipasarkan di China mencapai $240 dan di US/UK mencapai $2,288 tiap bahan olahan lantai kayu yang sama dengan 1 cu.m.)

Kami sangat menyesal bahwa kerja keras EIA-Telapak telah digunakan untuk meniadakan hak-hak masyarakat dan tidak menghargai usaha dan niat baik pemerintah Provinsi Papua untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Kami menghimbau kepada semua instansi pemerintah yang terlibat dalam penyelidikan kasus illegal logging di Papua agar dapat meninjau kembali kesimpulan yang diambil tentang legalitas IPKMA. Jika hal ini tidak dilakukan, maka kita tidak punya pilihan lain selain membawa kasus ini ke Mahkamah Konstitusi.

Kami berpendapat bahwa di masa yang akan datang perijinan dan kriteria-kriteria pengelolaan IPKMA harus dapat ddiperkuat untuk menjamin kesejahteraan masyarakat dalam waktu yang panjang.

Zadrak Wamebu

Koordinator PKM Papua
Dewan Penyantun, PtPPMA
Anggota DPMA


   Advokasi    DTE Homepage    Buletin    Link