Switch to English



Pernyataan Bersama Ornop Inggris tentang MoU Kehutanan antara Pemerintah Indonesia dan Kerajaan Inggris




Kami, Ornop UK yang berkiprah dalam isu kehutanan, berbagi keprihatinan dengan kelompok masyarakat sipil Indonesia atas derasnya laju penggundulan hutan di Indonesia yang mengakibatkan punahnya kehidupan yang berkelanjutan. Kerajaan Inggris memiliki tanggung jawab khusus sebagai negeri peng-impor dan konsumen utama dari kayu dan produk dari kayu yang ilegal. Maka dari itu, kami menghargai upaya pemerintah Indonesia dan Kerajaan Inggris untuk mengambil tindakan menegakkan hukum tentang hutan, penebangan ilegal dan perdagangan internasional kayu dan produk dari kayu yang berasal dari sumber-sumber ilegal, dan pada gilirannya menyambut baik adanya MoU tersebut. Kami mengakui bahwa kedua pemerintah telah lama menjalin komitmen untuk menempuh langkah tersebut melalui FLEG yang ditandatangani pada bulan September 2001. Langkah positif lainnya antara lain rencana pemerintah Indonesia untuk memperbaiki pengelolaan hutan yang disepakati bersama CGI, dan komitmen pemerintah Inggris untuk mendapatkan kayu dari sumber-sumber yang legal dan berkelanjutan.

Niat baik dari MoU akan bergantung kepada langkah-langkah tindak lanjutnya. Kami sadar bahwa kesepakatan ini dilandaskan pada prinsip-prinsip partisipasi dan transparansi sebagaimana didukung melalui FLEG. Dengan demikian, kami mendesak kedua pemerintah supaya bekerjasama dengan berbagai pihak di kedua negara itu, termasuk kelompok-kelompok masyarakat sipil, dalam penyusunan dan pelaksanaan Rencana Aksi yang efektif.

Kami mendukung pandangan kolega dan rekan kerja kami dari Indonesia bahwa tindakan atas kepengurusan hutan dan penebangan ilegal harus berlangsung dalam konteks reformasi yang lebih luas atas kebijakan dan praktik-praktik kehutanan Indonesia, untuk menyikapi sebab-sebab yang melatarbelakangi penggundulan hutan. Kelebihan kapasitas dalam industri perkayuan, kepastian hak-hak tenurial (penguasaan) atas kawasan hutan bagi masyarakat adat dan lokal, dan pemberantasan KKN dicantumkan dalam daftar aksi yang dilampirkan pada deklarasi FLEG dan dalam rekomendasi Kongres Kehutanan Indonesia ke-3. Maka dari itu kami mendesak kedua pemerintah untuk memberi prioritas terhadap isu-isu tersebut pada Rencana Aksi dalam kesepakatan bilateral ini, dan pada upaya-upaya selanjutnya dalam rangka mengatasi kerusakan dan penurunan kualitas hutan di Indonesia.

Pada khususnya kami ingin mengajak kedua pemerintah untuk memperhatikan hal-hal berikut:

  1. Pemberantasan KKN: Pendekatan untuk mengendalikan penggundulan hutan sebagaimana termuat dalam MoU mengandalkan pada suatu administrasi, pelayanan polisi dan peradilan yang memperlakukan si kaya dan si miskin secara setara. Dengan demikian, penegakan hukum tergantung pada pemberantasan korupsi dengan segera. Jika tidak, masyarakat miskin yang menyandang gergaji akan dihukum sedangkan perusahaan-perusahaan besar, direktur dan para investor mereka (termasuk investor dari Inggris) menarik keuntungan dari illegal logging dan perdagangan ilegal tanpa dihukum. Sebagai langkah awal, sebaiknya dibuat undang-undang yang mewajibkan semua pegawai negeri, termasuk anggota MPR, DPR, DPRD, Pemda, militer dan polisi mengakui rincian kepemilikan atau keterlibatan mereka dalam setiap kegiatan kehutanan, termasuk pengolahan kayu dan perusahaan perkebunan.

  2. Pengakuan hak-hak tenurial (penguasaan) masyarakat yang hidupnya bergantung kepada hutan: Di bawah hukum negara yang ada, penebangan pohon oleh masyarakat adat dalam kawasan hutan adat terhitung 'kegiatan ilegal', terlebih jika kawasan tersebut sudah dinyatakan sebagai hutan lindung atau kawasan konservasi. Dalam keadaan tersebut, penegakan hukum akan meningkatkan terjadinya konflik dengan masyarakat lokal dan berpotensi memicu pelanggaran HAM. Rencana Aksi seyogyanya mencakup suatu kajian atas norma-norma dan hukum formal dan adat yang saling bertentangan, dan mengembangkan mekanisme penyelesaian konflik dan hak kepemilikan yang tumpang-tindih – sebagaimana diusulkan dalam kesepakatan FLEG. POKJA tenurial dalam lingkup Departemen Kehutanan, yang didukung oleh DFID-MFP, NRM/EPIQ dan ICRAF, seyogyanya dihidupkan kembali untuk melaksanakan kajian tersebut dan memberikan dasar bagi reformasi hukum.

  3. Lacak Balak yang andal: Sementara sistem untuk melacak kayu dari sumber-sumber legal telah sangat maju dan tergolong sederhana, MoU ini juga mencakup produk-produk dari kayu secara umum. Suatu penelitian yang didanai oleh pemerintah Inggris menemukan bahwa kelebihan kapasitas dalam industri bubur kayu dan kertas di Indonesia adalah suatu faktor penting yang mendorong illegal logging. Kedua pemerintah harus merancang sistem pembuktian yang andal dan mandiri untuk membuktikan bahwa bahan-bahan mentah untuk kayu lapis, fibre board, serta bubur kertas dan kertas berasal dari sumber-sumber yang legal/sah.

  4. Bantuan, kredit ekspor dan tanggunjawab perusahan: Koordinasi program-program dan proyek-proyek yang didanai donor tentang penebangan ilegal, kepengurusan hutan, perdagangan ilegal kayu internasional dan pengelolaan hutan secara umum di Indonesia harus diperbaiki. Pemerintah Inggris – melalui DFID – seyogyanya mengambil peran utama dalam mendorong para donor lainnya untuk menerapkan pendekatan yang lebih partisipatif dalam mengidentifikasi, memantau dan mengevaluasi proyek-proyek yang terkait dengan hutan. Selain itu, negara-negara donor seperti Inggris harus memastikan bahwa semua badan pemodal serta kredit ekspor dan fasilitas penjaminnya yang didukung pemerintah, menerapkan kriteria sosial dan lingkungan untuk investasi, yang menuntut sektor swasta dan publik menerapkan praktik-praktik lingkungan dan sosial setinggi-tingginya.
Akhirnya, kami ingin mengingatkan kedua pihak yang terlibat dalam kesepakatan perintis ini bahwa legalitas dan keberlanjutan (sustainability) bukan hal yang sama. Contohnya, konversi hutan alam menjadi perkebunan skala besar mungkin adalah hal yang legal, tetapi tidak berkelanjutan secara ekologis, sosial atau budaya. Selain itu, dalam jangka panjang pembangunan-pembangunan tersebut belum tentu berkelanjutan secara ekonomi. Kesepakatan bilateral ini merupakan suatu langkah penting untuk mengendalikan penebangan ilegal dan perdagangan kayu secara ilegal. Namun demikian, kami bersama-sama dengan rekan-rekan Indonesia, mendesak pemerintah Indonesia dan Kerajaan Inggris mengambil langkah lebih lanjut untuk mencapai tujuan yang lebih luas yaitu pengelolaan hutan Indonesia yang berkelanjutan dan adil.

London, 17 April 2002

Yang bertandatangan,

Liz Chidley and Carolyn Marr, Down to Earth
Kim Terje Loraas, Rainforest Foundation
Matt Phillips, Friends of the Earth England, Wales & Northern Ireland
Jon Buckrell, Global Witness
Dave Currey, EIA
Paul Toyne, WWF United Kingdom
Sonja Vermeulen, International Institute for Environment and Development
Saskia Osinga, FERN


   Advokasi    DTE Homepage    Buletin    Link