Switch to English



Update Down to Earth tentang Lembaga-lembaga Keuangan Internasional


Nr 11, Desember 2000 / Januari 2001



IMF kembali menahan pencairan pinjaman

Rizal Ramli, menteri koordinasi bidang ekonomi, pada Desember lalu menegaskan bahwa IMF telah menunda pencairan pinjaman tahap selanjutnya. Sejumlah US$400 juta telah dijadwalkan untuk dicairkan pada bulan itu. IMF, yang sejak tiga tahun terakhir telah memberikan pinjaman lebih dari US$8 milyar, menolak kemungkinan timbulnya dampak negatif atas berita itu, namun tidak memberikan alasan atas penundaan tersebut.

Ramli juga berupaya untuk tidak mempersoalkan "pelanggaran" IMF itu, dengan menggambarkannya sebagai persoalan teknis dan karena sedang musim liburan. Ia juga menyatakan bahwa dana IMF tersebut tidak terlalu mendesak dibutuhkan oleh Indonesia karena belakangan ini cadangan devisa Indonesia meningkat, yakni hampir mencapai US$30 milyar (Lihat Factsheet DTE LKI November di www.gn.apc.org/dte/Aif10.htm)

Friksi antara IMF dan Indonesia semakin memburuk pada bulan lalu berkaitan dengan rencana pemerintah Indonesia untuk mengamandemen undang-undang bank sentral, desentralisasi, kurangnya transparansi dalam penyelesaian utang korporasi dan tertundanya penjualan dua bank besar.

Sebelumnya, IMF memberikan peringatan keras kepada pemerintah Indonesia dalam sepucuk surat singkat bertanggal 8 November. Anoop Singh, wakil direktur IMF untuk kawasan Asia dan Pasifik yang berkantor di Washington, menuntut agar Jakarta bertindak tegas untuk memperkecil risiko dalam rencana desentralisasi fiskal, menggunakan uang hasil ekspor minyak yang lebih tinggi untuk mencicil utang pemerintah dan menetapkan jadwal yang pasti untuk penjualan aset-aset. Apabila hingga awal Desember pemerintah Indonesia tidak memenuhi tuntutan tersebut, maka dewan IMF tidak akan menyetujui pemberian pinjaman baru kepada Indonesia.

IMF terutama sangat mencemaskan kurangnya persiapan dalam rencana desentralisasi pengambilan keputusan politik dan ekonomi, yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menarik pajak dan pembelanjaannya dalam wilayah mereka. Proses ini dianggap mudah sekali dapat mengganggu keseimbangan keuangan pemerintah pusat. IMF menginginkan agar Jakarta melarang pemerintah daerah meminjam dana luar negeri secara mandiri dan bebas meminjam apa pun sepanjang tahun 2001.

Presiden Abdurrahman Wahid mengecam IMF karena dianggap telah membantu lawan-lawan politiknya dengan menunda pencairan pinjaman, dan lebih lanjut menyatakan bahwa lembaga keuangan itu harus lebih berhati-hati dalam mempertimbangkan posisi politiknya. "Apa yang tidak bisa kami telan, tidak akan kami telan…IMF harus belajar seni kompromi … IMF harus memahami (posisi) saya." Presiden Wahid menolak anggapan bahwa IMF akan sama sekali menghentikan bantuannya. "Sampai saat ini, mereka telah memberi dana kepada kita," ujarnya. Tampaknya, pemerintah Indonesia merasa yakin sekali bahwa IMF akan mencairkan pinjaman.

Komentar Abdurrahman Wahid tersebut kemungkinan akan semakin mengusik masyarakat internasional, yang telah dibuat jengkel oleh ulah pejabat legislatif tertinggi, Ketua MPR Amien Rais, yang mengancam akan menasionalisasi perusahaan-perusahaan Amerika menjelang kunjungan 40 manajer keuangan dan dana pensiun terbesar di dunia.

Tim kaji-ulang IMF akan tiba bulan Januari dan sebuah LoI baru diperkirakan akan disusun. Kemungkinan cicilan dana utang tersebut dapat dicairkan antara Februari dan Maret 2001.

(Sumber: Dow Jones Newswires 19 Desember 2000; Asian Wall Street Journal 18 Desember 2000; AFP 17 Desember; Business Times, 16 Desember 2000; The Straits Times, 16 Desember 2000)

Berita singkat

Transisi Politik di Washington Mengancam si Kembar Bretton Woods Tampilnya orang-orang Republikan ke tampuk kekuasaan di Amerika Serikat mungkin akan mengancam keberadaan IMF dan Bank Dunia. Lembaga-lembaga Bretton Woods tersebut kemungkinan akan kehilangan para pelindung internasionalis liberal seperti Menteri Keuangan Larry Summers, yang memanfaatkan IMF dan Bank Dunia sebagai alat utama untuk mencapai tujuan kebijakan ekonomi luar negeri AS. Bersama terpilihnya Presiden George W. Bush akan tampil sekelompok analis dan teknokrat konservatif yang mewakili pemikiran Komisi Penasihat Kongres AS untuk Lembaga-lembaga Keuangan Internasional. Kelompok ini juga dikenal sebagai "Komisi Meltzer", dijuluki sesuai nama ketuanya yakni bankir Alan Meltzer. Beberapa waktu yang lalu badan tersebut menerbitkan sebuah laporan yang mengutuk IMF karena menciptakan instabilitas makroekonomi global dan melukiskan Bank Dunia sebagai lembaga yang gagal memenuhi misinya dalam mendorong pembangunan dan mengurangi kemiskinan dunia. Menghadapi kenyataan bakal berhadapan dengan hegemoni Republikan selama empat tahun, James Wolfensohn, presiden Bank Dunia, diisukan akan mempertimbangkan untuk mengundurkan diri sebelum akhir masa jabatannya yang kedua.

Versi lengkap artikel ini ditulis oleh Walden Bello dalam Focus on the Global South dan bisa dilihat di http://focusweb.org

Ancaman melunturnya kebijakan masyarakat adat

Draft Bank Dunia tentang Kebijakan untuk Masyarakat Adat Bank Dunia yang telah direvisi akan diterbitkan pada awal 2001 untuk dikonsultasikan lebih lanjut. Tom Griffiths dari Forest Peoples' Programme (FPP) berkomentar: "kami mendesak agar pengaman penting yang berhubungan dengan tanah dan hak ulayat atas sumber daya harus diperkuat dalam kebijakan baru itu. Gerakan masyarakat adat dan pendukung-pendukungnya harus berjuang keras untuk memastikan kebijakan baru itu tidaklah lebih lemah daripada kebijakan sebelumnya."

Kebijakan Masyarakat Adat Bank Dunia (IPP) tahun 1991 bertujuan untuk memastikan agar staf Bank Dunia, negara peminjam dan badan-badan pelaksana menghormati hak-hak masyarakat adat. Organisasi-organisasi masyarakat sipil khawatir apabila kebijakan yang direvisi itu menitikberatkan pada partisipasi dan bagi-untung, tetapi mengesampingkan isu-isu hak atas tanah dan penentuan nasib sendiri. Bank Dunia mulai merevisi kebijakan tersebut pada tahun 1998 sebagai bagian dari tindakan menyeluruh untuk menyederhanakan dan merampingkan kebijakan-kebijakannya. Masyarakat-masyarakat adat menuntut, apa pun kebijakan baru nanti, haruslah lebih kuat daripada kebijakan yang ada sekarang, dan meminta agar Bank Dunia melaksanakan kaji ulang menyeluruh atas kesulitan-kesulitan dalam implementasi kebijakan. Karena tuntutan yang terakhir tidak terpenuhi, maka pada Mei 2000 FPP dan Pusat Informasi Bank Dunia menyelenggarakan lokakarya untuk mendiskusikan sepuluh studi kasus. Studi kasus yang dipersiapkan oleh masyarakat adat dari Amerika Latin, Afrika dan Asia tersebut memeriksa proyek-proyek yang dibantu Bank Dunia yang mempengaruhi komunitas dan wilayah mereka. Tidak ada studi kasus dari Indonesia dalam lokakarya itu. Asia Tenggara diwakili oleh proyek Bataan di Filipina (masyarakat Aetas).

Bukti yang ditampilkan dalam lokakarya itu menunjukkan bahwa pemenuhan Kebijakan Masyarakat Adat (IPP) kerapkali lemah dan kadang-kadang sangat tidak memuaskan, terutama yang berhubungan dengan hak-hak masyarakat adat akan tanah mereka. Hanya ada satu kasus di mana masyarakat adat merasa bahwa mereka sungguh terlibat dalam tahap persiapan proyek. Kerapkali nasib masyarakat adat justru lebih buruk menyusul munculnya proyek Bank Dunia, akibat pola-pola yang dangkal atau karena tidak adanya studi mendasar dan pengawasan dalam penilaian dan supervisi. Studi kasus juga mengungkapkan hambatan-hambatan struktural dan finansial terhadap pelaksanaan yang efektif. Staf Bank Dunia kurang punya waktu, sumber daya dan insentif untuk mematuhi dengan benar kebijakan-kebijakan pengaman. Diperlukan perubahan besar dalam insentif dan anggaran untuk staf demi tercapainya hasil yang lebih efektif. Para peserta lokakarya juga menyerukan:

  • Mekanisme pelaksanaan yang lebih kuat untuk mendukung syarat-syarat perjanjian pinjaman;
  • Tanggung-gugat Bank Dunia yang lebih besar terhadap masyarakat adat, dengan perjanjian yang bisa diangkat ke peradilan nasional;
  • Mekanisme yang lebih kuat untuk partisipasi dan akses informasi dalam bahasa yang tepat;
  • Penerapan kebijakan terhadap pinjaman penyesuaian struktural.

Laporan rangkuman, studi-studi kasus individual dan berita singkat lain tentang Kebijakan Masyarakat-masyarakat adat dan Kehutanan tersedia di:

http://www.wrm.org.uy
http://www.bicusa.org
http://www.forestpeoples.org

Email:info@fppwrm.gn.apc.org

Artikel ini berasal dari Bretton Woods Update. Lihat http://www.brettonwoodsproject.org

Situs baru 'Ringkuslah utang'

Situs web One World meluncurkan Debt Channel.org, sebuah situs portal global tentang utang internasional. Situs ini, diedit dari Zambia, adalah sebuah kemitraan yang meliputi lebih dari 70 lembaga bantuan, hak asasi manusia dan kelompok-kelompok kampanye di seluruh dunia. Situs tersebut memuat berita-berita terbaru, aksi kampanye, diskusi online, jadwal acara, sebuah direktori links dan lain-lain. "Internet bisa membantu menyatukan masyarakat sipil dunia untuk memastikan bahwa utang tidak semakin menyengsarakan umat manusia dan menambah kemiskinan," ujar Joe Chilaizya, editor Debt Channel.org.

Lihat "http://www.DebtChannel.org"


Update LKI diterbitkan oleh Down to Earth, Kampanye Internasional untuk Lingkungan Hidup yang Berkeadilan di Indonesia.

Update dan Factsheet tentang LKI tersedia dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Anda dapat memperolehnya melalui email (versi rtf) secara cuma-cuma. Edisi cetak tersedia sebagai suplemen newsletter DTE. Newsletter dapat Anda peroleh dengan cara berlangganan atau saling tukar dengan publikasi organisasi Anda. Bila Anda ingin menerima Update bulanan dan Factsheet via email, silakan kirim alamat email Anda ke dte@gn.apc.org. Cantumkanlah bahasa yang Anda kehendaki. Anda juga bisa memilih kedua bahasa


Kantor: 59 Athenlay Rd, London SE15 3EN, England; email: dte@gn.apc.org tel/fax: +44 207732 7984; web:http://www.gn.apc.org/dte


   Advokasi    DTE Homepage    Buletin    Link