Switch to English |
LKI di Indonesia
LKI adalah singkatan dari Lembaga-lembaga Keuangan Internasional atau International Financial Institutions (IFIs). LKI merupakan organisasi internasional, yang beranggotakan beberapa pemerintahan negara, biasanya negara maju. Mereka meminjamkan uang kepada negara berkembang. LKI yang paling menonjol adalah Kelompok Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Asian Development Bank (ADB). LKI juga dikenal sebagai Bank-bank Pembangunan Multilateral (Multilateral Development Banks).
Seri Factsheet bulanan tentang LKI ini menyajikan informasi tentang kiprah mereka di Indonesia. |
Naskah pernyataan sikap INFID yang berjudul "Comprehensive Strategies for Indonesia Recovery" telah terbit pada Juni 2002. Penerbitan dini ini, empat bulan sebelum pertemuan CGI pada November 2002, memberikan cukup waktu bagi para anggota CGI untuk mencermati dan memasukkannya dalam sikap dan rencana kerja mereka.
INFID mengangkat tujuh isu pokok dalam naskah tersebut, yang diyakini sangat penting bagi pemulihan ekonomi Indonesia dan bagi kelangsungan proses demokrasi. Ketujuh isu tersebut adalah:
- Reformasi CGI
- Utang Indonesia dan kebutuhan akan solusi menyeluruh
- Kemiskinan
- Kemajuan reformasi militer
- Kehutanan
- Desentralisasi
- Swastanisasi
Reformasi CGI
INFID menunjukkan bahwa CGI memiliki sejarah yang patut diakui dan sekaligus dituntaskan, termasuk hubungan baik antara Pemerintah Indonesia dan para anggota CGI, yang berakibat pada: (a) tidak adanya pengawasan dan tanggung gugat dipihak donor dan kreditur, (b) pinjaman dan hibah yang dikorupsi oleh pemerintah Indonesia, dan (c) kegagalan CGI dalam menyikapi fakta tidak adanya partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
Menurut INFID, CGI hanya sekedar berperan sebagai perpanjangan tangan para kreditur. CGI tidak memperlihatkan kemitraan sejati dengan pemerintah dan rakyat Indonesia. Pemerintah Indonesia telah sepakat untuk memperluas cakupan reformasi untuk memberi kesan baik kepada para donor dan kreditur serta untuk meyakinkan mereka agar menjanjikan dan mengucurkan dana. Juga ada masalah ketidakjelasan dan ketidakserasian antara program-program dan kebijakan-kebijakan yang berbeda dari para donor tentang Indonesia. Masalah lainnya adalah kepemimpinan CGI ada ditangan Bank Dunia dan IMF serta posisi pemerintah Indonesia sebagai "bawahan" di CGI.
INFID merekomendasikan agar CGI mereformasi struktur organisasi dan pengambilan keputusan dengan menciptakan panel atau komite yang mandiri dan multi-pihak untuk pemulihan ekonomi dan pengurangan kemiskinan di Indonesia. Panel tersebut akan menghasilkan analisis dan membuat rekomendasi kebijakan dan program alternatif guna mencapai pemulihan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Laporan panelis akan diserahkan ke CGI untuk dipertimbangkan dan dipergunakan. Panel akan terdiri dari pakar Indonesia dan internasional, Pemerintah Indonesia, perwakilan negara-negara donor, dan perwakilan organisasi masyarakat dari dalam dan luar Indonesia. CGI juga harus memperkuat praktik pemantauan dan evaluasi, termasuk penaksiran independen terhadap dampak sosial, lingkungan dan ekonomi dari pinjaman dan hibah anggota CGI, guna menentukan apakah upaya-upaya tersebut bermanfaat bagi kaum miskin dan dapat memberantas korupsi. INFID juga menuntut CGI mendeklarasikan agar semua pinjaman dan hibah anggota CGI dibuat tidak mengikat mulai dari tahun 2002 dan selanjutnya. Deklarasi ini dimaksudkan untuk menjamin agar "bantuan" tetap bermakna sebagai "bantuan" dan bukan alat bagi negara-negara donor untuk melindungi dan meningkatkan ekspor barang dan jasa mereka.
Juga penting bagi CGI untuk menilai keberlanjutan dan legitimasi beban utang Indonesia, dan agar CGI setuju mendukung serta berpartisipasi dalam proses arbitrase utang yang jujur dan transparan guna mencari solusi yang langgeng dan pantas bagi masalah utang yang membengkak.
Utang Indonesia dan kebutuhan akan jalan keluar yang menyeluruh
Beban utang Indonesia telah menumpuk sejak sebelum krisis keuangan tahun 1997 dan naik tajam setelah krisis hingga mencapai angka 136 milyar USD. World Bank Global Development Finance 2002 melaporkan bahwa status Indonesia adalah "Negara Berpenghasilan Rendah dengan Utang Parah" (Severely Indebted Low Income Country atau SILIC), sejajar dengan Afghanistan, Pakistan dan Nigeria. Meskipun Indonesia menerima penjadwalan utang dari Paris Club, pertimbangan pengurangan utang bagi Indonesia ditolak mentah-mentah. Alasannya, masalah utang adalah perkara likuiditas dan bukan solvabilitas (penghapusan).
INFID merekomendasikan agar Pemerintah Indonesia, para kreditur dan para anggota CGI untuk memasukkan isu dampak kewajiban utang terhadap kemiskinan dan pembangunan manusia dalam penaksiran mereka untuk keberlanjutan utang. Asumsi dasarnya adalah pembayaran cicilan utang luar negeri harus dipandang sebagai perkara nomor dua dibandingkan biaya pembangunan manusia insani. Pemerintah Indonesia harus meminta, dan para kreditur serta para anggota CGI harus mempertimbangkan secara serius, kemungkinan pengurangan utang Indonesia. INFID juga menyerukan kepada pemerintah Indonesia, para kreditur dan para anggota CGI untuk melakukan pemeriksaan dan audit utang yang diperoleh Indonesia semasa rezim Soeharto dari tahun 1967 sampai 1999, yang bertujuan untuk menentukan legitimasi utang tersebut dan mengidentifikasi bagian utang yang dikorupsi atau disalahgunakan untuk tujuan kriminal.
Menurut INFID, kebijakan dan langkah pemerintah Indonesia dan CGI terhadap utang domestik harus diatur oleh prinsip-prinsip (a) tidak boleh ada pengalihan utang swasta menjadi utang publik, dan (b) harus ada kemauan memikul beban bersama pada sektor swasta. Yaitu bahwa sektor swasta harus menanggung bagian beban utang yang menjadi tanggung jawabnya. Karena besarnya biaya restrukturisasi keuangan pada sektor publik, kinerja BPPN dan penjualan asetnya harus diperhitungkan berdasarkan kedua prinsip tersebut. Selain itu, pemerintah Indonesia harus melakukan tindakan hukum yang tegas dan tepat terhadap para pengutang yang melanggar kesepakatan atau menolak bekerja sama dengan pemerintah dalam upaya mereka memenuhi kewajiban yang belum dilunasi.
INFID mengatakan agar Pemerintah Indonesia, dengan dukungan para anggota CGI, harus menyesuaikan reformasi sektor perbankan untuk mengurangi beban pada sektor publik. Rekapitalisasi kedua dan ketiga serta ketidakpastian yang timbul dalam sistem keuangan menggoyahkan sistem, dan berakibat sangat negatif pada rakyat Indonesia dan tidak boleh dilakukan lagi.
INFID juga menyerukan kepada pemerintah Indonesia, dengan dukungan para anggota CGI, agar segera mengakhiri kebijakan jaminan blanket guarantee dan mencabut landasan hukumnya (Keppres no 26/1998) dan menggantikannya dengan sistem jaminan untuk sektor perbankan seperti sistem FDIC di Amerika Serikat.
Kemiskinan
Dengan berpatokan pada garis kemiskinan dari Bank Dunia sebesar 2 USD per hari, maka pada tahun 2002 55,1% penduduk Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan. Walaupun angka ini diproyeksikan sedikit turun menjadi 49,5% pada tahun 2005, tetap menjadikan sejumlah besar warga berada dalam kondisi yang rentan. Untuk menyikapi masalah kemiskinan INFID merekomendasikan Pemerintah Indonesia dan CGI mengkaji ulang keberlanjutan anggaran dan fiskal Pemerintah Indonesia berdasarkan pada sasaran pembangunan manusia insani dan pengurangan kemiskinan sebagaimana diamanatkan oleh Sasaran Milenium PBB (pada tahun 2015, separuh penduduk dunia harus terbebas dari kemiskinan) untuk memastikan koherensi dan konsistensi dalam kebijakan dan program.
Untuk memastikan kemitraan sejati antara Indonesia dan negara-negara donor, INFID menyerukan kepada CGI untuk mengubah kelompok kerjanya yang sekarang sedang menangani penuntasan kemiskinan menjadi Kemitraan bagi Pengurangan Kemiskinan dan Pengucilan Sosial (Partnership for Poverty Reduction and Social Exclusion) yang terdiri dari perwakilan pemerintah Indonesia dan para donor. Mandat kemitraan adalah mengkaji kebijakan ekonomi yang berlaku (moneter dan fiskal) untuk menjamin bahwa upaya-upaya pengurangan kemiskinan dan pengucilan sosial mendapatkan dana yang memadai. Kemitraan selayaknya juga mengkaji dan mengevaluasi proyek bantuan pembantuan (ODA) dan proyek berdasarkan pinjaman dari perspektif pengurangan kemiskinan dan pembangunan manusia insani. Kemitraan juga mengevaluasi akibat bantuan mengikat terhadap pembangunan ekonomi dan sosial di Indonesia.
Kemajuan reformasi militer
Perubahan penting dalam sektor pertahanan dan pengurangan peran politik TNI di Indonesia adalah prasyarat bagi reformasi yang berkelanjutan di Indonesia.
Sejumlah kemajuan berarti telah terjadi dari pertengahan tahun 1998 hingga akhir 1999, seperti pemisahan TNI dari polisi, penghapusan dwifungsi militer dalam lembaga-lembaga sipil seperti DPR, dan komitmen TNI terhadap masyarakat untuk mematuhi otoritas pemerintahan sipil. Namun sejak tahun 2000, terjadi lebih banyak kemunduran dibandingkan kemajuan yang dicapai. Diantaranya: usulan Menteri Pertahanan pada Juni 2002 bahwa anggota TNI sepatutnya memiliki hak menjadi anggota DPR, dipertahankannya dan diperluasnya komando teritorial, peradilan kasus Timor-Timur yang problematik, pengangkatan perwira-perwira militer pelanggar HAM untuk menjabat posisi-posisi penting, tidak dihargainya lembaga-lembaga sipil dalam isu-isu tanggung gugat (akuntabilitas), dan terhambatnya proses reformasi oleh kalangan militer dengan dukungan mereka dalam konflik-konflik komunal.
Karena itu INFID merekomendasikan, sebelum memberikan bantuan kepada militer, para donor harus sungguh-sungguh mempertimbangkan akibat dan implikasi bantuan tersebut terhadap meluasnya peran militer dan fakta bahwa bantuan semacam itu akan semakin memperkuat posisi militer dalam peran politiknya yang telah dominan. Lebih jauh INFID menegaskan bahwa setiap strategi dukungan kepada militer harus memperhitungkan sikap TNI yang cenderung memprioritaskan penerimaan bantuan militer diatas upaya memperbaiki legitimasi dan akuntabilitas politiknya kepada rakyat Indonesia. Adanya perubahan yang sungguh-sungguh dalam tubuh TNI dan sektor pertahanan secara keseluruhan, termasuk reformasi mendasar di tubuh TNI merupakan prasyarat bagi setiap jenis bantuan militer kepada pemerintah Indonesia. Perubahan ini harus mencakup adanya kekuasaan sipil dan proses demokratis daam melaksanakan kontrol terhadap militer. Dukungan bilateral bagi upaya-upaya dalam bidang keamanan dalam negeri dan anti-terorisme harus semata-mata didasarkan pada aturan hukum yang berlaku dan prinsip-prinsip penegakan hukum. Selurh pengeluaran diluar anggaran harus dilaksanakan dibawah kontrol kekuasaan sipil, dan para perwira militer yang terlibat dalam aktivitas bisnis secara terbuka atau sembunyi-sembunyi harus bertanggung jawab kepada pemerintah.
Kehutanan
Anggota CGI telah banyak pengalaman bekerja sama dengan Indonesia dalam menangani isu-isu kehutanan, termasuk partisipasi CGI dalam pengelolaan sektor kehutanan. Apa yang telah dicapai sejauh ini sejak penandatanganan Nota Kesepakatan IMF pertama pada Januari 1988, yang menyertakan semua rekomendasi untuk sektor kehutanan sebagaimana diusulkan IMF, Bank Dunia dan para anggota CGI, masih jauh dari harapan. Salah satu alasannya adalah bahwa semua rekomendasi itu hanya menanggulangi gejala, bukan akar dari permasalahan kehutanan. Karena itu, INFID merekomendasikan agar pemerintah Indonesia, dengan dorongan dan dukungan kuat dari para anggota CGI, mengimplementasikan Ketetapan MPR no. IX/2001 tentang Reformasi Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ketetapan ini mendesak pemerintah untuk menerapkan sejumlah kebijakan dan tindakan, diantaranya: perubahan menyeluruh dalam sektor hukum, membuka akses informasi tentang pengelolaan sumber daya alam kepada publik, resolusi konflik sumber daya alam berdasarkan keadilan, dll.
INFID juga merekomendasikan perlunya dibentuk badan-badan nasional dan regional sebagai badan pelaksana, menciptakan suatu mekanisme yang terbuka bagi pengawasan publik dan senantiasa mempertimbangkan kebutuhan akan desentralisasi. Sistem pengelolaan hutan yang melibatkan HPH dan perusahaan-perusahaan kehutanan milik negara perlu dievaluasi dan direvisi secepatnya. Hak mengelola, memiliki dan manajemen sumber daya agraria dan alam harus dibangun kembali, dengan prioritas memberikan kesempatan kepada komunitas penduduk asli dan komunitas lokal lainnya untuk memperoleh hak tersebut. Karena rekomendasi teknis terbukti tidak berhasil, kebijakan seyogyanya berorientasi pada pembuatan fungsi dan tugas Departemen Kehutanan menjadi lebih efisien. Untuk itu perlu dibuat mekanisme untuk mencapai konsensus antara pemerintah pusat dan daerah pada tiap tahap yang diperlukan untuk mengendalikan penebangan liar, restrukturisasi industri kehutanan, rehabilitasi hutan dan pengendalian kebakaran hutan. Karena badan pelaksana adalah pemerintah daerah, maka harus diberikan prioritas bagi langkah-langkah untuk memperkuat kemampuan dan kapasitas badan-badan kehutanan daerah. Negara-negara anggota CGI dapat berpartisipasi dalam proses ini, dengan memfokuskan pada daerah-daerah yang memiliki fungsi konservasi dan perlindungan alam.
Desentralisasi
Desentralisasi, yang mulai berlaku pada tahun 2001, hanya bermanfaat bagi sebagian kalangan, terutama para elit, di daerah-daerah yang kaya akan sumber daya. Desentralisasi menciptakan masalah di banyak kabupaten, dimana otonomi menjadi tantangan nyata, diantaranya adalah kurangnya kemampuan menjalankan administrasi kabupaten secara efektif dan bertanggung jawab.
INFID merekomendasikan agar UU no. 22/1999 tentang Desentralisasi dilengkapi dengan peraturan pemerintah yang dianggap perlu guna menjamin konsistensi otonomi daerah. Peraturan ini mencakup kewenangan bagi penempatan desentralisasi di tingkat propinsi, bukan pada tingkat kabupaten; penghapusan keseragaman birokrasi di tingkat lokal, dan pembatasan intervensi oleh pemerintah pusat.
INFID juga menekankan agar proses desentralisasi harus didasarkan pada prinsip-prinsip transparansi dan tanggung gugat. Sekurang-kurangnya pemerintah Indonesia harus membuat laporan publik secara berkala tentang kemajuan desentralisasi. INFID menyebutkan bahwa proses desentralisasi pada tingkat kabupaten adalah salah satu sebab utama terjadinya konflik horisontal. Mengingat dampak besar konflik tersebut di beberapa daerah (Kalimantan Barat dan Timur, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur), program bantuan harus memprioritaskan bidang-bidang berikut: (a) perencanaan dan penerapan program-program rehabilitasi sesegera mungkin untuk membangun kembali seluruh infrastruktur yang hancur akibat konflik horisontal; (b) mengalokasikan dana khusus baik dari daerah kaya atau pemerintah pusat untuk menerapkan rencana di atas; dan (c) mengurangi peran kelompok-kelompok yang berasal dari luar daerah, termasuk militer, dan memindahkan proses rekonsiliasi kepada masyarakat itu sendiri. Penerapan desentralisasi juga berakibat pada pengingkaran hak-hak rakyat untuk mengelola sumber daya alam mereka sendiri. Pada gilirannya, hal ini memperparah konflik atas akses dan pengelolaan sumber daya tersebut. Karena itu, setiap program bantuan harus berorientasi pada pengakuan hak-hak milik komunal dan akses terhadap sumber daya alam.
Swastanisasi
Kebijakan restrukturisasi dan swastanisasi sektor kelistrikan, yang merupakan bagian dari strategi penyesuaian struktural, dirancang oleh IMF dan didukung oleh Bank Dunia dan ADB, telah menjadi salah satu syarat dukungan Lembaga-lembaga Keuangan Internasional (LKI) bagi pemulihan ekonomi Indonesia. Situasi dan syarat serupa juga terdapat di sektor-sektor lain. INFID percaya bahwa restrukturisasi dan swastanisasi BUMN tidak dapat dipandang sebagai cara yang tepat untuk memecahkan masalah dan tantangan yang dihadapi oleh BUMN. Swastanisasi, terutama ketika diterapkan dibawah tekanan IMF, sekedar memindahkan modal yang dimiliki BUMN-BUMN ke tangan para investor swasta. Hal ini dilakukan sedemikian rupa dan besar kemungkinannya bahwa BUMN-BUMN itu dijual dengan harga murah. Karena itu swastanisasi dapat disalahgunakan oleh para investor dan perusahaan-perusahaan internasional yang berpengaruh untuk mengeruk kekayaan Indonesia.
Berkenaan dengan swastanisasi BUMN secara umum, INFID percaya bahwa strategi yang tepat untuk mereformasi BUMN adalah dengan melindungi manajemen BUMN dari campur tangan politik dan pemerintah. Bila tidak, BUMN hanya akan berfungsi sebagai "sapi perah" bagi mereka yang berkuasa. Untuk itu, sebuah Badan Manajemen BUMN independen harus dibentuk dan pemerintah serta DPR harus segera merumuskan undang-undang tentang BUMN guna menyikapi isu tersebut.
Ditunggu: Tanggapan dari Pemerintah Indonesia dan CGI
Dokumen pernyataan sikap INFID memaparkan sejumlah butir keprihatinan tentang CGI dan isu-isu yang harus disikapi oleh pemerintah dan CGI. Dokumen yang disiapkan dan ditulis dengan baik itu memberikan data dan argumen kuat yang tidak boleh diabaikan oleh pemerintah Indonesia dan CGI. Selain itu, langkah INFID tersebut merupakan partisipasi masyarakat sipil yang konon dicita-citakan oleh pemerintah dan CGI. Pemerintah Indonesia dan CGI memiliki waktu lebih dari empat bulan untuk membahas isu-isu yang diangkat dalam dokumen tersebut, meresapi dan menyatupadukannya dalam keputusan-keputusan penting yang harus dibuat dalam pertemuan CGI mendatang.
(Sumber: Comprehensive Strategies Needed for Indonesia's Recovery. Pernyataan Sikap INFID kepada CGI 2002. Juni 2002)
Kontak:
Sekretariat INFID infid@nusa.or.id, website www.infid.or.id
INFID European Liaison Office infid@infid.be, website www.infid.be
Update dan Factsheet tentang LKI tersedia dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Anda dapat memperolehnya melalui email (versi rtf) secara cuma-cuma. Edisi cetak tersedia sebagai suplemen newsletter DTE. Newsletter dapat Anda peroleh dengan cara berlangganan atau saling tukar dengan publikasi organisasi Anda.
Bila Anda ingin menerima Update bulanan dan Factsheet via email, silakan kirim alamat email Anda ke dte@gn.apc.org. Cantumkanlah bahasa yang Anda kehendaki. Anda juga bisa memilih kedua bahasa.