Switch to English



Factsheet Down to Earth tentang Lembaga-lembaga Keuangan Internasional

Nr 13, Juni 2001


LKI di Indonesia

LKI adalah singkatan dari Lembaga-lembaga Keuangan Internasional atau International Financial Institutions (IFIs). LKI merupakan organisasi internasional, yang beranggotakan beberapa pemerintahan negara, biasanya negara maju. Mereka meminjamkan uang kepada negara berkembang. LKI yang paling menonjol adalah Kelompok Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Asian Development Bank (ADB). LKI juga dikenal sebagai Bank-bank Pembangunan Multilateral (Multilateral Development Banks).

Seri Factsheet bulanan tentang LKI ini menyajikan informasi tentang kiprah mereka di Indonesia.


Metode Terbaru IMF untuk Penanggulangan Krisis: Bagaimana penerapannya di Indonesia?

IMF dikecam karena kehilangan arah dalam memenuhi tujuan awalnya, yaitu untuk membantu pemulihan keuangan, dan justru bermain di arena politik. IMF cukup puas dengan penerapan kebijakan dan petunjuk tertentu tanpa mempedulikan penderitaan masyarakat. IMF juga dituduh telah mengirimkan isyarat yang keliru kepada para investor petualang yang berani ambil risiko untuk mengejar untung dalam sekejap, dengan memberikan paket dana talangan kepada negara-negara yang mengalami krisis. Mereka juga mendukung upaya global untuk mendorong pasar bebas dan bebas peraturan yang belum terbukti efektif dalam menawarkan pemecahan yang lebih baik untuk menuntaskan kemiskinan dan pertumbuhan yang berkelanjutan.


Metode baru IMF

IMF mengakui bahwa krisis ekonomi Asia 1997 mungkin tidak akan terlalu parah apabila reformasi dalam IMF telah dilaksanakan. Pada bulan Mei 2001, mantan Wakil Direktur Pengelola IMF, Stanley Fischer memaparkan metode penanggulangan krisis terbaru dari IMF. Pada masa mendatang, IMF akan:


Metode versus Praktik

Bagaimana metode ini diterapkan dalam praktik? Berikut ini sebuah contoh dari sektor tenaga listrik di Indonesia.

Bantuan talangan untuk siapa?

Dalam waktu dekat, IMF diperkirakan akan mencairkan pinjamannya kepada Indonesia sebesar US $400 juta yang sejak lama tertunda (lihat juga Update bulan ini). Penundaan ini dan alasan-alasan dibaliknya telah menjadi pokok perselisihan yang berkepanjangan antara pemerintah Indonesia dan IMF, serta mengganggu perekonomian Indonesia. Sementara itu, di bawah tekanan lembaga-lembaga pemberi pinjaman internasional, termasuk IMF, PLN sedang menyiapkan pembayaran denda sebesar $240 juta kepada Korporasi Penanaman Modal Swasta Luar Negeri (OPIC), yang merupakan lembaga pemerintah AS penjamin risiko politik. PLN harus membayar denda karena melanggar Kesepakatan Pembelian Daya Listrik (PPA) yang telah ditandatangani bersama perusahaan listrik AS, CalEnergy, yang telah membeli jaminan risiko dari OPIC. Diduga keras PPA tersebut bernuansa korupsi dan nepotisme. Pada 31 Desember 2001, Indonesia juga harus membayar tagihan lain sejumlah $282 juta.

PLN tidak dapat mematuhi sejumlah butir kesepakatan dalam PPA karena mereka membeli daya listrik dari perusahaan-perusahaan swasta dalam mata uang Dollar AS, sebagaimana disepakati dalam PPA, dan menjual kepada pasar dalam negeri dalam mata uang Rupiah. Nilai Rupiah telah merosot tajam terhadap dollar. Sebelum krisis ekonomi, satu Dollar AS bernilai sekitar Rp 2.500, dan sekarang telah menjadi sekitar Rp 11.000 per Dollar AS. Akibat anjloknya daya beli masyarakat, sejak krisis PLN belum pernah menaikkan harga daya listrik untuk mengimbangi biaya pelayanan.

Pada waktu denda tersebut dibayarkan, nilai aktual dari kucuran pinjaman IMF sebesar $400 juta akan menjadi jauh lebih kecil daripada yang diharapkan. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro, mengatakan bahwa pembayaran tagihan OPIC tidak akan membebani anggaran karena akan diupayakan melalui skim penjadwalan utang di Paris Club. Namun demikian, dampak beban utang baru akan terasa pada 5-6 tahun mendatang ketika masa tenggang waktu (grace period) telah berakhir dan utang harus mulai dicicil. DirJen Anggaran, Anshari Ritonga tidak menyetujui pendapat Yusgiantoro. Ia mengatakan bahwa uang untuk membayar tagihan tersebut harus diambil dari APBN, sehingga Indonesia harus mencari sumber keuangan untuk menutupnya.

Mantan Menko Perekonomian, Rizal Ramli, mengatakan pada awal Juni 2001 bahwa keputusan untuk membayar tagihan itu dibuat untuk mempertahankan hubungan baik dengan pemerintah AS. Indonesia tidak mempunyai pilihan selain menyerah terhadap tekanan AS untuk membayar denda. Pemerintah AS sangat berpengaruh di IMF dan telah menggunakan fasilitas-fasilitas IMF untuk melindungi kepentingan AS di Indonesia dan negara-negara lain yang mengalami masalah ekonomi.

Pengetatan Fiskal Terus Berlanjut

IMF meminta Indonesia untuk membuat perencanaan yang realistis guna mengatasi masalah anggaran. Pemerintah Indonesia menanggapi desakan itu dengan melakukan pengurangan subsidi untuk masyarakat sebagai cara mengatasi defisit anggaran, yaitu dengan menaikkan harga BBM sebesar 30% dan tarif dasar listrik sebesar 20% yang sebentar lagi akan diberlakukan. John Dodsworth, perwakilan IMF di Indonesia, mengatakan bahwa kenaikan tersebut seyogyanya jangan dipandang sebagai persyaratan, dan terserah kepada pemerintah Indonesia tentang bagaimana dan kapan kenaikan harga BBM tersebut akan diberlakukan. Namun demikian, pemerintah Indonesia tidak melihat perubahan tersebut (pengurangan subsidi; kenaikkan harga BBM/tarif listrik) sebagai pilihan. Sebaliknya, kenaikan harga dan tarif itu dianggap sebagai persyaratan yang diajukan oleh IMF untuk mengamankan anggaran.

Siapa yang Rentan?

Produsen Daya Listrik Independen (IPP) – seperti CalEnergy atau PowerGen – telah menjalankan bisnis di Indonesia sejak Suharto masih berkuasa dan investasi mereka tidak pernah terancam, kendatipun Kesepakatan Pembelian Daya Listrik (PPA) didasarkan pada harga pasar yang tidak wajar. Perusahaan-perusahaan tersebut sangat menyadari bahwa solusi dana-talangan dari IMF terhadap krisis akan memberi jaminan bahwa modal yang mereka tanam tidak akan hilang, dan pemerintah mereka akan mendesak IMF untuk mengamankan investasi mereka.

Pengalaman dengan IPP di Indonesia menunjukkan bahwa keuangan perusahaan-perusahaan akan menjadi rentan bila IMF tidak memberikan paket dana talangan kepada Indonesia. Bila IMF sungguh berniat memperkuat fokus mereka pada pola pembangunan yang ada sekarang yang membuat negara-negara pengutang menjadi rentan terhadap krisis dimasa mendatang, maka seyogyanya mereka perlu mensyaratkan bahwa pemerintah Indonesia dan sektor swasta menanggung hak dan tanggung jawab yang lebih setara terhadap masalah-masalah yang dihadapi Indonesia saat ini. Hal ini mencakup renegosiasi PPA dan beban utang yang merupakan konsekuensi kesepakatan tersebut, sebagai persyaratan mendasar untuk mengurangi kerentanan ekonomi dan keuangan Indonesia terhadap krisis dimasa mendatang.


Apakah Metode Baru IMF Akan Bermanfaat bagi Indonesia?

IMF semakin menyadari bahwa ‘pendekatan reformasi’nya berdampak pada masyarakat miskin dan dapat mempengaruhi kelangsungan ekonomi dan keuangan jangka panjang dari negara-negara peminjam. Selain itu, IMF semakin berniat untuk menghadapi isu-isu kemiskinan. Meski demikian, dalam pelaksanaannya mereka belum berhasil membuat skema yang sistematis untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Karena itu, belum saatnya untuk menilai apakah metode baru itu akan menghasilkan perubahan yang berarti dalam kerja IMF di Indonesia.

Ada kemungkinan Nota Kesepakatan (LoI) baru akan disusun oleh IMF apabila pemerintahan Presiden Wahid, yang semakin goyah, digantikan oleh pemerintahan baru. Ini merupakan kesempatan bagi kalangan organisasi masyarakat madani di Indonesia dan internasional menuntut pemerintah Indonesia dan IMF untuk:

  1. mempublikasikan draft Nota Kesepakatan (LoI);
  2. mengidentifkasikan secara rinci dampak positif dan negatif dari persyaratan-persyaratan IMF;
  3. memaparkan secara rinci rencana untuk mengatasi dampak tersebut;
  4. menjelaskan pembagian hak dan kewajiban antara pemerintah Indonesia, sektor swasta, dan IMF terhadap usulan reformasi tersebut.
Keempat isu pokok ini harus dipublikasikan sebelum Nota Kesepakatan mencapat tahap akhir.

(Referensi: AFX-Asia, 30 Mei, 2001; The Strait Times, 2 Juni, 2001; Nota Kesepakatan Indonesia 7 September, 2001; Petromindo, 15, 16 dan 22 Mei, 2001; Reuters, 15 Mei, 2001)



Factsheet LKI diterbitkan oleh Down to Earth, Kampanye Internasional untuk Lingkungan Hidup yang Berkeadilan di Indonesia.

Update dan Factsheet tentang LKI tersedia dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Anda dapat memperolehnya melalui email (versi rtf) secara cuma-cuma. Edisi cetak tersedia sebagai suplemen newsletter DTE. Newsletter dapat Anda peroleh dengan cara berlangganan atau saling tukar dengan publikasi organisasi Anda.

Bila Anda ingin menerima Update bulanan dan Factsheet via email, silakan kirim alamat email Anda ke dte@gn.apc.org. Cantumkanlah bahasa yang Anda kehendaki. Anda juga bisa memilih kedua bahasa.


Kantor: 59 Athenlay Rd, London SE15 3EN, England, email: dte@gn.apc.org tel/fax:+44 207732 7984; web:http://www.gn.apc.org/dte


   Advokasi    DTE Homepage    Buletin    Link