Switch to English |
Meskipun ada rasa skeptis yang meningkatdi sejumlah bagian dunia, terdapat kesepakatan yang meluas di antara para ilmuwan iklim2 bahwa gas-gas tertentu yang ada dalam atmosfer bumi, khususnya karbon dioksida, nitrus oksida dan metana, menjerat panas dan berfungsi sebagai 'gas rumah kaca'. Dikhawatirkan bahwa peningkatan konsentrasi atmosferik dari gas-gas tersebut yang diakibatkan oleh kegiatan manusia akan mengakibatkan naiknya suhu paling sedikit dua derajat dan mungkin, sampai enam derajat Celsius dalam abad ini. Dampak pasti kenaikan suhu yang pesat itu sulit diramalkan tetapi diyakini bahwa akan mencakup kenaikan suhu yang semakin tinggi pada garis lintang yang lebih tinggi, khususnya di wilayah kutub; meningkatnya permukaan laut secara signifikan, yang menyebabkan banjir di daerah-daerah yang rendah; mencairnya bongkahan es, tanah beku abadi dan glasier; dan perubahan dalam pola cuaca, termasuk lebih banyak musim kering, gelombang panas, serta badai yang semakin hebat dan mungkin di luar musim.3
Beberapa negara kepulauan yang terletak di daerah rendah di Samudra Pasifik dan Hindia merasa khawatir akan kelangsungan eksistensi mereka bahkan sekalipun jika peningkatan permukaan laut tidak terlalu tinggi. Banyak wilayah dataran rendah juga mungkin terimbas secara serius.4
Pengurangan ini tidak dapat dicapai tanpa perubahan signifikan dalam sifat perekonomian dewasa ini. Ini tidak berarti bahwa tenaga kerja harus dikurangi-justru, kelompok-kelompok pengkampanye iklim secara khusus menganjurkan investasi dalam pekerjaan 'hijau' yang baru di negara-negara industri.6 Ini juga tak berarti harus mengurangi penggunaan energi secara besar-besaran-yang perlu dilakukan adalah melakukan perubahan dalam sumber energi yang diperlukan. Sejumlah ilmuwan berargumentasi bahwa 95% dari kebutuhan energi dunia dapat disediakan oleh sumber terbarukan pada tahun 2050.7
Tetapi terdapat kontradiksi besar antara pernyataan pemerintah dan pengusaha dengan rencana investasi mereka saat ini. Pemerintah-pemerintah di seluruh dunia mendorong industri untuk menghabiskan ratusan miliar dolar guna membangun ratusan pembangkit tenaga listrik baru berbahan bakar batubara dalam tahun-tahun mendatang-khususnya di AS, India dan Cina.
Banyak dari ekspansi ini yang tidak mungkin dilakukan tanpa dukungan pemerintah. International Energy Agency (IEA) menyatakan dalam laporannya pada bulan Juni 2010 mengenai subsidi bahan bakar fosil global dan dampak penghapusannya,8 bahwa konsumsi bahan bakar fosil global yang disubsidi berjumlah US$557 miliar pada tahun 2008, termasuk $40 miliar untuk konsumsi batubara. Pada bulan Juni 2010 Uni Eropa mempertimbangkan bantuan negara untuk batubara selama 12 tahun lagi, seperti yang tertulis dalam suatu rancangan dokumen Uni Eropa, sekalipun saat itu Grup 20 tengah bersiap-siap untuk mendiskusikan penghapusan bertahap subsidi bahan bakar fosil. IEA mengatakan bahwa, jika dibandingkan dengan keadaan di mana tingkat subsidi tidak berubah, penghapusan subsidi global secara bertahap akan memangkas permintaan energi global sebesar 5,8%, dan emisi karbon dioksida yang terkait dengan energi sebesar 6,9%, pada tahun 2020.9 Organisasi Kerja sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) telah mendesak para pemerintah untuk mengakhiri subsidi bahan bakar fosil dan berargumentasi bahwa hal ini dapat mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 10%.10
Hal lain yang menunjukkan bagaimana pemerintah negara industri mendorong penggunaan batubara adalah melalui sistem perdagangan karbon yang digunakan di Uni Eropa dan dipromosikan oleh Protokol Kyoto. Pemerintah yang berpartisipasi telah memberikan izin karbon gratis dalam jumlah besar kepada perusahaan-perusahaan yang menggunakan batubara sebagai bahan bakar pembangkit tenaga listrik. Sebagian izin yang paling sulit diterima juga diberikan ke produser baja dan aluminium-yang disebut belakangan ini menggunakan lebih banyak listrik per unit output daripada kegiatan industri lainnya, selain produksi uranium heksaflorid. Izin ini dapat digunakan untuk meneruskan produksi karbon dioksida pada tingkat yang tinggi atau diperjualbelikan untuk memperolah uang tunai. Dengan cara demikian, perusahaan yang menimbulkan banyak polusi dapat terus mencemari dan mendapatkan keuntungan dengan memungkinkan perusahaan lain untuk mencemari.11
Terdapat perlawanan hebat yang semakin meningkat terhadap Program Kolaborasi PBB atas Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan di Negara-negara Berkembang (Program UN-REDD)12, dan skema-skema REDD lainnya yang dikaitkan dengan perdagangan karbon dan Mekanisme Pembangunan Bersih13 karena adanya kesempatan yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan untuk mengelak melakukan pengurangan emisi dalam jumlah yang berarti.14
Greenpeace memperkirakan bahwa jika semua pembangkit tenaga listrik berbahan bakar batubara yang direncanakan jadi dibangun, maka emisi karbon dioksida dari batubara akan meningkat 60 persen pada tahun 203015. Hal ini akan memberikan dampak negatif yang besar terhadap perjanjian internasional untuk mengatasi perubahan iklim apa pun. Tetapi industri batubara global masih terus dapat memobilisasi keuangan untuk proyek-proyek di seluruh dunia. Bank Dunia, misalnya, menurut Bank Information Centre, meningkatkan pendanaannya untuk inisiatif berbasis batubara sebesar 200% antara 2007 dan 2009.16
Tambang batubara melepaskan metana ke atmosfer. Metana dua puluh kali lebih kuat daripada karbon dioksida sebagai gas rumah kaca.17 Di AS pada tahun 2006, 26% dari pelepasan metana yang terkait energi adalah hasil langsung dari penambangan lapisan batubara yang terkubur.18 Di seluruh dunia, sekitar 7% dari emisi metana tahunan berasal dari tambang batubara.19 Metana ini dapat digunakan untuk menghasilkan energi dengan lebih efisien daripada batubara itu sendiri.20 Secara teoritik, metana dapat ditangkap dari lapisan bawah tanah sebelum dilakukan penambangan terbuka, tetapi kalau pun pernah, hal ini sangat jarang dilakukan. Lebih mudah menangkapnya dalam tambang bawah tanah.
Penambangan batubara dan pembakaran batubara untuk pembangkit energi, pembuatan semen dan produksi baja merupakan mesin utama pemanasan global. Menurut Statistical Review of World Energy dari BP21, yang diterbitkan pada tanggal 9 Juni 2010, tahun 2009 merupakan tahun pertama sejak tahun 2002 batubara menjadi bukan bahan bakar yang tumbuh paling pesat di dunia. Ini terutama karena lesunya permintaan dari konsumen industri di negara-negara industri 'kelas berat' anggota OECD. Permintaan di wilayah Asia dan Pasifik serta Timur Tengah tumbuh sebesar 7,4%. Permintaan dari Cina mencakup 95% dari peningkatan itu dan secara keseluruhan merupakan produsen dan konsumen batubara terbesar di dunia. Konsumsi batubara Cina adalah sebesar 46,9% dari konsumsi global dan menghasilkan 45,6% dari pasokan global selama 2009, menurut laporan BP. Batubara yang diekspor oleh negara penghasil batubara lain proporsinya sangat beragam.
BP mengatakan bahwa batubara tetap merupakan bahan bakar fosil yang paling melimpah dari segi cadangan global, dan berjumlah 29% dari total konsumsi energi pada tahun 2009 - proporsi tertinggi sejak 1970. IEA meramalkan dalam World Energy Outlook for 200922 bahwa hingga 2030 permintaan global akan batubara akan tumbuh lebih besar daripada permintaan akan gas alam maupun minyak. World Coal Institute23 meramalkan bahwa penggunaan batubara akan meningkat sebesar 60% selama 20 tahun mendatang. Diperkirakan bahwa 45% emisi karbon dioksida pada tahun 2030 akan terkait dengan batubara.24
Tantangan kepada industri batubara mengenai perubahan iklim Di banyak negara, termasuk negara penghasil batubara, terdapat peningkatan aktivisme menentang penggunaan batubara dalam tahun-tahun belakangan ini, terutama karena kekhawatiran mengenai iklim. Negara kepulauan Pasifik, Mikronesia, menggunakan undang-undang lingkungan hidup yang ada dan traktat PBB mengenai penilaian dampak untuk mencegah ekspansi pembangkit tenaga listrik berbahan bakar batubara oleh perusahaan Ceko, CEZ. Pembangkit tenaga listrik CEZ di Prunerov, di utara Republik Ceko, menurut Mikronesia merupakan sumber gas rumah kaca terbesar ke-18 di Uni Eropa dan mengeluarkan karbon dioksida sekitar 40 kali lebih banyak daripada yang dikeluarkan oleh seluruh federasi Kepulauan Pasifik.25
Perbaikan ini disebut "Penangkapan dan Penyimpanan Karbon (CCS)"28 yang diklaim bisa menangkap karbon dalam emisi karbon dioksida dan dengan aman menyimpannya. Tetapi menurut Michael Economides (Profesor Teknik Kimia dan Biomolekuler di Universitas Houston, Texas), "Penangkapan geologis CO2 [merupakan] opsi yang sangat tidak dimungkinkan bagi pengelolaan emisi CO2." Ia mengatakan bahwa tak ada formasi geologis yang memadai yang cocok untuk menyimpan jumlah karbon dioksida yang sangat besar yang akan dilepaskan menurut proyeksi penggunaan energi saat ini.29 Juga tak ada jaminan bahwa formasi itu tak akan pecah, sehingga menyebabkan karbon dioksida yang telah disimpan kembali naik ke permukaan dan masuk ke dalam atmosfer. Kenyataannya, beberapa ahli meragukan bahwa teknologi CCS akan bisa dimungkinkan.30 Meskipun demikian, para pemerintah, termasuk pemerintah Inggris, telah menyiapkan jalan bagi generasi baru pembangkit tenaga listrik berbahan bakar batubara berdasarkan janji bahwa generasi baru itu akan terwujud. Negara-negara anggota Uni Eropa, antara sekarang dan 2015, akan mengalokasikan sekitar satu miliar euro untuk antara enam dan dua belas proyek CCS 'yang sudah terbukti memenuhi konsep'.31 Departemen-departemen Survei Geologis di sejumlah negara termasuk Inggris, Irlandia, Belanda dan AS dengan agresif melakukan penilaian terhadap potensi CCS dari formasi-formasi geologis bawah tanah di darat dan lepas pantai mereka.32 Juga kini makin meningkat jumlah proyek-proyek penangkapan skala kecil yang aktif yang tengah dibangun atau direncanakan, baik sebagai bagian dari usaha pemulihan minyak yang ditingkatkan ataupun sebagai usaha langsung untuk membuktikan konsep CCS. Proyek-proyek itu terdapat di Aljazair, Australia, Kanada, Belanda, Norwegia, Inggris dan AS.33
Cara lain untuk memperluas kehidupan ekonomi karbon adalah memproses batubara menjadi bahan bakar cair. Ini merupakan proses yang sangat sulit dan kotor yang menghasilkan produk yang dalam proses produksi dan penggunaannya akan memperparah krisis pemanasan global daripada menguranginya.34
Komentator politik AS yang terkemuka, Joshua Frank, dengan mengutip hasil karya Michael Economides (lihat di atas) dalam Truthout36, Februari 2010, menyimpulkan: "Kita harus membuang gagasan bahwa batubara dapat bersih. Investasi publik dalam teknologi batubara bersih itu merupakan penipuan dan hanya akan berfungsi sebagai sistem pendukung hidup bagi industri yang harus dihilangkan tuntas secara bertahap dalam dua dekade mendatang. Menyediakan miliaran dolar untuk teori yang buntu tak akan membawa perubahan energi yang sangat diperlukan oleh negara kita dan iklim."