Switch to English
Down to Earth No.82, September 2009

Kewajiban Indonesia Sesuai Perjanjian Internasional

Kebijakan dan praktik Indonesia dalam hubungan dengan pembangunan yang berkelanjutan, perubahan iklim dan hak asasi manusia banyak ditentukan oleh kewajibannya menurut perjanjian internasional dan instrumen internasional lainnya.

DTE dalam waktu dekat akan menerbitkan kompilasi instrumen terpilih yang dapat diterapkan di Indonesia sebagai pedoman bagi organisasi masyarakat madani dan yang lainnya yang menggeluti isu ini. Dalam artikel berikut ini, kami sampaikan sedikit informasi latar belakang.


Perjanjian adalah kesepakatan tertulis antara negara-negara yang mengikat secara hukum dan diatur oleh hukum internasional. Perjanjian seperti ini bisa juga disebut dengan nama lain, seperti konvensi atau kovenan, dan dibedakan dengan kesepakatan lain yang tidak mengikat tetapi dapat mewakili konsensus luas opini dalam masyarakat internasional. Instrumen hak asasi tertinggi, Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, misalnya, tidak mengikat secara hukum, tetapi tetap merupakan manifesto yang menentukan standar dengan otoritas moral tertinggi. Hal yang sama berlaku untuk Deklarasi PBB mengenai Hak-Hak Masyarakat Adat.


Perubahan iklim dan pembangunan yang berkelanjutan

Instrumen mengenai perubahan iklim yang paling terkenal adalah Konvensi Kerangka Kerja PBB tahun1992 mengenai Perubahan Iklim yang disetujui dalam Pertemuan Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro dan Protokol Kyoto tahun 1997. Konvensi Perubahan Iklim membentuk keseluruhan kerangka kerja bagi usaha antarpemerintah untuk menangani perubahan iklim sementara Protokol Kyoto menetapkan target yang mengikat bagi pengurangan gas rumah kaca di seluruh dunia. Masa implementasi sekarang ini tercakup dalam Protokol Kyoto yang akan berakhir tahun 2012. Langkah-langkah selanjutnya akan disetujui dalam Konferensi Perubahan Iklim mendatang di Kopenhagen pada bulan Desember 2009.

Instrumen penting lain mengenai pembangunan berkelanjutan dan perubahan iklim termasuk Konvensi Keanekaragaman Hayati Biologi, Konvensi Wina bagi Perlindungan Lapisan Ozon dan Deklarasi mengenai Hak atas Pembangunan.


Instrumen Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Internasional mengenai Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari instrumen utama PBB mengenai HAM - Deklarasi Universal mengenai HAM ('Deklarasi Universal'), Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya ('Kovenan ECOSOC'), Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik ('ICCPR') dan Protokol Opsional untuk ICCPR - ada untuk mendefinisikan dan menjamin perlindungan hak asasi manusia. Kovenan ECOSOC dan ICCPR berisi komitmen yang mengikat berdasarkan prinsip-prinsip yang tertuang dalam Deklarasi Universal.

Pekerjaan merumuskan Undang-undang Hak Asasi Manusia Internasional dimulai tak lama setelah Perang Dunia kedua tetapi baru selesai hampir dua dekade kemudian ketika, pada bulan Desember 1966, ketika Majelis Umum PBB memberi suara untuk mengadopsi Kovenan ECOSOC, ICCPR dan Protokol Opsional dan menawarkan traktat-traktat itu untuk ditandatangani. Majelis Umum sebelumnya telah mengadopsi Deklarasi Universal pada bulan Desember 1948.

Perjanjian atau kesepakatan internasional tak hanya bersifat multilateral. Ada juga yang bentuknya bilateral antara dua negara atau perjanjian yang terbuka hanya untuk beberapa negara saja, seperti Piagam ASEAN.

Meskipun banyak instrumen internasional yang menentukan standar penting bagi negara untuk diikuti, ada juga yang efektivitasnya diragukan karena kompromi politik yang dibuat untuk mencapai persetujuan itu. Kerangka acuan yang belum lama ini disetujui untuk Komisi Antarpemerintah ASEAN mengenai Hak Asasi Manusia, misalnya, telah banyak dikecam oleh Amnesty International dan kelompok HAM lainnya karena gagal memberikan tekanan yang cukup bagi perlindungan HAM dan juga karena penekanannya atas konsensus dan prinsip regional untuk tidak saling mencampuri dalam urusan internal negara lain.

Perjanjian internasional harus melalui sejumlah tahapan sebelum dapat dilaksanakan di suatu negara tertentu. Setelah teks disetujui dan diadopsi, instrumen itu terbuka untuk ditandatangani dan biasanya diberlakukan setelah ada cukup banyak negara yang menandatangani atau meratifikasinya. Instrumen itu dapat ditegakkan di suatu negara tertentu setelah diratifikasi atau diadopsi oleh otoritas yang berkepentingan di negara tersebut.

UU Republik Indonesia No.24 tahun 2000 tentang Perjanjian International mengatur pembuatan dan pengesahan perjanjian. Disebutkan bahwa perjanjian tertentu (seperti yang terkait dengan keamanan nasional, HAM dan lingkungan hidup) harus disahkan oleh UU melalui DPR sementara yang lainnya dapat disahkan oleh Keputusan Presiden.


Pertikaian dan kepatuhan

Pertikaian yang muncul karena gagalnya negara dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan suatu perjanjian dapat diselesaikan melalui negosiasi antara para pihak, melalui mekanisme yang dibentuk oleh perjanjian itu sendiri, atau dengan membawanya ke Pengadilan Internasional di Den Haag.

Opsi untuk membawa kasus ke Pengadilan Internasional hanya berlaku bagi negara yang telah menerima yurisdiksi Pengadilan itu; Indonesia belum melakukannya secara umum, tetapi setiap saat dapat memilih untuk tunduk kepada yurisdiksi Pengadilan itu dalam kaitannya dengan pertikaian yang spesifik apa pun.

Kepatuhan negara terhadap instrumen HAM international dipantau oleh komite pengawas yang berbasis pada PBB, seperti Komite HAM dan Komite Anti-Penyiksaan. Protokol Opsional untuk Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik telah menyusun mekanisme untuk menangani keluhan individu yang menjadi korban pelanggaran hak-hak tersebut, tetapi Indonesia belum mengesahkan protokol tersebut.

Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial, yang mengawasi Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD), misalnya, telah menyatakan kekhawatirannya atas dampak rencana pembukaan perkebunan kelapa sawit sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan terhadap hak-hak adat1 dan mengecam rancangan peraturan tentang Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) karena tidak sesuai dengan hak-hak adat. Keprihatinan ini dinyatakan menyusul disampaikannya keluhan ke Komite tersebut oleh sejumlah LSM, termasuk AMAN dan Sawit Watch.2


Situs web yang berguna


Catatan

  1. CERD/C/IDN/CO/3, 15 Agustus 2007, paragraf 17 di www2.ohchr.org/english/bodies/cerd/docs/CERD.C.IDN.CO.3.pdf
  2. Surat CERD untuk Pemerintah Indonesia, 13 Maret 2009, di www2.ohchr.org/english/bodies/cerd/docs/early_warning/Indonesia130309.pdf. Lihat juga DTE 80/81.


Daftar isi Buletin DTE     DTE Homepage     Advokasi     Link