Switch to English
Down to Earth No.82, September 2009

Masyarakat pesisir menginginkan penegakan hak

Masyarakat pesisir telah terpinggirkan oleh usaha besar, juga kebijakan dan peraturan yang memihak perusahaan besar. Kini mereka menghadapi ancaman lain dari dampak perubahan iklim. Pada bulan Agustus, koalisi perwakilan masyarakat nelayan, LSM-LSM dan akademisi menyerukan agar kebutuhan dan hak adat masyarakat pesisir, serta keberlanjutan lingkungan menjadi perhatian utama pengelolaan pesisir di Indonesia.


Penyataan Lombok, yang disetujui oleh dua puluh organisasi masyarakat serta LSM, mengatakan bahwa hukum adat serta pengetahuan tradisional yang telah berabad-abad umurnya dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan yang adil dan berkelanjutan.

Pernyataan itu, yang disampaikan dalam lokakarya yang berlangsung pada tanggal 2-5 Agustus di Lombok, menyerukan perubahan undang-undang yang mengarah pada privatisasi sumber daya pesisir dan monopoli oleh kepentingan usaha. Bagian dari UU No. 27 Tahun 2007 mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Peraturan No. 5 Tahun 2008, yang dikeluarkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, yang sekarang telah direvisi dan dikeluarkan kembali sebagai Peraturan No.12 Tahun 2009 mengenai Perikanan Tangkap, dianggap merugikan kepentingan masyarakat pesisir.

Pernyataan itu juga menyerukan diperkuatnya lembaga hukum adat melalui pengakuan dan perlindungan hukum atas hukum adat dalam masyarakat pesisir, dan melalui dokumentasi serta publisitas.

Judul lokakarya: "Lembaga adat Indonesia: Apakah mereka memiliki peran dalam pengelolaan sumber daya perikanan dan wilayah pesisir?" dijawab dengan seruan pernyataan kepada pemerintah Indonesia untuk: "Mengakui dan melindungi hukum adat dan pengetahuan tradisional yang telah diturunkan dari generasi ke generasi, yang telah menjadi bagian dari identitas budaya nasional dan membantu melestarikan dan mengelola sumber daya laut dan perikanan. Hal ini dapat dicapai dengan mengakui dan mengintegrasikan hukum adat dan pengetahuan tradisional ke dalam sistem hukum nasional, memberikan pertimbangan yang selayaknya bagi perbedaan sistem nilai, kesatuan nasional dan kesetaraan gender."1

Pernyataan itu juga menyerukan prioritas untuk keberlanjutan dan kebutuhan domestik akan ikan, serta bagi pencegahan yang efektif terhadap penangkapan ikan yang ilegal dan tak diatur, dan pelanggaran lingkungan oleh industri ekstraktif. Pernyataan itu diakhiri dengan imbauan akan dukungan baik di Indonesia maupun di luar negeri bagi model ekonomi yang didasarkan akan kebutuhan masyarakat, hukum adat dan pengetahuan tradisional yang berpegang teguh pada keadilan sosial, kesetaraan dan keberlanjutan lingkungan.


Indonesia mendesak dimasukkannya Deklarasi Manado dalam Perundingan Iklim Bonn

Salah satu tugas delegasi Indonesia dalam perundingan perubahan iklim di Bonn pada bulan Juni adalah mendesak agar isu-isu yang terkait dengan laut dimasukkan dalam agenda resmi pertemuan global tingkat tinggi mengenai perubahan iklim pada bulan Desember di Kopenhagen.

Deklarasi Manado, yang disetujui pada bulan sebelumnya dalam Konferensi Kelautan Dunia (WOC) di Sulawesi Utara pada bulan Mei, menjadi sorotan pada acara sampingan dengan Indonesia sebagai salah satu tuan rumah, yang diadakan dalam perundingan Bonn itu.

WOC itu sendiri dan Inisiatif Kawasan Segi Tiga Terumbu Karang, yang bertemu pada kesempatan yang sama, telah dikecam oleh kelompok masyarakat madani Indonesia sebagai pemborosan uang publik, dengan agenda yang gagal membahas penyebab utama kerusakan sumber daya kelautan dan perubahan iklim. Tindakan polisi terhadap aktivis lingkungan terkemuka dalam pertemuan masyarakat madani yang diadakan bersamaan dengan konferensi itu juga mengundang kecaman keras dari LSM Indonesia dan internasional.2

Dalam acara sampingan di Bonn, Indonesia meminta perhatian akan kebutuhan untuk memasukkan laut ke dalam perundingan perubahan iklim di Kopenhagen tahun 2009 dan untuk mempromosikan teknologi laut yang terjangkau, baik secara lingkungan dan terbarukan, khususnya bagi negara berkembang.3

Sebelum pembicaraan yang berlangsung pada bulan Juni, Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar giat mempromosikan pandangan bahwa laut haruslah dipandang sebagai alat mitigasi perubahan iklim karena kapasistas penyimpanan karbonnya. "Kami berharap mekanisme karbon seperti yang mengatur hutan dapat diterapkan dalam isu-isu laut," katanya seperti yang dikutip oleh The Jakarta Post.4

Indroyono Soesilo dari Departemen Kelautan dan Perikanan mengatakan bahwa Deklarasi Laut Manado telah mencapai tujuannya dalam membuat laut dimasukkan dalam agenda UNFCCC. Lima paragraf dimasukkan dalam dokumen bagi Kelompok Kerja Ad Hoc untuk Aksi Kerja Sama Jangka Panjang (AWG-LCA), termasuk bagian mengenai dana adaptasi, pemantauan, pengelolaan laut dan pesisir, serta berbagi informasi.


"Kami percaya bahwa pengelolaan sumber daya laut dan pesisir harus menjunjung tinggi keberlanjutan lingkungan dan keadilan sosial serta kesetaraan gender, khususnya dari anggota masyarakat pesisir yang terpinggirkan, termasuk janda miskin, anak-anak terlantar dan mereka yang sakit secara permanen."

(Pernyataan Lombok)


"Ini akan memberi jauh lebih banyak kekuatan karena sekarang kita memiliki dua keuntungan, hutan dan laut," katanya seperti dikutip oleh The Jakarta Globe, sambil menambahkan bahwa Indonesia dirujuk sebagai sepadan dengan Amazon dalam hal kelautan.5

Tetapi, kurangnya pengetahuan ilmiah tentang peran laut dalam penyimpanan dan pelepasan karbon telah menghambat dimasukkannya referensi mengenai kapasitas laut untuk menyimpan karbon dalam rancangan teks negosiasi AWG-LCA.6


Masyarakat yang rentan terhadap perubahan iklim

Permukaan laut yang meningkat, badai yang lebih banyak dan lebih sering terjadi, serta kian banyaknya penyakit yang disebarkan oleh air adalah sebagian dampak perubahan iklim yang terutama membuat rentan masyarakat pesisir yang miskin.

Menurut Oxfam Indonesia, 20 juta orang tergantung pada sumber daya kelautan di Indonesia.7 Sekitar 42 juta orang di negara itu hidup di daerah yang kurang dari 10 meter di atas rata-rata permukaan air laut.8

Dalam suatu kajian yang dibuat pada tahun 2005, Bank Pembangunan Asia memperkirakan bahwa sekitar 22% penduduk Indonesia hidup di pesisir dan sekitar 60% di dataran pesisir. Diperkirakan bahwa sekitar 14 juta hingga 16 juta orang bekerja dalam kegiatan di pesisir dan kelautan dan bahwa kontribusi dari kegiatan-kegiatan itu - dari ekstraksi yang terbarukan dan tidak terbarukan - berjumlah 20-25% PDB Indonesia.9

Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB memperkirakan bahwa sekitar 520 juta orang - atau sekitar 8% penduduk dunia - tergantung pada perikanan dan akuakultur sebagai sumber protein, pendapatan atau stabilitas keluarga.

Penjelasan yang diberikan pada tahun 2009 di perundingan Bonn menggambarkan bagaimana tingkat CO2 yang lebih tinggi dalam atmosfer mengubah baik suhu udara maupun suhu permukaan laut, keasaman laut, permukaan laut dan intensitas topan tropis. Perubahan iklim sudah menyebabkan perubahan terhadap distribusi dan produktivitas spesies ikan laut dan air tawar.

Karena badai menjadi lebih kuat dan lebih sering, kebutuhan untuk melindungi bakau di kawasan pesisir menjadi lebih mendesak. Ekosistem pesisir ini menciptakan penghalang terhadap ombak yang ganas, menahan endapan pada tempatnya, mengurangi erosi.10 Ekosistem ini juga menyediakan habitat, makanan dan tempat persemaian bagi ikan - dan sumber penting dari banyak produk makanan dan bukan makanan bagi masyarakat dengan pengetahuan tradisional untuk memanennya secara berkelanjutan.


Kemarahan terhadap Rencana Dewan Perlindungan Akuakultur WWF

LSM HAM dan lingkungan hidup dari seluruh dunia telah memprotes rencana peluncuran Badan Perlindungan Akuakultur, sebuah badan sertifikasi produksi industri udang dan salmon. Tujuannya adalah untuk meyakinkan konsumen bahwa produk yang bersertifikat itu dihasilkan secara berkelanjutan.

Lebih dari 70 kelompok menulis kepada World Wide Fund for Nature (WWF) untuk mengecam skema itu. Mereka mengatakan bahwa skema itu dipengaruhi oleh kepentingan yang terkandung di dalamnya dari industri akuakultur dan gagal untuk mempertimbangkan keinginan masyarakat setempat dan masyarakat adat yang tinggal di sekitar tambak udang dan salmon. Para pelaku kampanye itu mengatakan bahwa WWF telah berkali-kali menolak seruan untuk bertemu dengan perwakilan masyarakat yang terimbas dalam enam kawasan akuakultur di seluruh dunia.

Tambak udang skala industri telah menghancurkan sejumlah besar lahan bakau di Indonesia dan negara lain dalam dekade-dekade belakangan ini, karena pohon-pohon dibabat habis untuk membuka jalan bagi akuakultur yang intensif. Kelompok-kelompok yang menentang rencana sertifikasi mengatakan bahwa penebangan bakau menyebabkan penurunan serius pada keanekaragaman hayati dan perikanan liar, erosi garis pantai dan meningkatnya kerentanan terhadap topan badai dan tsunami. Mereka juga mengemukakan besarnya jumlah karbon yang terlepas ketika bakau dibabat habis.

Jaringan global organisasi masyarakat madani menuntut moratorium atas perluasan lebih lanjut dari pembangunan akuakultur industrial. Surat kepada WWF diakhiri dengan tuntutan agar LSM untuk konservasi itu menghentikan inisiatif sertifikasi dan "segera mengadakan dialog yang nyata dan berarti dengan masyarakat yang terimbas, bukan hanya dengan industri dan sejumlah kecil LSM serta kalangan akademi. Masih terdapat banyak kebutuhan akan standar sosial yang ketat dan yang didasarkan atas hak, bukan hanya perbaikan tambal sulam lingkungan dan teknis yang dilakukan di tingkat tambak akuakultur."11

Riset ilmiah yang dibuat di Indonesia untuk menilai efektivitas skema sertifikasi untuk udang yang ditambak menemukan adanya problem yang sistematis dan menyimpulkan bahwa "sistem ini mungkin tak akan pernah memenuhi tujuan menyeluruh mereka seperti keberlanjutan jangka panjang atau turunnya konsumsi atas udang yang tidak bersertifikat. "12

Untuk latar belakang mengenai industri udang di Indonesia dan masyarakat pesisir, lihat Asia Solidarity Against Industrial Aquaculture, www.asia-solidarity.org/, International Collective in Support of Fishworkers icsf.net/icsf2006/jspFiles/icsfMain/, Mangrove Action Project www.mangroveactionproject.org/, KIARA www.kiara.or.id/, DTE 58, DTE 51 dan DTE 45 dan juga DTE 45.


Catatan
1 Pernyataan Lombok, ICSF [International Collective in Support of Fishworkers] Lokakarya mengenai "Lembaga adat Indonesia: Apakah mereka memiliki peran dalam Pengelolaan Sumber Daya Perikanan dan Wilayah Pesisir?", 2-5 Agustus, Lombok. Disahkan oleh 21 organisasi Indonesia dari Aceh sampai Maluku di Indonesia bagian timur. Lokakarya itu juga dihadiri oleh berbagai organisasi dari negara-negara tetangga di Asia Tenggara.
2 Lihat DTE 80-81 untuk latar belakang lebih lanjut. Deklarasi Manado ditandatangani oleh 76 negara dan 11 organisasi internasional. Deklarasi ini dapat dilihat di www.cep.unep.org/news-and-events/manado-ocean-declaration
3 www.iisd.ca/climate/sb30/enbots/10.html [accessed August 28]
4 The Jakarta Post 4/Jun/09
5 'Manado Pact Called Toothless', The Jakarta Globe: 20/Jun/09
6 Untuk teks draft [versi Juni 22, 2009] lihat unfccc.int/resource/docs/2009/awglca6/eng/inf01.pdf
7 www.oxfam.org.uk/resources/countries/indonesia_livelihoods.htm
8 IIED, 2007. Climate change: study maps those at greatest risk from cyclones and rising seas. London, International Institute for Environment and Development www.iied.org/mediaroom/releases/070328coastal.html 9 ADB Indonesia: Country Environment Analysis 2005, www.adb.org/environment/cea.asp
10 Perundingan perubahan iklim tak boleh melupakan perikanan, kata kelompok-kelompok internasional, FAO, 1/Jun/09.
11 Siaran berita; Protes di Seluruh Dunia Menentang Rencana WWF untuk Meluncurkan Dewan Pengawasan Akuakultur, 14 Mei 2009, melalui Rettet den Regenwald.
12 www.naturskyddsforeningen.se/upload/Foreningsdokument/Rapporter/rap-inter-shrimp-naturland.pdf


Daftar isi Buletin DTE     DTE Homepage     Advokasi     Link