Switch to English


Down to Earth No.80-81, Juni 2009

Tahun penentuan bagi keadilan iklim

Tahun ini adalah tahun yang sangat penting bagi pengambilan keputusan mengenai perubahan iklim saat para pemerintah tengah berupaya mencapai kesepakatan global di Kopenhagen pada bulan Desember. Akankah COP15 membahas isu keadilan sosial, keberlanjutan lingkungan hidup dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) dalam negosiasi, seperti imbauan banyak kelompok masyarakat madani di seluruh penjuru dunia? Artikel di bawah ini mempertimbangkan prospek keadilan iklim dengan melihat perkembangan baru-baru ini di dunia internasional dan di Indonesia.


Perubahan iklim kian merebak dalam agenda internasional dengan semakin dekatnya tenggat waktu untuk mencapai kesepakatan baru bagi pengurangan emisi global. Sementara ambruknya perkreditan internasional terus menguras perhatian dan uang, timbul harapan bahwa kurang berfungsinya sistem finansial saat ini akan menggugah pemerintah mengenai fakta perlunya pendekatan yang sama sekali baru. Pendekatan yang mengarah pada hidup di planet ini secara berkelanjutan dan yang dapat menghentikan konsumsi berlebihan atas sumber daya bumi oleh sebagian kecil penduduk dengan mengorbankan sebagian besar penduduk. Mayoritas penduduk inilah yang penghidupannya menjadi lebih sulit dan harus bekerja lebih keras untuk dapat bertahan hidup dalam kemiskinan oleh karena dampak perubahan iklim.

Dalam bulan-bulan terakhir ini, terdapat beberapa perubahan positif, paling tidak di permukaan. Termasuk di dalamnya adalah indikasi mengenai perubahan dalam kebijakan perubahan iklim di AS oleh Presiden Obama, termasuk janji untuk memangkas emisi ke tingkat tahun 1990 selambat-lambatnya pada tahun 2020 dan target baru untuk mengurangi emisi yang berasal dari kendaraan.1

Inggris telah menentapkan target yang ambisius untuk mengurangi emisi GRK sebesar 80% dari tingkat tahun 1990 selambat-lambatnya tahun 2050, dan membuat komitmen hukum untuk mewujudkannya dengan menyetujui RUU Perubahan Iklim di bulan Desember 2008. UU itu mensyaratkan pemerintah untuk menetapkan tiga 'anggaran karbon' lima tahunan pertama selambat-lambatnya bulan Juni 2009.

Juga di bulan Desember itu, Uni Eropa mengeluarkan serangkaian penuh perundang-undangan, dengan berkomitmen untuk mengurangi emisi dari tingkat tahun 1990 sebesar 20%, mencapai efisiensi energi sebesar 20% dan energi yang terbarukan sebesar 20% -semuanya selambat-lambatnya tahun 2020. Sebuah kebijakan juga menjabarkan imbauan terhadap negara-negara berkembang untuk membatasi pertumbuhan GRK mereka sebesar 30% selambat-lambatnya tahun 2020 dibandingkan dengan yang dilakukan sekarang ini. Sebagai imbalannya, UE mengatakan bahwa mereka akan meningkatkan komitmennya dengan mengurangi emisi hingga 30%. 2

Norwegia, Guyana, Kosta Rika dan Maladewa (Maldives) semuanya sudah berkomitmen terhadap perekonomian netral karbon.3

Yang lebih baru lagi. Cina - penghasil emisi GRK terbesar di dunia, menunjukkan keinginannya untuk menetapkan target guna mengurangi intensitas karbon (yaitu mengurangi jumlah karbon yang digunakan untuk menghasilkan setiap unit pertumbuhan ekonomi) tetapi meminta negara-negara industri agar menjanjikan pengurangan emisi yang lebih besar sebagai balasannya.4

Sementara itu, riset terakhir tentang perubahan iklim tidak membawa kabar baik dan sasaran untuk menekan kenaikan suhu di bawah 2°C kian jauh dari jangkauan. Riset yang dilakukan Tyndall Centre for Climate Change Research belum lama ini menunjukkan bahwa pengurangan emisi global sebesar 3% masih berarti kenaikan suhu sebesar 4°C di akhir abad ini, tetapi emisi global malahan terus meningkat, ketimbang menurun.5 Suatu kajian lain di Inggris meramalkan bahwa paling tidak sepertiga hutan Amazon akan dihancurkan oleh kenaikan suhu yang bahkan tak terlalu tinggi, dan lebih banyak lagi hutan yang akan rusak apabila suhu lebih tinggi.6

Secara keseluruhan, yang paling mengkhawatirkan dari riset itu adalah bahwa angka-angka yang mendasari negosiasi UNFCCC sudah basi.

Laporan Bank Pembangunan Asia (ADB) baru-baru ini mengatakan bahwa Asia Tenggara adalah wilayah yang paling rentan terhadap perubahan iklim di dunia dan dapat menghadapi konflik karena gagal panen, kekurangan air dan biaya ekonomi yang tinggi. Perekonomian wilayah ini dapat kehilangan sebesar 6,7% dari gabungan PDB per tahun pada tahun 2100, padahal perkiraan hilangnya secara global hanyalah di bawah 1% PDB. Rata-rata suhu di Indonesia, Filipina, Thailand dan Vietnam juga dapat naik sebesar rata-rata 4,8 °C dari tingkat tahun 1990 pada tahun 2100 jika emisi global terus meningkat.7

Perkiraan biaya untuk mengatasi perubahan iklim juga telah meningkat - tepat pada saat uang tengah dikucurkan untuk mencegah hancur leburnya sistem perbankan. Forum Ekonomi Dunia mengatakan pada bulan Januari, misalnya, bahwa paling sedikit US$515 miliar harus dikeluarkan setiap tahunnya untuk membiayai langkah-langkah pembatasan emisi karbon dan mencegah naiknya suhu melebihi 2°C pada tahun 2030. Lebih dari $10 triliun akan dibutuhkan mulai sekarang hingga 2030, demikian menurut Forum itu.8

Bahkan sekalipun jika negara-negara membuat komitmen yang hebat untuk mengurangi emisi, komitmen itu masih harus dibuktikan. Di Inggris, misalnya, janji manifesto pemerintah pimpinan Partai Buruh untuk mengurangi emisi sebesar 20% dari tingkat tahun 1990 selambat-lambatnya tahun 2010 tak bakal terpenuhi, meskipun Inggris dengan mudah akan memenuhi target pengurangan emisi Kyoto.

Isu lainnya adalah metode penghitungan target: jika Inggris juga mempertimbangkan emisi yang terkait dengan konsumsi Inggris, ditambah dengan penerbangan dan pengapalan, seperti yang banyak dianggap orang sebagai hal yang adil, maka target akan meningkat secara signifikan. Suatu kajian belum lama ini menunjukkan bahwa emisi di Inggris bukannya menurun seperti yang tampak dalam angka-angka resmi, tetapi justru meningkat sebesar 19% antara 1990 dan 2003 jika emisi yang dikaitkan dengan konsumsi ini dipertimbangkan.9


Isu pengimbangan (ofset)

Pengimbangan- yaitu emisi yang dihasilkan oleh suatu kegiatan dikompensasikan dengan jumlah yang setara dalam pengurangan emisi atau konservasi karbon di tempat lain - adalah salah satu pokok perdebatan dalam perdebatan perubahan iklim yang lebih luas. Pengimbangan antara negara kaya dan miskin khususnya merupakan hal yang paling banyak diperdebatkan, karena ini membuat pencemar dapat membeli (karbon) untuk menghindar dari kewajiban mereka. Banyak organisasi masyarakat madani (termasuk Down to Earth) menganggap pengimbangan sebagai cara pengelakan yang tak dapat diterima dari negara-negara kaya dan industri-industri mereka. Alih-alih membuat perubahan yang sulit dan mahal yang diperlukan di dalam negara mereka sendiri mereka malah berpindah cepat menuju ekonomi rendah karbon. Dengan mendanai pengurangan emisi di negara miskin, mereka sebenarnya memanfaatkan persediaan karbon negara lain untuk menghindari melakukan pengurangan emisi di negara mereka sendiri yang lebih mahal dan sulit secara politis.

DTE telah mengutarakan kekhawatirannya mengenai isu pengimbangan itu dalam suratnya kepada Menteri Perubahan Iklim Inggris Ed Milliband. Surat ini berisi komentar atas Nota Kesepahaman Inggris-Indonesia mengenai Perubahan Iklim yang ditandatangani dalam COP14 di Poznan, Polandia, Desember tahun lalu (lihat surat).

Kekhawatiran tentang pengimbangan ini juga berhubungan dengan riset terakhir, yang menunjukkan perlunya pengurangan besar-besaran atas emisi GRK di seluruh dunia, tak sekedar dipertukarkan atau diperdagangkan antara negara.

Hal ini berarti bahwa pasar karbon - penjualan kuota karbon antarnegara dan membiarkan pasar menentukan harganya - tak akan menghasilkan cukup banyak pengurangan emisi. Dalam hal potensi perdagangan karbon hutan antara Indonesia dan UE, misalnya, yang diperlukan adalah mengurangi emisi dari industri-industri di Eropa dan mencegah hilangnya lebih lanjut hutan di Indonesia, bukannya membiarkan terjadinya pengimbangan di antara mereka.

Friends of the Earth menegaskan hal ini melalui kritiknya terhadap target interim sebesar 20% pada tahun 2020 yang ditetapkan oleh UE. FoE berargumentasi bahwa mekanisme pasar berbasis pengimbangan seperti Clean Development Mechanism tak dapat menjamin pengurangan emisi neto - bahkan dapat meningkatkan emisi global. Terlebih lagi, "... ilmu mengenai perubahan iklim menunjukkan bahwa negara industri perlu mengurangi emisi mereka sebesar 40% di dalam negara untuk menghindari perubahan iklim yang membahayakan. Pendanaan bagi upaya internasional untuk mengurangi emisi dan menghentikan deforestasi di tempat lain di dunia sangatlah diperlukan - tetapi pendanaan dan dukungan ini harus ada sebagai tambahan dari pengurangan emisi di negara mereka sendiri ..."11

Undang-undang pemerintah Inggris tak menentukan batas jumlah pengimbangan, tetapi Komisi Perubahan Iklim - sebuah badan yang didirikan berdasarkan undang-undang itu - merekomendasikan bahwa sebagian besar dari pengurangan emisi sebesar 80% pada tahun 2050 perlu dilakukan di dalam negeri sendiri. CCC telah merancang dua set anggaran karbon, yang merupakan anggaran yang “dimaksudkan” untuk mencapai pengurangan emisi GRK sebesar 42% dari tingkat emisi tahun 1990 (atau 31% relatif terhadap tingkat 2005) selambat-lambatnya tahun 2020, dan anggaran “interim” untuk mencapai pengurangan sebesar 34% (21% pada tingkat 2005). Pengurangan lebih besar tergantung pada apakah terdapat kesepakatan global di Kopenhagen. Untuk anggaran yang dimaksudkan, CCC merekomendasikan bahwa sekitar 20% dapat dipenuhi melalui pengimbangan, dan untuk anggaran interim, kurang dari 10%.11 Sejauh mana rekomendasi ini akan dilaksanakan oleh pemerintah Inggris masih belum jelas.

Target pengurangan emisi UE dijabarkan dalam dua kebijakan, Skema Perdagangan Emisi yang mengontrol emisi dari sektor industri yang menggunakan banyak energi, dan apa yang disebut Keputusan Berbagi Usaha yang mencakup semua sektor lain. UE memperbolehkan paling sedikit setengah dari pengurangan emisi yang diperlukan dipenuhi melalui pengimbangan. Friends of the Earth menghitung bahwa UE hanya berkomitmen sekitar seperempat dari pengurangan yang diperlukan untuk menghindari perubahan iklim yang membahayakan.12 Analisis yang lebih terinci mengenai target dan pengimbangan telah dilakukan oleh LSM FERN yang menghitung bahwa pengurangan yang diperlukan antara 2013 dan 2020 di dalam UE sendiri hanyalah 3,9% dibandingkan dengan tingkat tahun 2005, dan hampir 60% pengurangan emisi bisa jadi berasal dari pengimbangan.13

Satu hal penting di antara segala kesuraman pengimbangan ini adalah bahwa UE telah memilih untuk tidak memasukkan pengimbangan hutan dalam Skema Perdagangan Emisi hingga paling tidak tahun 2020 karena mereka takut bahwa menggelontor pasar karbon dengan pengimbangan hutan akan mendorong harga karbon pada tingkat yang terlalu rendah. Tetapi, dokumen arahan Skema Perdagangan Emisi UE yang ditandatangani pada bulan Desember memberikan kesempatan untuk mengubah keputusan ini.14

Banyak pemerintah dan pendukung pengimbangan berargumentasi bahwa ini merupakan satu-satunya jalan yang paling realistis untuk menngalirkan cukup banyak uang dari Utara ke Selatan guna mendanai pengurangan emisi karbon di sana. Ada yang mengklaim bahwa pasar karbon terkait dengan REDD (Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan di Negara-negara Berkembang) adalah jalan paling efektif untuk memperoleh sejumlah besar uang hasil pengimbangan bagi sistem itu.

Proses UNFCCC sudah mencakup mekanisme pengimbangan Utara-Selatan, Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM), dan pengimbangan ini dapat diperluas hingga mencakup hutan dalam pola pengurangan emisi pasca-Kyoto, mulai 2012.

Riset FERN belum lama ini mengenai skema REDD yang diusulkan di seluruh dunia menunjukkan bahwa hampir semua proyek mencakup elemen pengimbangan.15

Tetapi banyak yang bertanya mengapa harus menaruh sedemikian besar kepercayaan pada pasar yang nyata-nyata telah gagal berfungsi dalam beberapa bulan terakhir ini akibat krisis finansial. Pasar yang mudah berubah - seperti yang tampak tahun lalu pada pasar minyak, gas, minyak sawit dan berbagai macam tanaman pangan lainnya - adalah argumen lain yang menentang sistem seperti itu, padahal aliran sumber daya yang bisa diandalkan merupakan hal penting untuk mendanai perubahan ekonomi karbon rendah di Selatan yang terencana dengan baik dan mantap secara sosial dan lingkungan hidup.

Harga karbon di pasar karbon internal (Skema Perdagangan Emisi) jatuh dalam beberapa bulan terakhir, meskipun demikian, sistem ini masih dipromosikan sebagai sistem yang dapat diterapkan antara AS dan UE dan, pada akhirnya, pada tingkat global.

Yang menjadi daya tarik bagi negara miskin seperti Indonesia sudah barang tentu adalah, antara lain, kesempatan untuk memperoleh dana dalam jumlah besar jika mereka menyetujui perdagangan karbon dalam kesepakatan perimbangan lainnya. Para menteri kabinet seperti Menteri Kehutanan saat ini, MS Kaban, sering mengatakan bahwa negara kaya harus membayar untuk layanan lingkungan hidup global yang diberikan hutan-hutan Indonesia (lihat bagian 'REDD di Indonesia' di bawah ini).

Dengan adanya korupsi yang masih merupakan persoalan besar, kesempatan untuk memindahkan uang dari saluran publik ke kantong pribadi masih terbukti tak tertahankan, seperti yang terjadi di zaman Suharto ketika sekitar 20-30% dana bantuan pembangunan diperkirakan telah dibelokkan oleh mantan presiden itu serta kroni-kroninya.16


Keprihatinan akan pembiayaan tetap ada

Perdebatan mengenai pengendalian dan pengelolaan dana perubahan iklim terus bergulir. Banyak organisasi masyarakat madani dan pemerintah secara tegas menolak posisi Bank Dunia dalam pusat pengaturan pendanaan (lihat DTE 76-77 untuk latar belakang).

Pada bulan Desember tahun lalu, kelompok LSM terkemuka yang berbasis di Inggris mengeluarkan pernyataan bagi pemerintah Inggris, menghimbau adanya komitmen yang jelas akan perubahan iklim dalam bentuk hibah, bukan pinjaman. Dalam pernyataan mereka, CAFOD, Tearfund, Christian Aid, Friends of the Earth, WWF, Practical Action dan IIED, menyampaikan keprihatinan akan berkembangnya dana di luar UNFCCC. Keprihatinan itu secara khusus diarahkan pada Bank Dunia "karena struktur tata kepengurusannya yang asimetris, catatannya yang amat buruk mengenai pendanaan bagi program energi ramah lingkungan, agendanya yang digerakkan oleh donor dan ketidakmampuannya untuk berkonsultasi secara tulus dengan masyarakat madani dan melibatkan mereka, sehingga menggerogoti kepercayaan yang amat dibutuhkan untuk membuat kesepakatan dalam Kopenhagen."17

Meskipun demikian, Inggris terus menyalurkan sumbangannya melalui Dana Investasi Iklim (CIF) Bank Dunia. Misalnya, pada bulan Desember pemerintah Inggris menjanjikan 100 juta poundsterling bagi skema perlindungan hutan, yang akan dikucurkan melalui CIF.18


Catatan
1 Guardian 7/Mei/09, BBC Radio 4 Today Programme, 16/Mei/09
2 Guardian 29/Jan/09
3 J Caldecott, Indonesia and Climate Change, Ceramah disampaikan di Bath Spa University 23/Mar/09
4 Guardian 7/Mei/09
5 Guardian 17/Mar/09
6 Guardian 12/Mar/09
7 PlanetArk 28/Apr/09. Laporan terdapat di www.adb.org/Documents/Books/Economics-Climate-Change-SEA/default.asp
8 Guardian 30/Jan/09
9 Guardian 4/Des/08 mengutip laporan Dieter Helm di Oxford University dan dua pakar lain.
10 EU climate and energy package - the final days (FoE UK, Desember 2008)
11 Lihat www.theccc.org.uk/reports/
12 FoE UK 12/Des/08
13 Reducing Emisi or Playing with Numbers? EU Forest Watch 136, Maret 2009
14 EU Forest Watch 134, Januari 2009.
15 Lihat FERN: From Green Ideals to REDD money...A brief history of schemes to save forests for their carbon, November 2008 dan An Overview of Selected REDD Proposals, November 2008. Keduanya bisa diunduh dari www.fern.org/
16 Lihat DTE IFIs factsheet 5, Juni 2000
17 NGO Statement on Climate Finance - an opportunity for UK leadership, Desember 2008.
18 Siaran Pers DECC 12/Des/08



Daftar isi Buletin DTE     DTE Homepage     Advokasi     Link