Switch to English


Down to Earth No.79, November 2008

Gender dalam Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Resiko Bencana

Pada tanggal 19 – 22 Oktober 2008, bertempat di kota Manila, Filipina, diadakan konferensi ke-3 Perempuan dalam Politik dan Tata Pemerintahan yang mengambil tema 'Gender & Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Resiko Bencana'. DTE berkesempatan untuk menghadiri konferensi ini dengan bantuan pendanaan dari CAFOD. Tulisan berikut ini disarikan dari hasil pertemuan tersebut.


Perubahan iklim merupakan bagian dari rantai dampak perusakan sumber daya alam dan lingkungan. Dari tahun 1975 – 2006 bencana alam semakin sering terjadi dan diduga 80% dari bencana tersebut seperti, banjir, kekeringan, badai, dsb berkaitan langsung dengan perubahan iklim.

Perubahan iklim akan berbeda dampaknya di setiap negara, wilayah, generasi, kelas masyarakat, pekerjaan, jenis kelamin, usia, dan pendapatan. Dari tahun 1975 – 2006 bencana alam terbanyak terjadi di benua Asia. Dari kelompok yang rentan terhadap bencana 3,4 juta orang berasal dari kelompok masyarakat miskin dan rentan, seperti anak-anak, masyarakat adat, petani dan nelayan.

Pada setiap bencana, baik akibat dari perubahan iklim atau tidak, ternyata menelan korban perempuan lebih besar daripada laki-laki dengan perbandingan 4 : 1. Hasil analisis yang dilakukan London School of Economics (LSE) terhadap bencana yang terjadi di 141 negara membuktikan bahwa perbedaan jumlah korban akibat bencana alam berkaitan erat dengan hak ekonomi dan sosial perempuan. Ketika hak perempuan tidak mendapatkan perlindungan, maka jumlah korban perempuan akan lebih besar daripada laki-laki. Sebaliknya, pada kelompok masyarakat yang menjunjung persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, jumlah korbannya adalah sama..

Beranjak dari analisis di atas maka dirasa perlu untuk melakukan upaya beradaptasi terhadap perubahan iklim tersebut. Adaptasi harus di mulai dengan memikirkan bagaimana cara untuk mengurangi resiko bencana. Peran perempuan dan kelompok masyarakat rentan lainnya dalam meminimalkan korban bencana sebagai tindakan pencegahan benar-benar diperlukan.

Sementara ini, proses-proses negosiasi perubahan iklim, baik lokal, nasional dan internasional, belum melibatkan partisipasi perempuan yang cukup nyata. Belum terlihat pemahaman akan kesamaan gender dalam kesepakatan-kesepakatan global yang dibuat.

Untuk itu diharapkan agar para pengambil kebijakan mau melihat perubahan iklim sebagai dampak negatif dari pembangunan yang melampaui semua sektor (sosial, ekonomi, budaya dan politik) mulai dari masyarakat hingga ke tingkat global. Dengan demikian, upaya-upaya adaptasi dan pengurangan resiko bencana dan adaptasi terhadap perubahan iklim dapat dilihat dari kepentingan banyak pihak yang memang memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap perubahan iklim.

Di akhir pertemuan ini, ratusan peserta dari negara-negara Asia Tenggara, Asia Timur, Asia Barat, Eropa, Kepulauan Pasifik dan Afrika mendeklarasikan aksi global untuk 'Gender dalam Perubahan Iklim dan Pengurangan Resiko Bencana'. Beberapa hal yang termuat dalam deklarasi tersebut adalah:

  1. Meminta kesamaan kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan adaptasi perubahan iklim dan pengurangan resiko bencana;
  2. Meminta semua pihak yang tergabung dalam United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) untuk mematuhi standar dan kerangka kerja hak asasi manusia seperti, Konvensi anti penghapusan diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW), Agenda 21, the Beijing Platform for Action, Security Council Resolutions 1325 and 1820, ECOSOC 2005/31, the Millennium Development Goals, the Hyogo Framework for Action dan Deklarasi PBB atas Hak Masyarakat Adat (UNDRIP).


Daftar isi Buletin DTE     DTE Homepage     Advokasi     Link