Bahasa Indonesia


Down to Earth No.76-77, Mei 2008

Masyarakat mendesak Wilmar untuk menghapus praktik kotor

Masyarakat di Kalimantan Barat, dengan didukung oleh Ornop nasional dan internasional, telah mengambil langkah yang sebelumnya belum pernah mereka lakukan yaitu menentang dampak sosial dan lingkungan yang merusak dari perusahaan minyak sawit terbesar di dunia, dengan memakai prosedur pengaduan resmi Kelompok Bank Dunia. Wilmar International dan International Finance Corporation (IFC) telah menarik klaim mereka tentang produksi 'minyak sawit lestari.'


Wilmar Group adalah konglomerat besar, didirikan oleh pengusaha Malaysia dan Indonesia Kuok Khoon Hong dan Martua Sitorus pada tahun 1991. Usaha mereka diawali dengan penyulingan minyak sawit dan segera meluas pada pembelian dan perdagangan minyak sawit di pasar internasional. Perusahaan induknya, Wilmar Holdings, mendaftarkan sejumlah cabang mereka di Bursa Saham Singapura yang kemudian menjadi Wilmar International di tahun 2006. Tahun lalu, Wilmar Holdings menggabungkan (merger) bisnis minyak goreng, sereal (grain) dan beberapa bisnis sejenis lainnya dengan Kuok Group dari Malaysia dan dengan ADM bagian minyak goreng cabang Asia (ADM adalah perusahaan perdagangan hasil pertanian dari Amerika).

Wilmar Group kini adalah pedagang minyak sawit, penyuling minyak sawit dan pabrik minyak nabati terbesar di dunia (lihat kotak). Mereka mencapai penjualan tahunan sebesar US$5,3 milyar di tahun 2006 dan tahun ini diperkirakan mereka akan meraih keuntungan dua kali lipat dari tahun 2007, yaitu US$580 juta.

Wilmar International menguasai hampir 500.000 hektare perkebunan kelapa sawit di Indonesia ditambah sekitar 80.000 ha di Malaysia. Dari jumlah itu, dinyatakan bahwa sekitar 200.000 hektare telah ditanami hingga akhir 2007. Laporan oleh Friends of the Earth Belanda (Milieudefensie) mengungkapkan bahwa, hingga pertengahan 2007, kurang dari sepertiga tanah perusahaan induk Wilmar Group telah dibukakan dan ditanami. Meski begitu, Wilmar masih punya rencana ambisius untuk lebih meningkatkan peran mereka di pasar agrofuel internasional, untuk memperluas area hingga 1 juta hektare di Indonesia serta akan membeli dan membangun perkebunan di Afrika and Asia Tengah. Meskipun menguasai lahan yang luas, lebih dari 75% minyak sawit yang dijual oleh Wilmar saat ini berasal dari perkebunan lain.

Wilmar menjual minyak sawit ke perusahaan-perusahaan di Cina, India, AS dan Eropa. Salah satu pelanggannya adalah Unilever, salah satu perusahaan raksasa yang merajai pengolahan makanan, deterjen dan kosmetik dan merupakan anggota utama Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Menurut Greenpeace, produk terkenal seperti es krim Walls, sabun Dove dan margarine Flora kemungkinan besar mengandung minyak sawit yang dihasilkan dengan mengorbankan hutan hujan dan hak masyarakat lokal dan melewati tangan Wilmar. Bank Standard Chartered yang berbasis di Inggris adalah pemegang saham eksternal Wilmar paling penting. Rabobank dari Belanda juga telah memberi dan menjadi perantara sejumlah pinjaman besar kepada Wilmar dalam lima tahun terakhir ini.


Keluhan masyarakat

Laporan dari Milieudefensie dan para mitra Indonesia di bulan Juli 2007 mengungkapkan bukti bahwa tiga perkebunan Wilmar di Sambas Kalimantan Barat, telah terlibat dalam konflik hak atas tanah, pelanggaran batas tanah warga desa, mengkonversi rawa gambut menjadi perkebunan, perusakan hutan dan pembakaran hutan illegal*. Mereka juga beroperasi tanpa AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan).

PT Wilmar Sambas Plantation (WSP), Buluh Cawang Plantation (BCP) dan Agro Nusa Investama (ANI) melanggar kebijakan tanggung jawab sosial perusahaan Wilmar sendiri, hukum Indonesia serta Prinsip dan Kriteria dari RSPO, dimana mereka bergabung sejak tahun 2005. Masyarakat lokal yang terkena dampak operasi perkebunan Wilmar meminta perusahaan untuk menghentikan operasi mereka di wilayah itu sementara prosedur AMDAL dilakukan dengan baik dan seksama. Selain itu juga harus ada proses konsultasi yang transparan untuk memperoleh persetujuan masyarakat atas pengambil-alihan tanah.

IFC memiliki standar operasional sendiri dan juga anggota dari RSPO. Walaupun Ornop mengajukan kritik mereka tentang operasi Wilmar, IFC tetap menanam tiga investasi pada Wilmar Group dan membantu mereka mendapat dana melalui Global Environmental Facility. Dalam pelaksanaannya, tidak dilakukan uji tuntas (due dilligence) dan mengabaikan Standar Kinerja IFC namun mengklaim bahwa Wilmar telah memenuhi standar RSPO.

Menteri Lingkungan Hidup telah mengeluarkan instruksi di bulan April 2007 kepada PT WSP dan BCP untuk menghentikan seluruh operasinya hingga AMDAL telah selesai dan disetujui, namun instruksi tersebut tidak dihiraukan. PT ANI tetap menjalankan kilang pemrosesan dan memperluas perkebunannya tanpa AMDAL.




Wilmar dan agrofuel

Wilmar (melalui PT Wilmar Bio-Energi) mempunyai tiga pabrik biodiesel di Dumai, Riau. Kapasitas totalnya 1,05 Metrik ton yang berasal dari 300,000 hektare perkebunan kelapa sawit yang sudah lama ada. Sebagian besar dari produksi agrofuel 2007 telah dipra-jual ke Eropa dan AS. Diesel mendominasi sekitar 60% bahan bakar kendaraan di Eropa. Jika seluruh prakiraan produksi PT Wilmar Bio-Energi dipakai untuk memenuhi permintaan agrofuel, maka itu hanya akan mengisi 0,5% kebutuhan Uni Eropa akan diesel (sekitar 173Metrik ton di tahun 2005).

Greenpeace mengirim kapal Rainbow Warrior menghadang pengapalan minyak sawit dari Dumai dan membangun camp 'pembela hutan' di Riau untuk menyongsong konferensi iklim Bali demi menarik perhatian atas dampak merusak dari emisi gas rumahkaca perkebunan kelapa sawit yang dibangun dengan menggusur lahan gambut.



Aksi menentang Wilmar

Ornop menggunakan laporan mereka untuk melancarkan tiga protes: kepada kantor Compliance, Advisory and Ombudsman (CAO) dari IFC; kepada RSPO, melalui panel pengaduan yang baru saja terbentuk; dan kepada pembeli minyak sawit dan para penyandang dana Wilmar. Setelah melalui korespondensi yang berlarut-larut dan beberapa pertemuan, IFC akhirnya setuju untuk menempuh proses mediasi dan mengirimkan ombudsman mereka ke Sambas.

Sebagai hasilnya, pada Februari 2008, Wilmar mengakui kepada publik kesalahan mereka pada tiga kasus di Sambas. Untuk mengatasi masalah itu, Wilmar mengatakan mereka sudah membentuk suatu komite, badan penegak prinsip keberlanjutan regional dan prosedur audit dan monitoring untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip RSPO dan kriteria tentang 'minyak sawit lestari' akan dapat dipatuhi. Tindakan khusus akan diambil untuk melindungi keanekaragaman hayati dan hutan yang bernilai konservasi tinggi dan tidak akan membuka perkebunan tanpa persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan dari masyarakat lokal. CAO juga terlibat dalam mediasi di antara masyarakat lokal terhadap garis batas tanah yang dipertikaikan antara area konsesi dan tanah adat. Namun demikian, Wilmar tidak mengakui peran mereka dalam illegal logging.

Kelompok masyarakat sipil akan memantau dengan cermat untuk memastikan bahwa Wilmar akan mematuhi janjinya. Satu persoalan yang melingkupi negosiasi adalah kompleksitas dari perusahaan induk Wilmar yang mencakup perusahaan-perusahan hilir dan hulu. Isu lainnya adalah bahwa meskipun Wilmar akhirnya menghentikan operasinya di tiga perkebunannya seraya menunggu pemeriksaan, Wilmar juga membeli minyak sawit dari Duta Palma yang dilaporkan telah menimbulkan kerusakan pada komunitas dan hutan di provinsi ini. Selain itu, Ganda Group, yang memiliki perkebunan yang luasnya mencakup hampir seluruh kecamatan Sejenuh di Kabupaten Sambas, dimiliki oleh saudara laki-laki Martua Sitorus dan dilaporkan merupakan pemasok Wilmar di provinsi-provinsi lain. Konsesi milik Wilmar yang kontroversial tidak hanya terbatas pada tiga kasus di Sambas ini. Perkebunan lain yang bermasalah adalah perkebunan PT Asiatic Persada seluas 30,000 hektare di Jambi, Sumatra, yang dulu dimiliki oleh CDC (lihat DTE 67). Sejumlah kasus lain juga muncul di Sumatra Barat, Sumatra Selatan dan Kalimantan Tengah.


Dalam pada itu, sejumlah kelompok masyarakat sipil mendesak CAO untuk mengatasi masalah yang muncul seputar prosedur IFC dalam persetujuan pendanaan melalui audit yang resmi dan independen. Tujuan umumnya adalah untuk memastikan bahwa kebijakan, prosedur dan praktik investasi IFC diperkuat untuk benar-benar mengakui hak masyarakat dan mendukung pilihan penggunaan tanah yang lestari. Namun, CAO, mungkin juga takut dijadikan contoh, tampak menyeret-nyeret langkahnya dalam menghadapi tuntutan ini.

Panel Grievance di RSPO saat ini sedang mempertimbangkan protes terhadap Wilmar tersebut, namun, hingga newsletter ini naik cetak, belum ada pengumuman tentang kemajuannya.


*Policy, Practice, Pride and Prejudice, A Review of legal, environmental and social practices of oil palm plantation companies of the Wilmar Group in Sambas District, West Kalimantan, Juli 2007, terbitan bersama Milieudefensie, Lembaga Gemawan dan Kontak Rakyat Borneo tersedia dalam bahasa Inggris di www.milieudefensie.nl/english/forests
Preliminary Assessment dari Compliance Advisory Ombudsman IFC, Nov 2007, tersedia di http://www.cao-ombudsman.org/html-english/documents/WilmarassessmentAI13Nov07.pdf bersama dengan update 27/Mar/08 di www.cao-ombudsman.org/html-english/Wilmar_compliance.htm

Sumber-sumber lain: Protes resmi kepada IFC, Juli 2007, www.forestpeoples.org/documents/ifi_igo/ifc_wilmar_fpp_let_jul07_eng.pdf Buyers and Financiers of the Wilmar Group, Profundo, Juli 2007; Making Waves, Greenpeace weblog, 17/Nov/07; Reuters 13/Mei/2008 www.businessspectator.com.au/bs.nsf/Article/UPDATE-3-Wilmar-profit-soars-sees-prices-staying-f-ELPW3?OpenDocument,
www.rspo.org/Complaint_against_Wilmar_International_Ltd.aspx.



Dukungan untuk moratorium perluasan perkebunan ke dalam kawasan hutan

Greenpeace meluncurkan kampanye pada bulan April untuk penundaan (moratorium) deforestasi lebih lanjut oleh kalangan industri minyak sawit Indonesia. Kampanye tersebut mendesak kalangan industri pembeli minyak sawit di Eropa untuk memastikan bahwa pemasok mereka tidak melakukan alih fungsi hutan ketika mereka membangun perkebunan baru, namun membatasi perluasan hanya di area bukan hutan. Dalam dua minggu, Unilever mengumumkan bahwa pihaknya mendukung tuntutan Greenpeace untuk benar-benar menghentikan penghancuran hutan hujan untuk kelapa sawit dan berjanji hanya akan mengunakan minyak sawit yang bersertifikat lestari per tahun 2015. Indonesia dengan segera menanggapi bahwa negara ini berharap memiliki standar nasional minyak sawit lestari, dengan mengacu pada skema internasional RSPO, yang disetujui pada akhir Mei. Gabungan Pengusaha Kelapa sawit Indonesia, GAPKI, juga berkomitmen untuk menghentikan pemanfaatan lahan hutan bagi perkebunan baru mereka. Sebanyak 250 anggota GAPKI menguasai setengah dari 6,7 juta ha perkebunan kelapa sawit Indonesia.

Penting disadari bahwa upaya perlindungan hutan yang bernilai konservasi tinggi dan spesies yang terancam punah seperti orangutan tidak mengorbankan mata pencaharian masyarakat. Sejumlah lahan yang 'rusak' atau 'lahan tidur' yang ditargetkan kelak menjadi perkebunan kelapa sawit merupakan tempat di mana penduduk lokal saat ini tinggal dan berladang. Sehingga, Greenpeace juga menuntut kepada para pembeli untuk meminta produsen menghormati hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal dan tidak membangun perkebunan tanpa mendapat persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan dari mereka.

Sementara itu, Greenpeace melaporkan bahwa beberapa perusahaan terus saja mengeringkan dan membakar hutan gambut untuk perkebunan kelapa sawit. Kunjungan lapangan ke Riau di bulan Februari dan Maret mengungkap dua perusahaan baru yang beroperasi tanpa ijin di Kabupaten Indragiri Hulu. Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengeluarkan pernyataan dalam konferensi PBB mengenai perubahan iklim di Bali pada bulan Desember yang memerintahkan kepada semua gubernur untuk berhenti mengeluarkan ijin perkebunan di lahan gambut.


Laporan Greenpeace Cooking the Climate, Nov 2007 dan How Unilever Palm Oil Suppliers are Burning up Borneo, April 2008, serta tanggapan dari Unilever tersedia di www.greenpeace.org/.

Sumber-sumber lain: Siaran pers Unilever 2/Mei/08; www.rspo.org/Unilever_Commits_To_Certified_Sustainable_Palm_Oil.aspx; Reuters 8/Mei/08 (melalui Watch!Indonesia); Jakarta Post 8/Apr/08, 13/Mei/08.



Daftar isi Buletin DTE     DTE Homepage     Advokasi     Link