Switch to English
Down to Earth Nr. 63 November 2004

Perempuan, tanah dan sumber daya alam

Perempuan di Indonesia dirugikan oleh kemiskinan dan dipinggirkan oleh proses pembangunan. Kontrol terhadap sumber daya alam yang menopang kehidupan mereka sebagian besar masih jauh dari jangkauan tangan mereka. Ketika presiden baru menduduki jabatannya, sejumlah kelompok perempuan kembali mengulangi pernyataan mereka agar perempuan memiliki suara yang lebih besar pada tingkat lokal dan nasional dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhi mereka..


Fokus Pada Perempuan

Edisi Down to Earth ini mencakup beberapa artikel yang berhubungan dengan perempuan, tanah dan sumber daya alam, baik yang diambil dari sumber-sumber Indonesia sendiri ataupun dari sumber internasional. Dalam artikel-artikel tersebut diungkapkan sikap positif peran tradisional perempuan atas pengelolaan sumber daya alam (lihat artikel Ngata Toro [bahasa Inggeris]), di samping ada pula beberapa ambivalensi yang mendua (studi kasus Halimun[Inggeris]). Terdapat pula contoh beberapa perempuan yang menantang aspek adat di dalam masyarakat adat dan melakukan pengorganisasian diri untuk meningkatkan posisi mereka (Yosepha Alomang[Inggeris]). Artikel-artikel ini antara lain juga berisi penegasan kembali hak-hak perempuan dan tuntutan kepada pemerintah, perusahaan dan lembaga-lembaga keuangan untuk menghormati hak-hak perempuan (konferensi pertambangan[Inggeris]).

Pada bulan Oktober tahun 2004, ornop-ornop di Indonesia menyelenggarakan Konferensi Internasional Tentang Penguasaan Tanah dan Sumber Daya Alam. Didalamnya terdapat panelis pembicara perempuan tentang tema perempuan dan sistem penguasaan tanah (land tenure) (lihat www.landtenure.net). Para panelis mengulas masalah perempuan adat dan penguasaan tanah; dampak dari proyek pertanian komersial berskala besar terhadap perempuan dan tanah di Jambi, Sumatra; efek dari hukum negara dan kebijakan internasional terhadap hak waris perempuan etnis Cina di Indonesia, dan studi tentang perempuan, tanah dan eksploitasi komersial di ekosistem Halimun Jawa Barat (lihat ringkasan[Inggeris]).

Perempuan dan penguasaan tanah menjadi sorotan ornop di Indonesia pada waktu yang tepat (strategis): Maret tahun depan adalah Beijing+10, atau sesi ke-49 Komisi tentang Status Perempuan, dimana negara anggota PBB akan meninjau kembali kemajuan atas komitmen yang telah mereka buat pada Konferensi Perempuan Dunia ke Empat di Beijing tahun 1995. Deklarasi Beijing menyatakan bahwa:

Persamaan hak, kesempatan dan akses kepada sumber daya...adalah penting untuk [..] kehidupan yang baik [bagi perempuan] dan keluarga mereka begitu pula untuk konsolidasi demokrasi...(para 15)

dan

Pemberantasan kemiskinan ... memerlukan keterlibatan perempuan dalam pembangunan sosial dan ekonomi, kesempatan yang sama dan partisipasi penuh dan adil antara laki-laki dan perempuan sebagai agen dan pemanfaatan pembangunan berkelanjutan yang berpusat pada masyarakat (para 16)

Kesenjangan yang besar antara tujuan dan kenyataan mengenai persamaan hak atas sumber daya merupakan kondisi sebagian perempuan Indonesia. Posisi perempuan Indonesia yang tidak menguntungkan dan terus berlangsungnya perusakan sumber daya alam menandakan bahwa Indonesia menghadapi jalan yang panjang untuk memenuhi tujuan milenium PBB tentang kesetaraan gender dan keberlanjutan lingkungan. Mendorong adanya persamaan peran perempuan dalam pembuatan keputusan yang menyangkut sumber daya alam adalah suatu cara agar masyarakat sipil - baik di Indonesia maupun di dunia - dapat berhasil mewujudkan tujuan yang saling terkait satu sama lain ini.


Perempuan desa yang bergantung hidupnya pada sumber daya alam kebanyakan menjadi korban dampak negatif pembangunan. Perempuan yang tinggal di sekitar proyek industri besar seperti pertambangan dan instalasi minyak atau gas alam menderita oleh punahnya atau rusaknya tanah dan sumber daya alam, seperti hutan, air, sedangkan ganti rugi umumnya diberikan kepada laki-laki. Dampak dari proyek berskala besar yang biasanya membutuhkan tenaga kerja dan/atau petugas keamanan yang diambil dari tentara atau polisi, juga sering disertai dengan meningkatnya kekerasan seksual terhadap perempuan. Pada banyak komunitas pedesaan perempuan lah yang melakukan sebagian besar kegiatan pertanian. Akan tetapi, ketika tanah berada dibawah tekanan negara atau eksploitasi perusahaan, seringkali perempuan memiliki kontrol yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi tanah dan sumber daya alam mereka.


Pandangan KaPal Perempuan

Menurut KaPal Perempuan, sebuah ornop yang mengangkat isu pluralisme dan pendidikan alternatif bagi perempuan, dalam pengelolaan sumber daya alam perempuan biasanya telibat sebagai "pelaksana" dari keputusan yang dibuat oleh laki-laki. Mereka tidak terlibat dalam perencanaan, tidak mendapat manfaat, atau mengawasi jalannya pembangunan, meskipun ceritanya selalu berakhir dengan perempuan sebagai korban pembangunan. Malahan, perempuan juga harus terlibat dalam pengelolaan sumber daya alam pada segala tingkatan. Perempuan juga bekerja lebih keras daripada laki-laki, kata KaPal Perempuan, mengutip angka statistik Asia dan Afrika yang menunjukkan bahwa perempuan bekerja 13 jam lebih lama per minggunya. Di Asia Tenggara, perempuan menyumbang lebih dari 90% tenaga kerja untuk pertanian beras.

Menurut Yanti Muchtar dari KaPal Perempuan, keterwakilan perempuan diperlukan pada tingkat lokal, untuk mempertanyakan dan bernegosiasi tentang pengelolaan sumber daya alam. Bila Bupati ingin mendatangkan investor ke daerahnya, negosiasi dengan investor harus mengikutsertakan kelompok perempuan. Jika tidak, ketika lingkungan mengalami kerusakan, perempuanlah yang akan menerima akibatnya. Sebagai contoh, perempuan yang mengalami keguguran oleh sebab polusi air. Begitu juga dalam hal kemiskinan, ketika hutan dibabat habis, perempuan yang tak memiliki hak atas tanah berakhir hidupnya dalam jebakan kemiskinan di kota-kota.

Menurut KaPal Perempuan, terdapat tiga alasan penting mengapa pengelolaan sumber daya alam harus bersifat partisipatif dan berperspektif keadilan gender. Pertama, untuk memastikan bahwa seluruh pemangku kepentingan (stakeholders), khususnya penduduk miskin dan terpinggirkan (di mana mayoritas dari mereka adalah perempuan), terlibat di dalam pengelolaan sumber daya alam. Klaim "partisipasi masyarakat" tidaklah sah apabila perempuan tidak diberi kesempatan untuk ikut berpartisipasi. Kedua, memecahkan persoalan yang berhubungan dengan program otonomi daerah (desentralisasi) di Indonesia yang memberi kekuasaan pada daerah untuk mengelola sumber daya alam dan investasi untuk eksploitasi sumber daya alam. Desentralisasi membawa "feminisasi kemiskinan" (termasuk perdagangan perempuan), dan merosotnya tingkat kesehatan perempuan, khususnya kesehatan reproduksi*. Ketiga, untuk menguatkan organisasi perempuan sebagai elemen dari masyarakat sipil dalam perjuangan untuk keadilan sosial dan keadilan gender.

KaPal Perempuan menyelenggarakan pendidikan alternatif yang mendorong pemikiran yang kritis, sekaligus mengajarkan kepada perempuan berpenghasilan rendah ketrampilan baca tulis.

"Mereka adalah perempuan dengan akses pendidikan yang paling rendah. Mereka adalah kelompok yang paling membutuhkan, dan yang paling potensial bertindak sebagai agen perubahan." (Sumber Jurnal Perempuan 26/Okt/04 lewat website Kalyanamitra www.kalyanamitra.or.id/; Jakarta Post 22/Apr/ 04. Lihat pula DTE 56 pada dampak pertambangan terhadap perempuan - kasus Indonesia).

*Tingkat kematian Ibu melahirkan di Indonesia tetap yang tertinggi di Asia - 307 kematian tiap 100.000 kelahiran hidup di tahun 2000. Angka paling tinggi tercatat di Papua (1025 kematian), diikuti oleh Maluku (796) dan Jawa Barat (686).

(Sumber: UNDP 2004 Laporan Pembangunan Manusia, 2004 - lihat boks, dibawah.)


GDI UNDP Indonesia

Dalam Laporan Pembangunan Manusia Nasional Indonesia 2004, United Nation Development Programme (UNDP) memperkirakan posisi perempuan Indonesia dengan memakai GDI (Gender-related Development Index). Pengukuran ini membedakan antara laki-laki dan perempuan pada bidang-bidang kesehatan, pendidikan dan pendapatan. Laporan tersebut mengungkapkan bahwa dalam UUD Indonesia disebutkan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki status yang sama, dan bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW). Dinyatakan pula bahwa perempuan Indonesia menghadapi sejumlah hambatan sosial dalam mengangkat posisi mereka terhadap laki-laki.

Angka GDI Indonesia adalah 59,2 dan menunjukkan bahwa tingkat melek huruf perempuan lebih rendah, lebih sedikit waktu mereka untuk sekolah dan memperoleh bagian pendapatan. Pendapatan hanya 38% untuk perempuan dan 62% diterima laki-laki. Indonesia berada di urutan ke-91 dari 144 negara yang telah dihitung GDI-nya.

Lebih rendahnya status perempuan tercermin dalam pendidikan dan pekerjaan, dimana perempuan mendapat pelatihan dan menempati posisi kerja yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Gambaran tersebut juga terdapat dalam kehidupan politik, dimana selama Megawati menjabat sebagai presiden hanya ada 45 perempuan diantara 462 anggota parlemen.

(Sumber: National Human Development Report 2004, The Economics of Democracy Financing Human Development in Indonesia, BPS-Statistics Indonesia, BAPPENAS, UNDP.)


Daerah-daerah Konflik

Di daerah konflik perempuan menderita dampak ganda atas kerusakan alam dan kemiskinan yang disertai oleh kekerasan, termasuk kekerasan seksual.

Komnas Perempuan, yang merupakan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, telah mengadakan penelitian tentang kondisi perempuan di daerah konflik, di mana perempuan mengalami eksploitasi seksual yang dilakukan oleh kekuatan bersenjata, baik selama maupun setelah konflik. Eksploitasi tersebut terjadi didorong oleh tidak adanya perlindungan terhadap korban. Akibatnya, perempuan menderita trauma berkepanjangan. Menurut Komnas Perempuan, situasinya akan lebih buruk bila hal itu terjadi di wilayah perbatasan seperti di Papua dan Nusa Tenggara Timur, di mana perempuan harus pula berkonfrontasi dengan petugas perbatasan. Iklim kekerasan melahirkan kemerosotan kesehatan dan mempengaruhi tingkat kekerasan domestik.

Kasus-kasus konflik yang berdampak mengerikan terhadap perempuan yang terjadi di Aceh telah didokumentasikan dalam laporan Amnesty International, Human Rights Watch, Tapol dan Eye on Aceh.

Laporan-laporan ornop mengungkapkan bahwa perkosaan secara sistematis dilakukan oleh oknum-oknum TNI dan Polisi terhadap tersangka keluarga GAM (Gerakan Aceh Merdeka).

Menurut Tapol, kelompok advokasi Hak Asasi Manusia Indonesia, baru-baru ini pengadilan telah menghukum 1.777 tahanan, termasuk 52 perempuan, yang ditahan atas dugaan terlibat dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Kasus gadis Jawa dari keluarga transmigran berusia 18 tahun yang dicap sebagai komandan pasukan perempuan GAM oleh penguasa dan dihukum 18 tahun, merupakan indikasi bagaimana buruknya situasi di Aceh bagi orang yang berada di tempat dan waktu yang salah (lihat Buletin Tapol 177, hal. 2)

Tahanan Aceh antara lain para perempuan yang kawin dengan anggota GAM dan perempuan ditawan sebagai sandera karena suaminya dianggap sebagai tersangka anggota GAM.

Di Papua telah didokumentasikan sejumlah kasus kekerasan dilakukan oleh petugas keamanan terhadap perempuan adat. Laporan Yale University tentang pelanggaran hak asasi manusia di Papua yang diterbitkan tahun 2004 mendapati bahwa "penggunaan perkosaan oleh militer secara khusus dan eksklusif ditargetkan kepada perempuan adat Papua, dilakukan di depan umum (kadang-kadang oleh lebih dari satu orang tentara), terhadap para gadis dan perempuan dewasa, dan kadang diikuti dengan pembunuhan dan mutilasi atau keduanya".

Dalam kondisi yang mengerikan seperti ini, tidak sulit membayangkan bagaimana meningkatnya kemiskinan karena hancurnya dan berkurangnya akses atas perumahan, hasil pertanian, hutan dan sumber daya alam lainnya di daerah konflik, memperlemah kesehatan fisik dan mental perempuan dan kemampuan mereka untuk mempertahankan diri mereka dan keluarganya.

(Sumber: Buletin Tapol 177, Nov/04, Jurnal Perempuan 5/Okt/04 lewat website Kalyanamitra www.kalyanamitra.or.id. Laporan Tapol tentang tahanan Perempuan Aceh termasuk informasi dari majalah bulanan berbahasa Indonesia Acehkita, lihat pula www.acehkita.com; www.hrw.org/reports/2004/indonesia0904/; www.amnesty.org; www.acheh-eye.org/. Indonesian Human Rights Abuses in West Papua: Application of the law of Genocide to the History of Indonesian Control, Yale Law School, April 2004, www.law.yale.edu/outside/html/Public_Affairs/426/westpapuahrights.pdf)


Keterwakilan Politik dibawah SBY

Bagaimana presiden baru Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengubah kondisi perempuan di Indonesia? Presiden baru telah memasukkan empat orang perempuan di antara 36 menteri dalam anggota kabinetnya - berarti kini perempuan telah mengisi 11% posisi menteri atau setingkat menteri. Mereka adalah: Marie Pangestu (menteri Perdagangan),Sri Mulyani Indrawati (ketua BAPPENAS), Siti Fadilah Supari (menteri Kesehatan), dan Meuthia Hatta (menteri Pemberdayaan Perempuan).

Meuthia Hatta telah menyatakan ia akan memusatkan perhatian pada isu-isu penanggulangan kemiskinan dengan melibatkan perempuan dalam bisnis, hak-hak tenaga kerja, dan perdagangan perempuan. Ia mengatakan bahwa diskriminasi terhadap perempuan sudah merebak sedemikian rupa termasuk di dalam parlemen sendiri.

Menurut Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (KPI), empat orang dalam kabinet tidaklah cukup dan menunjukkan bahwa perempuan mengalami diskriminasi dalam mendapatkan akses diarena politik. Pernyataan KPI menyebutkan bahwa diskriminasi ini memprihatinkan, sebab Indonesia telah turut serta meratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan terhadap Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan di tahun 1984 dan sebelumnya telah menandatangani konvensi anti diskriminasi lainnya. KPI juga menuntut pemerintah menghapuskan bentuk diskriminasi terhadap perempuan dalan bidang politik, memasyarakatkan kebijakan yang adil gender dan mengalokasikan 20% anggaran pembangunan negara untuk pendidikan sebagai bagian dari komitmen pemerintahan baru untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam pendidikan. KPI juga menginginkan 15% anggaran negara untuk kesehatan, untuk disalurkan kepada perempuan hamil dan kelahiran bayi di pedesaan, untuk menurunkan tingginya angka kematian ibu melahirkan. Lima persen dari keseluruhan anggaran harus dialokasikan untuk memberdayakan perempuan dan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lampau. Terakhir, kata KPI, pemerintah harus menghentikan kerjasama mereka dengan IMF, Bank Dunia, ADB dan Lembaga Keuangan Internasional lainnya yang beragendakan neoliberal.

(Sumber: Jurnal Perempuan 22&23/Okt/04, lewat website Kalyanamitra www.kalyanamitra.or.id)


Daftar isi Buletin DTE    DTE Homepage    Advokasi    Link